1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Para pemimpin negara-negara di dunia telah membuat kesepakatan internasional untuk mengatasi masalah-masalah kependudukan dituangkan dalam Millenium Development Goals (MDG’s). Terdapat 8 sasaran yang akan dicapai dalam MDG’s tersebut, salah satunya poin 5 MDG’s yaitu meningkatkan kesehatan ibu (Syarif, 2010). Ruang lingkup upaya peningkatan kesehatan ibu dimulai dari kesehatan remaja (khususnya remaja putri) hingga wanita usia subur. Aspek penting dari kesehatan remaja putri adalah kesehatan reproduksinya. Kemampuan reproduksi pada remaja putri salah satunya ditandai oleh kejadian menarche (haid pertama). Apabila dilihat dari segi umur, kejadian menarce pada remaja putri dewasa ini sangat bervariasi. Hal tersebut bisa terjadi karena beberapa faktor antara lain perkembangan status gizi remaja putri dan efek lanjut dari informasi yang pernah diperoleh berkaitan dengan aktivitas remaja. Kesehatan reproduksi remaja merupakan salah satu dari Paket Kesehatan Reproduksi Esensial (PKRE). Sedangkan kesehatan reproduksi merupakan kondisi fisik, mental, sosial yang utuh dan bukan hanya tidak adanya penyakit atau kelemahan. Namun dalam segala hal yang berhubungan dengan sistem reproduksi dan fungsi-fungsi serta proses-prosesnya. Pemerintah sendiri telah memberikan kebijakan yang ditempuh dengan meningkatkan kesehatan reproduksi remaja adalah tersedianya informasi memadai bagi remaja tentang kesehatan reproduksi, pendidikan kesehatan reproduksi, kemitraan dengan pihak terkait. Setiap remaja memiliki hak sama dalam memperoleh pelayanan kesehatan reproduksi yang berkualitas. Untuk mendukung hal tersebut perlu dilakukan upaya kesehatan reproduksi secara terkoordinasi dan berkesinambungan melalui prinsip kemitraan yang mampu membangkitkan, mendorong keterlibatan aktif dan kemandirian remaja. Strategi pemerintah untuk melaksanakan kebijakan tersebut dengan mengembangkan puskesmas Youth Friendly (Depkes RI, 2005). Puskesmas Youth Friendly adalah puskesmas yang peduli dengan reproduksi remaja.
2
Pada anak yang memasuki masa remaja memiliki ciri awal dengan terjadi kematangan seksual. Anak yang telah memasuki usia remaja dihadapkan keadaan memerlukan penyesuaian untuk dapat menerima perubahan-perubahan yang terjadi. Perubahan-perubahan tersebut seperti kematangan seksual dan perubahan bentuk sangat berpengaruh pada kehidupan kejiwaan remaja. Remaja merupakan salah satu prioritas dari sasaran kebijakan program kesehatan reproduksi dan perbaikan gizi masyarakat. Pada masa remaja terjadi fase pertumbuhan cepat (adolescence growth spurt), sehingga diperlukan zat-zat gizi yang relatif besar jumlahnya (Notoatmodjo, 2007). Dalam hubungannya dengan proses perkembangan, masa remaja merupakan masa transisi dari control eksternal (dari orang tua) ke control internal. Masa tersebut merupakan periode sangat penting dan berpengaruh terhadap perkembangan pola tingkah laku yang meliputi pola makan dan perawatan diri (Yuniastuti, 2008). Masa remaja juga masa transisi dari masa anak-anak ke masa dewasa. Masa remaja ditandai dengan perubahan-perubahan fisik pubertas seperti tumbuhnya bulu halus di ketiak dan kemaluan, menarche dan emosional kompleks, dramatis serta penyesuaian sosial penting untuk menjadi dewasa, identitas seksual secara normal mencapai kesempurnaan sebagaimana organ-organ reproduksi mencapai kematangan (Sediaoetama, 2009). Menarche adalah haid yang pertama kali datang. Gejalanya terasa sakit pada daerah mammae, bagian abdomen dan pinggang serta sebagian remaja mengalami tumbuhnya jerawat saat haid pertamanya. Namun sebelum seorang wanita siap menjalani masa reproduksi, terdapat masa peralihan dari masa kanakkanak menuju masa kedewasaan yang lebih dikenal dengan masa pubertas. Permulaan masa pubertas sering disebut sebagai pematangan fungsi reproduksi, pada perempuan ditandai dengan haid. Remaja putri yang telah memasuki masa pubertas akan mengalami menarche (Manuaba, 1999). Pertumbuhan yang pesat pada masa remaja juga diikuti pertumbuhan fisik yang membutuhkan asupan gizi hingga mencapai puncak pertumbuhannya. Oleh karena itu apabila konsumsi makanan tidak seimbang dengan kebutuhan kalori untuk pertumbuhan dan aktivitasnya, maka akan terjadi defisiensi akhirnya dapat
3
menghambat pertumbuhannya. Pertumbuhan yang terhambat ditandai dengan penurunan berat badan dari waktu ke waktu pada remaja dapat menyebabkan mundurnya usia menarche (Notoatmodjo, 2007). Usia untuk mencapai fase terjadinya menarche dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain faktor ras, suku, genetik, sosial, ekonomi, obat-obatan, kesehatan, audio visual dan lain-lain (Wiknjosastro et al., 2009). Anak wanita yang menderita kelainan tertentu selama dalam kandungan mendapatkan menarche pada usia lebih muda dari usia rata-rata (Jones, 2005). Statistik menunjukkan bahwa usia menarche dipengaruhi faktor keturunan, keadaan gizi, dan kesehatan umum. Menurut Brown dalam Wiknjosastro et al. (2009) bahwa menurunnya waktu usia menarche sekarang disebabkan keadaan gizi dan kesehatan umum yang membaik, dan berkurangnya penyakit menahun. Indonesia sebagai negara berkembang dengan kemajuan pembangunan, perbaikan gizi, media masa yang merakyat, serta pengetahuan akan pentingnya gizi juga akan mempercepat perkembangan seksual. Pertumbuhan yang pesat masa pubertas bagi anak wanita mulai antara 8,5 dan 11,5 tahun. Apabila pertumbuhan yang pesat masa puber terganggu oleh penyakit, gizi buruk atau ketegangan emosional berlangsung lama, maka akan terjadi penundaan penyatuan tulang sehingga anak tidak dapat mencapai tinggi tubuh sempurna (Hurlock, 2000). Remaja putri dengan status gizi dan kesehatan yang baik, akan mengalami percepatan perkembangan seksual misalnya menarche. Rose A Frisch dari Harvard University menyatakan bahwa makin dini usia menarche akan semakin lambat usia menopause alamiah (spontaneous menopause) dan keterlambatan usia menarche berhubungan dengan kedinian usia menopause. Usia menarche berhubungan secara terbalik dengan risiko kanker payudara, usia menarche saat atau >17 tahun mempunyai risiko 30% lebih rendah dibandingkan usia menarche <11 tahun (Proverawati and Maesaroh, 2009). Percepatan atau perlambatan pencapaian usia menarche mempunyai beberapa konsekuensi berkaitan dengan aspek biologis dan lingkungan. Usia menarche lebih dini akan meningkatkan risiko kehamilan yang tidak diinginkan akibat seks pranikah di kalangan remaja
4
juga meningkat. Pada dekade terakhir semakin banyak peneliti menemukan bahwa kedewasaan lebih cepat meningkatkan kemungkinan keterlibatan anak perempuan pada sejumlah masalah. Seorang remaja yang sudah mengalami menarche, berarti organ reproduksi sudah matang. Remaja yang sudah mengalami menarche secara dini apabila tidak dibekali dengan keimanan yang kuat, dapat menimbulkan masalah hamil di luar nikah, hamil muda dan terjadinya aborsi(Santrock, 2003). Pada dasa warsa terakhir ini usia menarche telah bergeser ke usia lebih muda. Semmelweiis dalam Wiknjosastro et al. (2009) menyatakan bahwa 100 tahun yang lalu usia gadis-gadis Vienna pada waktu menarche berkisar antara 1519 tahun. Namun sekarang usia gadis remaja waktu menarche bervariasi lebar, yaitu antara 10-16 tahun tetapi rata-rata 12,5 tahun. Di Inggris rata-rata haid pertama datang pada usia 13 tahun. Pada suku Bundi di Papua Nugini menarche dicapai pada usia 18,8 tahun. Hal ini disebabkan semakin baiknya nutrisi dan kesehatan sekarang (Wiknjosastro et al., 2009). Penelitian pada atlet balet dan senam putri yang cenderung menjaga kondisi tubuhnya agar tetap langsing menunjukkan bahwa mereka mengalami penurunan level of circulating estrogen dan perubahan metabolik lainnya. Di samping itu intake kalori, vitamin, mineral, dan zat gizi lainnya yang tidak adekuat juga menyebabkan atlet-atlet tersebut mengalami menarche yang terlambat dan juga terjadinya amenorhea. Hasil penelitian Savitri (2000) menunjukkan rata-rata usia menarche remaja putri di Tambun, Jawa Barat 12,1 tahun, penelitian yang sama tahun 1980 menunjukkan usia menarche 13,26 tahun. Hal ini menunjukkan teori majunya usia menarche dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti perbaikan gizi. Viyantimala (2001) melakukan penelitian di Pekalongan menunjukkan bahwa usia menarche siswi SLTP perkotaan datangnya lebih awal apabila dibandingkan dengan siswi SLTP pedesaan. Pengaruh informasi global dan kemajuan teknologi menyebabkan informasi yang makin cepat dalam berbagai bentuk termasuk paparan media audio visual semakin mudah diakses. Hal ini seolah-olah dunia semakin menjadi milik remaja, sehingga akan memancing anak dan remaja untuk mengadaptasi kebiasaan-kebiasaan kurang baik. Misalnya menonton blue film, VCD porno,
5
akses internet berbau porno, dan adegan berbau porno melalui handphone. Penelitian dari Synovate Research tahun 2004 dari 450 remaja Surabaya, Jakarta, Bandung dan Medan menunjukkan 35% remaja menonton film porno (Syarif, 2010). Berdasarkan studi pendahuluan yang diambil secara acak pada siswi SMP kelas satu di Kecamatan Kebumen terhadap 35 siswi diperoleh 9 orang siswi (25,7%) pernah menonton film/adegan berbau porno, yaitu melihat VCD, akses internet dan handphone. Dengan melihat adegan/film porno bagi remaja putri akan mempengaruhi kematangan organ-organ reproduksi. Dengan latar belakang tersebut di atas, maka peneliti bermaksud melakukan penelitian dengan judul ”Hubungan riwayat menonton audio visual dengan usia menarche pada siswi di SMP Kecamatan Kebumen Kabupaten Kebumen” B. Perumusan Masalah Berdasarkan dari latar belakang masalah tersebut, maka dapat dirumuskan masalah penelitian “Apakah ada hubungan riwayat menonton audio visual dengan usia menarche pada siswi di SMP Kecamatan Kebumen Kabupaten Kebumen?” C. Tujuan Penelitian 1.
Tujuan Umum Mengetahui hubungan riwayat menonton audio visual dengan usia menarche pada siswi di SMP Kecamatan Kebumen Kabupaten Kebumen.
2.
Tujuan Khusus a. Mengidentifikasi riwayat menonton audio visual pada siswi di SMP Kecamatan Kebumen Kabupaten Kebumen. b. Menghitung dan mengidentifikasi usia menarche pada siswi di SMP Kecamatan Kebumen Kabupaten Kebumen. c. Menganalisis
hubungan riwayat menonton audio visual dengan usia
menarche pada siswi di SMP Kecamatan Kebumen Kabupaten Kebumen.
6
d. Menganalisis hubungan penyakit kronis, sosial ekonomi dan status gizi dengan usia menarche pada siswi di SMP Kecamatan Kebumen Kabupaten Kebumen.
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk: 1.
Bagi Peneliti selanjutnya Dapat digunakan sebagai sumber data bagi peneliti selanjutnya, khususnya tentang hubungan riwayat menonton audio visual dengan usia menarche pada remaja putri.
2.
Bagi Puskesmas Kebumen I, II dan III Dapat dijadikan sebagai acuan dalam penyusunan program
Kesehatan
Reproduksi Remaja (KRR) dan meningkatkan penyuluhan tentang pentingnya pengaruh media audio visual dengan usia menarche pada remaja putri. 3.
Bagi Institusi SMP Memberikan informasi mengenai hubungan riwayat menonton audio visual dengan usia menarche bagi siswi SMP. E. Keaslian Penelitian Ariwibowo (2004) dalam penelitiannya yang berjudul “Hubungan antara
status gizi dengan usia menarche pada siswi SMP Negeri di Kecamatan Pati Kabupaten Pati”. Penelitian ini merupakan penelitian explanatory dengan metode survei dengan menggunakan rancangan penelitian cross sectional. Jumlah sampel 91 siswi kelas VII yang sudah menarche. Analisis data menggunakan uji statistik Spearman rho (ρ). Persamaan dengan penelitian ini adalah sama-sama meneliti tentang usia menarche. Perbedaannya pada variabel status gizi, tempat, waktu dan uji statistik yang digunakan. Ersoy et al. (2004) melaksanakan penelitian tentang “Efek perbedaaan kondisi sosial ekonomi terhadap menarche pada siswi di Turki”. Penelitian ini merupakan penelitian cross sectional. Jumlah sampel sebanyak 117 remaja putri yang telah mengalami menarche. Analisis data menggunakan One Way Annova.
7
Persamaan dengan penelitian ini adalah sama-sama meneliti tentang usia menarche. Perbedaannya adalah variabel status sosial ekonomi, tempat, waktu dan uji statistik yang digunakan. Berkey et al. (2000) melakukan penelitian tentang “Hubungan diet pada masa anak-anak dan ukuran tubuh dengan menarche dan pertumbuhan remaja putri”. Penelitian ini Longitudinal Study, dengan sampel sebesar 67 remaja putri. Analisis data menggunakan Korelasi Pearson. Persamaan dengan penelitian adalah sama-sama meneliti usia menarche. Perbedaannya adalah variabel indek masa tubuh, gizi remaja, dan pertumbuhan serta tempat, waktu dan uji statistik yang digunakan. Freedman et al. (2002) melakukan penelitian tentang “Hubungan usia menarche dengan ras”. Penelitian ini termasuk Longitudinal Analysis dengan pendekatan Cohort. Persamaan dengan penelitian ini adalah sama-sama meneliti tentang usia menarche. Perbedaannya adalah variabel warna kulit, BMI, dan tinggi serta tempat, waktu dan uji statistik yang digunakan. Sedangkan penelitian mengenai hubungan riwayat menonton audio visual dengan usia menarche sejauh ini belum peneliti temukan.