BAB I
Pendahuluan A. Latar Belakang Pembicaraan tentang politik menjadi sesuatu yang cukup menarik sekaligus menakutkan, bahkan dianggap berbahaya bagi banyak kalangan. Politik selalu terkait dengan penyingkapan kelakuan kurang etis, peraihan kemenangan dengan beragam cara, dan konsekuensi mengorbankan kepentingan orang lain. Banyak rahasia dan manipulasi dalam politik. Mengingat sifatnya yang sensitif, tidak semua orang bisa berbicara terbuka tentang sebuah tema yang memiliki konsekuensi politis serius. Orang cenderung hati-hati saat bicara kasus korupsi, pelanggaran HAM, manipulasi dan rekayasa angka dalam praktek kampanye presiden, maupun isu politis lainnya. Bentuk konkretnya terungkap dalam proses investigasi praktek jurnalistik berupa wawancara di media massa. Wawancara sebagai salah satu cara mengungkap fakta politik seringkali terkendala ketakutan dan kehati-hatian narasumber pemberi informasi (Laksono, 2010). Hal ini terjadi dalam praktek jurnalistik berwujud berita, investigasi, maupun tayangan hot news sebuah stasiun televisi. Wartawan seringkali tidak berhasil mengungkap informasi di balik fakta politis yang muncul. Membicarakan politik secara lugas masih dianggap kurang etis, apalagi secara gamblang menyebut nama dan perilaku sosok politisi tertentu. Kesulitan
mengungkap pengakuan narasumber politik paling tidak
dikarenakan dua aspek. Pertama, karakteristik personal dan kepribadian sang narasumber yang sangat terkait dengan kondisi emosionalnya. Narasumber enggan atau bahkan tidak mau memberikan keterangan (menjawab) pertanyaan sensitif yang diajukan. Kepribadian narasumber menjadi hambatan sekaligus juga peluang bagi seorang wartawan untuk mengungkap fakta. Beragam pengalaman wartawan di Indonesia membuktikan bahwa karakter dan personality narasumber akan berpengaruh besar dalam proses investigasi (Wibisono, 2009; Harsono,
1
2010). Kedua, sifat dan tema informasi yang ingin didapatkan memiliki tingkat sensitifitas politis yang cukup tinggi. Hal ini terkait tema-tema bermuatan politik menyangkut kepentingan banyak pihak. Mungkin kepentingan negara, atau berpengaruh pada kerugian posisi politis sosok narasumber. Dalam kondisi demikian, narasumber cenderung berhati-hati dalam menjawab pertanyaan. Atau memilih untuk diam. Proses pengungkapan informasi menjadi barang mahal (Nababan, 2009). Institusi media massa pun menyadari sepenuhnya kondisi tersebut (Siregar, 2002; Atmakusumah, 2009). Namun seiring dengan terbukanya ruang kebebasan dan perkembangan pemikiran manusia sebagai makhluk politik, fenomena di atas mengalami perubahan. Ragam kehati-hatian, ketakutan, dan kekakuan dalam relasi antara narasumber dan wartawan telah mengalami pergeseran. Bukti telah terjadinya pergeseran ini hadir dalam beberapa acara jurnalistik bertema politik serius, namun dikemas dalam format yang menarik dan dibumbui oleh nuansa entertainment. Orang menyebutnya talk show. Secara spesifik, ini dikenal dengan nama talk show politik. Temanya tentang isu politik serius, namun dibahas dalam bentuk dan format hiburan. Fakta penyatuan dua unsur (serius dan menghibur) dalam sebuah program acara talk show ini, menghadirkan anomali atas aspek manifestasi teks di satu sisi, dan aspek representasi kepentingan di sisi lain. Anomali pertama, dalam sebuah tayangan talk show, narasumber atau tamu (guest) yang membicarakan tema politik akan dikondisikan sedemikian rupa agar bersedia menjawab pertanyaan-pertanyaan sensitif. Terkadang hal itu berlangsung tanpa disadari narasumber. Gaya bertanya sosok host yang terkesan tidak memojokkan, menghindari straight to the point untuk menanyakan hal yang sensitif, atau mengambil posisi sebagai pihak ketiga yang netral, akan membuat narasumber (guest) tergiring dalam sebuah narasi yang ‘lepas’ dan tanpa beban untuk bercerita. Termasuk kemudian tanpa sengaja justru menceritakan bagian tertentu yang tabu untuk diungkap ketika diwawancarai oleh wartawan hot news, atau pada acara berita konvensional lainnya. Proses pengungkapan fakta yang diasumsikan sulit karena kendala emosional narasumber, akhirnya teratasi karena
2
sifat percakapan santai dalam format talk show. Pada titik ini, sajian talk show menghadirkan bukti-bukti unik dalam kaitannya dengan dunia politik. Di Amerika, Phil Donahue Show menjadi fenomenal karena berani menampilkan isu serius dalam format santai (Lusia,2006). Larry King memperoleh nama besar karena kemampuannya memengaruhi opini publik melalui jaringan CNN (King, 2009). Hal yang sama terjadi pula pada The Oprah Winfrey Show. Di Indonesia, kita mengenal popularitas Wimar Witoelar, pembawa acara talk show “Perspektif” di SCTV. Dia menggunakan talk show sebagai panggung untuk mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah, dan situasi sosial dan politik negara pada waktu itu. Fakta dan dinamika beberapa talk show populer di atas, menjadi bukti bahwa format dan gaya sajian talk show televisi bisa digunakan untuk menyiasati kompleksitas proses penyampaian isu-isu politis yang tak bisa diungkap dalam acara berformat berita (news). Talk show menjadi pintu masuk untuk mengungkap informasi politik sensitif. Seiring dengan itu, benturan kepentingan secara politis mudah terwacanakan secara terbuka di panggung talk show. Fakta ini menunjukan bahwa talk show telah dipakai sebagai media untuk menyuarakan kepentingan politik secara unik. Anomali kedua ditandai dengan semakin eratnya hubungan antara talk show dengan dunia politik. Pemanfaatan talk show sebagai medium penyampaian ide dan gagasan politis secara manipulatif, sering dilakukan dalam bungkus rupa humanis seorang tokoh politik. Terjadi pemanfaatan talk show untuk membentuk gambaran positif seorang tokoh politik. Fenomena politik abad 21 telah menempatkan talk show sebagai medium bagi tokoh politik yang ingin mencapai posisi politik tertentu, dan menyampaikan ide-ide politiknya. Di Amerika, setiap calon presiden selalu diminta untuk tampil menyampaikan berbagai gagasan politiknya dalam acara talk show. Tak jarang, debat politik para kandidat juga digelar dalam format talk show (Maarek,2011). Kiat itu menjadi salah satu strategi yang diperhitungkan dalam program kampanye (Sabato,1981). Keberhasilan beberapa presiden di AS memenangkan kompetisi, biasanya tak lepas dari campur tangan program talk show sebagai instrumen
3
pembentuk citra dan pendongkrak popularitas (Glynn,2000). Di Indonesia, hajatan Pemilu Presiden selalu diramaikan dengan acara bincang-bincang calon presiden (dan tim suksesnya) dalam beberapa program talk show. Apa yang terjadi di Amerika telah terjadi pula di Indonesia. Masuk dan berkelindannya kepentingan politik dalam sebuah acara talk show menampilkan keunikan tersendiri. Dengan kata lain, program talk show telah dimanfaatkan untuk kepentingan politis sosok tertentu. Meskipun rata-rata program director acara talk show stasiun televisi meletakkan standar operational procedure (SOP) yang ketat dalam proses produksi, namun sangat dimungkinkan terjadi penyusupan ide dan pesan-pesan politis melalui lakon manipulatif penampilan tokoh politik. Pada titik ini entah disadari atau tidak, talk show tidak bisa dilihat sebatas format program televisi an sich. Talk show memiliki nilai berbeda dibanding acara berita maupun program jurnalistik biasa. Sepanjang proses berjalannya acara, sang tokoh politik telah memanfaatkan bincang-bicang santai talk show untuk ‘menonjolkan’ segala kebaikan dan daya jual dirinya sebagai sebuah tindak politis. Alih-alih tokoh politik bersangkutan dimanfaatkan oleh sebuah stasiun televisi untuk tujuan pencapaian rating, bahkan bisa pula untuk mencapai tujuan ideologis, ternyata melalui program itu, sang tokoh politik telah ikut pula memanfaatkan panggung talk show demi kepentingan diri dan kelompoknya. Terjadi simbiosis mutualisme. Melalui durasi panjang percakapan dalam talk show, sang tokoh politik dengan lihai memainkan peran
untuk
“menjual diri” berikut gagasan politiknya. Fenomena ini menarik untuk dicermati. Gaya sajian unik talk show sebagai sebuah program politik berdimensi entertainment, telah disusupi kepentingan politis manipulatif sang narasumber (guest). Pada titik terjadinya penyusupan kepentingan politis ke dalam sajian program televisi bernuansa entertainment di atas, terjadilah pembalikan makna politik sebagai sesuatu yang tadinya serba serius menjadi sekadar permainan. Menariknya, pembalikan ini tidak serta merta dianggap negatif oleh sebagian kalangan. Salah seorang tokoh yang melihat aspek permainan dalam politik
4
sebagai suatu hal yang intrinsik dan positif adalah Johan Huizinga (1872-1945). Sejarawan Belanda ini mencatat bahwa abad 19 dan seterusnya adalah sebuah rentang abad di mana aspek-aspek serius dalam kehidupan manusia telah bergeser menjadi sebuah permainan. Menurut Huizinga, manusia selaku aktivis politik telah mengubah perspektif dalam melihat keseriusan makna politik menjadi permainan. Dia menyebut fenomena ini sebagai homo ludens (manusia bermain). Dalam perkembangan kebudayaan, segala sesuatu yang tadinya dianggap sebagai keseriusan telah dibentuk, dan disampaikan dalam format permainan. Beragam aspek kehidupan seperti hukum, perang, dan sastra terbukti telah memeraktekan unsur-unsur permainan. Dalam konteks permainan itulah, menurut Huizinga terdapat dua unsur utama yang menjadi elemen penyusunnya. Di satu titik, permainan merupakan sebuah proses dari upaya memenangkan persaingan (kontestasi) agar keluar sebagai pemenang. Di titik lain, permainan merupakan serangkaian upaya mempertunjukan segala sesuatu sedemikian rupa agar terlihat lebih baik (representasi). Sebagai sebuah fenomena budaya kontemporer, menurut saya talk show telah menunjukkan apa yang disinyalir oleh Huizinga tersebut. Hingga saat ini, penyampaian gagasan politik yang biasanya muncul dalam keseriusan, kekakuan, dan ‘jaim’ (jaga image) para aktor politik dalam menyampaikan gagasan mereka, telah berubah sedemikian rupa ketika mereka dihadirkan dalam perbincangan berformat talk show. Saya memiliki asumsi bahwa mempelajari program talk show merupakan pintu masuk untuk memahami naluri permainan manusia modern, seperti uraian Huizinga dua abad silam. Ini artinya, melalui kajian atas isi (content) format program ini, dimungkinkan untuk memetakan ekspresi luapan insting permainan yang disesuaikan dengan berbagai kepentingan. Termasuk kepentingan politik. Mempelajari kompleksitas isi talk show adalah upaya mencari penjelasan tentang realitas masyarakat politis kontemporer dalam era audio visual. Menariknya, belum banyak kajian tentang kompleksitas talk show sebagai fenomena sosial politik. Meskipun faktanya acara ini memiliki konsekuensi serius atas kehidupan masyarakat melalui pembentukan opini publik. Hemat saya, pandangan keilmuan
5
yang melihat talk show sebatas aktivitas bercakap-cakap (talking) semata, telah menjadi ‘pintu penghalang’ untuk meneliti fenomena ini sebagai sebuah objek studi. Demikian pula halnya disiplin Sosiologi. Bentuk empirik sebuah talk show adalah percakapan santai yang diformat menjadi program acara di media massa (Tolson,2006; Wood,2009). Menelisik percakapan secara teoretik sebagai konsep kunci program talk show menjadi menarik untuk dilakukan. John Scott (2011), menegaskan bahwa sosiologi melihat percakapan sebagai kapasitas unik manusia dengan menggunakan bahasa yang membedakan mereka dengan binatang. Namun sayangnya, pengakuan atas kompleksitas percakapan sebagai topik analisis yang cukup serius ini tidak diikuti ketertarikan penelitian lebih lanjut oleh para sosiolog. Menurut Scott, sosiologi cenderung melihat percakapan sebagai sebuah hal yang sepele. Kecuali dalam kapasitas percakapan sebagai alat untuk mencari tahu fenomena sosial yang berskala lebih besar, seperti kelas sosial, jenis kelamin, atau penyimpangan lain yang diperoleh melalui hasil wawancara.1
Tekanan sosiologi bukan pada
dinamika interaksi yang terjadi ketika wawancara berlangsung, melainkan lebih berfokus pada hasil wawancara sebagai unit analisis. Studi percakapan diperlakukan sebagai sarana bagi tindakan sosial yang termanifestasi dalam metode khas mengeksplorasi pengambilan giliran untuk bicara (turn-taking) dan
1
Dalam ranah sosiologi, perhatian terhadap percakapan sebagai fenomena ilmiah dilakukan dalam tradisi conversation analysis (CA) yang populer di ranah sosiologi era 1960-an. Banyak penulis menamakan pendekatan itu sebagai Etnometodologi. Berakar dari Alfred Schutz dan Herbert Blumer, dua tokohnya yang populer adalah Harold Garfinkel, dan Erving Goffman. Prinsip utama CA meyakini bahwa percakapan biasa bukanlah hal sepele, acak, atau sekadar fenomena yang tidak terorganisasi. Meskipun selama ini tidak begitu menjadi perhatian sosiologi, bagi CA, percakapan merupakan praktik tindak sosial yang terorganisasi secara struktural. Perkembangan zaman dan teknologi ternyata memungkinkan eksplorasi lebih jauh atas struktur percakapan tadi melalui penggunaan rekaman audio dan video. Setelah berwujud rekaman, peristiwa yang berlangsung secara alamiah tadi dapat dilihat dan diamati berulang-ulang, ditranskrip dan dianalisis secara mendalam. Melalui keterlibatan atas tema, objek bicara, yang sedang diperbincangkan, maka keterlibatan aktor di dalam rekaman itu bisa dianalisis. Analisis percakapan itu kemudian menjadi pendekatan yang unik untuk mempelajari perilaku manusia. Studi tentang percakapan semakin menarik perhatian. Bergerak lebih jauh dari sekadar studi bahasa dan struktur di dalam proses percakapan, Andrew Tolson menawarkan tiga pendekatan dalam mempelajari percakapan, khususnya percakapan yang terjadi dalam media massa (media talk). Tiga pendekatan itu adalah Conversation Analysis (CA), Gricean Pragmatics, dan Interactional Sociolinguistics. Lebih lanjut baca Andrew Tolson, 2006, Media Talk: Spoken Discourse on TV and Radio, Edinburgh: Edinburgh University Press, Ltd, hal. 24-53.
6
proses organisir aktivitas yang ditemukan dalam situasi-situasi khusus seperti pengadilan, ruang kelas, perbincangan dalam wawancara radio dan televisi, operasi dokter, pidato politik, dan sebagainya. Sebagai bidang ilmu yang mencermati interaksi sosial, sosiologi melihat percakapan dalam pemahaman reduksionis. Di satu sisi, pembacaan sosiologis atas fenomena percakapan mudah sekali terjebak pada kesimpulan umum atas struktur yang melingkupi percakapan. Untuk kemudian menyimpulkannya pada aspek makro di masyarakat. Hal ini terjadi karena disiplin sosiologi cenderung hanya melihat masyarakat dalam konteks yang luas. Percakapan sebagai tindak praktis individu dan personal, dianggap terlalu sederhana untuk dianalisis. Di sisi lain, upaya etnometodologi sebagai bagian dari sosiologi untuk melihat dinamika percakapan, dianggap terlalu berorientasi pada aspek teknis bahasa dan praktek bicara (adjacency, turn-taking, dan sequencing) semata. Ayunan pendulum ekstrem kedua sisi di atas berakibat serius. Percakapan menjadi objek kajian yang tidak populer dalam sosiologi. Padahal sebagai sebuah fenomena, percakapan memiliki efek serius terhadap interaksi manusia. Terlebih fenomena percakapan yang telah termediasi di media massa. Ini muncul seiring dengan fenomena dan dinamika media massa abad 20 yang meniscayakan hal itu. Keberadaan
televisi
sebagai
media
massa
berselimut
ideologi
menghadirkan fenomena yang tidak hanya bisa ditelaah dengan menggunakan pendekatan-pendekatan sosiologis konvensional semata. Jika fenomenanya telah berkembang sedemikian rupa, maka ‘alat baca’ dan kerangka konseptual untuk memahaminya selayaknya berkembang pula. Fenomena masyarakat riil yang selama ini menjadi objek kaji sosiologi, telah bergeser dan mengalami kompleksitas sedemikian rupa seiring dengan hadir dan menguatnya peran media massa.
Masyarakat
abad
20
dan
21
adalah
masyarakat
termediasi
(Friedman,2006). Mempelajari masyarakat kontemporer bisa dilakukan dengan mencermati kehidupan termediasi mereka (Tolson, 1996; Jenkins,2006; Bennett,2011). Beragam sisi kehidupan masyarakat telah disajikan melalui media
7
massa. Melalui pembacaan seksama atas isi media, kita akan mengetahui fenomena dan problematika masyarakat di dunia nyata. Fenomena masyarakat kontemporer, seperti yang diungkapkan Douglas Kellner (1995) senantiasa menuntut pemetaan dan pemetaan ulang (constan mappings and remappings) karena seringkali mengalami perubahan dengan cepat. Agar mampu memahami dan menjelaskan perubahan itu, teori-teori sosial sudah seharusnya memiliki apa yang disebut Kellner sebagai teori sosial multiperspektif dan kajian budaya media (multiperspectival social theory and media cultural studies). Talk show sebagai salah satu format program televisi adalah wujud nyata praktek tindakan sosial (social act) percakapan yang termediasi. Berbagai bidang studi memang telah melihat talk show sebagai kajian menarik dalam berbagai tema. Keberadaannya tidak lepas dari ideologi yang mendasari produksi pesan acara
televisi
sebagai
varian
kompleksitas
media
massa.
Mempelajari
kompleksitas ideologi media massa (berbentuk cetak, audio, dan audio visual) dalam konteks relasi antara ranah produksi pesan dan konsumsi pesan telah cukup banyak dilakukan. Di sisi lain, talk show sebagai sebuah program televisi dianggap mewakili kepentingan ekonomi politik stasiun televisi. Efek yang ditimbulkan media massa televisi telah pula dikhawatirkan dan ditulis dalam berbagai landasan konseptual. Sangat disayangkan bahwa upaya mengelaborasi kompleksitas dan dinamika percakapan yang terekam pada sebuah program talk show televisi masing jarang dilihat dari perspektif konseptual teoretik keilmuan. Sosiologi yang memiliki perhatian khusus pada fenomena interaksi manusia, sudah seharusnya lebih serius menjadikan media massa sebagai sarana (medium) interaksi tersebut. Faktanya, kajian sosiologi media masih kurang diminati secara serius dalam tradisi keilmuan sosiologi. Termasuk kajian terhadap talk show di dalamnya. Di tengah masih kurangnya perhatian atas aspek percakapan sebagai sebuah kajian serius, studi ini berupaya memberikan jawaban ’alternatif’ atas percakapan sebagai sebuah tindak sosial (social action) dalam fenomena masyarakat modern. Mengingat objek studi saya adalah tentang percakapan (talk
8
or conversation), saya mencoba mengusulkan sebuah perspektif baru untuk mengkaji percakapan secara lebih komprehensif. Isunya bahwa percakapan yang sepintas terlihat sebagai tindak praktis sederhana, di dalamnya ternyata mengandung esensi kontestasi dan representasi kepentingan politis yang sangat substantif dalam kehidupan manusia. Percakapan yang diformat dalam skenario acara televisi bernama talk show, telah menghadirkan substansi politik serius ke dalam manifestasi permainan yang secara unik menguntungkan banyak pihak. Inilah fenomena narasi homo ludens di abad modern. Untuk ‘membacanya’ dibutuhkan studi komprehensif dengan memokuskan objek studi. Asumsi utama saya adalah bahwa realitas percakapan termediasi dalam talk show telah berjalan dengan prinsip homo ludens yang melihat politik sebagai sebuah permainan. Yang menarik, pembacaan atas sejarah talk show, sedikit banyak telah membuktikan asumsi tersebut. Dalam konteks kemampuan untuk melakukan pembalikan unsur serius menjadi sebuah permainan politik, cerita sejarah talk show di Amerika telah mengafirmasi hal itu. Program itu terbukti ampuh sebagai medium penyampaian gagasan dan manipulasi penampilan seorang tokoh politik (Livingstone & Lunt, 1994). Termasuk di Indonesia. Program Kick Andy-MetroTV menjadi salah satu fenomena talk show yang bisa dibaca dalam konteks fenomena homo ludens di atas. Dalam konteks penyajian program di layar kaca, program ini mengubah format serius dan kaku dari acara jurnalistik konvensional menjadi format santai bercakap-cakap. Meskipun tema pembicaraan begitu serius, namun proses percakapan dikemas dalam suasana santai. Di dalamnya terjadi praktek asosiasi bebas yang menarik.2 Inilah yang disebut Johan Huizinga sebagai unsur ‘bermain’ (ludik) yang memang sudah melekat (intrinsik) pada diri manusia.
Bentuk
konkret dari unsur ludik dalam talk show menciptakan atmosfir komunikasi yang
2
Asosiasi bebas adalah istilah yang dilekatkan pada mazhab psikoanalisis Sigmund Freud (1856-1939). Dalam melakukan terapi untuk pasiennya, Freud akan memberikan satu pertanyaan kepada pasiennya lalu membiarkan pasien tersebut untuk menjawab sebebas dan sebanyak mungkin. Terkadang jawaban menjadi melebar tidak fokus. Namun dari kecenderungan pelebaran jawaban itu, Freud bisa memberikan analisis atas kondisi kejiwaan pasien. Lebih lengkap tentang hal ini baca Sigmund Freud, (1998). The Interpretation of Dreams, HarperCollins Publishers, New York.
9
‘nyaman’ antara host dan narasumber.3
Narasumber yang biasanya sangat
tertutup dan hati-hati saat membicarakan tema menyangkut kepentingan politis, cenderung berubah saat tampil dalam talk show Kick Andy. Banyak informasi dan fakta politik kemudian tersingkap saat narasumber berkata lugas, apa adanya dalam talk show tersebut. Ambil contoh Megawati Soekarno Putri. Sosok ini terkesan serius, jarang mau berlama-lama dan cenderung menjawab wawancara dengan kalimat-kalimat pendek saja. Saat tampil menjadi nara sumber dalam Kick Andy, ternyata Mega menunjukan sikap yang berbeda. Dalam sebuah episode Kick Andy, Megawati bahkan meladeni pembicaraan lebih dari dua jam.4 Segala ‘kenakalan’ pertanyaan Andy Noya dijawab dengan santai oleh Megawati. Diakui banyak pihak, ini jarang terjadi. Megawati seolah menjadi sosok baru yang begitu berbeda dengan kehidupan dan karakter pribadinya sehari-hari.5 Muncul dugaan, bermuara tudingan,
Megawati memainkan peran mengubah
tampilan kepribadian, karena ada agenda politik di dalamnya. Di sisi lain, fakta produksi episode Mega tadi juga menimbulkan prasangka bahwa Kick Andy memiliki “agenda” tertentu secara politis dalam konteks pemilihan presiden saat itu.
MetroTV melalui program Kick Andy dianggap tidak netral. Meski tim
produksi Kick Andy bekerja dengan standar produksi (SOP) yang ketat untuk episode tersebut, tetap saja banyak pihak menuding adanya rekayasa.
3
Istilah ‘ludik’ (ludic) saya peroleh dari penelitian William Stephenson (1967) tentang perilaku para pembaca surat kabar dalam memberi perhatian pada bagian-bagian berita yang tengah mereka baca. Tidak ada struktur yang teratur dalam proses itu, mata audiens cuma bergerak secara bebas pada kolom, tulisan, atau pada rubrik. Inilah yang disebut ludik oleh Stephenson. Lebih lengkap bisa dilihat pada William Stephenson (1967), The Play Theory of Mass Communication, The University of Chicago Press, Chicago. Namun ide awal ludik berasal dari frase Homo Ludens yang dikemukakan Johan Huizinga. Saya akan uraikan pemikiran Huizinga tentang konsep ini pada bagian kerangka teori di hal. 22. 4 Khusus untuk episode Megawati tersebut, Kick Andy bahkan menayangkannya dalam dua episode berturutturut. Episode pertama berjudul “Megawati Bicara” ditayangkan Jum’at, 19 Desember 2008, dilanjutkan seminggu kemudian dengan judul “Megawati Bicara Episode 2”, tayang pada Jum’at, 26 Desember 2008. Nampaknya Kick Andy merasa sayang untuk membuang bagian-bagian penting dari bicara Megawati sehingga harus menampilkannya dalam dua episode berturut-turut. 5 Dalam episode “Cerita di Balik Layar” yang ditayangkan tanggal 1 Januari 2010, Andy Noya menceritakan tentang suka duka, tantangan, berikut konsistensinya dalam mempersiapkan, membujuk, mengelaborasi, dan menjaga perasaan tamu yang diundang. Terlebih untuk tema dan isu-isu sensitif dengan tamu yang unik. Ambil contoh saat mendapatkan konfirmasi melalui Pramono Anung (PDI-P) bahwa Megawati bersedia tampil di Kick Andy, Andy Noya sangat excited. Dia sudah menunggu dua tahun untuk itu. Namun saat ada kecenderungan diharuskan mengikuti ‘skenario’ tertentu untuk bertanya tentang ini dan itu yang tertuang dalam pendiktean interview guide, Andy Noya dengan tegas menolak. Sekalipun taruhannya adalah Megawati tidak akan tampil menjadi tamu di Kick Andy. Ternyata sikap ini dihargai oleh Megawati, lalu beliau bersedia tampil ‘apa adanya’ pada dua episode berturut-turut tanggal 19 dan 26 Desember 2008.
10
Di titik lain, kehadiran dan penampilan Megawati yang begitu ‘berbeda’ dari keseharian juga patut untuk dicurigai. Dalam kaitannya sebagai manusia bermain (homo ludens) interaksi antara Andy Noya sebagai host (pembawa acara) dan Megawati sebagai narasumber (guest) telah tersaji sebagai paket pembalikan keseriusan menjadi permainaan. Fakta ini menarik untuk ditelisik dalam konteks beragam kepentingan politis yang melekat pada representasi diri Megawati sebagai sebuah contoh. Pada titik lebih jauh patut dicurigai dan penting untuk ditelaah kepentingan setiap tokoh politik yang memanipulasi performa diri mereka sebagai sebuah aset dan “daya jual” pribadi untuk menaikan popularitas politik. Bongkaran atas asumsi di atas bisa dilakukan dengan melihat talk show sebagai sebuah percakapan bermuatan idiologis dan politis yang dihadirkan dalam skenario tertentu. Upaya untuk menelaah berbagai kepentingan dan kenyataan adanya ’permainan’ karakter seseorang dalam talk show itu membutuhkan sebuah metode baru. Sebuah metode yang bisa menelusuri berbagai peran yang tengah disajikan para aktor talk show (baik guest maupun host). Untuk itu, talk show harus dilihat sebagai sebuah rangkaian cerita (story) dengan narasi dan plot tertentu. Di dalam memainkan plot dan peran dalam narasi itulah, setiap pihak yang terlibat di dalam program talk show (guest, host, dan penonton) diharuskan memainkan peran (role) dan karakter tertentu. Tujuannya, agar talk show menjadi sebuah program yang enak, nyaman, dan layak ditonton. Meskipun di dalamnya tersembunyi begitu banyak kepentingan, yang bisa saja sangat serius dan memiliki nilai substantif. Karakter yang muncul dalam diri setiap pihak yang terlibat di panggung talk show, bisa jadi adalah karakter yang secara sadar dimunculkan karena tuntutan keharusan posisi politisi. Namun sangat dimungkinkan pula karakter itu muncul begitu saja tanpa disadari sosok bersangkutan. Mempelajari ragam konsistensi dan inkonsistensi karakter yang muncul dalam tayangan talk show menjadi sangat menantang untuk dilakukan. Terlebih dalam sebuah disiplin keilmuan. Sosiologi media, sebagai sebuah kajian tentang interaksi manusia, sudah seharusnya memberi kontribusi pemikiran dan aplikasi analisis atas dinamika isi media ini. 11
Dalam kaitan mengelaborasi talk show sebagai objek kajian dan telaah ulang teori-teori percakapan (etnometodologi) dalam sosiologi, penelitian ini berupaya memberikan perspektif baru untuk memahami dinamika posisi politis seseorang, melalui fungsi karakter yang muncul dalam rangkaian gambar pada beberapa episode bertema politik . Upaya mengelaborasi isi dan realitas teks talk show Kick Andy-MetroTV itu, menjadi sebuah langkah sederhana untuk ‘menghidupkan’ kembali kajian percakapan termediasi dalam disiplin sosiologi. B. Rumusan Masalah Berdasarkan pemahaman atas beberapa hal menarik terkait unsur permainan yang termanifestasi dalam bentuk percakapan pada program talk show Kick Andy di atas, maka masalah penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana manifestasi ‘ludik’ serta aspek-aspeknya terdapat dalam sajian talk show bertema politik pada talk show Kick Andy-MetroTV ? 2. Sejauh mana fungsi-fungsi karakter dan fungsi aspek naratif lainnya dari host, guest, dan penonton pada tayangan talk show Kick Andy-MetroTV bertema politik telah dimunculkan dalam bingkai kepentingan kontestasi dan representasi politis yang melatarbelakangi aspek ”ludik”? Rumusan pertanyaan di atas mengandung dua isu utama. Pertama, terkait dengan makna bahasa gambar (visualisasi) yang dimunculkan sebagai sebuah narasi dalam program talk show televisi. Koherensi makna gambar yang ada dalam tayangan inilah yang saya yakini sebagai manifestasi ‘ludik’. Isu ini menyangkut pemahaman atas teks, artinya sebuah tatanan dan susunan teks yang memiliki cerita, arti dan makna tertentu. Kedua, terkait adanya fungsi karakter dan aspek naratif lainnya yang muncul dalam talk show Kick Andy-MetroTV. Aspek naratif lain yang dimaksud adalah aspek naratif yang akan memperkuat kemunculan fungsi karakter dari host, guest, dan penonton. Secara khusus adalah sound, focalisation, dan cohesion. Fungsi karakter ini muncul dalam bahasa gambar, baik disadari maupun tak disadari oleh host, guest, dan penonton diyakini berada dalam sebuah fungsi tertentu dalam koridor kontestasi dan representasi sebagai elemen dasar dari berlangsungnya fenomena ‘ludik’.
12
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk mencapai tujuan sebagai berikut : 1. Mendeskripsikan, menguraikan, dan melakukan analisis atas manifestasi dan aspek-aspek “ludik” yang terdapat dalam talk show Kick Andy-MetroTV dengan tema politik. 2. Menguraikan, mengelaborasi, dan menganalisis sejauh mana kepentingan kontestasi dan representasi telah menjadi dasar kemunculan fungsi-fungsi karakter dan aspek naratif lainnya pada sosok host, guest, dan penonton, dalam panggung talk show Kick Andy-MetroTV sebagai manifestasi aspekaspek “ludik”.
D. Kajian Pustaka: Studi Sebelumnya Bagian ini akan menguraikan dua hal terkait penelitian-penelitian sebelumnya tentang prinsip homo ludens dan talk show.
Pertama, akan
menguraikan beberapa penelitian yang menjadikan asas homo ludens sebagai dasar pijakan dalam melihat fenomena. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya memberi gambaran tentang dinamika gagasan Huizinga sejak dicetuskan hingga muncul sebagai dasar analisis fenomena kontemporer. Kedua, menguraikan beberapa penelitian talk show yang menjadi patokan dalam melihat studi-studi atas talk show yang pernah dilakukan sebelumnya. Kedua bagian tersebut berisi upaya untuk memaparkan keunikan dan nilai kebaruan (heuristic) yang ditawarkan oleh penelitian ini. Saat kebanyakan peneliti memperhatikan aspek bermain sebagai sebuah kesenangan dan perilaku bebas, penelitian
Nassim
Nicholas Taleb (2006)
menunjukkan bahwa pada transaksi dan perlombaan permainan saham di Wall Street justru menunjukkan sebuah orientasi yang sangat bermanfaat dan terukur secara ekonomi. Bahkan pada sisi terjauh, aspek-aspek ludik yang terjadi dalam permainan (games) mencari untung di Wall Street memberikan daya dorong pada kehidupan ekonomi. Meminjam pemikiran homo ludens Huizinga, Taleb
13
berkesimpulan bahwa dalam permainan Poker sekalipun, terkandung semangat ekonomis meskipun dilakukan dengan cara-cara ludik. Taleb lebih jauh menyebutnya dengan ludic fallacy. Berdasarkan pemahaman atas ludik ini, Taleb menyebutkan bahwa sesudah Huizinga terdapat dua sosok lagi yang mendasarkan pemikiran mereka pada aspek ini. Yang pertama adalah Roger Caillois yang menulis buku “le jeu et les Hommes” yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi “Man, Play and Games” (1961). Buku ini menjelaskan prinsip Caillois bahwa banyak struktur sosial dalam masyarakat terbangun dan bisa dianggap sebagai bentuk-bentuk perlombaan (games), dan banyak perilaku menjadi bentuk sebuah permainan (play). Sosok kedua adalah Mihai Spariosu dengan bukunya “Dyonisius Reborn” (1989) yang memiliki keyakinan bahwa aspek permainan dan dimensi astetik terjadi dalam dunia filsafat modern dan wacana keilmuan. Menurutnya filsafat merupakan kontestasi pemikiran untuk terus berusaha menemukan kebenaran, hal yang sama juga terjadi pada perkembangan ilmu. Keduanya merupakan manifestasi kontestasi untuk mencari jawaban terbaik. Dalam studi media massa, pemikiran dan model homo luden dari Huizinga digunakan oleh William Stephenson (1967) dalam melihat bagaimana aktivitas menggunakan media dalam diri audiens lebih menekankan pada aspek bermain (play). Menurutnya, orang membaca surat kabar, majalah, lalu juga terlibat dalam menonton film dan televisi, mendengarkan radio, serta mendengarkan produk rekaman, tak pernah lepas dari semangat kesenangan. Aktivitas yang menggembirakan (enjoyable). Terkait dengan media digital, pemikiran ini digunakan oleh Watters dan Shepherd (1997) dalam menganalisis pola akses pembaca newspaper broadsheet. Mereka sampai pada kesimpulan bahwa pola membaca khalayak lebih banyak dipandu oleh ludenic atau teori bermain (play theory). Selain studi media massa, prinsip-prinsip bermain yang diberikan Huizinga telah banyak digunakan sebagai dasar melakukan penelitian di bidang media interaktif (komputer). Diantaranya dilakukan untuk melihat interaksi yang terjadi antara para pengguna computer games. Gordana Dodig-Crnovic & Thomas
14
Larsson (2005) melihat bahwa permainan dan perlombaan menjadi basis dalam mengekspresikan diri seseorang pada computer game. Game ditemukan sebagai sebuah wujud komunikasi sebagai ekspresi seseorang dalam komputer. Setiap orang terlibat dalam proses kontestasi ketika bermain game di komputer. Di dalamnya terlibat suasana pertarungan antara baik dan buruk, benar dan salah, yang tidak harus ditemukan secara langsung dalam kehidupan sehari-hari para pemainnya. Semua aspek tadi bisa diperoleh melalui simulasi di computer game. Crnovic & Larsson menyimpulkan bahwa computer game bisa saja dipergunakan untuk memperkenalkan nilai-nilai moral melalui berbagai permainan di dalamnya. Hampir serupa, Graham Stanley & Kyle Mawer (2008) juga melihat bahwa game di komputer bisa digunakan sebagai alat literasi yang baik. Menurut mereka, mencermati game sebagai sebuah permainan tidak harus melalui sudut pandang negatif seolah game itu identik dengan ketidakseriusan. Justru aspek bermain yang terdapat dalam computer game bisa digunakan untuk menyampaikan bahanbahan pelajaran yang bermanfaat. Dari berbagai penelitian yang mendasarkan diri pada prinsip homo ludens di atas, terlihat bahwa prinsip homo ludens dipakai sebagai landasan berpikir untuk melihat manifestasi perilaku manusia. Kompleksitas dan dinamika perilaku itu dipahami sebagai energi penggerak motif manusia untuk melakukan sesuatu. Baik itu dalam realitas keseharian, maupun dalam konteks berinteraksi dengan media massa. Studi-studi tersebut tidak secara langsung bersentuhan dengan hakekat dan nilai filosofis dari homo ludens itu sendiri. Apa yang diteliti adalah relasi antara motif manusia dengan sesuatu di luar dirinya. Tekanan penelitiannya adalah melihat prinsip homo ludens dalam paradigma fakta dan perilaku sosial. Sedangkan makna bermain itu sendiri terlepas dari renungan filosofis para peneliti. Dalam melihat prinsip bermain atas perilaku nyata manusia, beberapa penelitian tidak melihat itu sebagai sesuatu yang memiliki kedalaman makna apaapa (meaningless). Yang menarik perhatian adalah manifestasi perilakunya. Untuk kemudian dibaca orientasi dan kegunaannya. Bukan makna dan proses keterjadiannya. Intinya, menurut saya penelitian sebelumnya tidak diorientasikan pada pencarian makna perilaku itu sebagai esensi kehidupan. Homo ludens dalam 15
penelitian ini tidak dimaknai dalam kerangka fungsi orientasi tindakan, melainkan dalam kerangka interaksionisme simbolik atas makna tindakan. Sementara itu, dalam mencermati prinsip bermain yang terjadi antara interaksi manusia dengan media massa, beberapa penelitian di atas melihat pada aspek relasi antara manusia baik sebagai audiens maupun users terkoneksi dan menikmati sajian media. Aspek yang dilihat adalah logika linear antara keunikan pesan media, dengan perilaku mengonsumsi media. Kompleksitas bermain yang terdapat pada isi pesan media itu sendiri luput dari perhatian para peneliti. Hal itu berlaku baik oleh Stephenson, Watters dan Shepherd, Crnovic & Larsson, dan Stanley & Mawer. Seiring dengan menguatnya kajian teks atas isi media massa, penelitian ini bermaksud untuk melengkapi aspek pemaknaan atas isi teks media yang belum sepenuhnya tersentuh oleh penelitian-penelitian yang sudah dijabarkan di atas. Sementara itu, terkait dengan studi tentang talk show, beberapa penelitian bisa dipaparkan. Sebuah studi oleh Media Matters for America dipublikasikan pada tanggal 14 Februari 2006 menggunakan studi analisis isi (content analysis) dalam melihat kecenderungan tamu yang diundang dalam acara Sunday Talks Show. Studi konten dilakukan pada rata-rata guest tiga stasiun televisi berbeda : ABC, CBS, dan NBC. Dengan melakukan analisis perbandingan atas siapa saja tamu yang diundang selama delapan tahun (1997–2005) studi itu berhasil membongkar bahwa selama rentang tahun tersebut ternyata bintang tamu yang diundang lebih banyak berasal dari partai Republik (atau minimal menyuarakan kepentingan partai Republik). Ini mereka sebut dengan bahasa kaum konservatif. Sebanyak 7000 bintang tamu yang hadir di acara tersebut dianalisis asal dan kecenderungan komentarnya menunjukkan (seperti dalam judul laporan itu) bahwa jika hari minggu, maka saatnya berpikir konservatif:”If it’s Sunday, It’s Conservative ”. Keberpihakan ideologi politik tiga stasiun televisi bisa dibaca lewat kehadiran (sekaligus keberpihakan) guest yang dihadirkan di studio. Penelitian content analysis dengan perspektif feminisme juga dilakukan oleh Barbra (2006) untuk melihat rangkaian perbedaan antara Oprah Winfrey
16
show (Oprah), Sally Jesse Raphael show (Sally), dan Jerry Springer (Jerry). Kesimpulannya, ketiga program itu memiliki kecenderungan berbeda dalam menyuarakan ras dan posisi wanita. Disamping itu ketiganya menunjukkan balutan nuansa hiburan (intertainment) yang dominan dalam pengemasan acara. Dengan menggunakan perbandingan atas data verbal dan data visual sebagai unit analisis dalam studi, Barbra menekankan pada kekuatan host dalam membawa audiens dan tamu dalam berbagai level personal dan sikap positif atas berbagai masalah sesuai tema yang diajukan. Analisis isi yang dilakukan menempatkan enam komponen sebagai unit perbandingan. Enam komponen itu meliputi panjang durasi siaran, bintang tamu, host, partisipasi audiens, penggunaan bahasa slang, dan kata-kata serius yang muncul selama acara talk show berlangsung. Keenam komponen itu ternyata memiliki kontribusi dan variasi untuk memojokan posisi wanita. Terkait relasi antara talk show dengan respon audiens, penelitian Frisby & Weigold (1994) menarik untuk dijelaskan. Penelitian dengan judul “Gratification talk” ini mencoba untuk mengetahui apa yang dipikirkan dan dirasakan audiens saat menyaksikan acara talk show di rumah mereka masing-masing. Menariknya, penelitian itu menemukan sisi berlawanan antara rasa meremehkan tamu-tamu program talk show dengan harga diri (esteem) mereka. Program talk show memberi ruang perbandingan bagi diri audiens dengan tamu yang diundang. Kesimpulan lain dari penelitian ini menunjukkan bahwa kebanyakan audiens merasakan manfaat-manfaat yang mereka peroleh dengan menyaksikan tayangan talk show di televisi.6 Sebelumnya pada tahun 1997 C.M. Fresby telah melaporkan pula penelitiannya tentang bagaimana talk show mampu meningkatkan rasa percaya
6
Penelitian ini dilaporkan pada Mass Communication and Society Division, Association for Education in Journalism and Mass Communication Convention, Atlanta, GA. Pada Agustus 2004. Penelitiannya sendiri dilakukan dalam dua tahap untuk benar-benar mengetahui respon audiens terhadap tayangan talk show televisi yang mereka saksikan. Selengkapnya bisa diakses di http://web.missouri.edu/~frisbyc/tv_talk_shows.html.
17
diri pada rata-rata pemirsa.7 Penelitian ini menggunakan mekanisme oposisi biner untuk mengukur rasa percaya diri dan memperbesar kepercayaan pada diri sendiri (self-enhance) seperti: perbandingan (upward vs. downward), rasa percaya diri (high vs. low), lalu waktu bersosialisasi (pre-social comparison opportunity vs. post-social comparison opportunity). Seluruh temuan itu menjadi desain untuk mengevaluasi
sikap
dan
perasaan
audiens
dengan
menggunakan
teori
perbandingan sosial. Sementara itu di Indonesia, penelitian tentang talk show menunjukkan sebuah ketertarikan terhadap genre program ini baik dalam konteks proses produksi maupun dalam konteks relasi dengan kehidupan sosial politik audiens. Terkait tentang sosok host dalam sebuah tayangan talk show, Amelita Lusia (2006) menulis tentang sosok Oprah Winfrey yang menjadi bintang melalui tayangan talk show. Penjelasan secara mendalam tentang ciri dan karakteristik Oprah Winfrey Show yang ditulis Lusia menunjukkan perbandingan antara acara tersebut dengan berbagai acara talk show serupa di seluruh televisi swasta Indonesia. Pada bagian akhir studinya, Lusia memberikan beberapa alasan mengapa pada program televisi di Indonesia belum pernah ada sosok host atau acara talk show yang mampu menandingi kepopuleran dan nilai kebermanfaatan seperti Oprah Winfrey Show. Salah satu yang menurutnya belum ditemukan pada program talk show di Indonesia adalah kemenyatuan antara kecerdasan, nalar, serta kepiawaian sosok host sekaliber Oprah dengan acara yang dibawakannya. Penelitian tentang host acara talk show juga menjadi tekanan dalam studi yang dilakukan Sumarni Bayu Anita (2007) dan Maria Retno Adhityasari (2008). Anita melalui pendekatan kualitatif mencoba mendeskripsikan berbagai manifestasi unsur humor dalam tayangan Empat Mata. Karakteristik dan gaya sang host acara, Tukul Arwana, menurutnya menjadi daya tarik talk show tersebut. Aspek yang sangat menonjol ditemukan dalam tayangan itu adalah
7
Penelitian Fresby tersebut berjudul "When Bad Things Happen: The Self-Enhancing Effect of Watching Television Talk shows”. Fresby menggunakan metode kuantitatif untuk mengukur beberapa perubahan yang dirasakan individu-individu setelah mereka mengikuti tayangan talk show.
18
kekuatan humor. Dengan mengambil empat episode sebagai unit analisis penelitian dalam kurun waktu 9 April – 9 Mei 2007, dia menarik kesimpulan bahwa unsur humor benar-benar kuat ditonjolkan dalam talk show Empat Mata. Dengan menggunakan panduan empat teknik-teknik dasar penciptaan humor dari Arthur Asa Berger (2005) yakni bahasa, logika, bentuk, dan gerakan, Anita menyimpulkan bahwa semua aspek humor itu terwakili dalam sajian tayangan Empat Mata. Sementara itu, dengan menggunakan analisis percakapan, Adhityasari (2008) melakukan penelitian atas bahasa spontan yang terjadi sepanjang tayangan Empat Mata. Menggunakan pendekatan kontekstual berupa analisis prakmatik, dia melihat bahwa dalam memandu acara Empat Mata, Tukul Arwana sebagai host banyak sekali melanggar prinsip kerjasama dalam bertata bahasa. Pola komunikasi lisan yang terjadi dalam talk show Empat Mata memberikan ruang terjadinya improvisasi. Beragam improvisasi itu menciptakan pelanggaran kesepakatan dan kerjasama dalam berbahasa. Ada empat pelanggaran yang ditemukan Adhityasari yakni pelanggaran maksim kuantitas, pelanggaran maksim kualitas, pelanggaran maksim relevansi (hubungan), dan pelanggaran maksim cara (pelaksanaan). Beberapa penelitian di atas berupaya menyingkap sisi menarik yang tersembunyi dibalik tayangan talk show dengan menggunakan beragam pendekatan. Berdasarkan unit analisis kajiannya, bisa dikategorikan dalam dua ranah besar. Pertama, riset-riset talk show yang berbasis penelitian teks atau deskripsi program lengkap dengan segala dinamika di dalamnya. Penelitianpenelitian itu umumnya menggunakan metode analisis teks seperti discourse, conversational analysis (CA), pragmatic, dan content analysis baik dalam perspektif kuantitatif maupun kualitatif.
Secara metodologis ini dinamakan
penelitian isi teks media. Kedua, riset-riset yang melihat relasi tayangan talk show itu dengan dinamika audiensnya. Riset dengan objek studi pemirsa tayangan ini, pada umumnya menggunakan metode survey, studi kasus, dan eksperimen. Ranah kajian bagian ini lebih berfokus pada aspek efek media pada diri khalayaknya.
19
Berbagai penelitian tentang talk show di atas pada dasarnya mencermati kompleksitas isi dan efek dari program bersangkutan. Penelitian yang saya lakukan ini bersifat melengkapi kajian-kajian tersebut. Terutama pada aspek kompleksitas dan dinamika isi (content) media. Pada satu sisi, kajian talk show di atas rata-rata menunjukan kegunaan praktis sebuah program televisi. Di sisi lain menunjukan aspek kompleksitas isi media yang dipercaya memiliki muatan ideologis tertentu. Menariknya, penelitian yang telah dilakukan sebelumnya belum memberikan sebuah pijakan filosofis atas talk show. Saya meyakini bahwa selain manfaat dan kompleksitas praktis sebuah tayangan, ada sandaran nilai filosofis yang menjadi pembeda sebuah talk show dengan format acara yang lain. Sekaligus juga menjadi pembeda antara nilai talk show yang satu dengan talk show yang lain. Sayangnya, penelitian tentang isi talk show terjebak pada sekadar menceritakan manifestasi isi tayangan tanpa menguraikan basis dinamika interaksi antar pihak yang terlibat dalam program itu sebagai sebuah kesatuan pesan. Latar belakang konteks percakapan (conversation) yang mendasari tingkah laku dan ‘posisi’ setiap aktor di dalamnya luput dari elaborasi penelitian. Latar belakang yang biasanya akan termanifestasi dari pilihan karakter seorang aktor sepanjang durasi tayangan talk show berlangsung. Mempelajari aspek-aspek unik dalam diri sang aktor (host, guest) saat mempresentasikan karakter ’sosok’ tertentu akan menjadi bagian menarik dalam mempelajari talk show. Di samping juga mengelaborasi fungsi-fungsi karakter yang tengah dimainkan dalam menunjang narasi sebuah talk show. Intinya, studi yang melihat talk show sebagai sebuah narasi terstruktur dengan keniscayaan memunculkan karakter-karakter tertentu di dalamnya, masih sangat jarang dilakukan. Inilah kontribusi penelitian yang saya lakukan. Hal yang paling mendasar dari berbagai penelitian tentang talk show di atas adalah daya dukung teoretik berbasis keilmuan yang sangat spesifik. Seperti diperlihatkan di atas bahwa kajian Media Matters for America, Barbra, dan Amelita Lusia, sangat kental sekali nuansa politiknya. Latar belakang konstelasi politik di Amerika Serikat membuat kajian mereka terfokus pada muatan politik dalam bentuk penyusupan kepentingan partai ke dalam acara televisi talk show. 20
Format acara ini dijadikan kendaraan politik menanamkan ideologi. Sementara itu penelitian yang dilakukan Frisby & Weigold, dan C.M. Fresby, menyumbangkan kajian psikologis yang menarik atas riset mereka terhadap talk show. Masingmasing studi berpijak pada bidang ilmu sendiri yang terpisah satu sama lain. Temuan mereka juga terbatas pada penjelasan fenomena bidang ilmu masingmasing. Dari semua kajian tadi belum ada penelitian sosiologis yang khusus memotret fenomena talk show. Tawaran penelitian saya adalah memberikan uraian aspek filosofis dengan menggabungkan dua pendekatan (sosiologis dan psikologis) untuk membaca makna isi talk show. Secara sosiologis, kajian ini akan mencermati
kompleksitas
konteks
politik
yang
mendasari
interaksi
(perbincangan) setiap sosok yang ada pada panggung talk show. Sementara pendekatan psikologis akan saya gunakan untuk mengelaborasi kompleksitas dan dinamika fungsi karakter (baca ‘kepribadian’) yang muncul pada diri orang perorang (baik guest, maupun host) sepanjang tayangan berlangsung. Hemat saya, kajian talk show akan lebih komprehensif jika didukung oleh lebih dari satu bidang keilmuan. Untuk itulah, studi ini mengupayakan gabungan dua bidang sekaligus untuk mengurai isi talk show sebagai kajian akademik. Sebagai sebuah manifestasi budaya, talk show akan saya lihat sebagai rangkai ungkapan insting kontestasi dan representasi. Interaksi dan percakapan antar aktor yang terjadi dalam rekaman program talk show akan saya lihat dalam perspektif sosiologis. Sementara itu kompleksitas karakter diri yang ‘dimainkan’ setiap orang dalam talk show, baik itu oleh host, guest, dan penonton akan dikupas dengan perspektif psikologis. Berbagai analisis menarik akan disampaikan studi ini menyangkut permainan peran dan interaksi antar aktor yang terbungkus dalam fungsi-fungsi karakter yang telah dibingkai oleh sebuah produk media massa abad 20 berformat talk show. Dari sudut pandang penggunaan bidang keilmuan yang digunakan, penelitian ini menawarkan sebuah cara pandang baru atas fenomena politik masyarakat yang terbingkai dalam sebuah ruang khusus bernama talk show (realitas sosial yang termediasi).
21
Secara metodologis, penelitian ini menawarkan sebuah analisis teks dengan menggunakan analisis naratif untuk melihat tayangan talk show sebagai sebuah narasi terstruktur. Di dalamnya terdapat ragam fungsi karakter dan fungsi naratif lain dari setiap tokoh untuk menjamin agar narasi berjalan sebagai sebuah tayangan media massa. Talk show sebagai sebuah program audio visual disajikan dalam rangkaian segmen dan scene yang memiliki pola serupa sepanjang durasi tayangan. Setiap segmen akan berjalan sejajar dengan narasi sebuah cerita. Di dalamnya ada pembukaan, pilihan tema, klimaks dalam pertanyaan kunci, lalu karakter yang dimunculkan setiap aktor dalam bungkus peran yang berbeda-beda. Unsur-unsur dramatis terbangun melalui dinamika pertanyaan dan jawaban yang tidak terduga dari pembawa acara (host) dan narasumber (guest). Sepanjang interaksi dan komunikasi yang terjadi antara host dan narasumber, muncul karakter tertentu pada diri pembawa acara dan juga narasumber. Karakter ini bisa jadi serupa dengan karakter dia sehari-hari, yang memang telah diketahui banyak pihak, atau bisa pula muncul karakter yang baru dan berbeda sesuai dengan kepentingan dan agenda politis yang direncanakan oleh keduanya. Pembacaan pola dan kemunculan karakter dari setiap narasumber, dan
pembawa
acara,
kemudian
ragam
kepentingan
dan
fungsi
yang
melatarbelakangi penampilan mereka akan menjadi fokus analisis penelitian ini. Pada intinya, karakter-karakter yang muncul baik disadari maupun tidak disadari memainkan fungsi tertentu agar acara talk show bisa berlangsung. Analisis naratif dalam upaya memaparkan fungsi karakter yang muncul dan dimunculkan dalam talk show ini pula yang secara metodologis membedakan penelitian ini dengan penelitian lain yang telah dijelaskan sebelumnya. E. Kerangka Teori Pada bagian ini saya akan mencoba mengembangkan sebuah kerangka teori dan pemikiran untuk mengidentifikasi dinamika talk show sebagai sebuah genre program televisi. Dinamika tersebut meliputi aspek isi tayangan dan implikasi kajian tentang talk show dalam ranah keilmuan.
Saya akan
mengawalinya dengan uraian Timberg (2002) tentang dinamika talk show yang
22
meliputi karakteristik, latar sosial politik, dalam kaitannya sebagai sebuah program televisi yang unik. Berdasarkan pemahaman itu saya akan mengurai basis asumsi saya tentang adanya karakteristik ‘ludik’ yang termanifestasi dalam narasi setiap tayangan talk show. Sebuah realitas manusia sebagai makhluk yang bermain (ludens), dan dipraktekan secara menonjol dalam dunia politik. Uraian atas realitas ludik itu akan didasari pemikiran Johan Huizinga (1950) tentang manusia sebagai makhluk bermain (homo ludens). Secara teknis, elaborasi realitas itu akan saya lakukan dengan memadukan pemikiran Erving Goffman (1959,1981), dan Andrew Tolson (2006) dalam membaca talk show sebagai realitas masyarakat termediasi. Dalam konteks masyarakat termediasi tersebut, saya mencoba mengaitkan antara esensi talk show sebagai sebuah panggung (stage) pertunjukan karakter manusia politik, dengan insting dan hasrat bermain mereka (ludens). Paparan bagian terakhir itu akan saya jadikan dasar untuk melihat relevansi konsep homo ludens sebagai prinsip dasar melihat makna tindakan sosial (social act) seseorang. Sebuah tindakan sosial yang saat ini termanifestasi di dalam berbagai format dan bentuk narasi media massa. 1. Talk show: Dinamika & Panggung Interaksi Manusia Saya akan mulai dengan dinamika talk show. Secara harfiah, talk show merupakan sebuah program televisi atau radio dengan sekelompok orang yang duduk bersama untuk memperbincangkan, mendiskusikan beragam topik, yang dicetuskan dan diungkapkan oleh seorang host (pembawa acara). Talk show di televisi bukanlah program yang orisinil karena mengadaptasi sepenuhnya gaya radio siaran, chatauqua, dan dunia teater (Timberg, 2007). Meskipun demikian, hingga hari ini talk show televisi telah begitu berpengaruh dan menciptakan budaya tersendiri yang begitu unik (Hume, 2007). Keunikan ini bisa dilacak ketika talk show dianggap sebagai produk jurnalistik televisi. Pada awalnya orang melihat televisi menjadi media jurnalisme yang unik, di saat mana gambar dan suara berpadu dengan efek maksimal pada khalayak. Prinsip jurnalisme ini kemudian diterapkan pada acara talk show. Ini yang membingkai definisi talk show sejak pertama kali menjadi fenomena isi media massa.
23
Sejak tahun 1950, penonton televisi di Amerika Serikat telah menganggap talk show sebagai sebuah sajian hiburan. Sebagai sebuah program televisi, program talk show memiliki tiga komponen dasar, yakni, studio televisi, host (pemandu acara), dan wawancara. Terkait dengan karakteristik yang dimiliki oleh talk show sebagai sebuah program televisi, Timberb (2002: 3-6) menyebutkan empat prinsip. Pertama, acara tersebut dibawakan oleh seorang host dan dibantu oleh sebuah tim yang bertanggung jawab atas materi, pengarahan, dan bentuk acara yang akan ditampilkan. Karakteristik host ini menjadi ciri khas utama yang menciptakan trademark dan mempunyai nilai jual. Kedua, dalam talk show terkandung esensi percakapan yang dianggap sebagai kejadian aktual dan tengah berlangsung saat itu (present tense). Artinya, meskipun program itu disiarkan secara live, rekaman, atau ditayangkan ulang, talk show selalu berupaya menjaga situasi kekinian. Situasi yang dibangun saat percakapan terjadi adalah situasi yang membicarakan problem “saat ini”. Kemampuan untuk mengangkat tema-tema aktual membuat talk show memiliki nilai keintiman tersendiri untuk mendekatkan host dengan problem yang tengah dialami audiens. Prinsip ketiga, talk show merupakan sebuah produk atau komoditi yang berkompetisi dengan produk atau program lainnya. Kenyataan bahwa program talk show adalah program yang laku jual di Amerika Serikat, membuat para host di negara ini menjadi seperti selebritis dengan penghasilan tidak kalah dengan para bintang film, pemain sepakbola, atau para desainer. Disamping itu, program talk show menciptakan mekanisme kerja dan prinsip dagang yang muncul dalam bentuk program sindikasi, pengemasan yang unik, dan penayangan serentak di beberapa stasiun jaringan. Prinsip keempat, program talk show merupakan kegiatan industri terpadu yang melibatkan berbagai profesi, mulai dari produser acara, penulis naskah, pengarah acara, penata rias dan rambut, dan pemasaran. Lebih dari 55 orang profesional terlibat dalam produksi Final Carson, meliputi penulis naskah, produser, desainer, koordinator grafis, penata gaya, dan teknisi lainnya. Menurut
24
catatan Timberg (2002:4), semua itu baru mencakup karyawan Carson Productions, belum termasuk camera person dari NBC dan teknisi pendukung lain. Intinya talk show adalah sebuah unjuk kerja tim. Meskipun yang muncul terbanyak di layar televisi adalah sosok host, namun dibelakangnya berdiri puluhan profesional pendukung. Atas itulah kemasan talk show mampu memberi sajian yang berbeda dibanding dengan tayangan program televisi lainnya. Membicarakan tentang talk show di televisi, sesungguhnya menjadi sebuah fenomena kultural yang menurut
Donald Horton dan Richard Wohl
(1956) telah hadir di Amerika sejak 1950-an. Meski begitu, buku-buku dan artikel yang mengulas tentang talk show baru muncul dan menarik perhatian pada awal tahun 1990-an (Timberg, 2002). Sebagian besar diantaranya banyak menganalisis tentang pengaruh tayangan talk show terhadap kehidupan politik di Amerika. Kondisi ini terkait erat dengan hubungan talk show dengan berbagai kampanye politik nasional yang tengah dilakukan oleh para kandidat presiden dan anggota senat. Saat itu Larry King Live menjadi tempat Ross Perot untuk menyampaikan ide-ide politiknya. Hal yang sama terjadi pada Donahue, The Arsenio Hall Show dalam mengungkap Bill Clinton sebagai calon presiden. Setiap ada momen politik berupa pemilu, talk show berkembang menjadi tayangan sinergi antara berita, hiburan, dan kekuatan politik. Tak jarang talk show dipakai untuk mendongkrak perolehan suara melalui pemolesan citra positif di sepanjang acara. Terkait peran dan pengaruh talk show dalam kehidupan masyarakat, pada 1994 muncul tulisan Vicky Abt dan Mel Seeholtz di Journal of Popular Culture dengan judul ‘The Shameless World of Phil, Sally, and Oprah: Television Talk show and the Deconstruction of Society’. Artikel tersebut menggambarkan dampak negatif tiga talk show yang diteliti Abt dan Seeholtz (1994). Temuan mereka menunjukan bahwa ketiga talk show tadi mengangkat isu-isu kontroversial dan menampilkan masalah orang yang sebenarnya sangat ‘sensitif’ menjadi sekadar hiburan belaka. Ini dianggap manifestasi ketidakpekaan dan hilangnya empati atas masalah orang lain. Menyadari akan persepsi buruk masyarakat terhadap talk show yang diungkap artikel itu, Oprah Winfrey waktu
25
itu berjanji akan mengubah bentuk acaranya menjadi bersifat spiritual dan bermoral (Lusia, 2005:43). Janji itu terbukti belasan tahun kemudian: Oprah Winfrey Show menjadi inspirator rata-rata wanita di Amerika Serikat. Hingga kini, Oprah Winfrey Show menjadi sebuah program talk show yang memberikan pengaruh nyata kepada masyarakat. Dari acara talk show ini tercipta yayasan The Oprah Winfrey Foundation yang bergerak dalam bidang pendidikan membantu banyak anak yatim piatu dan anak tidak mampu di Afrika Selatan. Pada tahun 2002 yayasan ini berhasil menggandeng Departemen Pendidikan Afrika Selatan untuk membuka akademi khusus remaja perempuan di Johannesburg.8 Rata-rata host yang membawakan talk show merasa bahwa acara mereka telah memiliki kontribusi nyata terhadap kehidupan masyarakat. Sebut saja misalnya Barbara Walters, Ricky Lake, David Letterman, Larry King, dan Jay Leno, dengan program talk show-nya masing-masing.
Hal ini menandaskan
kesimpulan Horace Newcomb saat memberikan pengantar buku Timberg (2002:xi), bahwa meski ada pihak yang melihat sisi negatif dari talk show, tetap saja bahwa program talk show “sometimes hailed as democratic and progressive, a welcome change from the prime-time fantasies of perfection and happy endings”. Sebuah kenyataan yang membawa nasib talk show sebagai sebuah program yang tidak bisa dipisahkan dari nasib televisi sebagai sebuah bentuk media massa yang dinamis. Terkait dengan acara talk show televisi sebagai sebuah acara dengan sifat audio visual, Tolson (2006:9-13) menyebutkan tiga konsep kunci untuk mempelajarinya. Tiga konsep kunci itu adalah interactivity, performativity, dan livelines. Interactivity menjadi ciri khas utama media massa. Sejak BBC radio pada
era
80-an
memberikan
kesempatan
kepada
pendengarnya
untuk
8
Keberhasilan nyata program talk show Oprah Winfrey Show ini dikupas panjang lebar dalam majalah Network!, edisi 05 June 2007. Selain memiliki yayasan sosial, Oprah telah banyak mendirikan berbagai jaringan bisnis yang tidak terlalu jauh dari dunia perempuan, pendidikan, dan gaya hidup. Unit usaha ini meliputi majalah, buku, dan situs internet dengan ratusan ribu anggota pecinta buku. Oprah memang menekankan bisnisnya pada media massa. Oprah Winfrey Show hanya menjadi satu contoh keberhasilan sebuah program talk show dalam masyarakat. Masih banyak contoh keberhasilan talk show lainnya, meskipun terkadang menyulut kontroversi terkait dengan kemasan program.
26
menyampaikan pendapat dan masukan melalui telepon, maka posisi audiens berubah dari pasif menjadi aktif. Keaktifan di sini tidak hanya bermakna memiliki kekuasaan memindah channel televisi atau radio, melainkan juga memiliki daya tawar kepada stasiun media untuk mengubah, mengganti, atau tetap menayangkan acara tertentu. Pada titik ini, audiens dan media dianggap memiliki hubungan interaktif satu sama lain. Performativity menyangkut bagaimana membina komunikasi yang harmonis. Dalam acara bincang-bincang (talk show), setiap orang yang terlibat di dalamnya selalu disatukan dengan percakapan atas tema tertentu. Di dalamnya ada upaya untuk saling menjaga agar komunikasi terjadi dengan makna yang sama, dan menyenangkan bagi semua pihak yang terlibat. Pada titik inilah performa diri dimunculkan sesuai dengan harapan masing-masing. Percakapan dalam talk show tidak bisa lagi dikemas dengan gaya seperti tahun 1930-an dan 1940-an, dimana setiap sosok berupaya tampil natural dan ‘apa adanya’. Setiap orang yang tampil saat ini berupaya menciptakan performa diri. Televisi dengan karakteristik audio visualnya membantu menciptakan performa tersebut. Mereka menyadari setiap penampilan di media akan menciptakan performa tersendiri di mata audiens. Dari sinilah unsur manipulatif pencitraan diri bisa ditelusuri. Konsep kunci ketiga menurut Tolson (2006) adalah livelines. Aspek terakhir ini mampu membuat siaran televisi atau radio menjadi benar-benar “look lively”. Untuk menjelaskan hal ini, Tolson mengatakan bahwa, “it comes back to what we mean by performances which are like acting in some ways, but are not ‘actorly”. Kemampuan talk show sebagai program televisi untuk menarik perhatian audiens justru terletak pada kemampuan setiap orang di dalamnya untuk tampil spontan (spontaneity). Dalam program bincang-bincang, aspek spontanitas inilah yang menjadi kekuatan utama sajian. Kondisi percakapan diatur sedemikian rupa seolah-olah terjadi dalam kehidupan normal sehari-hari. Kemampuan untuk menampilkan acara secara livelines akan lebih menciptakan dramatisasi ‘kejadian sesungguhnya’ seakan tanpa rekayasa. Sekalipun sebenarnya tetap ada script dan patokan standar narasi program.
27
Esensi dari ketiga konsep kunci yang dikatakan Tolson di atas adalah terjadinya interaksi yang unik sepanjang tayangan talk show. Terkait dengan konsep interaksi ini, talk show menciptakan tiga bentuk interaksi. Interaksi pertama adalah antara host acara dan tamu (guest) yang diundang. Lalu ada interaksi kedua antara host, serta tamu acara, dengan penonton yang berada di studio saat itu. Terakhir, secara tidak langsung terjadi interaksi antara host, tamu, serta penonton studio, sebagai sebuah sajian acara televisi, dengan pemirsa (audiens) di manapun mereka berada dan menyaksikan tayangan tersebut. Dua interaksi pertama menjadi sebuah realitas teks sebagai hasil unjuk kerja camera person dan tim editing stasiun televisi, sementara interaksi terakhir menjadi sebuah realitas sosial sebagai unjuk kerja tim kreatif dan stasiun televisi. Tiga bentuk interaksi di atas dapat diuraikan lebih jauh sebagai berikut. Pertama tentang interaksi utama. Dalam sebuah program dengan format talk show, interaksi antara pembawa acara dengan tamu menjadi urat nadi tayangan. Kehadiran keduanya dibungkus oleh tema yang dipilih untuk sebuah episode tertentu. Melalui narasi perbincangan tema inilah karakter seorang host dan tamu terbangun. Tidak semua karakter sebagai hasil ekspresi visual bisa tertampilkan. Lewat kemampuan kamera untuk mengambil objek gambar dengan beragam variasi, maka penonjolan ekspresi tertentu akan terjadi dengan sendirinya. Tim kreatif akan melakukan pemilihan gambar (editing) yang disesuaikan dengan maksud tayangan. Dalam hal ini, mereka memiliki kekuasaan untuk membangun narasi tayangan. Kapan gambar-gambar dengan pengambilan close up harus dimunculkan, kapan medium shot akan ditampilkan, semuanya ditujukan untuk menciptakan efek dramatisasi sesuai naskah tim produksi. Interaksi kedua menyangkut peran pononton di studio. Fenomena talk show kontemporer menurut Brian G. Rose (1985) menunjukkan keunikan terkait dengan kehadiran penonton di studio. Menurut Rose, bentuk acara talk show sangat menguntungkan karena program ini merupakan campuran karakter antara jurnalisme pemberitaan, opera sabun (soap opera), bahkan prinsip sportivitas seperti dalam olahraga. Program talk show ini mengajak penonton untuk ikut
28
berpartisipasi langsung dengan menjadi penonton dan hadir di studio pada saat shooting acara dilangsungkan, hal yang sama terjadi pada saat acara talk show disiarkan langsung (live). Keberadaan penonton di studio dalam jumlah cukup besar biasanya mampu membangun dramatisasi tayangan. Suasana penonton yang bertepuk tangan, memberikan pujian, mencemooh, dan lain sebagainya selalu direkam oleh kamera. Terkait dengan mekanisme kerja kamera dalam menggambarkan penonton di studio biasanya akan diwakili dengan pengambilan gambar long shot, medium shot, atau pengambilan panning. Mengingat penonton yang hadir di studio cukup banyak, biasanya untuk membangun unsur dramatisasi akan digunakan kamera yang bisa bergerak horizontal dan vertikal di atas kepala penonton.9 Interaksi ketiga terjadi antara masyarakat sebagai audiens dengan sajian program talk show. Tayangan talk show di panggung studio menjadi sebuah sajian audio visual di layar televisi. Tidak banyak yang audiens ketahui selain apa yang tampil di layar televisi mereka. Kehadiran bahasa visual dalam layar televisi ini menjadi landasan pemberian makna melalui kekuatan persepsi mereka. Pemirsa bisa sedih, marah, menggerutu, atau tersenyum sinis ketika merasa bahwa seorang tamu di panggung talk show berkata bohong. Sebaliknya pemirsa bisa ikut terbawa haru menitikkan air mata ketika host dan tamu terbawa pada suasana sedih dan duka. Semua ini menjadi realitas teks yang ditonton oleh pemirsa. Sebagai sebuah program televisi, talk show menjadi semacam panggung tempat performa diri ditampilkan. Baik itu performa diri sang host, maupun performa sang tamu. Panggung dalam konteks talk show ini bisa dimaknai dalam dua kriteria. Pertama, kriteria panggung berwujud fisik yang menjadi tempat dialog antara host dan tamu yang diundang. Ini terjadi di studio saat pengambilan 9
Kamera ini biasanya diposisikan menggantung lebih tinggi di studio, dan mampu digerakkan secara vertikal dan horisontal oleh seorang crew produksi. Biasanya digunakan untuk menggambarkan banyaknya kerumunan orang berikut efek dramatisasinya. Pengambilan gambar dilakukan dengan kamera yang bergerak, sehingga ada kesan seperti zoom in dan zoom out namun dengan kelebihan dari sudut pengambilan vertikal dan horisontal. Apabila diperhatikan, fungsinya nyaris sama seperti dolly track dalam produksi film untuk mengikuti objek gambar yang bergerak. Bedanya, dolly track hanya membantu kamera untuk bergerak secara horisontal. Secara teknis, pengambilan gambar dengan cara ini disebut crane (kran) yaitu “mechanical device to position the camera in the air or to move it above the ground; mostly used for high angle shots”.
29
dan rekaman gambar talk show terjadi. Kedua, kriteria panggung bermakna simbolis sebagai tempat interaksi antar pihak yang terlibat berikut segala kepentingan yang menyertainya. Aspek perilaku yang dilakonkan di atas panggung berwujud fisik di studio talk show, setelah diperantarai media segera berubah menjadi ‘panggung’ simbolis tempat seseorang atau sekelompok orang mempresentasikan dirinya. Kelindan antara penampilan diri seseorang dalam sebuah tayangan talk show dengan realitas diri sebenarnya di alam nyata, mungkin berbasis pada skenario diri dan berbuah kebohongan. Artinya penampilan diri seseorang dalam sebuah talk show tak lebih dari sebuah sandiwara penipuan audiens semata. Talk show menjadi menarik karena mamfasilitasi ‘panggung’ penampilan diri tersebut. Dalam dunia politik, hampir seluruh perkataan, pernyataan, dan perilaku seseorang dalam sebuah talk show akan berimbas pada posisi dan kepentingan politis tertentu. Pembahasan kaitan antara talk show dengan dunia politis ini menjadi rangka pikir berikutnya. 2. Talk show sebagai “Panggung Ludik’ Manusia Politik Membicarakan talk show biasanya akan terkait dengan pembicaraan politis. Meskipun format acara talk show selalu dikemas dalam bentuk ringan, penuh canda, dan nampak tidak serius, namun hal-hal yang dibicarakan selalu memiliki imbas politis tertentu (Donahue,1979; Kelley,2011). Hal itu juga terjadi pada tema-tema yang nampaknya tidak memiliki relevansi langsung pada dunia politik praktis. Bila tema yang dibicarakan adalah seksualitas, maka imbas selanjutnya adalah keterpengaruhan pada regulasi tentang kehidupan seks warga negara. Bila tema yang diangkat adalah tentang seni, maka imbasnya adalah opini dan persepsi audiens kepada dunia seni di sebuah negara. Hal-hal kecil yang menjadi tema talk show biasanya akan berimbas secara makro dan berimplikasi besar. Fenomena ini tak hanya terjadi karena empat prinsip yang diungkapkan Timberg (2002) sebelumnya, namun juga karena talk show relatif mampu menerjemahkan berbagai persoalan dan problematika politis ke dalam bahasa ringan yang mudah dimengerti oleh audiens. Inilah yang membedakan talk show
30
dengan format program lain seperti wawancara eksklusif, hot news, dan lain sebagainya. Terkait dengan tema politik, mungkin ada baiknya kita membahas terlebih dahulu hal-hal yang terkait dengan konsep tersebut. Lalu saya akan memaparkan kaitannya dengan dunia talk show. Yang pertama adalah fakta bahwa manusia adalah makhluk politik. Politik merupakan takdir yang nampaknya tidak bisa dihindari oleh manusia. Jauh sebelum adagium “zoon politicon” menghiasi referensi sejarah manusia, nampaknya mereka telah mempraktekan politik setiap hari dalam hidupnya. Tak ada aktivitas hidup manusia yang terlepas dari yang politis (Robet,2010). Sebagai makhluk politik, segala pemikiran, sikap, dan perilaku yang muncul pada diri manusia bisa dibaca sebagai manifestasi politis. Atas dasar itulah maka para psikolog menempatkan manusia itu sebagai makhluk politik generik di dalam semesta politiknya (Cottam.et.al,2009). Makhluk politik yang digambarkan Cottam,et.al
itu merupakan perpaduan antara aspek-aspek
personalitas diri manusia dengan hasrat
kepentingan yang dipertaruhkannya
dengan beragam cara. Untuk menjelaskan konsepsi mereka tentang makhluk politik ini, Cottam. et.al (hal.12-19) memberikan gambar sederhana:
Out-group Politic
In-group Politic
PERILAKU POLITIK
Gambar 1.1: Elemen Personal dan Sosial Manusia Politik Menurut Cottam,Uhler, Mastors, & Preston (2009) dengan Beberapa Penyesuaian oleh Penulis.
31
Berdasarkan aspek psikologis manusia, Cottam, et.al (2009) menyatakan bahwa persinggungan diri manusia dengan hal-hal berbau politis tidak terlepas dari fondasi utama keingintahuan manusia. Dipicu oleh kebingungan atas berbagai fenomena di sekitarnya yang harus dia cerna dan pahami, beberapa konsep utama begitu terkait dalam upaya manusia memahami dunia. Beberapa konsep menarik untuk diulas secara berturut-turut dari gambaran di atas adalah kepribadian, nilainilai, identitas, sikap, emosi, dan kognisi. Semua faktor itu dianggap memiliki relevansi yang kuat atas perilaku politik seseorang. Kita akan menguraikannya satu persatu. Bagian inti makhluk politik adalah kepribadian. Menyadari bahwa setiap orang adalah unik, maka Cottam,et.al (2009:12) menempatkan kepribadian sebagai pusat otak makhluk politik. Kepribadian memengaruhi aspek-aspek lain proses pemikiran, dan kepribadian itu sendiri dipengaruhi oleh pengalaman hidup. Namun kepribadian cenderung sangat stabil terkait tingkat kapabilitasnya untuk berubah. Artinya kepribadian memengaruhi perilaku dan predisposisi perilaku manusia secara tidak disadari. Ini terjadi karena manusia jarang berdiam diri dan memikirkan dampak kepribadian terhadap preferensi politik mereka. Kepribadian mendorong predisposisi perilaku tanpa kita harus memberikan perhatian yang disadari pada sumber preferensi tersebut. Dalam hal ini, kepribadian adalah suatu komponen inti dari mesin pemikiran dan perasaan politik. Titik selanjutnya adalah nilai dan identitas. Kedua konsep ini menyangkut keyakinan yang dimiliki secara mendalam tentang hal apa yang benar dan apa yang salah (nilai-nilai), dan makna yang dimiliki secara mendalam tentang siapakah seseorang (identitas). Melalui identifikasi diri atas nilai dan identitas ini, seseorang akan berbuat sesuatu, memikirkan sesuatu, mengambil sikap tertentu, pada tataran yang menarik untuk dibaca sebagai perilaku politik. Pada titik ini, sikap dapat dianggap sebagai unit-unit pemikiran yang terdiri dari komponen kognitif tertentu (pengetahuan) dan suatu respon emosi terhadapnya (suka, tidak suka, dan lain-lain). Dalam setiap pembahasan tema politik, sikap seseorang memainkan peran penting untuk mengarahkan perilaku politiknya kemudian.
32
Emosi merupakan sebuah elemen yang bisa merasuki hampir semua bagian lain. Itu artinya emosi merupakan sebuah wilayah tidak sadar yang berada pada setiap bahasan tentang nilai, identitas, dan sikap. Menurut Cottem.et.al (2009) emosi adalah elemen yang bergerak bebas dalam proses kognitif manusia politik. Sebuah elemen lain yang menjadi penentu proses sosialisasi politik dengan segala implikasinya. Ini adalah elemen layaknya jembatan yang menjadi saluran pikiran untuk mencerna fenomena yang terjadi di luar diri manusia. Proses kognitif adalah saluran yang dilalui oleh pikiran dan lingkungan saat pertama kali berinteraksi. Menurut Cottem.et.al (2009:15) proses ini seperti halnya pikiran komputer. Dia memfasilitasi
kemampuan
individu
untuk
memproses
informasi,
menginterpretasikan lingkungannya, dan memutuskan bagaimana cara bertindak untuk merespon lingkungan tersebut. Uniknya, sistem kognitif di dalam otak manusia akan membantunya mengorganisasikan lingkungan menjadi unit-unit yang dapat dipahami dan dapat dikenali, serta menyaring informasi sehingga manusia tersebut tidak harus secara sadar memeriksa kegunaan dari setiap potongan informasi yang tersedia. Kemampuan saring (filter) inilah yang pada taraf tertentu membentuk dan membingkai semua elemen lain. Terlebih bila berkaitan dengan informasi politik. Sampai di sini, elemen di dalam diri seorang makhluk politik telah terjelaskan. Dalam pandangan Cottem.et.al (2009) makhluk politik adalah makhluk yang secara sosial akan melihat dirinya selalu dalam koridor kelompok berdasarkan kepentingan dan sikap politiknya. Kehidupan politik seseorang pada dasarnya adalah sebuah upaya melekatkan diri dengan kelompok kita/kami (ingroup). Kehadiran dan eksistensi in-group ini dinegasikan dalam beragam level dengan kelompok mereka (out-group). Proses negasi ini kemudian menciptakan beragam kategori sosial tertentu yang bermuara pada sebuah sikap dan perilaku politik. Wujud sikap dan perilaku itu muncul dalam beragam disposisi seperti stereotip, diskriminasi, atau etnosentrisme. Paparan di atas menunjukan bahwa manusia politik adalah manusia yang di dalam dirinya terbelah menjadi dua aspek yang mengarah pada sikap politik
33
mereka. Disatu sisi adalah diri pribadi dengan segenap kompleksitas kognitifnya, sementara di sisi lain adalah diri sosial dengan segala kategorisasinya. Pembedaan diri yang melekat pada dua sisi itu disampaikan dalam bentuk yang unik. Terkadang seseorang secara eksplisit mengungkapkan posisi in-group-nya. Terkadang dengan pandai menyembunyikannya. Proses mengungkapkan posisi politik entah itu secara terbuka maupun melalui rangkaian pesan tersembunyi, selalu menjadi bahan kajian ilmiah sejak penelitian tentang manusia politik dilakukan. Terlepas dari apapun bentuk pengungkapan diri manusia sebagai makhluk politik itu, intinya adalah bahwa politik merupakan proses komunikasi. Sebagai proses komunikasi, dia melibatkan pembicaraan. Tidak sekadar pembicaraan dalam makna verbal semata, namun juga pembicaraan dalam arti lebih inklusif. Pembicaraan dalam makna terakhir ini meliputi segala cara manusia bertukar pesan dan simbol, baik itu kata-kata yang dituliskan dan diucapkan, maupun gambar, gerakan tubuh, sikap tubuh, perangai dan pakaian. Seperti yang dikatakan oleh Dan Nimmo (2005) bahwa politik adalah sebuah proses mengomunikasikan ide-ide terkait sesuatu yang sesungguhnya abstrak seperti demokrasi, kemerdekaan, keadilan, dari dan kepada aparatur negara, orang-orang terkait kekuasaan, dan memiliki implikasi kebijakan kepada warga negara. Semua itu sudah disebut sebagai transaksi politik. Intinya, dalam segala kompleksitasnya manusia tidak lain dan tidak bukan adalah makhluk politik. Menariknya, proses penyampaian ide dan gagasan, berikut maksud dan tujuan dalam koridor politik tersebut menjadi sebuah dinamika tersendiri yang hingga saat ini masih membutuhkan kajian terus menerus. Salah satu aspek yang menarik adalah instink kompetisi dan kontestasi yang selalu menyertai setiap transaksi politik. Politik telah melibatkan setiap aktor di dalamnya sebagai sosok makhluk yang berorientasi kemenangan dalam sebuah pertarungan kekuasaan. Interaksi dan transaksi politik itu terkadang dilakukan dengan perilaku yang beradab, namun tak jarang dilakukan dalam tindakan barbar berujung malapetaka kemanusiaan. Seakan sudah begitu identiknya manusia sebagai makhluk politik, maka politik itu sendiri sudah menjadi semacam rutinitas dalam hidupnya. Terlepas manusia menyadari atau tidak. Politik menjadi sebuah ajang permainan 34
dalam diri manusia. Proses menjadikan politik sebagai permainan ini dikupas dalam terma menarik yang diberikan oleh Johan Huizinga, yaitu manusia sebagai makhluk bermain (homo ludens). Homo ludens adalah terminologi yang diperkenalkan Johan Huizinga, profesor dari University of Leiden hampir 169 tahun yang lalu. Saat itu ia menulis buku Homo Ludens (1938) yang menguraikan kuatnya kecenderungan manusia untuk ’bermain’ dalam kehidupan sosial budaya mereka. Menurutnya, setiap peradaban manusia bertumbuh dan berkembang dengan dilandasi oleh sebuah semangat permainan. Kritiknya atas rasionalisme akhir abad 19 nampaknya bukan hanya bermuara pada nilai penting humanisme seperti halnya Adorno, dan Horkheimer (Martinjay,1973), atau mungkin nilai penting tindakan komunikatif seperti yang dikatakan Habermas (White,1996). Jika tokoh-tokoh utama mazhab Frankfurt menawarkan nilai humanisme dalam beragam konsep, maka Huizinga menawarkan terminologi Homo Ludens (Manusia bermain) sebagai sebuah jawaban dalam melengkapi nomenklatur peradaban. Latar belakang para pemikiran tokoh-tokoh penting di atas sebenarnya sama. Mereka risau dengan ketidaksadaran manusia yang terjebak dalam rutinitas modernitas. Fenomena masif di akhir abad 19 dan catatan suram mengawali abad 20. Tesis utama Huizinga adalah kebudayaan itu sendiri mengandung karakter permainan. Secara ekstrim dia bahkan mengatakan bahwa peradaban muncul dan berkembang di dalam dan sebagai permainan (1955). Usahanya untuk mencoba mengintegrasikan konsep permainan ke dalam kebudayaan, nampaknya hingga hari ini tenggelam di tengah-tengah semangat humanisme yang ditiupkan generasi baru abad 20. Meskipun apabila direnungkan, Huizinga telah berupaya memberikan jawaban atas ketertundukan manusia sebagai homo faber dalam logika
produksi
yang
semakin
menenggelamkan
nilai-nilai
utama
kemanusiaannya. Dengan simpul itu, karakter Homo Ludens dengan sendirinya sudah mencakup spirit humanisme. Demi memaparkan bagaimana telaahnya atas esensi bermain manusia dalam kebudayaan, Huizinga (1955:7-13) memberikan empat ciri-ciri yang bisa
35
dijadikan patokan . Pertama, permainan itu suatu voluntary activity (aktivitas yang dilakukan sukarela), di dalamnya terkandung makna kebebasan tanpa tekanan. Kedua, bermain selalu dipandang bukanlah sungguhan (play is not “ordinary” or “real” life). Dalam konteks permainan, pihak tertentu merasa bahwa apa yang sedang dimainkan bukanlah sebuah realitas kehidupan sesungguhnya; Ketiga, permainan itu secludedness, dia adalah keterbatasan (limitedness). Sebuah permainan hanya dimainkan dalam batas-batas waktu dan tempat tertentu. Ia berlangsung dan bermakna dalam dirinya sendiri. Keempat, permainan menciptakan ketertiban. Bahkan ia adalah ketertiban itu sendiri. Menurut Huizinga, ini sisi positif dari ciri permainan, “very positive feature of play: it creates order, is order”. Dalam sebuah permainan, seluruh pihak yang bermain harus taat pada sebuah aturan khusus yang harus dipatuhi. Ketidakrelaan mengikuti aturan membuat permainan tidak bisa lagi dijalankan. Esensi dari permainan menurut Huizinga, adalah insting mendasar manusia untuk tampil menunjukkan diri atau sesuatu. Eksistensi manusia yang dipertunjukkan dalam permainan mewakili sifat dan fungsi permainan (Huizinga, 1955). Terkait dengan fungsi permainan ini, menurut Huizinga terdapat dua aspek yang menjadi basis pemahaman: permainan sebagai perlombaan untuk mencapai sesuatu (contest for something), dan permainan sebagai sebuah representasi dari sesuatu (a representation of something). Bila membicarakan permainan, maka kita akan menemukan upaya mencapai posisi ”juara”,”nomor satu”, yang pada intinya adalah memenangkan permainan. Esensi kalah menang ini menjadi bagian integral dalam kehidupan. Bahkan menjadi kunci dalam interaksi kehidupan manusia sehari-hari. Pada dasarnya manusia berjuang untuk mencapai kebenaran. Tidak pernah mau kalah dengan sesuatu yang jahat, buruk, jelek. Kontestasi mewarnai segala sisi kehidupan manusia. Huizinga menjelaskan bahwa ini terjadi sejak zaman primitif, arkhais, hingga zaman modern. Dari ritual keagamaan yang bernuansa suci dan beradab, hingga peperangan yang penuh keculasan dan barbar, mengandung esensi permainan. Apa yang dikatakan Huizinga ini bagaikan nubuat yang selain terbukti dalam latar belakang sejarah kehidupan manusia di dunia sebelum dia hidup, maupun sejarah manusia hingga saat ini. Peradaban manusia 36
hanya dibentuk oleh kuatnya prinsip kontestasi ini, baik masa modern (Gonick,2006), memfasilitasi
maupun
masa-masa
gelap
sebelum
kehidupan
manusia
menjadi
lebih
ilmu baik
pengetahuan (Brown,1999;
Kerrigan,2011). Permainan itu menurut Huizinga dengan sendirinya juga mampu merepresentasikan sesuatu. Ritual-ritual keagamaan yang terdapat di berbagai belahan dunia, lengkap dengan tata aturan dan tata cara tertentu menyimbolkan berbagai hal terkait dengan ketertiban dunia dan kesejajaran antara manusia, alam, dan Tuhan. Huizinga menyebut ritus sebagai suatu dromenon, sesuatu yang dilakukan (something acted). Inilah drama, dimana setiap perilaku dan aktivitas memiliki makna yang terepresentasikan di atas ‘panggung’. Representasi ini bisa muncul dari pemahaman akan makna pertunjukan yang diperlihatkan. Seluruh aktivitas yang dilakukan manusia dalam berbagai bidang dan hasil karya, entah itu dalam dimensi hukum, puisi, bahkan perang sekalipun memiliki makna tertentu sebagai representasi sesuatu. Kehidupan politik memenuhi segala apa yang disebut dengan fenomena kontestasi, disamping juga memenuhi segala apa yang dinamakan representasi. Nyaris tidak ada perilaku politik yang tidak dikemas dengan ‘bahasa’ terbaik. Manifestasinya bisa verbal maupun non-verbal. Juga tidak ada perilaku politik yang tidak berorientasi menjadi pemenang. Dromenon, seperti yang diungkap oleh Huizinga, dalam budaya modern tidak lagi hanya termanifestasi dalam realitas “permainan” nyata seperti perang, ritual olahraga seperti sepakbola, lomba berbagai kreasi dan prestasi budaya, namun juga muncul dalam realitas maya di media massa dalam bentuk pembicaraan dan debat politik. Meski berbeda media, tujuannya tetap sama yaitu meraih kemenangan dan mengalahkan pihak lawan. Menurut saya, talk show adalah dromenon. Dalam makna representasi, dia adalah sebuah dunia pertunjukan. Terdapat dua tahap pertunjukan yang disajikannya sepanjang produksi talk show. Pertama, pertunjukan kepada penonton di studio yang dihadirkan untuk terlibat. Kedua, pertunjukan hasil akhir rekaman dalam wujud tayangan kepada audiens di depan televisi masing-masing.
37
Dua tahap pertunjukan itu adalah sebuah sajian menggambarkan ‘sesuatu’ dari seorang narasumber maupun pembawa acara (yang mewakili kepentingan stasiun televisinya). Penyajian dromenon baik oleh narasumber maupun pembawa acara dipastikan memiliki latar belakang kepentingan dan agenda politis tertentu. Dari sudut pandang homo ludens, ada esensi ‘ludik’ (bermain) dalam sajian talk show sebagai sebuah pertunjukan. Talk show adalah dromenon dalam makna kontestasi. Segala bentuk pembicaraan politik, debat politik, adu argumen, kemampuan menjawab, dan mengkritisi pertanyaan dalam sebuah pertunjukan talk show adalah sebuah kontestasi untuk membuktikan diri sebagai pemenang. Dalam sejarah panjang talk show, acara ini selalu digunakan untuk mempengaruhi opini publik dengan menampilkan sosok politisi yang seolah-olah tidak berhasrat politis. Tujuannya adalah meraih simpati dan peningkatan jumlah suara signifikan konstituen. Orientasinya adalah menguatkan wacana in-gorup, dengan menempatkan diri vis a vis dengan out-group, apapun dan bagaimanapun gaya, dan tata cara komunikasinya. Pembicaraan politik dalam talk show selalu bermuara pada upaya memperoleh atau mempertahankan kekuasaan, baik kekuasaan dalam terma umum (perolehan suara dan duduk di kursi pemerintahan), maupun dalam terma spesifik (perolehan simpati dari publik dalam rangka pencitraan). Talk show telah digunakan sebagai panggung permainan dalam konteks politik. Modusnya adalah mempersembahkan dan mengemas segala sesuatu yang begitu serius, menjadi sesuatu yang remeh temeh, dan mudah diterima oleh audiens (Tolson,2006; Thomas,2008;Wood,2009). Ketika memberikan pengantar edisi bahasa Indonesia untuk buku Homo Ludens (1990), Y.B. Mangunwijaya menegaskan bahwa Huizinga telah mendeskripsi
gejala
ke-bermain-an
manusia
dengan
sangat
rinci
dan
komprehensif. Namun menurutnya, belum ada yang mampu untuk menerangkan seluk beluk asasinya. Untuk mencoba mengurai esensi kebermainan itu, Mangunwijawa menghubungkan gejala itu dengan tiga manifestasi sifat menarik
38
manusia: spontanitas, autentisitas, dan aktualisasi diri. Dengan ketiga sifat inilah manusia akan menjadi sosok utuh. Penjelasan akan ketiga sifat itu berturut-turut adalah sebagai berikut. Pertama,
spontanitas
yang
selalu
terkait
dengan
kebebasan.
Menurut
Mangunwijaya, bermain selalu mengandung aspek kegembiraan, kelegaan, dan penikmatan yang intensif. Dia harus bebas dari kekangan atau kedukaan, berproses emansipatorik, dan itu hanya tercapai dalam alam dan suasana kemerdekaan. Hanya manusia yang merdeka yang dapat mengeluarkan spontanitas, lepas, gembira, dan puas. Sifat kedua yang terkait dengan ludik ini adalah autentisitas atau keaslian. Menurut Mangunwijaya, aspek autentisitas ini muncul dalam spontanitas. Spontanitas dalam homo ludens yang dikatakan Huizinga murni berasal dari naluri kodrat asli manusia. Ini ciri yang tidak bisa disembunyikan. Dia akan muncul secara spontan disaat manusia membutuhkan sisi keunikan dirinya. Dia tidak perlu berpura-pura, karena sisi keaslian dalam dirinya akan muncul justru disaat dia bermaksud menyembunyikannya. Sifat ketiga merupakan keinginan tertinggi manusia. Menurut Mangunwijaya, kebermainan adalah ekspresi. Menyitir kata-kata filusuf Prancis, Merleau Ponty, Mangunwijaya mengatakan bahwa eksistensi manusia adalah ekspresi, aktualisasi diri, dan sekaligus adalah aktualisasi semesta. Menurutnya, gejala melihat adalah aktualisasi dari segala yang dapat dilihat. Mendengar adalah aktualisasi dari segala yang dapat didengar. Ekspresi murni manusia secara aktif mensyahkan keberadaan, justru melewati dan berada di dalam pengalaman serta ekspresi mereka. Ekspresi di dalam kebermainannya, yang digejolakkan oleh penghayatan kemerdekaan, kreativitas serta spontanitasnya sekaligus adalah pemantulan, yakni aktualisasi dari seluruh semesta yang juga kreatif mengaktualisasi diri di dalam diri manusia ke arah harmoni semesta. Dengan bertemunya tiga sifat itu menuju eksistensi diri manusia, Mangunwijaya menyimpulkan bahwa hakekat bermain adalah sesuatu yang sangat serius, sangat eksistensial. Pesannya, apabila manusia menyepelekan dimensi eksistensial ini dengan bermacam paksaan, entah bisnis, politik, gengsi, maupun keangkuhan yang tidak pada tempatnya, maka alam sendiri akan memberontak melawan manusia. 39
Terkait dengan sajian talk show, sisi spontanitas dan ekspresifitas adalah dua hal yang benar-benar nyata termanifestasi dalam diri host, maupun dari tamu (guest) yang diundang ke studio. Dari dua sisi itulah nanti diri otentik (autentisitas) seseorang akan terlihat. Bersumber dari insting yang kuat atas aktualisasi diri, maka diri yang otentik akan tergambarkan baik tersadari maupun tak tersadari. Esensi talk show sendiri merupakan sebuah pembicaraan yang mengarah pada esensi kontestasi dalam konteks politik demi mencapai kemenangan dan aktualisasi diri. Talk show adalah ‘panggung’ dunia politik modern, di mana berbagai kepentingan politik menemukan medianya untuk dipuaskan. Masalahnya adalah bagaimana cara membaca talk show itu sebagai sebuah fenomena dromenon yang begitu unik karena terkait dengan realitas simbolik media massa modern. Sebuah fenomena media massa yang sama sekali tidak diulas oleh Huizinga, mengingat situasi dan kondisi peradaban saat beliau menulis Homo Ludens di tahun 1938. 3. Dromenon: Membaca “Ludik” Talk show dengan Dramaturgi Goffman Pada bagian ini, saya ingin menguraikan asumsi bahwa talk show sebagai sebuah tayangan televisi dibangun dalam konteks sebuah sajian bersifat fisik teks audio visual dan simbolik. Sebelumnya telah diuraikan asumsi saya bahwa talk show di televisi menyajikan representasi dan juga kontestasi homo ludens. Sebagai sebuah esensi perilaku politik manusia, homo ludens yang tertampilkan dalam tayangan talk show itu bisa dibaca dalam setting media massa, berwujud wacana politis dalam konteks dromenon (teater atau panggung). Untuk paparan berikut, pijakan saya adalah melihat talk show sebagai program percakapan tersiarkan (broadcast talk). Di dalamnya terdapat konsep ‘performance’ dan ‘footing’ dalam menjelaskan dinamika talk show. Penyatuan konsep itu dalam talk show televisi akan diuraikan menurut pemikiran Andrew Tolson (2006), dan Helen Wood (2009). Pemikiran dua orang terakhir berasal dari teori-teori utama tentang dramaturgi Erving Goffman. Untuk itu, saya akan memulainya dengan perspektif teater dari Goffman.
40
Perspektif interaksi sosial yang digunakan oleh Goffman (1959:ix) adalah perspektif pertunjukan teater (theatrical performance). Di dalamnya, orang-orang yang terlibat menerapkan prinsip-prinsip dramaturgis (dramaturgical). Setiap individu akan menampilkan diri dan aktivitasnya kepada orang lain, lalu mengembangkan semacam imajinasi sebagai pemandu tampilannya berdasarkan kesan yang dibentuk orang lain terhadap dirinya. Di dalamnya berkelindan segala hal yang mungkin atau tidak mungkin ia lakukan untuk menopang penampilan dirinya dihadapan orang lain. Goffman mengasumsikan bahwa ketika seseorang berinteraksi, mereka ingin menyajikan suatu gambaran diri yang akan diterima orang lain. Dia menyebut upaya itu sebagai “pengelolaan kesan” (impression management), yaitu teknik-teknik yang digunakan aktor untuk memupuk kesankesan tertentu dalam situasi tertentu untuk mencapai tujuan tertentu. Pemikiran ini berawal dari pentingnya sebuah kesan pertama (first impressions) dalam kehidupan kita sehari-hari (Goffman,1959:11). Sekalipun metafora teater yang diberikan Goffman sangat menarik untuk menyatakan bahwa kehidupan dan interaksi sosial manusia layaknya sebuah panggung, namun Goffman sama sekali tidak menyebut media massa dalam analisisnya. Panggung yang dijadikan metafora oleh Goffman lebih tertuju pada panggung opera atau sajian drama pertunjukan di tahun 1960-an. Lalu bagaimana agar pemikiran Goffman bisa dihubungkan dengan talk show sebagai sebuah sajian teater di atas panggung? Untuk itu saya akan meminjam dua konsep kunci mempelajari talk show yang diberikan Tolson (2006) untuk kemudian saya ‘sandingkan’ dengan elemen performa dan pengomunikasian karakter yang diberikan Goffman. Hal itu untuk menjawab sekaligus juga menghubungkan paham teater yang terdapat pada gagasan Goffman dengan dinamika talk show media massa yang digagas oleh Tolson. Dalam proses analisis penelitian nanti, saya akan lebih menggunakan konsep Tolson (2006) dalam mengurai fenomena homo ludens talk show Kick Andy-MetroTV. Uraian di bawah ini mencoba memperjelas maksud saya.
41
Dari tiga konsep kunci talk show televisi –interactivity, performativity, dan livelines-sebagai bentuk sajian media massa yang dikatakan Tolson (2006) sebelumnya, terdapat dua konsep yang menunjukkan talk show sangat terkait dengan sebuah pertunjukan. Dua konsep itu adalah performativity dan livelines. Terkait dengan performativity, talk show menjadi semacam panggung pertunjukan dimana antara host dan guest memainkan sebuah ‘peran’ yang dalam bahasa Goffman disebut aspek dramaturgi. Dramaturgi menekankan dimensi ekspresif dan impresif aktivitas manusia, yakni makna kegiatan manusia terdapat dalam cara mereka mengekspresikan diri terkait interaksi dengan orang lain yang juga ekspresif
(Goffman, 1959:30-34). Oleh karena perilaku manusia bersifat
ekspresif inilah maka perilaku manusia bersifat dramatik. Dalam perspektif dramaturgis, kehidupan ini ibarat teater, interaksi sosial yang mirip dengan pertunjukan di atas panggung, yang menampilkan peran-peran yang dimainkan para aktor. Untuk memainkan peran tersebut, biasanya sang aktor menggunakan bahasa verbal dan menampilkan perilaku noverbal, serta mengenakan atributatribut tertentu, misalnya kendaraan, pakaian dan asesoris lainnya yang sesuai dengan perannya dalam situasi tertentu. Oleh Goffman ini disebut dengan ‘front’ yang di dalamnya terkandung konsep setting (hal.22-30).
Para pelaku yang
berada di atas panggung secara sadar ataupun tidak biasanya terkondisi untuk memainkan sebuah peran normatif. Mereka harus memusatkan pikiran agar dia tidak keseleo-lidah, menjaga kendali diri, melakukan gerak-gerik, menjaga nada suara dan mengekspresikan wajah yang sesuai dengan situasi. Ini disebut Goffman dengan idealization, dan maintenance of expressive control (hal. 34-58). Sementara itu terkait dengan spontanitas sebagai wujud nyata dari konsep kunci livelines yang ditawarkan Tolson (2006), penjelasan perspektif teater Goffman menyebut hal itu dengan konsep ‘communication out of character’ (hal.167-170). Menurut Goffman, dalam situasi tertentu para pelaku yang memainkan peran di panggung kehidupan terpancing untuk melupakan karakter dan peran yang tengah mereka mainkan. Goffman mengatakan bahwa ekspresi ekstrim dari bentuk communication out of character muncul ketika, “a performer may act as if his response in a situation were immediate, unthingking, and 42
spontaneous.” (hal. 169). Menurut Goffman respon yang terkadang muncul di luar skenario peran yang digariskan cenderung menuntut lawan bicara atau pemain lain untuk menyesuaikan. Ini terjadi karena prinsip keseimbangan dalam komunikasi agar sajian (skenario pertunjukan) di panggung tidak terganggu. Menariknya, spontanitas ini dianggap bukanlah sesuatu yang merugikan dalam penampilan. Spontanitas hanya terjadi sesaat dan setelah itu sosok aktor akan menyadari bahwa mereka tengah berada dalam sebuah pertunjukan, dan sadar tengah menjadi tontonan. Upaya untuk menyandingkan dinamika interaksi dan performa diri Goffman dengan dua konsep kunci mempelajari talk show sebagai realitas media televisi (media talk) dari Tolson akan membantu teknik analisis penelitian ini. Menurut saya prinsip-prinsip interaksi dengan ekspresi dan impresi menjadi dasar yang diterapkan dalam metode conversation yang menjadi ciri khas talk show. Paparan teoretis yang disampaikan Helen Wood (2009) berikut ini mungkin bisa menjadi pintu masuk untuk memahami prinsip interaksi manusia yang tersaji dalam sebuah program media massa bernama talk show. Menurut Helen Wood
(2009), di dalam talk show terdapat esensi
permainan dari sebuah panggung sesungguhnya yang bernama dunia politik. Setiap sosok yang muncul dalam talk show adalah representasi dari sebuah kepentingan politik tertentu. Terlepas siapapun dan apapun posisi dia. Dalam diri setiap sosok yang hadir di talk show terselip keinginan untuk bisa mengaktualisasikan
diri,
memenangkan
posisi
tertentu
dalam
negosiasi
pembicaraan, dan menginginkan sesuatu dari perbincangan talk show tersebut (membentang dari sekadar ingin didengar, dimengerti, hingga dipatuhi). Setiap tokoh pembicara politik di media massa akan memiliki kemungkinan memainkan peran dan lakon tertentu mulai dari yang dia sadari hingga lakon yang sama sekali tidak dia sadari (improvisasi). Fenomena ini disebut Erving Goffman dengan konsep “footing” yang dipinjam Helen Wood (2009) untuk menguraikan pembicaraan tentang feminisme di televisi. Tentang konsep tersebut, Wood memaparkan:
43
“in the concept of ‘footing’ Goffman is concerned to dissolve the unitary categories of speaker and hearer as an oversimplified formulation that does not recognize the parts other bystanders or eavesdroppers might play in the interaction”. (Wood, 2009:50) Dalam sebuah talk show, seorang pembicara memiliki kemampuan untuk memainkan peran dengan bantuan konsep footing tersebut. Seperti paparan Goffman (1981) bahwa sebuah percakapan akan membuat seseorang masuk dalam konteks dan kondisi tertentu yang berpengaruh baik langsung maupun tidak langsung pada dirinya. Lebih lanjut dia mengatakan bahwa dalam sebuah percakapan akan terjadi apa yang disebutnya,”the constructed nature of identity through the various ways in which the self is preformed or presented in response to situated environments and present others” (Wood,2009:50). Dalam tulisannya tentang talk show di radio sebagai sebuah bentuk media massa, Goofman menyebutkan bahwa footing merupakan kemampuan seorang pembicara untuk menata identitas dirinya melalui penampilan yang bisa jadi tidak statis melainkan dinamis untuk tujuan tertentu, dengan selalu menyesuaikan diri terhadap ‘atmosfer’ lingkungan maupun sikap lawan bicara (Goffman, 1981). Dalam mengamati footing sebagai sebuah peran, Goffman menyebut beragam variasi dan tingkatan partisipasi yang dimainkan seseorang dalam sebuah percakapan. Wood (2009) mencatat adanya tiga bentuk dan tingkatan “footing”. Selengkapnya dia mengatakan: “these are the ‘animator’-the person who utters the sequence of words; the ‘author’-the person with whom the sentiment originated; and the ‘principal’-the person whose position is being expresssed in and through the utterance. An individual may therefore switch between these alighnments depending upon the presentation of self in particular contexts” (Wood: 2009:50) Konsep footing di atas sangat berguna untuk memahami proses pembicaraan dalam dunia siaran (broadcasting). Seseorang bisa memainkan identitas sedemikian rupa melalui ucapannya (utterance) yang meliputi pesan verbal maupun pesan non-verbal (Burn,1992;Smith,2006). Talk show yang
44
aktivitas utamanya adalah berbicara, bagaikan sebuah narasi permainan di mana setiap orang memainkan peran sesuai dengan perkembangan situasi panggung dan kondisi yang melingkupi mereka. Ada keasyikan tersendiri bagi siapapun yang bermain melalui performa dan identitas tertentu. Talk show adalah ajang baru dimana konsep homo ludens menemukan manifestasinya. Berbagai wujud dromenon yang dipaparkan oleh Huizinga sebagai sebuah permainan (membentang dari dunia hukum, perang, pengetahuan, karya-karya puisi, filsafat, hingga dunia seni) dapat dijumpai dalam representasi dan kontestasi yang disajikan oleh talk show dengan segala dinamikanya (Timberg,2002; Tolson,2006; Wood,2009). Dalam kaitannya dengan demokrasi modern, yang menjadi manifestasi kehidupan politik manusia, mungkin menarik apa yang diungkapkan oleh Bernard M. Timberg di bawah ini: “The commodification of talk by a vigorous publishing industry and the rise of a celebrity system accompanying the public talk of the eighteenth century played a decisive part in the rise of modern democracies.” (Timberg,2002:16). Dari keseluruhan paparan di atas, nampak bahwa talk show sebagai sebuah program bercakap-cakap tidak hanya bisa dilihat sebagai sekadar pembicaraan ringan saja. Di dalamnya terdapat esensi kehidupan politik manusia modern. Sepanjang pertunjukan talk show, seseorang telah memainkan performa tertentu, dengan tujuan tertentu, dan bahkan mungkin saja dikendalikan oleh sebuah skenario tertentu. Untuk mengungkap dan menjelaskan talk show sebagai sebuah realitas teks yang layak untuk dipelajari secara ilmiah, studi atas fenomena interaksi manusia sudah seharusnya ditilik ulang. Asumsi saya bahwa talk show merupakan manifestasi dari interaksi manusia yang diformat dalam realitas teks media, menjadi dasar pemahaman teoretik studi ini. Paparan berikut akan menjembatani asumsi tadi. 4. Membaca Makna Tindakan Sosial: Homo Ludens ‘dalam’ Sosiologi Ilmu sosial dan humaniora adalah bidang ilmu pengetahuan yang memokuskan diri pada aspek interaksi manusia. Kajian sosial di satu sisi,
45
didominasi oleh studi dan penelitian tokoh-tokoh sosiologi (Ritzer & Smart,2011). Sementara kajian humaniora banyak didominasi oleh teori dan penelitian tokohtokoh sastra dan bahasa. Keduanya memiliki fokus untuk menelaah tentang pemaknaan yang diberikan oleh manusia terhadap aktivitas kehidupan mereka sehari-hari. Dalam salah satu cara pandang itu, ilmu sosial dan humaniora melihat manusia bertindak sebagai agen dalam mengonstruksi realitas kehidupannya. Cara seorang manusia melakukan konstruksi makna tersebut, tergantung pada cara mereka memahami perilaku mereka sendiri. Dalam konteks tersebut, kajian sosial menekankan pada cara individu (aktor) dalam melakukan penafsiran, dan memberi makna terhadap realitas. Dalam ranah sosiologi, pendekatan ini banyak dikenal dengan tradisi konstruksionisme (Waters, 1994; Ritzer, 1996). Di Eropa, tradisi konstruksionis ini memunculkan ragam teori sosiologi Fenomenologi. Tokohnya adalah Alfred Schutz. Sosiologi fenomenologi menekankan kajian pada cara-cara yang dilakukan aktor dalam memahami dan menafsirkan dunia sosial dengan memperhatikan pencerapan data (sense-data) ke dalam tipifikasi atau penggambaran secara mental. Schutz membahas cara-cara individu melakukan tipifikasi dengan menghubungkan pemahaman secara intersubyektif, di samping juga menghubungkan antara tipifikasi yang dibuat sosiolog dengan tipifikasi yang dibuat sang aktor (Maliki,2003). Sementara itu di Amerika, pelopor tradisi ini termanifestasi dalam ragam teori Interaksionisme Simbolik. Pelopornya adalah George
Herbert
Mead
dari
Universitas
Chicago.
Fondasi
teoretiknya
memanfaatkan ‘jasa’ psikologi sosial, yang mengandaikan bahwa hubungan antara aktor dibangun dalam pola-pola bahasa komunikasi (Maliki,2003). Komunikasi menjadi sarana vital untuk membaca dan memahami berbagai realitas sosial yang muncul dalam masyarakat. Interaksionisme simbolik, menurut Joel M. Charon (2007) merupakan hasil sintesa yang baik antara psikologi di satu sisi, dengan sosiologi di sisi yang lain. Berfokus pada interaksi manusia sebagai objek kajian, keduanya memberikan perspektif yang lebih dalam untuk menjelaskan fenomena interaksi manusia sebagai sebuah tindakan sosial (social action). Tekanannya adalah pada
46
keaktifan manusia itu sendiri memberi makna dalam konteks interaksi mereka. Lebih jauh Charon memaparkan: “in my opinion … we sometimes will claim that humans reality are active being, but in our academic pursuits determinism is usually at work. This approach seems perfectly understandable since the goals of social science have always been to examine the human as part of the natural universe, governed by laws that can be discovered through careful research” (Charon, 2007:22) Dalam penjelasannya atas interaksionisme simbolik, Charon memaparkan hal yang harus diperhatikan saat menggunakan sudut pandang psikologis untuk mencermati interaksi manusia dalam koridor interaksi sosial. Proses mencermati interaksi manusia yang diperlukan oleh ilmu sosial seperti sosiologi adalah memperhatikan aspek pemaknaan yang disimpulkan dan dijalani oleh manusia bersangkutan. Bukan dalam proses orientasi fungsi dari tindakan setelah pemaknaan dilakukan. Atas aspek itulah, interaksi manusia yang dipelajari dalam interaksionisme simbolik, menurut Charon sangat berorientasi pada pemaknaan situasi dan kondisi. Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan bahwa pemahaman inilah yang membawa Erving Goffman pada konsep ‘stage’ (panggung) sebagai latar belakang dan kondisi interaksi manusia (hal. 40-45). Untuk membedakan antara sudut pandang sosiologi dan perspektif psikologi sosial dalam melihat interaksi manusia, Charon (2007:39-40) membedakan antara konsep ‘attitudes’ dan ‘perspectives’. Interaksionisme simbolik lebih mengacu pada konsep ‘perspectives’ dari pada ‘attitudes’. Dalam konteks ini, ‘perspectives’ yang selalu digunakan dalam interaksionisme simbolik mengacu pada kompleksitas definisi dan pemaknaan, sementara terma ‘attitude’ mengarah pada kompleksitas respon yang akan diperlihatkan. Menggunakan pemahaman Tamotsu Shibutani (1955) tentang kelompok acuan (reference group), Charon menekankan pentingnya perspectives yang dijadikan landasan seseorang dalam mendefinisikan ‘sesuatu’. Lebih jauh dia menyatakan:
47
“instead, as soon as we focus on perspective we must recognize the importance of definition- a perspective is only something we borrow in order to help us define reality. Our interaction in particular social world may lead us to take on a particular perspective, but that perspective becomes a tool in the hands of an active defining actor” (Charon, 2007:38) Keaktifan manusia sebagai aktor yang memberi makna dalam tindakan sosial ini menjadi semakin penting ketika Charon (2007) dan juga Shibutani (1955) menekankan peran budaya sebagai latar belakang utama yang dijadikan seseorang sebagai ‘perspective’. Budaya bermakna sebagai ‘konsensus’ dari kelompok, kesepakatan, tujuan, pengetahuan, pemahaman, ‘berbagi’ bahasa dan nilai yang dimunculkan bersama. Seorang individu yang bermaksud menjadi bagian dari kelompoknya, harus menerima kontrol atas tindakan mereka dari konsensus budaya yang telah dihasilkan. Hanya dengan itu dia bisa memberi makna atas kesepakatan bersama. Dalam bahasa interaksionisme simbolik, konsensus tersebut termanifestasi dalam tiga konsep kunci, (1). Generalized other, (2). Maintains society, dan (3). Ever-changing. Dalam memahami tiga konsep kunci budaya sebagai konsensus itulah, para pengusung interaksionisme simbolik mengetengahkan pentingnya makna negosiasi (negotiation) dalam interaksi manusia (Charon,2007:166-167). Pada intinya para sosiolog melihat bahwa masyarakat sebagai sebuah medan interaksi raksasa manusia, berpotensi memunculkan dan menciptakan budaya sebagai sebuah konsensus. Dalam kacamata negosiasi ini terjadi apa yang dinamakan pertukaran dan negosiasi makna (exchange and negotiation of meaning). Kesepakatan tentang pertukaran dan negosiasi makna inilah yang kemudian terus dijadikan landasan berpikir para pengikut interaksionisme simbolik. Kata kunci interaksi bagi para pengusung interaksionisme simbolik memiliki makna dinamis. Interaksi adalah proses dimana kemampuan berpikir dikembangkan dan diperlihatkan. Semua jenis interaksi mewajibkan seorang pelaku (aktor) untuk memperhatikan orang lain, lalu terus berpikir untuk menentukan kapan dan bagaimana cara menyesuaikan aktivitasnya terhadap orang lain. Fakta bahwa interaksi sosial menciptakan dinamika makna nampaknya tak
48
bisa disangkal, dan dianggap sebuah prinsip orisinalitas dari pemikiran Mead (Ritzer,1996). Unsur lain yang menarik perhatian adalah konteks negosiasi makna yang pada dasarnya menunjukan nuansa kebebasan dari para pelaku interaksi itu sendiri. Spirit kebebasan dalam memberikan pemaknaan atas sebuah interaksi yang menjadi dasar buku utama Mead, “Mind, Self, and Society” tidak hanya menjadi wacana utama di Amerika. Pada kurun waktu yang kurang lebih sama, di Eropa terjadi pula upaya akademis untuk memberikan porsi yang lebih besar atas aspek pemaknaan. Di Belanda, kontribusi pemikiran dalam menerjemahkan fenomena manusia dalam berinteraksi dengan kondisi sosial politiknya memunculkan nama Johan Huizinga. Kerisauan para ilmuwan sosial saat itu terkait dengan menguatnya paham rasionalitas di seluruh dunia, menghadirkan berbagai perspektif teoretik menarik. Melalui terma Homo Ludens-nya, Huizinga sendiri melihat bahwa dinamika kehidupan manusia abad modern dalam menciptakan makna, nyaris sama dengan apa yang disematkan para penyair dan tokoh-tokoh teater dunia awal abad ke-17. Menguatnya konsep peran yang dimainkan oleh setiap orang dalam kehidupan, membuat Huizinga sepakat dengan frasa bahwa dunia adalah sebuah panggung sandiwara. Lebih jelas dia mengatakan: “there was a time when it was generally accepted, though in a limited sense quite different from the one intended here: in the 17th century, the age of world theatre. Drama, … then dominated the literature of the west. It was the fashion to liken the world to a stage on which every man plays his part” (Huizinga, 1955:5) Meskipun dalam kadar yang berbeda, para teoretikus sosial dan humaniora saat itu menyadari perlunya pembacaan ulang atas konstruksi hidup dan makna yang berkelindan di kepala manusia. Jika pada umumnya tekanan analisis sosial adalah pada kekuatan struktur masyarakat, maka pemahaman Mead dan Huizinga ada pada kekuatan pembebasan memberi ruang makna yang melekat pada pelaku interaksi sosial. Manusia sebagai individu dikembalikan pada kebebasan
49
pemberian makna. Asumsi utama yang ingin saya bangun pada bagian ini adalah adanya relevansi ludik (homo ludens) yang berasal dari pemikiran Huizinga ke dalam perspektif interaksionisme simbolik. Artinya pada saat yang sama kita bisa menganggap bahwa homo ludens adalah sebuah cara pandang fenomenologis atas kondisi interaksi manusia. Jika secara historis kita pahami bahwa fenomenologis menguat di Eropa seiring dengan menguatnya interaksionisme simbolik di Amerika, keduanya tentu memiliki kesamaan basis pemikiran. Pada bagian ini relevansi tersebut mengemuka dalam dua isu utama. Pertama, dasar paradigma yang sejajar. Kedua, fokus objek kajian yang relatif sama. Terkait dengan isu paradigma interaksionisme simbolik, Ritzer (1980) dan Maliki (2003) meletakan perspektif ini ke dalam paradigma definisi sosial ala Max Weber. Lebih fokus lagi, mereka mengatakan bahwa interaksionisme simbolik merupakan bagian dari teori-teori konstruksionis. Seperti halnya fenomenologi, interaksionisme simbolik juga melihat lingkungan masyarakat dan makna yang diberikan oleh individu padanya sebagai sebuah topik bahasan yang serius. Perspektif ini memandang tertib atau tatanan dunia sosial merupakan hasil konstruksi manusia. Jika perspektif interaksionisme simbolik Herbert Mead mengamini premis tersebut, maka pemahaman fenomenologi yang dikemukakan Huizinga juga menganut premis yang sama. Berdasarkan prinsip teori konstruksionis itu, Ritzer (1980) memaparkan asumsi-asumsi dari pendekatan interaksionisme simbolik. Pertama, manusia hidup dalam suatu lingkungan simbol-simbol. Manusia memberikan tanggapan terhadap rangsangan-rangsangan tertentu yang menerpa mereka. Pengertian dan penghayatan terhadap simbol yang tak terhitung jumlahnya ini merupakan hasil pelajaran dalam pergaulan hidup bermasyarakat. Saat memaparkan homo ludens sebagai spirit hidup manusia, Huizinga (1955) menekankan pada pemaknaan simbol yang mendasari semangat bermain manusia. Huizinga memaparkan kuatnya elemen permainan itu dalam bahasa, puisi, peperangan, dan hukum. Semua bidang tadi berjalan karena setiap sosok manusia di dalamnya memainkan simbol sebagai penerjemah hasrat berbudaya mereka (hal. 173-179).
50
Asumsi kedua, melalui kemampuan memainkan simbol-simbol, manusia berkemampuan memberi stimulan kepada orang lain dengan cara-cara yang mungkin berbeda dari stimulan yang diterimanya dari orang lain. Proses ini melibatkan komunikasi yang aktif antar aktor. Meskipun dikhawatirkan menciptakan ketidaksamaan makna antara simbol terkirim dan makna simbol terterima,
menurut
Mead
hal
itu
tidak
menjadi
permasalahan.
Mead
memberlakukan dua konsep yang menurutnya bisa menyelesaikan problem komunikasi tadi. Pertama karena adanya pengambilan peran (role taking) di mana seseorang menampatkan dirinya dalam peranan seperti diri orang lain saat proses komunikasi berjalan. Kedua, karena upaya penyamarataan orang lain dengan diri sendiri (generalized others), di mana kita berupaya keras untuk memahami bagaimana suatu kelompok sebagai sebuah keseluruhan akan menanggapi simbolsimbol yang muncul selama proses komunikasi. Proses saling memberikan stimuli ini direkam oleh Huizinga sebagai keterbatasan ruang dan waktu oleh setiap manusia dalam praktik permainan (play) mereka. Salah satu ciri homo ludens yang kuat, adalah bahwa permainan memisahkan diri seseorang dari kehidupan biasa manusia dalam tempat dan waktu. Jika dua atau tiga orang terlibat dalam sebuah ‘permainan’ (play) maka mereka baik secara sadar maupun tidak sadar akan saling berganti peran. Bergantian memberi dan menerima stimulan. Tidak terjadi benturan peran, mengingat setiap orang akan menyerahkan tata aturan permainan dalam sebuah prinsip ketertiban (orders). Hanya dengan menyepakati ketertiban dan menyadari keterbatasan peran stimulus dan respon maka sebuah permainan bisa berjalan. Tanpa itu, maka permainan tidak bisa lagi dilanjutkan (Huizinga, 1955: 9-13). Asumsi ketiga, melalui komunikasi simbol-simbol dapat dipelajari sejumlah besar arti dan nilai-nilai, dan karena itu dapat dipelajari cara-cara tindakan orang lain. Makna ditularkan dan dipelajari dalam budaya tertentu. Budaya tersebut memberikan jaminan ketertiban atas proses pembelajaran setiap individu yang menggunakan simbol. Jika terjadi kekacauan atas makna simbol, maka masyarakat sebagai unit terbesar manusia, akan mengalami ancaman kehancuran. Untuk itu, setiap manusia akan menciptakan aturan dan ketertiban 51
tersendiri untuk menjamin simbol bisa terus menerus dicerna, diberi makna, dan dipelajari. Konsep ketertiban ini juga dipakai oleh Johan Huizinga untuk memberi ciri-ciri homo ludens (1955). Menurutnya homo ludens bersifat ‘creates order, is order’. Permainan menciptakan aturan dan ketertiban, permainan kemudian menjadi peraturan itu sendiri. Ada garansi ketertiban di sana (hal. 10). Asumsi keempat, simbol, makna serta nilai-nilai yang berhubungan dengan mereka tidak hanya terpikirkan secara parsial, namun selalu dalam bentuk kelompok, yang bisa menjadi sangat kompleks. Artinya, meskipun pada tahapan awal pemaknaan bisa bersifat personal, namun pada tahapan lebih jauh ia membutuhkan konsensus kelompok bahkan masyarakat. Asumsi interaksionisme simbolik ini sejajar dengan asumsi keterbatasan tempat (place) yang menjadi ciri khas homo ludens. Menurut Huizinga (1955), dalam upaya menggelorakan semangat permainan, manusia yang terlibat di dalamnya harus menyadari bahwa permainan yang sedang mereka lakukan bukanlah ‘mengada’ dalam realitas dunia sesungguhnya. Permainan membutuhkan ‘dunia’ seolah-olah yang dibatasi oleh tempat. Permainan hanya dimainkan untuk waktu sementara. Dia dinikmati dalam sebuah kesepakatan dengan kelompok dan orang-orang tertentu yang sepakat untuk ‘bermain’. Tanpa kesepakatan itu, maka sebuah permainan tidak mungkin bisa dilakukan. Penerjemahan seluruh simbol yang dipertukarkan juga hanya berlaku dalam komunitas dan kelompok bermain tersebut. Permainan bisa dinyatakan dimulai, pertukaran simbol berjalan dengan kesepakatan, lalu kemudian permainan bisa dinyatakan berhenti, kesepakatan atas simbol bisa dihentikan atau diganti (Huizinga, 1955:9). Asumsi kelima, proses pertukaran simbol secara otomatis akan menyertakan aktivitas berpikir manusia. Kemampuan ini berguna untuk ‘memilih’ berbagai alternatif respon dan memperkirakan tindakan-tindakan yang akan datang. Di sini, seseorang akan bisa menaksir keuntungan dan kerugian relatif yang menurut penilaian individual bisa dipilih untuk dilakukan. Sebagai pengusung utama interaksionisme simbolik, Mead mengatakan bahwa berpikir merupakan proses di mana individu berinteraksi dengan dirinya sendiri dengan
52
mempergunakan simbol-simbol yang bermakna. Melalui proses interaksi dengan diri sendiri itu, individu memilih beberapa stimulus yang tertuju kepadanya untuk ditanggapi. Dia akan menentukan satu atau beberapa stimulus untuk ditanggapi, dan mengabaikan yang lain. Dalam perbandingannya dengan Huizinga, asumsi ini lebih dinyatakan sebagai sebuah orientasi dari proses bermain (play) yang dilakukan oleh manusia. Meskipun banyak pihak yang mengatakan bahwa tindakan bermain, adalah tindakan bukan sungguh-sungguh, Huizinga menolak tesis tersebut. Menurutnya, bermain adalah sebuah prinsip kehidupan yang dilakukan manusia dengan kesungguhan. Secara etimologis, permainan itu sendiri hanya bisa dipertentangkan dengan kata ‘permainan adalah bukan-sungguhan’ (play is non-seriousness). Dia tidak bisa dilawankan dengan ‘permainan adalah tidak sungguh-sungguh’ (play is not seriousness). Terminologi pertama (nonseriousness) bukan berarti bahwa permainan otomatis sebagai tindakan tak tersadari, atau main-main. Permainan itu sendiri menjadi sebuah tindakan yang memiliki kadar keseriusan tingkat tinggi. Jadi dalam konteks permainan, terdapat syarat untuk memaksimalkan pemikiran,
agar kemenangan (sebagai tujuan
permainan) bisa diperoleh. Permainan mengharuskan manusia untuk berpikir secara sungguh-sungguh (Huizinga, 1955:5-6). Dari lima asumsi yang telah dipaparkan di atas, bisa disimpulkan bahwa interaksionisme simbolik melihat bahwa kehidupan masyarakat terbentuk melalui proses interaksi dan komunikasi antar individu dan antar kelompok dengan menggunakan simbol-simbol yang dipahami maknanya melalui proses belajar. Pemahaman itu menciptakan kemampuan untuk menyaring dan menyeleksi ragam tindakan untuk merespon stimulus simbol yang datang. Tindakan itu hadir dari proses interpretasi yang dipelajari atas makna simbol. Meskipun konsensus tertentu biasanya memberikan pembatasan atas tindakan responnya, namun dengan kemampuan berpikir yang ada, manusia memiliki kebebasan untuk menentukan berbagai alternatif tindakan dan tujuan yang ingin dicapainya (Ritzer,1980).
53
Isu kedua terkait relevansi antara interaksionisme simbolik dan frasa homo ludens adalah tentang fokus objek studi. Seperti telah disebutkan pada bagian awal bahwa kesamaan dari kajian sosial dan humaniora adalah interaksi dan pemaknaan pada diri manusia. Interaksionisme simbolik di satu sisi merupakan sebuah perspektif yang melihat bahwa kondisi sosial manusia hanya bisa dijelaskan melalui kompleksitas makna yang dikonstruksinya melalui interaksi. Dalam kaitannya dengan kompleksitas makna inilah, antara frasa homo ludens yang menjadi kata kunci Johan Huizinga bisa dilihat dari sudut pandang fenomenologi. Dalam
paparannya tentang orientasi akademis Huizinga,
Mangunwijaya (1990) menenggarai posisi teoretik homo ludens sangat dekat dengan pemikiran Ernst Cassirer, tokoh filsafat Jerman yang mengusung frasa ‘homo animal symbolicon.’ Manusia adalah binatang yang paham pada lambanglambang. Paparan relevansi atas objek studi antara interaksionisme simbolik dan fenomenologi ini akan disampaikan berturut-turut. Seorang tokoh interaksionisme pasca Mead, Herbert Blumer (1969b) memberikan tiga premis utama perspektif interaksionisme simbolik. Pertama, manusia bertindak terhadap benda-benda berdasarkan makna benda-benda itu bagi mereka. Kedua, makna benda-benda itu diperoleh atau timbul dari interaksi sosial yang dimiliki oleh manusia dengan seorang manusia lainnya. Ketiga, bahwa makna-makna ini dibicarakan dan dimodifikasi melalui proses interpretif yang digunakan oleh orang dalam menghadapi benda-benda yang dijumpai sosok tersebut
(hal.2).
Premis
ini
pada
perkembangannya
telah
membuat
interaksionisme simbolik menyumbangkan arti pentingnya interaksi manusia dalam bingkai kehidupan manusia sebagai subject matter disiplin ilmu sosiologi selanjutnya (Umiarso & Elbadiansyah, 2014:xvi). Berdasarkan premis utama dan orientasi perkembangan interaksionisme simbolik ini, bisa dikatakan bahwa objek kaji utama dari perspektif ini adalah keberadaan manusia sebagai makhluk aktif pencipta makna dalam setiap interaksi. Interaksi bisa menjadi sebab dan sekaligus menjadi akibat dari munculnya rangkaian makna. Telah dipaparkan sebelumnya, bahwa dalam konteks interaksi antar manusia, seseorang memiliki kapasitas membingkai makna dalam dirinya. Dalam proses interaksi, terjadi pertukaran 54
lambang dan simbol yang maknanya berdasar pada pemahaman bersama. Seseorang tidak mungkin memiliki kekuasaan absolut dalam memaksakan makna pada orang lain. Makna hadir karena kesepakatan. Konsensus inilah yang secara otomatis menjadi budaya dalam lingkar pergaulan manusia (Danesi,2004; Charon,2007). Dalam proses interaksi antar simbol itu, manusia yang mempertukarkan makna juga memiliki kekuatan untuk mempengaruhi dinamika makna. Terjadi saling mempengaruhi antara seorang individu dengan kelompoknya dalam proses pemaknaan (Schellenberg,1997). Hal ini menegaskan bahwa makna sendiri bukanlah sebuah entitas pasif. Makna terus tercipta dan berkembang seiring dengan kompleksitas interaksi. Satu kalimat Herbert Mead tentang arti penting kesepakatan ini dikutip oleh Schellenberg (1997:46) menyebutkan bahwa suatu makna itu lahir dari kesudahan-kesudahan yang diperkirakan, dan bukanlah lahir dari apa yang benar-benar berlaku kemudian. Artinya kesadaran atas perasaan untuk mengambil sebuah buku dan kemudian membacanya, atau melompati parit, melemparkan batu, adalah bahan yang menjadi sumber lahirnya makna buku, parit, dan batu. Tindakan berkelanjutan atas sebuah objek melahirkan rangkaian pemaknaan yang sama sekali terlepas dari keberadaan objek fisik itu sendiri. Interaksi menjadi prasyarat atas rangkaian pemaknaan tersebut. Rangkaian pemaknaan ini yang selanjutnya menjadi asas utama dari apa yang disebut oleh Herbert Mead sebagai kesadaran diri. Dalam fenomenologi sendiri, manusia dianggap sebagai sosok yang aktif memberi makna. Jika kita menelaah buku Peter Berger & Thomas Luckman (1991), akan ditemukan bahwa kesadaran manusia atas makna keberadaan dirinya dalam masyarakat juga terbingkai dalam relasi antara kesadaran manusia dengan sejumlah fenomena yang ada di luar dirinya. Kesadaran diri muncul di sana. Mengingat dua ahli Sosiologi menekankan pada dinamika makna, buku tersebut banyak dinilai memiliki muatan fenomenologi yang sangat kental. Berger & Lucman melihat bahwa pemaknaan manusia atas dunia terbingkai menjadi tiga kekuatan besar yakni eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Melalui proses
55
eksternalisasi kemudian menjadi objektivasi, mereka berdua menyatakan cara paling sederhana untuk melihat kekuatan subjectum (aktif mengambil peran) manusia ini adalah melalui kemunculan pranata-pranata modern. Proses pemaknaan yang sama atas fenomena manusia sebagai makhluk yang unik inilah yang dikuatkan oleh frasa homo ludens Huizinga. Melalui penjelasannya tentang hasrat terdalam ludik manusia, Huizinga menjelaskan bahwa unsur permainan sebagai ciri utama manusia telah terintegrasi dengan dunia pemaknaan. Sejak zaman kebesaran Romawi, pencerahan, zaman Barok, hingga abad modern, manusia memainkan peran pemberi makna yang menciptakan sejarah. Tanpa kesadaran pemaknaan, maka sejarah tidak pernah dituliskan (Huizinga, 1955:241269). Manusia yang dilihat dari perspektif fenomenologi, bagi Huizinga adalah makhluk bermain yang selalu aktif memberi makna. Paparan tentang kesejajaran frasa homo ludens dengan elaborasi interaksionisme simbolik di atas nampaknya cukup untuk menjelaskan tentang relasi antar keduanya. Interaksionisme simbolik sebagai sebuah paham dilahirkan kembali oleh Herbert Mead dan Herbert Blumer untuk menegasi hasrat terdalam manusia dalam bermain (ludens). Baik kesejajaran paradigma yang dimiliki keduanya, maupun objek kajian yang pada dasarnya berimpitan antara interaksionisme simbolik dan fenomenologi, menunjukan bahwa ilmu sosial di satu sisi dan humaniora di sisi lain bukanlah benar-benar dua dunia yang terpisah. Kedua kajian ini layak untuk direkatkan agar bisa memperdalam dan memperluas daya elaborasi atas sebuah fenomena manusia berikut budaya mereka. Sebagai penutup dari kerangka pemikiran ini saya ingin menegaskan kembali tentang argumen saya. Pertama, saya meyakini bahwa talk show sebagai salah satu format acara televisi di dalamnya terdapat nilai-nilai politis yang mengemuka melalui percakapan (conversation) tentang tema-tema politik. Kedua, bahwa dinamika yang terdapat dalam talk show bisa dibaca melalui metafora dromenon yang bersendikan teater dengan konsep kunci stage dan footing. Ketiga, terdapat manifestasi manusia sebagai makhluk bermain (homo ludens) saat pembicaraan tentang tema-tema politik itu dilakukan. Manifestasi ludik yang
56
terbaca melalui pesan verbal dan non-verbal dalam sebuah durasi panjang talk show. Terakhir, upaya untuk memahami talk show sebagai realitas percakapan manusia dipelajari dengan menggunakan kerangka teoretik interaksionisme simbolik dan fenomenologi. Kedua perspektif teoretik ini digunakan dalam melihat posisi dan peran manusia pelaku interaksi dalam kapasitas mereka sebagai makhluk pengonstruksi makna. F. Metode Penelitian 1. Definisi Objek Untuk memberikan batasan tentang objek riset, penelitian ini memberi batasan talk show dan sistem kategorisasinya sesuai dengan kesepakatan AGB Nielsen dengan seluruh stasiun televisi di Indonesia pada tahun 2007. Menurut kesepakatan itu, talk show didefinisikan sebagai program atau acara yang mengulas suatu permasalahan melalui perbincangan, diskusi, wawancara, dan interaksi dengan narasumber dan atau pemirsa, yang dipandu oleh moderator, tanpa kehadiran aktor yang memerankan karakter tertentu (Cakram, edisi 27703/2007). Menurut kesepakatan itu pula, talk show dikategorikan dalam dua sifat. Pertama, talk show bersifat ringan dan menghibur termasuk dalam kategori informasi. Kedua, talk show yang sifatnya formal dan serius umumnya termasuk dalam kategori berita. Mengingat objek penelitian ini adalah talk show Kick Andy-MetroTV yang sifatnya formal dan serius, maka Kick Andy dikategorikan sebagai berita. Keseriusan Kick Andy sebagai program dengan nilai jurnalistik cukup tinggi dibuktikan dengan penempatan sosok-sosok profesional jurnalistik dalam tim kreatif.10
10
Saat ini tim produksi terdiri atas 67 orang yang terbagi kedalam divisi-divisi khusus seperti penyelia program, staf produksi, tim riset, tim liputan, pasca produksi, promo program, hingga pada aspek-aspek teknis seperti camera person, editing, tata lampu, dan sebagainya. Dari keseluruhan divisi itu, anggota tim terbanyak adalah pada divisi liputan (8 orang), yang diperkuat dengan divisi riset (2 orang). Dua divisi inilah yang sangat mendukung Kick Andy sehingga bisa hadir sebagai produk jurnalistik bermutu. Mereka mempersiapkan segala hal yang akan membuat penyajian sebuah episode menjadi ‘berbeda’ dengan tayangan lain. Rata-rata dibutuhkan waktu lebih dari satu bulan untuk dua divisi itu ‘turun ke lapangan’, terkadang harus melakukan riset melalui penyebaran angket untuk mendalami sebuah tema. Misalnya saat menayangkan episode ‘Sepanggal Asa di Balik Terali’, tanggal 19 Juli 2007. Episode yang khusus ditayangkan untuk memperingati hari Anak Nasional itu membutuhkan waktu dua bulan untuk riset, pencarian nara sumber, dan aspek pra produksi lain. Temanya tentang anak-anak yang dipenjara lengkap dengan situasi sosial dan psikologis mereka. Bahkan untuk menunjang kekuatan tayangan, tim Kick Andy melakukan rekaman di luar
57
2. Metode Penelitian Penelitian ini akan menggunakan metode analisis teks yang didukung oleh elaborasi dokumen-dokumen terkait sebagai data sekunder dari objek riset. Strategi itu digunakan untuk menjawab dua rumusan masalah yang telah ditetapkan (hal. 12). Terkait rumusan masalah pertama, upaya mengelaborasi manifestasi ‘ludik’ yang terdapat dalam teks tayangan empat Episode Kick AndyMetroTV akan menggunakan analisis percakapan (conversation analysis). Elemen-elemen dramaturgi seperti footing, dan face, akan dielaborasi dengan mengacu pada rangkai dialog dan interaksi yang terjadi antara host, guest, dan penonton. Analisis ini penting untuk memberikan landasan munculnya fungsi karakter yang berawal dari dialog antara tiga aktor dalam talk show tersebut. Pertanyaan kedua akan dijawab dengan metode analisis naratif. Fakta manifes bahasa gambar akan dielaborasi dalam kaitannya dengan pemunculan fungsi karakter para aktor yang terlibat dalam empat episode terteliti.11 Perangkat konseptual teoretik yang digunakan dalam menguraikan makna gambar hasil dari dua teknik elaborasi di atas, akan bersandar pada elemen-elemen analisis yang disampaikan Tolson untuk melihat dinamika talk show, dan juga ciri homo ludens Huizinga untuk mengelaborasi aspek ludik yang terbaca. Analisis naratif menjadi metode analisis yang digunakan untuk mengurai dan memahami makna yang ada dalam sebuah struktur cerita (Fulton, et.al, 2005). Dalam penelitian ini, naratif dimaknai sebagai rangkaian peristiwa termanifestasi dalam teks, yang berhubungan satu sama lain dan terikat oleh logika sebab-akibat studio yakni di Lembaga Permasyarakatan Anak (laki-laki) Tengerang, pada Kamis 5 Juli 2007. Khusus untuk tayangan ini, tim riset telah menyebarkan angket kepada anak-anak di LP itu satu bulan sebelumnya. Lalu data itu dianalisis. Dengan hasil analisis data itu, Kick Andy menjadi tahu bahwa sekitar 80 persen dari anak-anak itu begitu rindu bertemu dengan keluarga dan berjanji tidak lagi melakukan perbuatan tercela yang membuat mereka harus dipenjara. Dalam episode ini, tim kreatif menghadirkan ibu salah seorang penghuni LP yang lama tidak menengok sang putera di penjara, lalu dibalut dengan aspek jurnalistik yang kuat yang muncul dalam beragam footage, dan tayangan sekilas tentang kondisi anak-anak di sana. Lebih lengkap tentang hal ini bisa di baca dalam Gantyo Koespradono, (2008), Kick Andy: Menonton dengan Hati, PT Bentang Pustaka, Yogyakarta, hal. 254-256. 11 Fungsi karakter yang akan dilihat sebagai langkah awal menggambarkan manifestasi homo ludens dalam penelitian ini mengacu pada karakter-karakter yang umumnya muncul dalam analisis naratif seperti disebutkan oleh Vladimir Propp. Khusus untuk penelitian ini, saya mengambil dari simpulan yang dipaparkan oleh Nick Lacey, Narrative and Genre: Key Concepts in Media Studies, Palgrave, New York, 2000, terutama hal.46-48. Meskipun nantinya tidak semua jumlah fungsi karakter akan muncul (31 fungsi karakter), namun penelitian ini akan menganalisis fungsi karakter terkuat yang dimunculkan oleh aktor (guest, host, dan penonton) dalam setiap episode terteliti.
58
(kausalitas) yang terjadi dalam suatu ruang dan waktu tertentu, yang juga berlaku untuk studi teks media massa (lihat Jim Bizzocchi, 2005; King, 2005; South & Held, 2006 ; Archiopoli, 2009). Secara khusus diaplikasikan untuk menganalisis program televisi (Bignel, 2004; Reid, 2005; Grossberg, et.al, 2006). Dalam penelitian ini, talk show akan dilihat sejajar dengan sebuah karya jurnalistik berupa news. Strategi analisis teks yang digunakan mengacu pada pemikiran Anne Dunn (2005) yang melihat talk show sebagai teks berita (news). 12 3. Objek Penelitian Objek
penelitian ini adalah rekaman program talk show Kick Andy
dengan tema politik yang terdapat pada beberapa episode tahun 2009. Objek riset adalah teks dalam bentuk audio visual dari episode terteliti. Berdasarkan pemilihan tema politik tersebut, tercuplik empat episode yang akan dianalisis. Pengambilan
tema politik dimaksudkan untuk mempersempit
sekaligus
memperdalam analisis atas teks terekam. Hal ini dilakukan mengingat selama tahun 2009 terdapat 48 episode tayangan Kick Andy, dan terdiri atas beragam tema sesuai kondisi dan situasi yang terjadi saat itu. 13 Pada tahun 2009, 48 episode yang telah ditayangkan adalah sebagai berikut : Tabel 1.1: Tema Episode Kick Andy Selama tahun 2009 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Tanggal Tayang 02 Januari 2009 09 Januari 2009 16 Januari 2009 23 Januari 2009 30 Januari 2009 01 Februari 2009 13 Februari 2009 20 Januari 2009 27 Januari 2009 06 Maret 2009 13 Maret 2009 20 Maret 2009
Judul Episode Kasih Tiada Bertepi Politik Karikatur God Bless Return Ketika Maut Menjemput Kisah Para Penjelajah Guruku Pahlawanku Pernikahan Eksentrik Sejuta Asa di Rumah Singgah Api Nan Tak Kunjung Padam Masa Kecil yang Hilang Mati Ketawa Ala Srimulat Menantang Waktu
12
Lebih lengkap tentang langkah-langkah analisis, lihat halaman 65 tentang pola dan proses analisis. Kick Andy ditayangkan secara tidak langsung seminggu dua kali. Siaran pertama ditayangkan setiap hari Jum’at, pukul 21.30 WIB, dan akan disiarkan ulang pada hari Minggu, pukul 14.00 WIB. Setiap kali memulai pengambilan gambar di studio MetroTV, sutradara atau ass. sutradara akan mengingatkan seluruh penonton di studio akan jadwal penayangan ini. Untuk menambah daya publisitas tema setiap episode yang akan ditayangkan, tim Kick Andy juga memberikan ulasan tertulis yang bisa dibaca di surat kabar Media Indonesia edisi Minggu. 13
59
13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48
27 Maret 2009 Tribute to Hoegeng 03 April 2009 Tubuh Mini Prestasi Maxi 10 April 2009 Wanita di Dunia Pria 17 April 2009 Mati Ketawa ala Srimulat (Versi Baru) 24 April 2009 Pantang Mati Sebelum Ajal 01 Mei 2009 Dari Hobi Jadi Profesi 08 Mei 2009 Kreasi Anak Negeri 15 Mei 2009 Mengejar Ilmu Hingga Akhir Hayat 22 Mei 2009 Young on Top 29 Mei 2009 Merekam Sejarah Lewat Koleksi 05 Juni 2009 JK-WIN Menjawab 12 Juni 2009 MEGA – PRO Menjawab 19 Juni 2009 King 26 Juni 2009 Keajaiban Tuhan 03 Juli 2009 Bangkit Dari Keterpurukan 10 Juli 2009 Misteri di Balik Kematian David 17 Juli 2009 Tak Semata Bernyanyi 24 Juli 2009 Pahlawan di Sekitar Kita 09 Agustus 2009 Untukmu Indonesiaku 04 September 2009 Keberanian Bernama Munir 11 September 2009 Mengukir Prestasi Lewat Animasi 18 September 2009 Berprestasi Lewat Seni 25 September 2009 Bernafas dalam Lumpur 02 Oktober 2009 Melawan Nasib 09 Oktober 2009 Kebebasan Akar Musik 16 Oktober 2009 Seribu Kaki Sejuta Asa 23 Oktober 2009 Bunga Dicinta, Malapetaka pun Tiba 30 Oktober 2009 Atas Nama Kepedulian 06 Nopember 2009 Indonesia Kreatif 12 Nopember 2009 Menjadi Saksi Mata 20 Nopember 2009 Pemberontakan Kaum Idealis 27 Nopember 2009 Ketika Nurani Bicara 04 Desember 2009 Berprestasi di Negeri Orang 11 Desember 2009 Jangan Ambil Nyawa Anakku 18 Desember 2009 Tragedi Seorang Demonstran 25 Desember 2009 Tunas-tunas Harapan Bangsa Sumber : http://kickandy.com/theshow/2010/02/05/0/1/0/0/The-Show/45 diakses tanggal 10 Februari 2010
Untuk memperjelas tentang apa yang dimaksud dengan talk show bertema politik yang dipilih sebagai obyek penelitian ini, berikut akan diberikan beberapa argumen terkait dengan apa yang dimaksud dengan talk show bertema politik. Argumen pertama terkait dengan definisi kata politik itu sendiri. Menurut Jary & Jary (1991), politik (politics) adalah “the processes of within a State or organization (including groups of all kind, e.g. families) concerned with influencing the content and implementation of the goals, policies, etc., it pursues,
60
its government”. Merujuk pada definisi ini, maka segala apa yang berkaitan dengan upaya mempengaruhi isi dan implementasi dari kebijakan, tujuan pemerintahan, bisa dikategorikan sebagai politik. Saya melihat dalam tahun 2009 terdapat beberapa episode talk show Kick Andy yang temanya sesuai dengan definisi politik di atas. Argumen kedua terkait dengan pesan-pesan politik yang disampaikan dalam talk show sebagai ciri-ciri talk show dengan tema politik. Seperti dikutip Dan Nimmo (1989), David V. J Bell meyakini terdapat tiga jenis pembicaraan yang mempunyai keterkaitan dengan politik
yaitu: pembicaraan kekuasaan,
pembicaraan pengaruh, dan pembicaraan otoritas. Pertama, pembicaraan kekuasaan merupakan pembicaraan yang mempengaruhi orang lain dengan ancaman atau janji. Bentuknya yang khas adalah ”jika anda melakukan X, saya akan melakukan Y.” Kunci pembicaraan kekuasaan adalah bahwa ’saya’ mempunyai kemampuan untuk mendukung janji maupun ancaman (baca kekuasaan koersif). Kedua, pembicaraan pengaruh adalah pembicaraan yang mempengaruhi orang lain dengan nasihat, dorongan, permintaan, dan peringatan. Bentuknya yang khas adalah ”jika anda melakukan X, maka akan terjadi Y.” Kunci pembicaraan pengaruh adalah bagaimana si pembicara berhasil memanipulasi persepsi atau pengharapan orang lain terhadap kemungkinan mendapat untung atau rugi. Ketiga, pembicaraan otoritas yang berarti menyangkut pemberian perintah. Bentuknya yang khas adalah ” lakukan X” atau ”dilarang melakukan X”. Yang dianggap sebagai penguasa yang sah adalah suara otoritas dan memiliki hak untuk dipatuhi. Mengacu pada tiga jenis pembicaraan politik Bell di atas, saya melihat pembicaraan dalam beberapa episode talk show Kick Andy sepanjang tahun 2009 sangat kental dengan nuansa ketiga jenis pembicaraan tersebut. Ketiga jenis pembicaraan tadi akan saya gabungkan dengan tema pembicaraan politik yang menjadi dasar utama pengambilan objek penelitian ini. Berdasarkan definisi politik dan tiga kriteria pesan politik di atas, penelitian ini mengambil empat obyek penelitian berikut:
61
No 1 2 3 4
Tabel 1.2: Episode Kick Andy Bertema Politik tahun 2009 Tanggal Tayang Judul Episode 27 Maret 2009 05 Juni 2009 12 Juni 2009 04 September 2009
Tribute to Hoegeng JK-WIN Menjawab MEGA – PRO Menjawab Keberanian Bernama Munir
Empat rekaman terteliti di atas memiliki tema besar yang cukup mewakili bila dikaitkan dengan definisi tema politik. Tayangan tanggal 5 Juni 2009 (JKWIN Menjawab) dan tayangan tanggal 12 Juni 2009 (Mega-Pro Menjawab) sangat sarat dengan isu politik. Kedua episode ini ditayangkan dalam konteks persiapan Pemilu 2009. MetroTV secara khusus menyediakan spot program talk show untuk mewawancarai calon presiden dan wakil presiden secara terpisah. Atas dasar itulah, kedua episode ini memiliki nilai politik khusus terkait tema kesiapan dan sosialisasi program dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia 2009-2014 tersebut. Sedangkan tayangan tanggal 27 Maret 2009 (Tribute to Hoegeng) dan tanggal 4 September 2009 (Keberanian Bernama Munir) adalah tayangan yang isinya lebih banyak mempertanyakan isu sensitif terkait kebijakan dan posisi pemerintah Republik Indonesia yang semakin terpuruk. Isu tayangan Hoegeng terkait dengan semakin terpuruknya citra kepolisian (pada episode tersebut negasikan dengan sosok Hoegeng), sedangkan episode Munir adalah sebuah episode yang narasinya mempertanyakan kebijakan pemerintah yang semakin tidak jelas atas meninggalnya sosok pahlawan HAM itu. 4. Tahapan Penelitian Terkait dengan tahapan penelitian, riset ini mengambil gagasan tahapan pemilihan obyek analisis yang ditawarkan Jane Stokes (2006).14 Berdasarkan 14
John Stokes menyarankan delapan tahapan saat seorang akan melakukan analisis naratif atas teks. Kedelapan tahapan itu adalah (1). Memilih teks dengan cermat, (2). Mengakrabi teks, (3). Mendefinisikan hifotesis, (4). Menuliskan karakter plot seperti tergambar di dalam teks, (5). Menggunakan outline plot, lalu menuangkan kisah sesuai dengan kronologis kejadian, (6). Mengindentifikasi ‘kesetimbangan’ pada awal dan akhir teks, (7). Mendefinisikan karakter sesuai dengan ‘fungsi’ mereka di dalam plot, (8). Mengaitkan temuan dengan hipotesis. Lebih jelas tentang hal ini baca Jane Stokes, (2006). How to Do Media and Cultural Studies: Panduan untuk Melaksanakan Penelitian dalam Kajian Media dan Budaya, Penerjemah Santi Indra Astuti, PT. Bentang Pustaka, Yogyakarta, terutama hal. 75.
62
pola pengambilan obyek penelitian dari Stokes tersebut, tahapan yang akan dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Tahap Pertama Akan dipilih empat episode terpilih dari acara Kick Andy yang bertema politik dan ditayangkan pada tahun 2009. Kriteria episode politik ini didasarkan pada definisi politik dan pembicaraan yang mengarah pada pesan politik menurut David V. J Bell. Empat subyek terpilih diambil dari rekaman siaran secara utuh. Unit analisisnya akan mengacu pada segmen yang disajikan. Khusus untuk maksud dan tujuan analisis penelitian ini, segmen ini akan dimaknai sebagai sekuen dalam bahasa sinematografi. 2. Tahap Kedua Masing-masing rekaman episode akan ditranskripkan (menjadi teks tertulis) melalui pemilihan scene yang menunjukan manifestasi ‘ludik’ host, guest, dan penonton. Pola transkrip akan dilakukan dengan dua cara. Pertama, menuliskan setiap perkataan, pertanyaan, dan jawaban baik dari host talk show kepada bintang tamu, maupun sebaliknya, terkadang juga antara host dan penonton di studio. Kedua, secara longgar akan berupaya mendeskripsikan aspek non verbal yang ditunjukkan oleh aktor terkait (host, bintang tamu, dan penonton di studio) dalam talk show tersebut. Ini dimaksudkan untuk menggambarkan situasi emosional yang terekam oleh kamera (mise-on- scene) pada saat acara berlangsung. Nantinya ada bagianbagian transkrip percakapan yang menjadi pendukung utama atas analisis naratif tayangan yang menyandarkan diri pada fungsi karakter yang dimunculkan tokoh politik tertentu. 3. Tahap Ketiga Menemukan, mendeskripsikan dan menganalisis manifestasi ludik dalam narasi tayangan sebagai unsur kontestasi (contest for something) dan representasi (representation of something). Cara
analisisnya akan diurai
berdasarkan segmen (yang dianggap sejajar dengan sekuen) tertentu, dan
63
scene tertentu yang dianggap representatif mengungkap aspek ‘ludik’. Pengungkapan aspek ‘ludik’ ini akan didukung pula dengan dokumen sekunder untuk menjelaskan beragam setting sosial politik yang menjadi latar belakang dan penyebab munculnya gaya ‘ludik’ tersebut. Narasi yang terbangun unik saat pertanyaan dan jawaban disampaikan akan bermuara pada fungsi karakter yang dimunculkan masing-masing aktor dalam empat episode tayangan talk show terteliti. menunjukan
Dari analisis tersebut diharapkan bisa
bagaimana ‘ludik’ dipraktekkan dan menjadi satu faktor
munculnya fungsi karakter setiap aktor. Sesuai dengan pola analisis naratif, masing-masing segmen tayangan program acara talk show Kick Andy akan dilihat dalam sebuah struktur narasi. Struktur narasi menurut Newcomb (dalam Downing, 2004) terdiri atas tiga tahap: awal, tengah, dan akhir. Setiap segmen akan menekankan pada plot tertentu sesuai dengan tujuan tim kreatif dan host talk show. Orientasi analisis nantinya akan mendasarkan diri pada aspek bahasa visual yang digunakan Anne Dunn (2005).15 Sedangkan elaborasi atas elemen-elemen narasi (meliputi character, sound, focalisation, dan cohesion) mendasarkan diri pada kerangka strategi narasi yang dikemukakan Fulton (2005),16 ditambah dengan pemahaman Allrath & Gymnich (2005), serta Herman & Vervaeck (2005).
15
Anne Dunn memberikan enam aspek bahasa visual yang bisa dianalisis secara naratif. Pertama, pembuka sekuen. biasanya ini berwujud bumper in atau simbol visual penanda pergantian sekuen. Kedua, pergerakan kamera. Aspek ini akan menghasilkan makna penguatan dan prioritas tertentu atas gambar sesuai keinginan tim produksi. Secara teknis ini disebut dengan mise-en-scene. Ketiga, peran pembaca berita (newsreaders). Biasanya pembaca berita berperan untuk mensugesti pemirsa agar memiliki kesepakatan makna tentang berita yang akan disampaikan, termasuk aspek-aspek nilai berita di dalamnya. Keempat, dialog. Aspek ini menghasilkan analisis atas gaya, kata-kata, olah vokal, dan gesture dari setiap gambar yang muncul. Bisa jadi analisis ditujukan pada pembaca berita, maupun reporter. Kelima, penggunaan live voice-over (LVO), analisis bisa dilakukan pula pada tayangan footage yang menyertai pembacaan berita dan kehadiran reporter di lapangan. Keenam, perpindahan makna realitas footage kembali ke pembaca berita. Perpindahan ini menciptakan narasi lapangan yang dilaporkan oleh reporter menuju pada narasi utama pembaca berita. Alur cerita dari footage atau reporter harus dijaga sedemikian rupa agar tetap membangun makna sama antara keduanya. 16 Halen Fulton melakukan elaborasi atas dua film fenomenal yakni The Lord of the Rings: The Fellowship of the Ring, dengan The English Patient melalui penggunaan elemen naratif sound, character, focalisation, dan cohesion. Tujuan elaborasi elemen naratif tadi adalah menegaskan bahwa struktur naratif film itu menciptakan makna, tema, dan orientasi yang membedakan bahasa gambar dengan apa yang diekspresikan dalam novel (yang menjadi dasar adaptasi 2 film tersebut).
64
Mengingat talk show memiliki prinsip dan esensi penyajian yang tidak sama dengan program berita (news program) seperti dipaparkan Dune di atas, saya akan melakukan penyesuaian dengan hanya mengambil empat aspek yang nantinya akan dianalisis secara holistik. Empat aspek itu adalah distribusi karakter, peran dan fungsi host, juga guest (tamu), dan penonton, dialog para aktor, dan makna live voice-over (footage). Lebih jelasnya digambarkan di bawah ini: Gambar 1.2: Pola Analisis Analisis Tahap 1
Deskripsi tema episode : Setting & konteks sosial politik episode terpilih Cuplikan narasi setiap episode
Analisis Tahap 2
Analisis naratif fungsi karakter pada beberapa segmen, dan scene 4 episode Kick Andy terteliti, meliputi aspek utama: Distribusi karakter Peran dan fungsi karakter host, guest & Penonton Dialog Live voice-over (footage)
Analisis Tahap 3
Manifestasi fungsi karakter dalam talk show sebagai : Kontestasi Representasi
Analisis shot, scene, & sequen terpilih
Berdasarkan gambar di atas, proses analisis saya akan berjalan sebagai berikut. Tahap pertama saya akan mendeskripsikan empat episode yang dipilih sebagai objek penelitian ini. Keempat episode itu adalah (1). Tribute to Hoegeng, (2). JK-WIN Menjawab, (3). Mega-Pro Menjawab, dan (4). Keberanian bernama Munir. Deskripsi ini selain berasal dari situs resmi www.kickandy.com juga akan saya lengkapi dengan konteks situasi sosial politik yang sangat terkait dengan penayangan episode bersangkutan. Dari upaya ini saya ingin menunjukkan dan menegaskan bahwa setiap episode yang ditayangkan di Kick Andy selalu memiliki relevansi dengan situasi kekinian (aktual) dalam dimensi sosial dan politik di Lebih lanjut baca Helen Fulton, film narrative and visual cohesion, dalam Fulton et.al, 2005, Narrative and Media, Cambridge University Press, New York, terutama hal. 108-122.
65
Indonesia. Tahap kedua, terdiri atas dua aspek. Pertama, terkait mengidentifikasi fungsi karakter yang ada dalam masing-masing talk show Kick Andy-MetroTV episode terteliti. Kedua, menciptakan outline plot berdasarkan fungsi karakter yang telah dihasilkan melalui pemilihan peran dari host, guest, dan penonton pada setiap episode terteliti. Tahap ketiga, saya akan memberikan analisis atas fungsi karakter dan fungsi naratif lainnya yang dimunculkan oleh host, guest, dan penonton pada segmen, scene, dan shoot terpilih untuk menggambarkan manifestasi ‘ludik’ terkait dengan pembicaraan tema politik yang mengarah pada kontestasi (contest for something), dan representasi (representation of something) tertentu dari setiap episode. dari objek gambar terpilih untuk menunjukan manisfestasi homo ludens. Analisis ini akan menekankan pada fungsi karakter setiap sosok yang terlibat dalam segmen talk show yang kemudian membentuk alur dan plot masing-masing segmen di mana aspek ‘ludik’ tersebut muncul dengan kuat. Pola fungsi karakter itulah yang dijadikan patokan untuk melakukan analisis atas dinamika homo ludens yang termanifestasi dalam teks interaksi setiap karakter dalam percakapan politik.
66