BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Manusia
akan
mengalami
penuaan
dalam
hidupnya
yang
merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dihindari dan mutlak harus dihadapi oleh semua mahluk hidup. Proses penuaan terjadi secara linier yang dapat digambarkan melalui 3 tahap, yaitu: (1) kelemahan (impairment),
(2)
ketidakmampuan
(disability),
dan
(3)
kecacatan
(handicap), disertai dengan munculnya berbagai masalah kesehatan berupa gangguan fisiologis, penurunan fungsi, kognitif, afektif, dan psikososial (Agus, 2011). Namun, tidak semua lanjut usia mempunyai keterbatasan-keterbatasan tersebut, banyak di antara mereka yang masih aktif (bekerja, berolahraga, berpikir), lebih dewasa, mandiri, dan tetap mempunyai daya ingat yang kuat. Terbatasnya aktivitas bagi lansia membuat daya kerja otak akan semakin berkurang dan tidak produktif. Lansia memiliki ciri-ciri, baik secara fisik maupun psikologi, yang berbeda tergantung dari gaya hidup sebelumnya. Mereka yang pada waktu muda suka berolahraga, di masa tua cenderung lebih kuat dan tahan terhadap penyakit. Proses menua bukanlah suatu penyakit, tetapi suatu proses alamiah. Namun, manusia dapat berusaha memperlambat proses alami ini dengan menjaganya, sehingga sampai pada usia lanjut masih sehat dan menikmati kehidupan yang bahagia dan berkualitas. Pengaruh proses penuaan dapat menimbulkan berbagai masalah, baik secara fisik-biologik, mental maupun sosial dan ekonomi (Hardywinoto, 2005). Berbagai kemunduran fisik mengakibatkan kemunduran gerak fungsional,
baik
kemampuan
mobilitas
maupun
perawatan
diri.
Kemunduran fungsi mobilitas meliputi penurunan kemampuan mobilitas di tempat tidur, berpindah, jalan/ambulasi, dan mobilitas dengan alat
1
2
adaptasi. Kemunduran kemampuan perawatan diri meliputi penurunan aktivitas makan, mandi, berpakaian, defekasi, berkemih, merawat rambut, gigi, serta kumis dan kuku (Pudjiastuti, 2003). Lansia dengan
usia rata-rata 60 tahun, pada tahun 2000
diperkirakan berjumlah 600 juta jiwa dan pada tahun 2025 naik menjadi 1,2 miliar (Heriawan, 2000). Jumlah lansia di dunia pada tahun 2025 diperkirakan 1,2 miliar dan meningkat pada tahun 2050 menjadi 2 miliar (21% total penduduk). Sekitar 80% lansia hidup di negara berkembang dan wilayah Asia Pasifik merupakan bagian dunia yang tercepat pertumbuhannya, salah satunya adalah Indonesia. Pada tahun 2000, jumlah lansia di Indonesia mencapai 14,4 juta (7,18%), dan diperkirakan tahun 2020 meningkat 2 kali lipat menjadi 28,8 juta jiwa atau sekitar 11,34% (Komnas Lansia, 2012). Umur harapan hidup lansia pada tahun 2000 berkisar 60-70 tahun, dan meningkat di tahun 2020 menjadi 70-75 tahun. Meningkatnya umur harapan hidup tersebut disebabkan karena adanya peningkatan status ekonomi, perbaikan lingkungan hidup, majunya ilmu pengetahuan, khususnya ilmu kesehatan, dan bertambah baiknya pelayanan kesehatan, sehingga meningkatkan kualitas kesehatan penduduk (Darmojo, 1999). Pergeseran ini menuntut perubahan dalam strategi pelayanan kesehatan, yaitu perhatian diprioritaskan untuk masalah kesehatan usia dewasa dan lansia, tanpa meninggalkan perhatian pada bayi dan balita yang juga menjadi masalah yang belum terselesaikan (Darmojo, 2000). Peningkatan jumlah penduduk Indonesia tahun 2000 dibandingkan dengan negara seperti Korea Selatan dan Singapura jauh lebih besar, Korea Selatan hanya 3,8 juta jiwa (8% dari total penduduknya) dan Singapura
4,2 juta jiwa atau 7% dari total penduduknya (Depsos RI,
2003). Sejak tahun 2000, penduduk Indonesia sudah tergolong berstruktur tua, karena jumlah lansia > 7% total penduduk. Terdapat 11 provinsi yang
3
penduduknya telah memasuki struktur tua yaitu: DIY (14,04%), Jateng (11,16%), Jatim (11,14%), Bali (11,02%), Sulsel (9,05%), Sumbar (8,74%), Sulut (8,62%), NTB (8,21%), Jabar (8,08%), Lampung (7,78%), NTT (7,68%). Pada tahun 2007 tercatat angka ketergantungan 13,52 yang menunjukkan bahwa setiap 100 orang penduduk produktif harus menanggung sekitar 13 orang lansia. Angka tersebut akan meningkat seiring dengan kenaikan usia harapan hidup (UHH) penduduk Indonesia. Angka kesakitan juga cenderung naik, dari 28, 48% pada tahun 2003 menjadi 31,11% di tahun 2005 (Komnas Lansia, 2012). Organisasi kesehatan dunia WHO (World Health Organitation) telah memperhitungkan,
pada
tahun
2020
Indonesia
akan
mengalami
peningkatan jumlah warga lansia sebesar 41,4% (Admin, 2008). Haryono Suyono
menyatakan bahwa dalam kurun waktu 40 tahun terakhir ini,
pertambahan jumlah penduduk lansia tumbuh pesat, sebesar 10 kali lipat (Prawiro, 2012). Lansia adalah kelompok masyarakat yang memiliki ketergantungan yang tinggi kepada kelompok usia produktif. Pemerintah berupaya mengatasi masalah tersebut dengan mendirikan panti wredha. Pada awalnya, pembentukan panti wredha diperuntukkan bagi lansia yang terlantar atau dalam keadaan ekonomi keluarga yang serba kekurangan. Namun, seiring dengan kemajuan zaman, teknologi yang makin maju, kesibukan keluarga, peralihan peran wanita menjadi fungsi produktif, menyebabkan keluarga mengalami kesulitan waktu untuk berkumpul, berkomunikasi serta merawat salah satu anggota keluarga lansia. Hal tersebut mengundang
sebagian keluarga mencari jalan pintas dengan
menitipkan keluarganya di panti wredha. Berbeda dengan panti wredha di negara maju seperti Amerika Serikat. Panti wredha tersebut dikenal dengan istilah elderly house. Elderly house mempunyai fasilitas yang sangat lengkap, bagus, bangunannya setara dengan hotel atau rumah sakit internasional. Bagi orang-orang tua yang tinggal di sana merupakan suatu kesenangan.
4
Kenyataan tersebut berbeda dengan penelitian yang dilakukan
Kim &
June (2006), yaitu perawatan lansia yang dilakukan di rumah pribadi, dibandingkan dengan perawatan di panti jompo, ternyata perawatan di rumah justru memungkinkan terjadinya gangguan. Hal ini disebabkan oleh perbedaan antara negara-negara dalam sistem perawatan jangka panjang, budaya serta sikap kepedulian terhadap kehidupan individu. Pilihan yang dilakukan keluarga dalam menempatkan orangtuanya untuk tinggal di panti wredha adalah karena masalah keuangan, kesibukan keluarga sehari-hari, serta faktor psikologi (Elliot, 2007). Persepsi tersebut dipengaruhi oleh tingkat pendidikan penduduk yang akan memasuki masa lanjut usia, seperti yang terjadi di Taiwan. Hasil penelitian Liu & Tinker (2001) menunjukkan usia rata-rata lansia yang tinggal di panti jompo lebih panjang daripada yang tinggal dalam komunitas masyarakat dan lebih banyak perempuan daripada laki-laki dengan status pernikahan janda dan duda. Lansia yang menggantungkan diri di panti jompo umumnya yang memiliki masalah kesehatan seperti kardiovaskuler, neurologis, dan kerangka otot. Di Filipina, para lansia diberi program “Livelihood Development Service” oleh Departemen Kesejahteraan Sosial dan Pembangunan Filipina.
Program
tersebut
berbentuk
pelatihan
khusus
untuk
mengembangkan usaha sendiri sebagai mata pencaharian bagi para lansia yang masih aktif. Tujuan akhir untuk mengembangkan kemandirian ekonomi dan tanggung jawab sosial antara lansia (Carlos, 1999). Program pemerintah tersebut didukung oleh komunitas lokal dan dipromosikan melalui organisasi berbasis masyarakat, yaitu Coalition of Services of the Elderly (COSE). Pendekatan tersebut menempatkan lansia sebagai subjek program dengan melakukan pemberdayaan melalui pelatihan kepada kelompok lansia berupa industri rumah tangga seperti memproduksi sabun dan obat herbal serta
memperjual-belikan beras eceran (Tura, 1995).
Selain itu, juga memberdayakan kelompok lansia secara ekonomi melalui pelatihan berbasis komunitas kepada petugas kesehatan lansia dan
5
membentuk
community
gerontologist
di
daerah
kelompok
miskin
perkotaan. Para gerontologi diharapkan dapat memfasilitasi kesehatan bagi kelompok lansia di daerah tersebut (Carlos, 1999). Kondisi
tersebut
sangat
bertolak
belakang
dengan
rumah
penampungan lansia yang didirikan oleh Regina Benitez dengan nama Heaven of Peace Foundation, Inc. (HPFI). Para lansia berasal dari kalangan menengah ke atas dan konsep rumah ini sesuai dengan suasana rumah yang sebenarnya. HPFI menyediakan kamar tidur, ranjang luas, ruang sosial, ruang makan serta berbagai fasilitas penunjang, namun dengan konsekuensi membayar (Gerlock, 1996). Di Korea Selatan, instansi
rumah
perawatan
lansia
dikembangkan
oleh
pemerintah
menggunakan basis rumah sakit, bukan berbasis masyarakat. Lembaga rumah
perawatan
lansia tersebut
secara hukum
diizinkan untuk
memberikan perawatan di rumah pribadi (Park, Hwang, Yun, Kim, Han, Hong, Park, Park, Park, Jang, (2001). Di Indonesia, perawatan lanjut usia di panti wredha merupakan pelayanan yang diselenggarakan dalam jangka panjang. Tetapi, jumlah panti wredha yang dibangun pemerintah berjalan lebih lambat daripada peningkatan populasi lansia, sehingga beberapa panti wredha tidak mampu menampung semua lansia. Panti wredha yang disediakan oleh pemerintah mempunyai kelebihan perawatan selama 24 jam, tetapi hanya menjangkau perawatan secara umum dan biaya yang dikeluarkan akan semakin meningkat. Mottram, Pitkala, Lees, (2002) menyebutkan bahwa pendekatan
perawatan
berbasis
masyarakat
dapat
mengatasi
permasalahan lansia. Kementerian
Kesehatan
telah
lama
mendorong
program
Puskesmas Santun Lansia dan posyandu lansia. Namun, hingga kini belum ada puskesmas santun lansia yang bisa dijadikan percontohan (Kompas, 2012). Panti wredha di Indonesia merupakan tempat bagi mereka yang sudah tidak mampu lagi beraktivitas, sangat jarang
6
ditemukan yang masih produktif. Kebanyakan panti wredha di Indonesia juga tidak nyaman untuk ditinggali. Menurut Komnas Lanjut Usia (2009), masalah yang diprioritaskan bagi lansia
adalah mereka yang mengalami tindak kekerasan, miskin,
terlantar dan cacat. Salah satu panti jompo di Bali, diperuntukkan untuk para lansia mempunyai latar belakang kemiskinan, tidak menikah, tidak mempunyai saudara laki-laki, tidak mempunyai keturunan serta mandul. Hal tersebut terjadi karena anak meninggal atau menjadi janda karena ditinggal suami atau anak serta kekerasan domestik. Mereka diperlakukan secara kasar oleh karena ketidaksempurnaannya. Bagi yang sudah janda tidak diperbolehkan tinggal di rumah keluarga batihnya. Janda dianggap sebagai sesuatu yang buruk atau jahat, juga perempuan yang tidak menikah. Selain itu, adanya kekerasan menurut budaya atau adat bagi yang meninggal tidak mendapat hak untuk memanfaatkan fasilitas umum seperti hak pemakaman atau kremasi (Mantra, 2010). Berbeda dengan panti jompo yang ada di Bagansiapiapi. Tujuan pendirian panti tersebut adalah untuk membalas segala suka duka, jerih payah orangtua yang membesarkan anaknya. Orangtua lanjut usia yang sendirian, sepi kurang mendapat sentuhan, perhatian, cinta kasih, kurang mendapat kepedulian, maka menjadi tanggung jawab moral bersama untuk menyenangkan orangtua agar dapat menikmati sisa hidupnya dengan mulia. Panti ini disponsori oleh komunitas warga Bagansiapiapi dengan membentuk organisasi sosial panti jompo yang modern (Baksos Bagansiapiapi, 2011). Lansia
merupakan
periode
yang
sangat
membutuhkan
penghormatan dan penghargaan dari orang-orang yang lebih muda dan orang-orang di sekitarnya. Lansia mengharapkan orang-orang yang ada di sekitarnya untuk bersikap lebih baik dan selalu memberikan yang terbaik. Hal tersebut terjadi karena dalam budaya timur, sudah menjadi kewajiban dan keinginan dari orang yang lebih muda untuk senantiasa membalas budi terhadap orangtua yang telah merawat dan menjaganya sejak saat
7
masih kecil. Namun, budaya tersebut saat ini semakin mengalami perubahan, terutama pada remaja atau anak muda karena pola kehidupan yang juga telah berubah. Perubahan tersebut terkait dengan aktivitas bekerja yang mereka lakukan dari pagi hingga kadang-kadang sampai larut malam. Perkembangan
teknologi
saat
ini
telah
begitu
maju
dan
mempermudah kehidupan manusia dalam berkomunikasi dan menjalin hubungan jarak jauh. Namun, hal tersebut tidak dapat menggantikan interaksi dan sosialisasi, sehingga teknologi tersebut akan membuat lansia merasa
kesepian
membutuhkan
lebih
dan
tersisihkan.
rasa
kasih
Pada sayang,
usia
lanjut,
perasaan
manusia
dibutuhkan,
penghargaan atas kehadiran, kesenangan bersama dan perasaan diterima dalam suatu komunitas keluarga. Mengingat kebutuhan manusia pada usia lanjut memerlukan adanya interaksi yang intensif dari keluarga, yaitu saudara, anak, dan cucu, keberadaan keluarga sangatlah penting. Selain itu, setiap individu akan merasa lebih senang jika berinteraksi dan beraktivitas dengan teman yang sebaya. Mereka merasa sama, lebih menikmati dalam beraktivitas, tidak ada yang diperlakukan berbeda, sehingga lebih bersemangat dalam melakukan aktivitas. Namun, banyak juga lansia yang ingin mandiri serta masih bekerja yang tidak mau merepotkan keluarganya. Bahkan, walaupun masih mempunyai keluarga, namun tidak ada interaksi, sehingga lansia tersebut mau tidak mau harus mampu mengurus dirinya sendiri saat fisiknya mengalami kemunduran (Pudjiastuti, 2003). Kondisi semacam ini tidak jarang justru menimbulkan stress pada para lansia. Stres di panti jompo dan dengan keluarga dipengaruhi lingkungan internal dan eksternal. Lingkungan internal dipersepsi individu berupa gejala dan kekecewaan atau kemarahan pada anak atau keluarga, sementara lingkungan eksternal atau sekitar rumah, keluarga, kebisingan, kekumuhan, dan lain-
8
lain memunculkan stres berupa ketakutan dan kekhawatiran (Rosita, 2012) Di negara maju, keluarga memasukkan orangtua ke panti wredha bukan karena mereka tidak sayang lagi kepada orangtuanya, melainkan agar orangtuanya tidak merasa kesepian di rumah. Namun, yang perlu menjadi catatan pada perbedaan tersebut adalah terkait dengan masalah budaya. Pada budaya timur, sudah merupakan kewajiban anak untuk merawat orangtuanya pada usia senja, sedangkan di negara maju, khususnya pada kebudayaan barat, umumnya orangtua sudah tidak mempunyai kedekatan yang intim dengan anaknya, saat anaknya beranjak dewasa. Kegiatan yang diadakan bagi penghuni panti wredha di Indonesia cenderung terbatas. Dalam hal ini, kesulitan mencari donatur dan dana tambahan menjadi hambatan utama dalam menyediakan fasilitas yang layak dan lengkap. Dalam peringatan Hari Lanjut Usia Nasional (HLUN) 2011 diberikan bantuan Jaminan Sosial Lanjut Usia (JSLU) untuk 13.250 orang di 33 provinsi sejumlah Rp 47,7 miliar. Namun, bantuan tersebut terlihat kurang memadai karena jumlah lansia jauh lebih banyak daripada penerima bantuan tersebut (Rehsos Depsos, 2011). Hal di atas juga terjadi di Panti Wredha Paniki Kota Manado. Jumlah lansia
saat ini sebanyak 680 orang dan yang tinggal di panti
wredha sebanyak 101 orang, yang tersebar di 3 panti Wredha. Panti Wredha ini sebelumnya dikelola oleh Dinas Sosial Kota Manado dengan nama Panti wredha. Sejak tahun 1990 dialihkan ke Pemerintah Daerah dan namanya diganti menjadi Balai Penyantunan Lanjut Usia sampai sekarang dengan nama BPLU Senja Cerah Paniki. Saat ini menampung sejumlah 60 lansia yang terdiri atas 21 orang laki-laki dan 39 orang perempuan. Tingginya jumlah lansia yang tinggal di BPLU Paniki Manado harus diantisipasi karena dikhawatirkan akan menurunkan kualitas pelayanan.
9
Berdasarkan hasil observasi awal yang penulis lakukan, diketahui terdapat beberapa lansia yang memiliki minat untuk bertahan tinggal di panti wredha dengan alasan yang dikemukakan antara lain, faktor keluarga, ekonomi, ada juga karena keinginan sendiri. Minat lain yang juga mempengaruhi lansia bertahan tinggal di sana adalah suasana yang nyaman, tenang, kebersamaan dengan teman sebaya dan senasib sepenanggungan. Oleh karena itu, peneliti merasa tertarik untuk mengkaji lebih dalam minat lansia bertahan tinggal di BPLU Senja Cerah Paniki, Kota Manado. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan, rumusan permasalahan adalah: Apa saja faktor-faktor yang menyebabkan minat lansia bertahan tinggal di BPLU Senja Cerah Paniki, Kota Manado? C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji lebih mendalam minat lansia bertahan tinggal di BPLU Senja Cerah Paniki Kota Manado. D. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagi peneliti, berguna sebagai masukan dalam pengembangan pengetahuan di bidang perilaku kaum lanjut usia dengan pendekatan kualitatif. 2. Bagi BPLU Senja Cerah, Kota Manado dapat memberikan gambaran pentingnya pengetahuan tentang minat lansia tinggal di BPLU, sehingga dapat mengetahui tindakan dan penanganan yang sesuai dengan kebutuhan dan harapan kaum lanjut usia. 3. Memberikan sumbangan pemikiran dan informasi bagi akademik dalam pengembangan studi tentang perilaku kaum lanjut usia dengan pendekatan kualitatif.
10
E. Keaslian Penelitian Beberapa penelitian tentang permasalahan lansia telah dilakukan dengan topik yang beragam. Beberapa penelitian tersebut antara lain: 1. Henniwati, (2008), melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi pemanfaatan pelayanan posyandu lanjut usia di wilayah kerja Puskesmas Kabupaten Aceh Timur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel status perkawinan, pekerjaan, kualitas pelayanan, dan jarak tempuh mempunyai pengaruh terhadap pemanfaatan pelayanan posyandu lanjut usia, sedangkan variabel umur, jenis kelamin, pendidikan dan jumlah kader tidak mempunyai pengaruh terhadap pemanfaatan pelayanan posyandu lanjut usia. Variabel yang paling berpengaruh terhadap pemanfaatan pelayanan posyandu lanjut usia adalah
jarak.
Persamaan
dengan
penelitian
ini
adalah
pada
permasalahan yang mengangkat tema tentang lansia, sementara perbedaannya pada tema penelitian. Penelitian tersebut meneliti posyandu lansia, sedangkan penelitian ini meneliti
minat lansia
bertahan tinggal di panti wredha. Lokasi penelitian juga berbeda, yaitu pada penelitian ini lokasinya BPLU Senja Cerah Paniki, Kota Manado. 2. Aminingsih, (2010), melakukan penelitian tentang pelayanan kesehatan pada lansia di Panti Wredha Dharma Bakti Surakarta. Kesimpulan dari penelitian tersebut adalah Panti Wredha Dharma Bakti telah melakukan pelayanan kesehatan pada warga secara optimal dengan melibatkan warga secara menyeluruh dalam semua kegiatan yang berhubungan dengan kesehatan serta selalu bekerjasama dengan pihak-pihak yang mendukung dalam meningkatkan pelayanan kesehatan bagi warga panti. Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian ini terletak pada permasalahan penelitian tentang lansia, sedangkan perbedaannya terletak pada fokus penelitian, yaitu meneliti
pelayanan kesehatan
lansia di Panti Wredha Dharma Bakti Surakarta, dan pada penelitian ini mengenai minat lansia bertahan tinggal di BPLU Senja Paniki, Kota Manado.
11
3. Rinajumita, (2011), melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kemandirian lansia di wilayah kerja Puskesmas Lampasi, Kecamatan Payakumbuh Utara, tahun 2011. Kesimpulan dari penelitian ini adalah terdapat hubungan antara kondisi kesehatan, ekonomi, kehidupan beragama dan dukungan keluarga dengan kemandirian lansia. Persamaan dengan penelitian ini adalah pada permasalahan
yang
mengangkat
tentang
lansia,
sementara
perbedaannya terletak pada tema penelitian. Penelitian tersebut tentang kemandirian lansia, sedangkan penelitian ini tentang minat lansia bertahan tinggal di panti wredha. Lokasi penelitian juga berbeda, yaitu BPLU Senja Cerah Paniki Kota Manado . 4. Rizky, (2011), melakukan penelitian tentang hubungan antara tingkat pendidikan dan aktivitas fisik dengan fungsi kognitif pada lansia di Kelurahan Darat, Kota Medan, Sumatera Utara. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya hubungan antara tingkat pendidikan dan aktivitas fisik dengan fungsi kognitif. Persamaan kedua penelitian ini terletak pada permasalahan penelitian tentang lansia, sedangkan perbedaan terletak pada fokus penelitian. Penelitian tersebut mengukur hubungan antara tingkat pendidikan dan aktivitas fisik dengan fungsi kognitif lansia, sedangkan penelitian ini berusaha mengidentifikasi minat lansia bertahan tinggal di panti wredha. Lokasi penelitian juga berbeda, penelitian ini lokasinya di BPLU Senja Cerah Paniki, Kota Manado. Dari beberapa penelitian di atas, topik penelitian tentang minat lansia bertahan tinggal di BPLU Senja Cerah Paniki, Kota Manado memang
belum
dilakukan
pada penelitian
sebelumnya,
sehingga
penelitian ini diharapkan dapat menjadi permulaan untuk penelitian sejenis pada waktu yang akan datang.