BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan merupakan salah satu hak asasi bagi setiap orang yang harus diwujudkan melalui berbagai bentuk upaya pelayanan kesehatan kepada seluruh lapisan masyarakat secara berkualitas, berkeadilan, bertanggung jawab dan terjangkau serta merata, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini sejalan dengan kebijakan global yang tertuang dalam delapan sasaran pembangunan millenium (Milleniem Development Goals - MDGs) dimana faktor kesehatan merupakan isu penting yang sangat berpengaruh terhadap pencapaian sasaran MDGs secara komprehensif. Dewasa ini masyarakat semakin kritis terhadap kualitas pelayanan publik yang diselenggarakan oleh pemerintah terutama pelayanan yang langsung menyentuh masyarakat luas, salah satu organisasi pelayanan publik yang tidak luput dari kritikan adalah sektor kesehatan. Tingginya harapan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu dan berkualitas tidak dibarengi dengan kemampuan penyedia jasa pelayanan kesehatan yang dalam hal ini puskesmas dan rumah sakit sebagai penyedia jasa pelayanan kesehatan sektor publik belum mampu memuaskan para stakeholdernya baik ditingkat kesehatan dasar maupun ditingkat pelayanan kesehatan rujukan. Tingginya tingkat kekosongan obat adalah salah satu isu penting permasalahan di pelayanan
kesehatan dasar sehingga berakibat tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan semakin berkurang. Kritikan masyarakat tentang keberhasilan dan ketidakberhasilan instansi pemerintah dalam menjalankan amanah yang diberikan kepadanya menunjukkan harapan dan kepedulian publik terhadap kinerja instansi sering diabaikan. Persepsi dan harapan masyarakat dengan apa yang dilakukan oleh para pengelola dan pejabat pemerintah sering berbeda. Artinya, terjadi kesenjangan harapan (expectation gap) yang bisa menimbulkan ketidakharmonisan antara instansi pemerintah dengan para direct users dari masyarakat. Kurangnya sumber daya, baik manusia, infrastruktur, sistem, dan lemahnya peraturan perundang-undangan yang mengatur prosedur pelayanan merupakan hal-hal yang utama yang harus segera dibenahi oleh pemerintah (Yulia, 2008). Dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN) pengelolaan kesehatan diselenggarakan oleh semua komponen Bangsa Indonesia (pemerintah pusat, pemerintah daerah dan/atau masyarakat) secara menyeluruh, berkelanjutan, sistematis, dan saling mendukung serta berjenjang guna menjamin tercapainya derajat kesehatan yang optimal. Salah satu subsistem dalam SKN adalah pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan makanan minuman yang berkaitan erat dengan keenam subsistem lainnya yang terdapat dalam SKN. Subsistem sediaan farmasi, alat kesehatan dan makanan dilaksanakan atas dasar prinsip jaminan keamanan, khasiat/kemanfaatan, dan bermutu atas sediaan farmasi, alat kesehatan, dan makanan, tersedia secara luas, merata, dan terjangkau oleh seluruh
lapisan masyarakat, serta mendorong penggunaan obat yang rasional dalam penyelenggaran upaya kesehatan (Depkes, 2006a). Obat salah satu komponen penting dalam penyelenggaraan kesehatan yang tidak dapat digantikan dengan intervensi lain sehingga pemerintah harus mampu menjamin ketersediaan dan keterjangkauan obat yang aman, bermutu dan berkualitas, serta tepat dalam jumlah dan jenisnya secara merata untuk masyarakat secara berkesinambungan. Untuk menjamin hal tersebut diperlukan dukungan sistem pengelolaan obat yang baik dan sistematis mulai dari tingkat pusat sampai tingkat daerah (Depkes, 2006a). Salah satu kebijaan yang diambil pemerintah untuk menjamin ketersediaan dan pemerataan obat essensial di pelayanan kesehatan publik adalah peningkatan efektifitas dan efisiensi distribusi obat melalui regulasi yang tepat, mendorong pelayanan kefarmasian melalui profesionalisme tenaga farmasi, mengembangkan mekanisme pemantauan ketersediaan obat essensial dan mengambil langkah-langkah penyediaannya. Dalam hal keterjangkauan pemerintah mengambil langkah kebijakan yaitu: peningkatan penerapan konsep obat essensial dan program obat generik, memanfaatkan pendekatan farmakoekonomik di Unit Pelayanan Kesehatan (UPK) untuk meningkatkan efisiensi, mengembangkan sistem pengadaan obat sektor publik dengan menerapkan sistem pangadaan dalam jumlah besar/pengadaan bersama (Purwadi, 2008). Eksistensi Gudang Farmasi Kabupaten (GFK) sejak otonomi di beberapa daerah sebagian besar menjadi tidak jelas dan kurang difungsikan sebagaimana tupoksi GFK karena disebabkan pengaruh visi dan persepsi pemerintah daerah terhadap GFK yang bervariasi. Sehingga kedudukan, tugas dan fungsi GFK
menjadi beragam dimana sekitar 61,54% status pengelola obat kabupaten adalah Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD), 23,08% berstatus dibawah Seksi Farmasi pada Dinas Kesehatan, sementara 7,69% statusnya yang belum jelas. Dalam hal kecukupan sumber daya manusia pengelola obat kabupaten/kota sekitar 37,5% GFK belum memiliki SDM yang memadai, sementara untuk sarana dan prasarana sebesar 66,67% unit pengelola obat belum memiliki sarana dan prasarana yang memadai (Herman dan Handayani, 2009). Hal ini berdampak terhadap pengadaan obat menjadi tidak efisien dan tidak sesuai dengan kebutuhan, baik jumlah, jenis maupun penerimaan dan pendistribusiannya. Keadaan di atas ditambah dengan ketidaktaatan dalam pengelolaan obat yang sebelumnya sudah baik sehingga mengakibatkan ketersediaan obat esensial semakin tidak menentu (Depkes, 2006a). Keberadaan Instalasi Farmasi Kabupaten (IFK) belum mampu menjawab permasalahan-permasalahan pengelolaan obat yang ada. IFK di setiap daerah belum mampu memenuhi kebutuhan obat untuk masyarakat yang ada diwilayahnya. Berdasarkan hasil penelitian Herman dan Handayani (2009) masih ditemukan permasalahan pengelolaan obat publik dibeberapa daerah, diantaranya: masih tingginya tingkat kekosongan beberapa jenis obat tertentu sementara di sisi lain ditemukan pula jenis obat tertentu yang mengalami penumpukan, meningkatnya jumlah obat kadaluarsa dan rusak, serta adanya duplikasi obat yang tidak perlu terutama untuk obat golongan antibotik, Masalah-masalah tersebut merupakan indikator bahwa permasalahan pengelolaan obat publik belum terselesaikan dan belum terlaksana secara optimal di beberapa daerah. Sementara Simatupang (2006) mengemukakan bahwa tingkat kesesuaian item obat yang tersedia dengan Daftar
Obat Essensial Nasional (DOEN) dan atau Fomularium Nasional (Fornas) 74,32%, ketepatan perencanaan 87,75%,. Peningkatan kesesuaian jenis obat yang tersediaan dengan DOEN dan atau Fornas akan mendorong dan meningkatkan penggunaan obat yang rasional. Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Tahun 2013 persentase penggunaan obat yang tidak rasional masih tinggi yang dilihat dari banyaknya rumah tangga yang menyimpan obat keras dan antibiotik masingmasing 35,7 dan 27,8% dari 103.860 rumah tangga yang menyimpan obat untuk swamedikasi (BPPK Depkes RI, 2013). Ketersediaan obat terkait dengan pendanaan, alokasi anggaran kesehatan sebelum tahun 1999 di Indonesia berkisar US$ 12 perkapita, namun sejak pelaksanaan otonomi turun menjadi US$ 6,75 perkapita. Di Amerika Serikat berdasarkan studi yang dilakukan Ernst and Grizzle’s:”The cost of drug-relation problem (DPR) for ambulatory patient in the USA in 2000 was greater than $177.4 billion" (Biaya yang berhungan dengan masalah obat untuk pasien rawat jalan di Amerika Serikat pada tahun 2000 lebih besar dari $ 177.4 milyar). Di Indonesia, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Simatupang (2006) tentang pengelolaan obat publik, biaya obat per penduduk di Kabupaten Bandung pada tahun 2004 adalah Rp. 2.320,83,-. Belanja obat menyerap bagian terbesar dari total anggaran kesehatan baik di negara maju maupun di negara berkembang, jika di negara maju berkisar 10-15%, di negara berkembang lebih tinggi lagi yaitu 35-66%. Indonesia sendiri sekitar 39% dari anggaran kesehatan digunakan untuk belanja obat (Depkes RI, 2013). Pembiayaan obat untuk sektor publik menjadi tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah. Pemerintah pusat berkewajiban menyediakan
anggaran obat program kesehatan, program darurat/bencana, dan buffer stock secara nasional. Begitupun untuk jaminan keamanan, khasiat, dan mutu obat yang beredar tetap menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, sementara pemerintah daerah berkewajiban mengalokasikan anggaran belanja obat yang cukup melalui Dana Alokasi Umum (DAU) (Depkes, 2006a). Kabupaten Enrekang merupakan salah satu dari 24 kabupaten/kota yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan. Kabupaten Enrekang memiliki luas wilayah 1.786 km2 atau kurang lebih 2,85% dari luas Provinsi Sulawesi Selatan, secara geografis terletak antara 30 14’ 36” sampai 30 50’0” Lintang Selatan, 1190 40’ 53” sampai 1200 06’ 33” Bujur Timur dengan ketinggian bervariasi antara 47 sampai 3.239 meter dari permukaan laut yang sebagian besar wilayahnya merupakan daerah pegunungan/perbukitan. Secara administrasi Kabupaten Enrekang berbatasan dengan Kabupaten Tanah Toraja di sebelah Utara, Kabupaten Luwu di sebelah Timur, Kabupaten Sidrap di Sebelah Selatan, dan Kabupaten Pinrang di Sebelah Barat. Jumlah penduduk Kabupaten Enrekang pada tahun 2014 sebanyak 193.683 jiwa yang tersebar di 12 Kecamatan dan 129 Desa/kelurahan (BPS Enrekang, 2013). Status kesehatan di Kabupaten Enrekang secara umum mengalami peningkatan. Kabupaten Enrekang memiliki 13 Puskesmas dimana rasio jumlah puskesmas terhadap penduduk Kabupaten Enrekang adalah 1:14.634, puskesmas pembantu 67 unit, polindes 59 unit, posyandu 294 unit. Untuk dukungan sarana pelayanan kesehatan rujukan Kabupaten Enrekang memiliki dua unit rumah sakit yakni 1 unit rumah sakit umum dan 1 unit rumh sakit bersalin, sementara unit
pengelola obat publik yaitu IFK 1 unit. Jumlah tenaga kefarmasian 27 orang yang tersebar di 13 puskesmas, rumah sakit, IFK dan Dinas Kesehatan di Kabupaten Enrekang. Rasio tenaga kefarmasian terhadap jumlah penduduk adalah 1:7000. Adapun persentase penduduk yang mengeluh sakit mengalami kenaikan dari 30,89% pada tahun 2011 menjadi 34,49% pada tahun 2012 (BPS Enrekang, 2013). Anggaran kesehatan Kabupaten Enrekang pada tahun 2013 sebesar Rp. 66.368.209.067 dan hanya sekitar 1,6% atau Rp. 1.077.494.000 dialokasikan untuk belanja obat yang bersumber dari Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Darah (APBD)/Dana Alokasi Umum (DAU) yang meliputi sekitar 170 jenis item obat. Persentase ini jauh di bawah persentase rata-rata belanja obat Nasional. Sementara rata-rata anggaran pemakaian obat setiap bulan di Kabupaten Enrekang sebesar Rp. 117.666.667,-. Sementara biaya operasional gudang sebesar 1,5% dari anggaran obat yang hanya mampu menutupi 10% biaya operasional pengelolaan obat. Kecilnya proporsi anggaran belanja obat di Kabupaten Enrekang tersebut berpengaruh terhadap kinerja Instalasi Farmasi Kabupaten Enrekang (Dinkes Enrekang, 2014). Pengelolaan obat publik untuk pelayanan kesehatan dasar di Kabupaten Enrekang menjadi tanggung jawab Instalasi Farmasi Kabupaten Enrekang (IFK Enrekang) yang secara struktural berada di bawah Seksi Farmasi, Makanan Minuman dan Alkes, Bidang Bina Pelayanan Kesehatan pada Dinas Kesehatan Kabupaten Enrekang. IFK Enrekang melayani 13 puskesmas dan bertanggung jawab atas suplay obat untuk pelayanan kesehatan dasar di 13 puskesmas tersebut termasuk jaringannya (Pustu, Poskesdes dan Polindes), IFK Enrekang juga
melakukan pembinaan bagi petugas pengelola obat di puskesmas yang dilakukan secara rutin, baik dalam bentuk pertemuan maupun dalam bentuk monitoring dan evaluasi. Dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya IFK Enrekang didukung sarana dan prasaran yang cukup memadai meliputi: gedung milik sendiri seluas 380 m2, kendaraan roda dua, rak, trolley, lemari narkotik, lemari es, AC, komputer, telepon dan sarana penunjang lainnya, namun belum memiliki beberapa peralatan operasional seperti kendaraan roda empat dan peralatan pendukung lainnya seperti generator dan hand forklift (Dinkes Enrekang, 2014). IFK Enrekang didukung oleh SDM yang berkompeten, saat ini penanggung jawab pelaksana kepala IFK Enrekang dirangkap oleh Kepala Seksi Farmasi, Makanan Minuman, dan Alkes adalah seorang Apoteker. Sumber daya manusia IFK Enrekang berjumlah 9 orang yang dapat dilihat pada tabel 1. Pimpinan dan Karyawan IFK memiliki kesempatan yang sama untuk mengikuti pelatihan baik tingkat provinsi maupun di tingkat kabupaten untuk peningkatan kemampuan karyawan. Tabel 1. Data Sumber Daya Manusia IFK Enrekang Tahun 2015 No
Jenis tenaga
Jumlah Status kepegawaian 2 PNS
1
Apoteker
2
Tenaga Teknis Kefarmasian
4
3
Tenaga Administrasi
1
Honorer
4
Tenaga lainnya
2
Honorer
Total
9
2 orang PNS 2 orang Honorer
Sumber: Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Enrekang, 2015
Berdasarkan Profil Pengelolaan Obat dan Perbekalan Kesehatan Kabupaten Enrekang Tahun 2013 diperoleh data kesesuaian item obat dengan DOEN 66,23%, persentase rata-rata tingkat kekosongan jenis obat 25%, tingkat kecukupan obat bervariasi antara 0 sampai 1.460 bulan, secara rata-rata tingkat kecukupan sekitar 26 bulan, sementara pemanfaatan dan pengembangan sistem informasi manajemen di IFK Enrekang belum berjalan, terutama jaringan sistem informasi manajemen inventori atau sistem informasi manajemen logistik. Saat ini IFK Enrekang baru memanfaatkan Sistem Informasi Penggunaan Narkotika dan Psikotropika (SIPNAP) dan Sistem Informasi Penggunaan Obat Rasional (SIPOR) yang merupakan software generik dari Kementerian Kesehatan untuk pelaporan narkotik dan penggunaan obat rasional. Dari data tersebut terlihat beberapa indikator pengelolaan obat publik di Instalasi Farmasi Kabupaten Enrekang seperti persentase tingkat kekosongan dan persentase ketersediaan obat belum mencapai target yang ditetapkan. Sebagai organisasi publik dan seiring tuntutan masyarakat terhadap informasi hasil dan manfaat barang/jasa yang diberikan, IFK Enrekang harus memenuhi prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good gorvernance) yang dapat dicapai dengan pengaturan standar proses pelayanan, meliputi aspek input, proses, dan output pelayanan untuk menjamin pelayanannya memenuhi prinsip-prinsip penyelenggaraan yang transparan, non-partisan, efisien dan akuntabel (Sarie, 2012). Kegiatan IFK berkewajiban memenuhi kebutuhan dasar hak sipil warga negara dan penduduk atas suatu barang dan jasa atau pelayanan administrasi yang diselenggarakan oleh penyelenggara pelayanan publik dan
memenuhi standar pelayanan publik untuk memberikan jaminan kepada masyarakat akan pelayanan yang berkualitas dan dapat dipertanggungjawabkan, serta sebagai sumber informasi mengenai akuntabilitas pelayanan yang harus dipertanggungjawabkan oleh IFK dan nantinya akan terwujud sistem manajemen kinerja yang menghasilkan kinerja yang berorientasi pada hasil (Outcome) secara transparan dan akuntabel (Mahsun, 2011). Faktor utama yang menentukan kinerja suatu perusahaan atau oganisasi adalah kualitas barang dan jasa yang dihasilkan yaitu sesuai apa yang diinginkan pelanggannya sehingga organisasi perlu mengenal dan mengetahui keinginan/kebutuhan pelanggannya (Ariani, 2002).
B. Perumusan Masalah Berdasarkan atas uraian latar belakang diatas, maka rumusan masalah penelitian ini adalah bagaimanakah kinerja organisasi Instalasi Farmasi Kabupaten Enrekang saat ini bila diukur dengan menggunakan konsep Balanced Scorecard dengan keempat perspektifnya: pembelajaran dan pertumbuhan, proses bisnis internal, pelanggan dan keuangan?
C. Batasan Penelitian Dalam penelitian ini Peneliti membatasi lingkup penelitian sesuai fokus penelitian yaitu empat perpektif dalam Balanced Scorecard: pembelajaran dan pertumbuhan, proses bisnis intenal, pelanggan dan keuangan pada Instalasi Farmasi Kabupaten Enrekang dengan batasan tahun 2012, 2013 dan 2014
D. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Untuk mengetahui bagaimana kinerja sebuah organisasi pemerintah khususnya sektor kesehatan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat secara efektif dan efisien. 2. Tujuan Khusus Untuk mengetahui kinerja Instalasi Farmasi Kabupaten Enrekang sebagai unit pengelola obat publik di Kabupaten Enrekang ditinjau dari empat perspektif dalam Balanced Scorecard: perspektif pembelajaran dan pertumbuhan, proses bisnis internal, pelanggan, dan keuangan guna meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan meningkatkan akuntabilitas.
E. Manfaat Penelitian 3. Bagi peneliti Sebagai sarana proses pembelajaran bagi peneliti dalam menambah ilmu, pengetahuan dan pengalaman sekaligus menerapkan ilmu pengetahuan yang diperoleh selama kuliah ke dalam realita permasalahan yang ada di lapangan. 4. Bagi Instalasi Farmasi Kabupaten Enrekang Untuk mengetahui kondisi kinerja Instalasi Farmasi Kabupaten Enrekang saat ini, sehingga dapat dijadikan dasar pengambilan keputusan dalam mengelola organisasi menjadi lebih efektif dan efisien agar pelayanan menjadi lebih baik
5. Bagi pihak lain Untuk memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dan bahan referensi untuk kepentingan pendidikan dan penelitian lebih lanjut tentang pengukuran kinerja pada organisasi pemerintah bidang kesehatan khususnya pengelolaan obat publik pada Instalasi Farmasi Kabupaten/kota (IFK) dengan pendekatan Balanced Scorecard.
F. Keaslian Penelitian Beberapa peneliti yang juga membahas BALANCED SCORECARD antara lain: Tabel 2. Keaslian Penelitian Perbedaan Unit analisis
Lokasi Penelitian Waktu Jenis Organisasi Jenis penelitian Indikator
Penelitian ini (Indawan 2015) Instalasi Farmasi Kabupaten Enrekang Provinsi Sulawesi Selatan Kabupaten Enrekang Sulawesi Selatan 2014 Pemerintah/nirlaba/nonprofit (pure non profit organization) Deskriptif • Perspektif pembelajaran & pertumbuhan: › proporsi pelatihan karyawan; › produktvitas karyawan; › Kepuasan kerja karyawan; › organization capital (Budaya organisasi, kepemimpinan, team work, Keselarasan, Motivasi); › human capital (knowledge, skill, talent); › Informational capital (SIM, network, database);
Anwarudin (2013) Sarie (2012) Nurina (2008) Unit Bisnis Apotek PD Farmasi UPT Penyelenggara Jaminan Instalasi Farmasi RSU Negara Ciremai Kota Cirebon Kesehatan Daerah Kabupaten Jembrana Bali Cirebon
Yogyakarta
Jembrana Bali
2013 Organisasi BUMD berorientasi laba Deskriptif analitik
2011 Organisasi publik nirlaba (Quasy nonprofit organization) Deskriptif analitik
2008 Organisasi Publik berorientasi laba Deskriptif non eksperimental
› pelatihan karyawan, › tingkat absensi, › kepuasan kerja karyawan, › produktivitas karyawan, › perputaran pegawai, › kapabilitas sistem informasi, budaya organisasi, motivasi kerja, leadership, team work
› human Capital; › information Capital; › organization Capital; › jumlah pelatihan yang pernah diikuti; › kepuasan kerja personel.
› Produktivitas petugas › Pengembangan SIM › Semangat kerja
Tabel 2. Lanjutan • Perspektif Proses Bisnis Internal: › kesesuaian item obat yang › tingkat ketersediaa obat; tersedia dengan DOEN; › rata-rata waktu pemberian › kesesuaian obat dengan obat; kebutuhan › rata-rata waktu pemberian › ketepatan perencanaan; informasi obat. › ketepatan distribusi; › persentase dan nilai obat rusak dan kadaluarsa; › tingkat ketersediaan obat; › rata-rata waktu kekosongan obat (stock out); › persentase obat yang stok mati; › tingkat kesempurnaan penyelesaian order puskesmas (perfect rate order dan back order rate); › inventory accuracy;
› waktu tunggu; › jumlah layanan yang berhasil dilakukan perperiode; › kecepatan proses administrasi;
› tingkat ketersediaan obat; › dispensing time; › proporsi pelabelan yang benar; › rata-rata waktu pemberian informasi obat;
› Tingkat harapan peserta terhadap pelayanan; ›Tingkat persepsi peserta terhadap pelayanan; › pertumbuhan peserta kategori Naban;
› kepuasan pelanggan (pasien) › keterjaringan pasien
• Perspektif Pelanggan: › kepuasan pelanggan
› kepuasan pelanggan; › retensi pelanggan; › akusisi pelanggan; › keluhan Pelanggan;
Tabel 2. lanjutan • Perspektif Keuangan: › Persentase alokasi dana pengadaan obat; › Persentase alokasi dana yang tersedia; › Inventory Turn Over Ratio;
› Return on Investment (ROI); › Gross Profit Margin (GPM), › Total Asset Turn Over (TATO),
› Realisasi anggaran; › Besarnya dana reimbursement bagi peserta › Jamkesda kategori Naban 2010,
› Growth Ratio on Sales
16