BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit kusta adalah penyakit menular yang menahun, disebabkan oleh mycobacterium leprae yang menyerang kulit saraf tepi dan jaringan tubuh lainnya. Pada sebagian besar orang yang terinfeksi, penyakit bersifat asimtomatik, sebagian kecil yang terlambat didiagnosa dan terlambat diobati, memperlihatkan gejala klinis dan mempunyai kecenderungan untuk menjadi cacat. Gejala awal penderita biasanya tidak merasa terganggu hanya terdapat adanya kelainan kulit berupa bercak putih seperti panu atau bercak kemerahan dan disertai adanya kurang rasa atau hilang rasa. Penyakit kusta dapat menyerang semua umur, Lakilaki lebih banyak terkena dibandingkan Wanita dengan perbandingan 2:1, walaupun ada beberapa daerah yang menunjukkan angka insiden ini yang hampir sama (Direktorat Jendral PPM & PPL, Depkes, 2012). Penyakit kusta masih menjadi permasalahan yang dihadapi oleh sebagian besar masyarakat dunia terutama di negara berkembang. Pada tahun 2012, jumlah penderita kusta di Dunia sebanyak 219.075 orang, di negara-negara Asean jumlah penderita kusta sebanyak 26.674 orang, dan Indonesia memberikan kontribusi penderita baru sebanyak 18.994 orang (8,7% di Dunia dan 71,2% di Asean). Menurut data yang dikeluarkan Kementerian Kesehatan, pada tahun 2012 Indonesia menempati urutan ketiga setelah India dan Brasil (Direktorat Jendral PPM & PPL, Depkes, 2013). Penyakit kusta dapat menimbulkan masalah yang kompleks dan luas bukan hanya dilihat dari sisi medis, tetapi juga meluas sampai kepada masalah ekonomi, sosial budaya, keamanan dan ketahanan sosial serta masalah psikologi. Penyakit kusta juga menimbulkan masalah baik pada penderita sendiri, keluarga , masyarakat dan negara (Depkes, RI 2010). Masalah pada penderita penyakit kusta pada umumnya adalah merasa rendah diri, merasa tertekan batin, takut kepada keluarga dan masyarakat
1
sekitarnya sehingga penderita cenderung untuk hidup sendiri, apatis (masa bodo), bersikap ketergantungan pada orang lain, kehilangan peran dimasyarakat karena dikucilkan, kehilangan pekerjaan atau mata pencaharian dan tidak mau berobat karena malu pada masyarakat sekitarnya. Selain menimbulkan masalah bagi penderita, penyakit kusta juga menimbulkan masalah bagi keluarga dan masyarakat sekitar. Kecacatan pada penderita kusta, seringkali tampak menyeramkan bagi sebagian orang, sehingga muncul perasaan takut yang berlebihan terhadap kusta atau leprofobia. Akibatnya, meskipun penderita kusta telah sembuh secara medis, tapi predikat kusta tetap melekat pada diri mereka seumur hidup. Predikat ini melatar-belakangi permasalahan psikologis bagi Orang Yang Pernah Mengalami Kusta (OYPMK), sehingga mereka akan merasa takut, kecewa, depresi, tidak percaya diri, malu, merasa diri tidak berharga, tidak berguna, dan khawatir akan dikucilkan. Otak dan sistem saraf pusat tidak terpengaruh oleh infeksi yang disebabkan oleh mycobacterium leprae ini. Tetapi pada kenyataannya banyak penderita terpengaruh secara mental. Pengaruh tersebut terjadi tidak secara langsung karena infeksi lepra tetapi lebih karena disebabkan oleh stigma dan penolakan sosial terhadap mereka (Rafferty dalam Siagian, 2008). Pada suatu penelitian mengenai Gambaran Gangguan Jiwa pada Penderita Kusta Di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo tahun 2008 yang dilakukan oleh Ratih menemukan bahwa gangguan terbanyak adalah depresi sebesar (66,6%), kemudian gangguan depresi dengan gangguan cemas menyeluruh (18,8%), gangguan cemas menyeluruh (8,7%), distimia (2,9%), dan gangguan depresi dengan gangguan panik tanpa agorafobia (1,5%). kurang dari 1 tahun (57,6%). Pada penelitian di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP dr. Sardjito tahun 2008 didapatkan lebih dari separuh (51,3%) subyek penelitian mengalami gejala depresi dengan perincian 25,8% memiliki skor depresi ringan, 16,9% memiliki skor depresi sedang dan 16,9% memiliki skor depresi berat (Siagian, 2008). Penderita kusta maupun bekas penderita kusta memiliki cara-cara tertentu untuk menanggulangi keadaan stres dan depresi. Misalnya berserah diri
2
pada Tuhan, membuat tempat ibadah sehingga mereka bisa melakukan ibadah secara rutin, mengembangkan suatu penilaian bahwa penyakit kusta sebagai takdir, nasib atau garis hidup dan lain-lain. Agama dan spiritualitas adalah faktor kultural paling penting yang memberikan struktur dan makna terhadap nilai-nilai, perilaku dan pengalaman manusia. Kepercayaan dan praktek religius atau spiritual mungkin bisa digunakan untuk coping atau adaptasi terhadap situasi kehidupan yang penuh tekanan. Meski ada banyak faktor diantaranya genetik, perkembangan, dan lingkungan yang berkontribusi terhadap kemunculan dan perjalanan penyakit depresi, kegagalan untuk melakukan coping dengan stres adalah faktor utama yang mendasari. Jika keterlibatan agama atau spiritualitas mampu menurunkan stres dengan membantu untuk mencapai coping yang lebih baik, maka agama atau spiritualitas mungkin bisa membantu mencegah kemunculan depresi atau mempercepat kesembuhan episode depresi dan atau gejala depresi. Komitmen religius atau spiritual telah dikaitkan dengan penurunan prevalensi
depresi.
Penelitian
menunjukkan
bahwa,
selain
memberikan
perlindungan dari depresi, tingkat komitmen religius yang lebih tinggi mungkin memberikan perlindungan dari bunuh diri, bentuk outcome depresi yang paling berat. Salah satu contoh kasus yang baru –baru ini terjadi (Februari 2014) adalah adanya kejadian bunuh diri pada penderita kusta di Trenggalek, Jawa Timur. Walaupun belum didapatkan angka pasti berapa kasus kejadian bunuh diri pada penderita kusta yang mengalami depresi tetapi hal ini memerlukan perhatian yang serius karena banyaknya kasus depresi pada penderita kusta. Dengan menilai kepercayaan religius pasien dengan depresi dan pemikiran bunuh diri, dokter dapat menggunakan kepercayaan ini dalam implementasi rencana intervensi yang sesuai dengan nilai spiritual dan agama pasien (Khouzan,2007). Penelitian-penelitian dan literatur sebelumnya telah menemukan bahwa religius atau spiritual berperan dalam mengatasi depresi karena religius atau spiritual ini dapat berfungsi sebagai coping dan support sosial pada penderita depresi.
3
Bunuh diri merupakan bentuk outcome depresi yag paling berat. Walaupun belum didapatkan angka pasti berapa kasus kejadian bunuh diri pada penderita kusta yang mengalami depresi tetapi hal ini memerlukan perhatian yang serius karena banyaknya kasus depresi pada penderita kusta. Penulis belum menemukan suatu penelitian yang secara khusus membahas tentang bagaimana peran atau hubungan antara tingkat religiusitas dengan depresi pada penderita kusta, sehingga hal ini menjadi menarik untuk dipelajari lebih lanjut. Hal ini mendorong peneliti untuk meneliti seberapa besar korelasi tingkat religiusitas dengan depresi pada penderita kusta di RSUD Kelet Jepara. Dalam penelitian ini juga dilakukan pengamatan terhadap faktor-faktor lain seperti umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status pernikahan, pekerjaan dan lama menderita kusta yang diduga mempunyai peran terhadap timbulnya depresi pada penderita kusta.
B.
Permasalahan Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan masalah yaitu: Apakah terdapat hubungan antara tingkat religiusitas dengan depresi pada
penderita kusta di RSUD Kelet Jepara?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya hubungan antara tingkat religiusitas dengan depresi pada penderita kusta di RSUD Kelet Jepara.
D. Manfaat Penelitian
Apabila hasil penelitian ini dapat menunjukkan adanya korelasi antara tingkat religiusitas dengan depresi pada penderita kusta di RSUD Kelet Jepara diharapkan dapat memberikan manfaat, berupa : 1.
Manfaat teoritis:
4
Hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan tambahan pengetahuan bagi semua pihak, berupa pengetahuan tentang korelasi antara tingkat religiusitas dengan depresi pada penderita kusta di RSUD Kelet Jepara. 2.
Manfaat praktis: Diharapkan dengan penelitian ini, deteksi dini dan perumusan strategi dalam
penatalaksanaan depresi pada penderita kusta di RSUD Kelet Jepara menjadi lebih komprehensif sehingga angka
prevalensi depresi pada penderita kusta dapat
ditekan.
E.
KEASLIAN PENELITIAN Sari, AP (2009); Hubungan antara kesehatan spiritual dengan tingkat stres
dalam menghadapi pensiun pada pegawai Kantor Departemen Agama Surabaya. Penelitian dilakukan pada pegawai struktural Kantor Depag Surabaya yang berusia 52-56 tahun dengan pendidikan terakhir minimal SLTA. Pengumpulan data menggunakan kuesioner dengan jumlah sampel sebanyak 29 orang. Hasil penelitian didapatkan hubungan yang signifikan antara kesehatan spiritual dengan tingkat stres dalam menghadapi pensiun pada pegawai Kantor Departemen Agama Surabaya. Persamaan dalam penelitian ini adalah pada desain yang digunakan yaitu potong lintang, sedangkan perbedaannya adalah pada instrumen yang digunakan, subyek penelitian dan tempat pengambilan sampel. Dalam penelitian tersebut menggunakan kuesioner kesehatan spiritual dan kuesioner tingkat stres yang sudah di modifikasi dan di validasi oleh penulis (2009), subyek penelitiannya adalah pegawai struktural Kantor Departemen Agama Surabaya dan tempat pengambilan sampel di Kantor Departemen Agama Surabaya, sedangkan dalam penelitian ini menggunakan kuesioner Tingkat Religiusitas dan BDI serta subyek penelitiannya adalah penderita kusta dan tempat penelitian di RSUD Kelet Jepara. Suyatno, DH (2010); Korelasi dukungan sosial dengan depresi pada survivor yang tinggal di rumah hunian sementara Desa Umbulhardjo Kecamatan Cangkringan Pasca bencana letusan Gunung Merapi Tahun 2010. Populasi pada penelitian ini adalah survivor letusan Gunung Merapi yang pertama kali
5
(gelombang pertama) tinggal di hunian sementara desa Umbulharjo kecamatan Cangkringan kabupaten Sleman. Sampel penelitian diambil secara acak sederhana. Variabel dalam penelitian ini adalah depresi, umur, jenis kelamin, status pernikahan, penghasilan, kehilangan anggota keluarga dekat, stresor psikososial berat, dukungan sosial dan tingkat religiusitas. Pada Variabel Tingkat Religiusitas tidak menunjukkan hubungan yang bermakna pada kejadian depresi subyek penelitian. Hal ini menurut penulis kemungkinan disebabkan karena sebagian besar subyek penelitian mempunyai tingkat religiusitas sedang (88%). Persamaan dalam penelitian ini adalah pada instrumen yang digunakan yaitu instrumen tingkat religiusitas dan instrumen depresi dengan Beck Depression Inventory (BDI) dan desainnya cross sectional, sedangkan perbedaannya adalah pada subyek dan tempat penelitian. Dalam penelitian tersebut subyek penelitiannya adalah survivor letusan Gunung Merapi yang pertama kali (gelombang pertama) tinggal di hunian sementara desa Umbulharjo kecamatan Cangkringan kabupaten Sleman, sedangkan dalam penelitian ini subyeknya adalah penderita kusta dan tempat penelitian di RSUD Kelet Jepara. Soewadi (2011): Hubungan antara gangguan stres pasca trauma dengan tingkat spiritualitas pada sipir dan warga binaan lapas cebongan Yogyakarta. Pada penelitian ini menggunakan rancangan penelitian crosssectional dengan desain deskriptif analitik terhadap sipir dan warga binaan yang ada di lapas cebongan. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya hubungan antara antara gangguan stres pasca trauma dengan tingkat spiritualitas pada sipir dan warga binaan lapas cebongan Yogyakarta. Persamaan dalam penelitian ini adalah pada desain yang digunakan yaitu potong lintang dan instrumen tingkat religiusitas, sedangkan perbedaannya adalah pada subyek penelitian dan tempat pengambilan sampel. Dalam penelitian tersebut subyek penelitiannya adalah sipir dan warga binaan lapas cebongan Yogyakarta dan tempat pengambilan sampel di lapas cebongan Yogyakarta, sedangkan dalam penelitian ini subyek penelitiannya adalah penderita kusta dan tempat penelitian di RSUD Kelet Jepara.
6