BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dan masih menjadi masalah kesehatan masyarakat hingga saat ini. Tuberkulosis adalah penyakit menular yang mudah menyebar karena penularan melalui udara (airborne disease). Secara umum orang yang terinfeksi akan berkembang menjadi penderita TB relatif kecil, tetapi kemungkinan tersebut menjadi lebih tinggi pada orang dengan infeksi HIV. Penyakit ini lebih sering terjadi pada pria daripada wanita, dan dua-pertiga kasus diperkirakan terjadi pada kelompok usia produktif yaitu 15-59 tahun (WHO, 2011). Secara global jumlah kasus TB per tahun telah menurun sejak tahun 2006 dan angka kejadian per 100.000 penduduk sejak tahun 2002 mengalami penurunan 1,3% per tahun. Apabila tren tersebut berlanjut terus, diperkirakan target MDGs akan tercapai pada tahun 2015. Tahun 2010 terdapat sekitar 8,8 juta insiden kasus TB dengan 1,1 juta diantaranya meninggal dunia pada kasus HIV negatif dan 350.000 pada kasus HIV positif. Sebagian besar jumlah kasus TB terdapat di Asia (58%), Afrika (26%) dan sisanya di Timur Tengah (7%), Eropa (5%) dan Amerika (3%) (WHO, 2011). Diperkirakan
sekitar
sepertiga
penduduk
dunia
telah
terinfeksi
Mycobacterium tuberculosis sehingga penyakit ini merupakan isu kesehatan global dan menjadi masalah kesehatan prioritas terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Tahun 2006 terdapat sekitar 9,2 juta kasus baru TB Paru dan diperkirakan 1,7 juta kematian (25/100.000) akibat TB. Sekitar 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB didunia, terjadi pada negara-negara berkembang. Demikian juga, kematian wanita akibat TB lebih banyak daripada kematian karena kehamilan, persalinan dan nifas (Kemenkes, 2011a). Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis (15-50 tahun). Diperkirakan seorang pasien TB dewasa, akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal tersebut berakibat pada
kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30%. Jika ia meninggal akibat TB, maka akan kehilangan pendapatannya sekitar 15 tahun. Selain merugikan secara ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk lainnya secara sosial yaitu stigma bahkan dikucilkan oleh masyarakat (Kemenkes, 2011a). Diperkirakan pada negara-negara dengan pendapatan nasional yang tinggi, rata-rata kejadian TB adalah 10/100.000, sementara pada negara dengan pendapatan rendah 20 kali lebih tinggi (WHO, 2005). Situasi TB di dunia semakin memburuk, jumlah kasus TB meningkat dan banyak yang tidak berhasil disembuhkan, terutama pada negara yang dikelompokkan dalam 22 negara dengan masalah TB terbesar (high burden countries). Menyikapi hal tersebut, pada tahun 1993, WHO mencanangkan TB sebagai kedaruratan dunia (global emergency). (Kemenkes, 2011a). Secara global, satu miliar orang hidup dengan kurang dari US$ 1 (satu dollar) sehari. Dua miliar orang hidup di daerah kumuh perkotaan dan lingkungan yang sulit lainnya. Hidup mereka ditandai oleh kondisi lingkungan yang keras, penuh sesak, ventilasi yang buruk dan gizi buruk. Keadaan tersebut membuat mereka lebih rentan terhadap TB, mengakibatkan kondisi keuangan dan sosial yang tidak aman. Saat ini, 95% dari kematian terkait TB terjadi di negara berkembang (WHO, 2010)c. Setelah sekitar satu dekade Indonesia menduduki peringkat 3 (tiga) dunia dalam jumlah penderita TB, berdasar laporan Global Tuberculosis Control (WHO, 2010), berdasar data tahun 2009 Indonesia telah mengalami penurunan jumlah kasus dan menduduki peringkat ke-5 setelah India, Cina, Afrika Selatan dan Nigeria. Berdasar laporan tersebut, total seluruh kasus TB di Indonesia pada tahun 2009 sebanyak 294.731 dengan rincian 169.213 adalah kasus baru TB Paru BTA Positif, 108.616 kasus TB BTA Negatif, 11.215 kasus TB Extra Paru, 3.709 kasus TB Kambuh, 1.978 adalah kasus pengobatan ulang diluar kambuh. Pelaksanaan Program Penanggulangan Penyakit TB Paru telah dilaksanakan dengan berbagai sistem. Saat ini pelaksanaan strategi DOTS merupakan yang paling tepat. Tak ketinggalan Propinsi Gorontalo berpartisipasi dalam upaya penanggulangan TB Paru. Secara nasional cakupan penemuan kasus di Propinsi Gorontalo tergolong baik walaupun belum selalu mencapai target. Adapun cakupan penemuan kasus TB Paru di Propinsi Gorontalo terlihat pada gambar 1 di bawah.
90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
2006
2007
2008
2009
CDR
79
60
58,2
68
Target
70
70
70
70
Sumber data : Dinas Kesehatan Propinsi Gorontalo 2009. CDR = Case Detection Rate
Gambar1 : Cakupan Penemuan Kasus Baru Penderita TB Paru di Propinsi Gorontalo Tahun 2006-2009.
Kasus TB Paru BTA (+) Per Kab/Kota di Prop Gto tahun 2009 1600 1370
1400 1200 1000 777
800
P
593 600 400 200
L
312 179 133
346
315 183 132
Jml
146 79 67
157 92 65
Boalemo
Pohuwato
191 155 53 41
94
0 Kota Gto
Kab Gto
BonBol
Gorut
Prop
Sumber data : Dinas Kesehatan Propinsi Gorontalo 2009. L = Laki-laki, P = Perempuan
Gambar2 : Jumlah Kasus TB Paru BTA (+) Berdasar Jenis Kelamin Per Kabupaten/Kota di Propinsi Gorontalo Tahun 2009. Gambar 1 di atas menunjukkan bahwa cakupan penemuan kasus TB Paru di Propinsi Gorontalo cenderung menurun dari tahun 2006-2009. Hal tersebut perlu dicermati dan diupayakan kembali agar penemuan kasus meningkat sehingga tidak ada lagi kasus TB Paru yang tidak terdeteksi dan tidak diobati. Kota Gorontalo menduduki peringkat 3 di Propinsi Gorontalo dalam jumlah kasus TB Paru yaitu sebanyak 312 penderita di tahun 2009 sebagaimana tampak pada gambar 2 dan 366 di tahun 2010. Masih tingginya angka penderita TB Paru memerlukan usaha keras dalam penanggulangannya mengingat penderita TB Paru
sebagian besar berada pada kelompuk usia produktif sebagaimana tampak pada tabel 1 di bawah ini. Tabel 1 : Jumlah Kasus TB Paru BTA(+) Per Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di Kota Gorontalo Tahun 2009. Tri Wulan TW 1 TW 2 TW 3 TW 4 JUMLAH
Anak 0-4 5 - 14 L P L P 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
15 – 24 L P 6 8 8 8 11 8 6 6 31 30
25 – 34 L P 13 4 9 6 6 8 11 8 39 26
Dewasa 35 - 44 45 - 54 L P L P 9 2 8 3 8 0 5 7 6 9 10 10 9 7 16 5 32 18 39 25
55 - 65 L P 4 4 7 10 10 5 8 7 29 26
> 65 L P 3 3 2 3 4 1 0 1 9 8
TOTAL L 43 39 47 50 179
P 24 34 41 34 133
Sumber : Program P2 TB Paru, Dinas Kesehatan Kota Gorontalo. TW = Tri Wulan, L = Laki-laki, P = Perempuan Sementara jumlah kasus TB Paru yang ditemukan di Kota Gorontalo sejak tahun 2008 mengalami peningkatan sebagaimana ditunjukkan pada tabel 2. Hal tersebut menunjukkan bahwa penularan penyakit TB Paru di masyarakat Kota Gorontalo masih efektif. Tabel 2 : Jumlah Penemuan Kasus TB Paru BTA (+) Berdasar Puskesmas di Kota Gorontalo Tahun 2008-2010 Tahun No Puskesmas 2008 2009 2010 1 PILOLODAA 30 26 19 2 BULADU 21 18 32 3 WONGKADITI 37 46 48 4 DULALOWO 50 46 55 5 TAMALATE 65 65 91 6 LIMBA B 62 69 67 7 DUNGINGI 36 42 54 KOTA 301 312 366 Sumber Data : Program P2 TB Paru, Dinas Kesehatan Kota Gorontalo.
Faktor risiko terjadinya TB Paru secara umum dapat dibagi menjadi 2 yaitu faktor demografi dan lingkungan. Faktor demografi terkait dengan kemiskinan, pendidikan, kepadatan penduduk. Faktor lingkungan diantaranya berhubungan dengan lingkungan perumahan dan lingkungan pemukiman secara umum. Adanya faktor risiko lingkungan dapat diketahui bagaimana persebaran kasus di suatu wilayah. Cara untuk mengetahui bagaimana pola persebaran tersebut yaitu dengan analisis secara spasial atau keruangan pada wilayah yang terdapat kasus TB Paru. Hingga saat ini, pengolahan dan analisis data TB Paru di Propinsi Gorontalo dan khususnya di Kota Gorontalo, masih sebatas analisis tabular dan grafik.
T 67 73 88 84 312
Analisis sebaranpun masih dalam agregat distribusi kasus per kelurahan dan kecamatan dalam bentuk tabel, belum berupa pemetaan. Data kasus TB Paru sudah cukup lengkap dan baik, sehingga perlu lebih dikembangkan untuk dapat lebih tepat dalam mengambil kebijakan program. Surveilans TB Paru belum berperan signifikan di Kota Gorontalo dalam mengidentifikasi rantai penularan. Hal itu sangat disayangkan mengingat data penderita TB Paru sudah lengkap hingga alamat kasus, sehingga sangat mungkin dilakukan pemetaan distribusi kasus hingga lokasi individu dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis. Pemetaan distribusi kasus TB Paru di Kota Gorontalo belum tersedia, terlebih lagi tentang tingkat kerawanan wilayah. Penelitian ini salah satunya bertujuan untuk menganalisis distribusi kasus TB Paru BTA (+) secara spasial di Kota Gorontalo tahun 2010. Diharapkan hasil yang didapat berupa gambaran spasial kasus TB Paru BTA (+) dapat pula mengidentifikasi faktor risiko kewilayahan terhadap penyebaran penyakit TB Paru di Kota Gorontalo.
B. Perumusan Masalah Berdasar uraian di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu : 1. Apakah ada pengelompokan (cluster) kasus TB Paru BTA (+) di Kota Gorontalo ? 2. Apakah faktor sosio-demografi (kepadatan penduduk, kemiskinan, pendidikan rendah, jumlah penduduk lansia) berhubungan dengan kejadian TB Paru BTA(+) di Kota Gorontalo? 3. Apakah faktor geografi dan lingkungan (jarak fasilitas kesehatan, jarak jalan, kepadatan rumah/bangunan, jumlah rumah tidak sehat) berhubungan dengan kejadian TB Paru (+) di Kota Gorontalo?
C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah : 1. Tujuan Umum : Mengetahui pola persebaran TB Paru BTA(+) secara spasial berdasar faktor sosio-demografi dan geografi di Kota Gorontalo, Propinsi Gorontalo serta memetakan distribusi spasial kasus TB Paru BTA (+) di Kota Gorontalo.
2. Tujuan Khusus : a. Mengetahui distribusi frekuensi (jumlah dan persebaran) kasus TB Paru BTA (+) di Kota Gorontalo berdasarkan waktu, tempat dan orang tahun 2010. b. Mengetahui adanya pengelompokan (clustering) kasus TB Paru BTA(+) di Kota Gorontalo tahun 2010. c. Mengetahui distribusi frekuensi faktor risiko lingkungan perumahan (jenis fisik rumah, jenis lantai, pencahayaan, kelembaban, kepadatan hunian, ventilasi) pada kasus TB Paru BTA (+) dan persebarannya di Kota Gorontalo tahun 2010. d. Mengetahui distribusi kasus TB Paru BTA (+) di Kota Gorontalo berdasar hasil akhir pengobatan tahun 2010. e. Mengetahui hubungan faktor sosio-demografi (kepadatan penduduk, kemiskinan, pendidikan rendah, jumlah penduduk lansia, rata-rata jumlah penghuni rumah) dengan kejadian TB Paru BTA(+) di Kota Gorontalo tahun 2010. f. Mengetahui hubungan faktor geografi dan lingkungan (jarak fasilitas kesehatan, jarak jalan, kepadatan rumah/bangunan, jumlah rumah tidak sehat) terhadap kejadian TB Paru BTA(+) di Kota Gorontalo.
D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini nantinya diharapkan dapat dimanfaatkan oleh beberapa pihak antara lain : 1. Program TB Paru, memberikan gambaran tentang penggunaan GIS untuk digunakan dalam surveilans TB Paru. 2. Dinas Kesehatan Kota Gorontalo, sebagai masukan dalam penyusunan perencanaan langkah strategi pencegahan dan pemberantasan penyakit TB Paru secara terpadu. 3. Pemerintah Daerah Kota Gorontalo atau Instansi terkait, sebagai masukan dalam perencanaan program kesehatan lingkungan pemukiman. 4. Institusi Pendidikan, sebagai tambahan kepustakaan dan memberikan informasi tentang faktor risiko TB Paru serta persebarannya.
5. Peneliti lain, sebagai bahan referensi untuk penelitian lebih lanjut maupun pelengkap penelitian tentang TB Paru.
E. Keaslian Penelitian Penelitian tentang analisis spasial faktor risiko TB Paru sudah dilakukan di beberapa tempat. Tetapi khusus di Kota Gorontalo, sepengetahuan penulis sejauh ini belum pernah dilakukan. Beberapa penelitian tentang analisis spasial faktor risiko TB Paru antara lain : 1. Yeung, Chan M, et al. (2005), Socio-demographic and Geographic Indicators and Distribution of Tuberculosis in Hong Kong : a Spatial Analysis. Bertujuan menentukan faktor sosio-demografi dan geografi yang berpengaruh terhadap distribusi kasus TB di Hongkong. Unit analisis berupa kelompok blok pemukiman dengan batas jalan. Indikator sosio demografis dan geografis yang digunakan sebagai variabel penelitian adalah : kepadatan penduduk, persentase lansia, persentase rumah tangga dengan pendapatan rendah, persentase penduduk dengan pendidikan rendah, persentase pengangguran. Menyimpulkan bahwa pendidikan rendah, lansia dan kemiskinan merupakan faktor yang berpengaruh terhadap kejadian TB pada suatu blok pemukiman di Hongkong. 2. Neeraj Tiwari, et al. (2006), Investigation of Geospatial Hotspot for The Occurence of Tuberculosis in Almora District, India, Using GIS and Spatial Scan Statistic. Tujuan penelitian untuk melihat pengelompokan/clustering kasus di daerah dengan insidensi tinggi tanpa memperhitungkan faktor risiko. Menggunakan analisis SatScan, didapatkan 3 (tiga) buah cluster yaitu most likely cluster terdapat di District Almora dan secondary cluster di Chaukutiya dan Dauladevi. 3. Chrysantina (2006) : Analisis Spasial dan Temporal kasus Tuberkulosis di Kota Yogyakarta, Juli-Desember 2004. Meneliti distribusi spasial kasus TB di Kota Yogyakarta berdasar waktu. Menyimpulkan bahwa kasus TB Paru di Kota Yogyakarta banyak mengelompok di daerah bantaran sungai, terutama sungai Winongo dan Code dimana wilayah tersebut merupakan daerah kumuh. 4. Agung Nugroho (2010) : Faktor Risiko dan Sebaran Tuberkulosis BTA Positif di Kota Kendari Propinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2009 : Gambaran
Epidemiologi Spasial. Disebutkan bahwa kasus TB Paru BTA (+) di Kota Kendari cenderung mengelompok dalam radius 0-1 km dari unit pelayanan kesehatan. Secara kewilayahan dinyatakan bahwa terdapat hubungan antara jumlah kepala keluarga miskin dengan kejadian TB Paru BTA (+). Sementara topografi kelurahan dan kepadatan penduduk tidak berhubungan dengan kejadian TB Paru BTA (+) di Kota Kendari. 5. Ni Nyoman Kristina (2007) : Aplikasi Sistem Informasi Geografis untuk Pemodelan Spasial Kejadian Tuberkulosisi (TB) di Kota Denpasar Tahun 2007. Dinyatakan bahwa kemiskinan merupakan faktor yang berhubungan dengan kejadian TB di Kota Denpasar. Sementara kepadatan penduduk, status penduduk pendatang dan jarak fasilitas kesehatan tidak berhubungan dengan kejadian TB di Kota Denpasar. Kejadian TB di Kota Denpasar tidak mengikuti pola spasial tertentu. Clustering terjadi dengan kecenderungan mengikuti kemiskinan penduduk yang tinggi. Persebaran kasus banyak terjadi di daerah yang dekat dengan jalan.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang lain adalah : 1. Lokasi, penelitian dilaksanakan di Kota Gorontalo. 2. Penelitian ini menekankan variable bebas pada faktor sosio ekonomi berupa tingkat kemiskinan, tingkat pendidikan rendah dan faktor demografi berupa kepadatan penduduk, jumlah penduduk lansia. Kemudian faktor geografi dan lingkungan berupa kepadatan rumah/bangunan, jumlah rumah tidak sehat, jarak pelayanan kesehatan, jarak jalan. 3. Analisis bersifat spasial dengan unit analisis utama adalah wilayah yaitu seluruh kelurahan di Kota Gorontalo. 4. Tetap menjelaskan faktor risiko individu secara deskriptif berdasarkan waktu, tempat dan orang.