BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Asma adalah penyakit heterogenous yang dapat menyerang dari semua usia dan faktor ekonomi, merupakan salah satu dari masalah kesehatan mayor di dunia (Global Initiative for Asthma, 2015), meskipun obat-obat baru dan evidence based guidelines telah berkembang di tahun-tahun terkini namun tidak ada perubahan besar pada morbiditas dan mortalitas asma (Schulz et al., 2001). NAEPP (National Asthma Education and Prevention Program) mendefinisikan asma sebagai gangguan inflamasi kronik saluran pernafasan, dengan banyak sel dan elemen selular yang berperan. Inflamasi pada asma dapat menyebabkan episode berulang dari wheezing, sesak, chest thightness, dan batuk (Global Initiative for Asthma, 2015; National Asthma Education and Prevention Program, 2007). Gejala asma sebenarnya dapat diterapi dan dikontrol sehingga sebagian besar pasien dapat mencegah munculnya gejala sepanjang hari, mencegah serangan serius, dan dapat berakivitas (Mangunrejo et al., 2004). Eksaserbasi asma merupakan penyebab terbesar pasien masuk ke IGD (instalasi gawat darurat), dan kejadiannya di Amerika mencapai 67 dari 10,000 pada tahun 2002 (Lugogo dan MacIntyre, 2008). Eksaserbasi asma (serangan asma) adalah perburukan akut atau sub-akut pada gejala dan fungsi paru dari kondisi status asma pasien yang biasanya (Global Initiative for Asthma, 2015).
1
Studi dari Global Burden of Disease (GBD) 2010, menggambarkan bahwa asma merupakan penyakit yang terdistribusi global dan menjadi penyebab ari faktor risiko kesehatan yang tinggi (Institute for Health Metrics and Evaluation, 2013). Di Indonesia sendiri, data prevalensi asma secara pasti belum tersedia. Pada tahun 2007, pengamatan oleh Subdit Penyakit Kronik dan Degeneratif Lain di 5 propinsi di Indonesia (Sumatera Utara, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Selatan) menunjukkan bahwa umumnya penanganan asma belum terlaksana dengan baik dan ketersediaan peralatan untuk penegakan diagnosa dan penatalaksanaan asma masih minimal (Departemen Kesehatan RI, 2009). Data SKRT (Survei Kesehatan Rumah Tangga) menyatakan bahwa asma termasuk 10 besar penyakit dengan angka morbiditas dan mortalitas tertinggi di Indonesia. Sejak tahun 1986, SKRT mengatakan asma dan PPOK (penyakit paru obstruktif kronik)
menduduki urutan ke-5 dari 10 penyebab
kesakitan (morbiditas) (Mangunrejo et al., 2004). Menurut RISKESDAS 2013, prevalensi asma di Indonesia sebanyak 4,5%, yang meningkat seiring bertambahnya usia dan prevalensinya sama antara perkotaan dan perdesaan. Salbutamol (suatu golongan short acting beta-2 agonist/ SABA), merupakan pilihan utama dalam menejemen eksaserbasi asma (Global Initiative for Asthma, 2015; Asthma Management Handbook, 2006). Dan dibandingkan teofilin (metilsantin) yang digunakan sebagai terapi tambahan dalam manajemen asma apabila efektivitas terapi belum optimal, peran metilsantin dalam menejemen eksaserbasi asma masih kontroversal karena metilsantin memiliki efektivitas bronkodilator yang lebih rendah dan risiko ADR (adverse drug
2
reaction) yang lebih besar daripada salbutamol (Global Initiative for Asthma, 2015; Xu, 2004). Teofilin pada pasien asma dapat mengurangi reaksi obstruksi jalan napas saluran nafas pada fase akhir dan responsif histamin serta mengurangi penurunan fungsi paru yang terjadi di malam hari (Weinberger dan Hendeles, 1996). Teofilin dosis kecil diketahui tidak hanya dapat merelaksasikan otot polos saluran napas, tetapi juga memiliki efek antiinflamasi dan imunomodulator, yang merupakan teori dasar untuk pengobatan asma (Xu, 2004). Teofilin dalam manajemen asma digunakan dalam dua bentuk yaitu oral (digunakan dalam asma stabil) dan intravena (digunakan dalam eksaserbasi asma). Pemberian teofilin melalui rute intravena dalam bentuk aminofilin, merupakan turunan teofilin dengan penambahan ethylenediamine yang menjadi kompleks garam larut air. Teofilin/aminofilin dilaporkan memiliki rentang terapeutik sempit sehingga berisiko menyebabkan terjadinya ADR (Shargel et al., 2012). Bukti mengenai kejadian ADR dari teofilin dan aminofilin telah banyak diungkap (Hart, 2000; Parasmeswaran, 2000; Fotinos dan Dodson, 2002; Makino et al., 2006 ; Tyagi et al., 2008) sehingga penggunaannya di luar negeri sudah ditinggalkan, namun di Indonesia, teofilin masih digunakan dalam terapi eksaserbasi asma. Di Indonesia, aminofilin/teofilin merupakan salah satu obat asma yang sering digunakan dalam penanganan eksaserbasi asma di rumah sakit dan puskesmas. Bahkan aminofilin termasuk dalam daftar DOEN (Daftar Obat Essensial Nasional) 2015 dan FORNAS (Formularium Nasional) 2015 yang dikeluarkan oleh Kementrian kesehatan Republik Indonesia. Di wilayah Surabaya dan sekitarnya, aminofilin dan teofilin dalam terapi asma akut masih banyak digunakan dalam terapi utama
3
eksaserbasi asma di rumah sakit (Arianti, 2009; Junaidi, 2006; Lorensia et al., 2011; Nuriah, 2012; Rahayu, 2009; Lorensia et al., 2012; Lorensia et al., 2013a; Lorensia dan Amalia, 2015). Efek dari ADR suatu obat dapat bersifat individual, termasuk juga efek pengobatan dengan teofilin dan salbutamol pada pengobatan asma. Faktor genetik merupakan salah satu faktor yang menyebabkan respons yang berbeda terhadap terapi asma (Tse et al., 2011), dan diperkirakan pengaruh dari genetik sebesar 2095% terhadap efek suatu obat (Fenech dan Grech, 2011). Variabilitas interindividual kinetika distribusi dan eliminasi teofilin akan mengakibatkan terjadinya perbedaan kadar teofilin dalam plasma, menyebabkan konsekuensi klinis yang tidak bisa diprediksi akibat perbedaan respons terapi teofilin secara individual, yang dapat berupa dosis subterapetik atau dosis toksik (Hubeiz, 1983). Dengan fokus pada teofilin, akan diteliti lebih lanjut profil farmakogenetik orang Indonesia terkait dengan farmakokinetik teofilin, dalam hal ini adalah dalam proses metabolisme (Belle dan Singh, 2008). Diketahui bahwa efek CYP (sitokrom) P450 telah banyak diteliti dan dilaporkan terdapat banyak polimorfisme (Baba dan Yamaguchi, 2005; Uslu et al., 2010; Obase et al., 2003; Yasuda et al., 2008). Teofilin dimetabolisme oleh CYP P450, sehingga akan diamati profil farmakokinetik subjek penelitian terhadap CYP1A2 pada alel CYP1A2*1C, CYP1A2*1D, CYP1A2*1E, dan CYP1A2*1F (Baba dan Yamaguchi, 2005; Uslu et al., 2010; Obase et al., 2003; Yasuda et al., 2008). Penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan Ras Asia cenderung merupakan poor metabolism untuk obat-obat tertentu sehingga lebih berisiko
4
mengalami adverse event, misalnya pada subjek Mongoloid memiliki sensitivitas obat lebih besar dibandingkan ras kaukasian pada penggunaan beberapa obat lain, seperti: propranolol (Zhou et al., 1989), codein (Yue et al., 1989), dan morfin (Zhou et al., 1990). Pada ras Asia di Indonesia, diketahui memiliki eliminasi teofilin yang relatif cepat (dua kali lipat) dibandingkan populasi negara lain, sehingga memerlukan pemberian dosis teofilin lebih sering (Hubeiz, 1983). Peran farmasis dalam penanganan asma, dapat menjadi strategi untuk mencegah dan mengontrol morbiditas dan mortalitas dengan cara memperbaiki outcomes (Abdelhamid et al., 2008; American Society of Health-System Pharmacists, 1996; Bootman, 2007; Corelli et al., 2009; Mill, 2005), serta mempengaruhi biaya kesehatan menjadi lebih cost-effective (Blix et al., 2004; Bootman dan Harrison, 1997; Bootman et al., 2005; Bootman, 2007) yang didukung dengan penelitian terdahulu yang menggambarkan biaya dalam pengobatan asma menjadi lebih besar bila pengobatan tidak optimal (Gazdik et al., 2001; Lorensia et al., 2013b). Penelitian lebih lanjut terkait keamanan (safety) dan efektivitas obat diperlukan agar dapat diketahui keuntungan dan kerugian penggunaan aminofilin/teofilin dan salbutamol dalam terapi eksaserbasi asma sehingga dilakukan risk-benefit assessment, untuk mendapatkan terapi eksaserbasi asma yang cepat dan tepat karena setidaknya satu eksaserbasi merupakan faktor risiko penting untuk eksaserbasi berulang pada penderita asma dan 80% dari total biaya yang ditanggung pasien adalah pengobatan asma di IGD (Dougherty dan Fahy, 2009).
5
Penilaian suatu adverse event terhadap probabilitasnya merupakan suatu ADR karena obat tertentu dapat menggunakan naranjo scale, yang merupakan kuesioner untuk memverifikasi probabilitas ADR dari total skor yang dikumpulkan (Naranjo et al., 1981). Naranjo Score merupakan algoritma untuk menilai ADR yang paling sering digunakan (Srinivasan dan Ramya, 2011). Di Indonesia, naranjo scale telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dan terlampir dalam formulir kuning pelaporan efek samping obat, karena Monitoring Efek Samping Obat (MESO) yang dilakukan di Indonesia bekerja sama dengan WHO Uppsala Monitoring Center (Collaborating Center for International Drug Monitoring) yang dimaksudkan untuk memonitor semua efek samping obat yang dijumpai pada penggunaan obat di Indonesia (Badan Pengawas Obat dan Makanan, 2012). Eksaserbasi asma perlu mendapat perhatian penting karena berisiko tinggi menyebabkan penderitaan bagi pasien dan keluarganya serta meningkatkan pengeluaran biaya sistem kesehatan substansial (Shen et al., 2011). Masalah sosial dan ekonomi dari eksaserbasi asma berkaitan dengan biaya langsung (direct cost) dari pelayanan kesehatan yang digunakan dan biaya tidak langsung (indirect cost) yang berkaitan dengan kehilangan produktivitas (Jackson et al., 2011). Oleh karena itu, studi mengenai risk-benefit assessment ini juga akan didukung dengan cost-effectiveness analysis (CEA) untuk menilai biaya langsung (direct cost) yang diperlukan (input) dan outcome klinis yang dihasilkan (output), dengan membandingkan perbedaan biaya (incremental costs) dan perbedaan efek (incremental effects) (PHARMAC, 2004; College voor Zorgverzerkeringen, 2006;
6
Bootman et al., 2005). Tahun 2003, suatu studi terhadap 401 pasien asma dewasa menunjukkan biaya total penyakit tahunan per orang (total per-person annual disease costs) rata-rata sebesar $4.912. Biaya langsung sebesar 65% dan biaya tidak langsung (indirect cost) sekitar 35% dari total biaya yang digunakan dalam pengobatan (Foggs dan Chipps, 2008).
1. Perumusan Masalah Rumusan masalah utama adalah sebagai berikut: “Bagaimana perbandingan penilaian risiko dan manfaat (risk-benefit assessment) antara terapi aminofilin dengan salbutamol pada eksaserbasi asma?”. Berdasarkan keterangan di atas, dapat diuraikan menjadi rumusan masalah sebagai berikut: a. “Bagaimana perbandingan efikasi pada penggunaan aminofilin intravena dan salbutamol inhalasi pada eksaserbasi asma?” b. “Bagaimana perbandingan ADR pada penggunaan aminofilin intravena dan salbutamol inhalasi pada eksaserbasi asma?” c. “Bagaimana perbandingan cost-effectiveness penggunaan obat pada pasien eksaserbasi asma dengan penggunaan aminofilin intravena dan salbutamol inhalasi?” Untuk mendukung pemabhasan terkait aminofilin (teofilin) maka diperlukan data pendukung berupa: i. “Bagaimana profil polimorfisme CYP1A2 pada pasien eksaserbasi asma yang mendapatkan terapi aminofilin intravena?” ii. “Bagaimana kadar teofilin dalam darah pada pasien eksaserbasi asma setelah pemberian terapi aminofilin intravena selama 1 jam?”
7
2. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai efikasi teofilin yang dibandingkan dengan salbutamol, yang merupakan terapi lini pertama dalam menejemen eksaserbasi asma (Global Initiative for Asthma, 2015), telah dikembangkan sejak lama namun memberikan hasil yang beragam (Hambleton dan Stone, 1979; Littenberg, 1988; Hart, 2000; Parasmeswaran et al., 2000; Fotinos dan Dodson, 2002; Travers et al., 2002; Roberts et al., 2003; Munro dan Jacobs, 2004; Nakano et al., 2006; Travers et al., 2012). Penelitian mengenai keamanan (safety) dari penggunaan teofilin/aminofilin di Indonesia sendiri masih belum ada. Beberapa penelitian mengenai penggunaan teofilin/aminofilin di rumah sakit menyatakan bahwa penggunaannya relatif aman dan ADR yang terjadi cenderung ringan (Junaidi, 2006; Arianti, 2009; Rahayu, 2009; Lorensia et al., 2011; Nuriah, 2012; Rahayu, 2009; Lorensia et al., 2012; Lorensia dan Amalia, 2015). Respon pasien asma terhadap terapi teofilin dipengaruhi oleh genetik (Tse et al., 2011), yang bersifat individual. Teofilin dimetabolisme oleh Cytochrome (CYP) P450 dan aktivitas enzim tersebut dipengaruhi oleh faktor genetik yang bersifat interindividual. Hal ini juga didukung beberapa studi bahwa ada pengaruh genetik dalam metabolisme teofilin (Baba dan Yamaguchi, 2005; Uslu et al., 2010; Obase et al., 2003). Penelitian
mengenai
risk-benefit
assessment
pada
asma
dengan
membandingkan terapi teofilin dan salbutamol belum ditemukan, namun penelitian mengenai risk terkait keamanan (safety) penggunaan dan benefit terkait
8
efektivitas dari terapi teofilin telah dilaporkan oleh beberapa penelitian sebelumnya (Burki, 1977; Goldstein dan Chervinsky, 2002; Ohta et al., 2004; Tyagi et al., 2007; Lee et al.; 2009).
Tabel 1.
No.
Perbedaan Penelitian yang akan Dilakukan dengan Penelitian Sebelumnya Pembeda
1.
Perlakuan
2.
Metode
3.
Subjek penelitian
Penelitian Sebelumnya : aminofilin IV dibandingkan dengan salbutamol, epinephrine, atau bronkodilator lain (Littenberg, 1988). aminofilin iv dibandingkan dengan salbutamol IV (Hambleton dan Stone, 1979; Munro dan Jacobs, 2004) Kombinasi aminofilin IV dan salbutamol dibandingkan dengan salbutamol saja (Hart, 2000; Parasmeswaran et al., 2000; Munro dan Jacobs, 2004; Nakano et al., 2006; Travers et al., 2012), Aminofilin IV dibandingkan dengan LABA (Fotinos dan Dodson, 2002), Salbutamol IV dibandingkan dengan salbutamol nebulasi atau metilxanthin iv (Travers et al., 2002). : Efektivitas (Hambleton dan Stone, 1979; Littenberg, 1988; Parasmeswaran et al., 2000; Roberts et al., 2003; Munro dan Jacobs, 2004; Nakano et al., 2006; Lee et al., 2009; Travers et al., 2012), Keamanan (safety) (Hart, 2000, Ohta et al., 2004, Tyagi et al., 2007) Efektivitas dan keamanan teofilin oral dalam kombinasi dengan ipratropium (Burki, 1977). Efikasi (efficacy) dan keamanan (safety) doxofilin, teofilin, dan plasebo (Goldstein dan Chervinsky, 2002). : Pasien asma akut parah (Littenberg, 1988) Pasien COPD di Turki (Baba dan Yamaguchi, 2005; Uslu et al., 2010) Pasien asma di Jepang (Obase et al., 2003)
Penelitian ini Membandingkan aminofilin intravena dengan salbutamol nebulasi
Risk-benefit assessment dan Cost-effectiveness analysis
Pasien asma akut di Indonesia
Keterangan: IV : intravena LABA : Long acting beta-2 agonist
9
Penelitian ini berbeda dengan semua penelitian sebelumnya (Tabel 1) dalam aspek perlakuan, metode, dan subjeknya. Penelitian ini akan melihat perbedaan efikasi (efficacy) dan keamanan (safety) dari terapi asma dengan aminofilin dan salbutamol pada pasien asma yang mengalami eksaserbasi asma parah atau mengancam jiwa di rumah sakit di Surabaya. Penelitian ini juga akan melihat profil polimorfisme CYP1A2 pada pasien eksaserbasi asma yang mendapatkan terapi aminofilin intravena karena belum ada data mengenai genetik CYP1A2 pada pasien asma di Indonesia, serta profil kadar teofilin dalam darah pada pasien eksaserbasi asma setelah pemberian terapi aminofilin intravena selama 1 jam. Selain itu, juga melihat perbandingan cost-effectiveness penggunaan obat pada pasien asma dengan terapi aminofilin intravena dibandingkan dengan salbutamol nebulasi. Perbedaan semua penelitian dapat dilihat pada tabel 1.
3. Urgensi (Kepentingan) Penelitian Penelitian tentang “Analisis Perbandingan Risiko dan Manfaat (Risk-Benefit Assessment) Penggunaan Aminofilin dan Salbutamol pada Pasien dengan Eksaserbasi Asma” penting dan mendesak dilakukan karena beberapa alasan berikut: a.
Asma masih merupakan salah satu dari masalah kesehatan mayor di dunia, akibat heterogenitas asma yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor (Global Initiative for Asthma, 2015).
b.
Aminofilin merupakan salah satu obat asma yang sering digunakan dalam penanganan eksaserbasi asma di rumah sakit, yang termasuk dalam daftar DOEN 2015 dan FORNAS 2015 namun tidak banyak direkomendasikan
10
pada pedoman internasional. Maka dengan dikembangkannya penelitian itu dapat memberikan masukan mengenai efektifitas dan keamanan (safety) penggunaan teofilin/aminofilin. c.
Penelitian
mengenai
teofilin/aminofilin
pada
profil
genetik
orang
Indonesia
terhadap masih
penggunaan
sangat
terbatas.
Penelitian ini dapat mengembangkan informasi tentang profil genetic orang Indonesia terkait metabolism teofilin, yang mungkin dapat dikaitkan dengan efektifitas dan ADR teofilin d.
Hasil riset risk-benefit assessment dan cost-effectiveness analysis terkait terapi teofilin/aminofilin, dapat menjadi masukan bagi rumah sakit dalam menetapkan penanganan eksaserbasi asma yang tepat dan efektif.
f.
Temuan riset ini dapat berkontribusi dalam pengembangan ilmu dan pembelajaran di bidang kesehatan (klinis) dan menjadi landasan untuk proses pengembangan ilmu farmasi terutama dalam analisa keamanan, efikasi, serta biaya pada pengobatan yang diterima pasien asma yang mengalami eksaserbasi.
11
B. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang di atas, tujuan penelitian utama adalah untuk mengetahui perbandingan penilaian risiko dan manfaat (risk-benefit assessment) antara terapi aminofilin dengan salbutamol pada eksaserbasi asma. Berdasarkan tujuan penelitian utama di atas, dapat diuraikan menjadi tujuan sebagai berikut: 1.
Mengetahui perbandingan efikasi pada penggunaan aminofilin intravena dan salbutamol inhalasi pada eksaserbasi asma.
2.
Mengetahui perbandingan ADR pada penggunaan aminofilin intravena dan salbutamol inhalasi pada eksaserbasi asma.
3.
Mengetahui cost-effectiveness penggunaan obat pada pasien asma dengan penggunaan aminofilin intravena dan salbutamol inhalasi.
Untuk mendukung pemabhasan terkait aminofilin (teofilin) maka diperlukan data pendukung berupa: a. Mengetahui profil polimorfisme CYP1A2 pada pasien eksaserbasi asma yang mendapatkan terapi aminofilin intravena. b. Mengetahui kadar teofilin dalam darah pada pasien eksaserbasi asma setelah pemberian terapi aminofilin intravena selama 1 jam.
12