BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kebijakan pemerintah seringkali mendapatkan perlawanan dari kelompok masyarakat yang merasa terdiskriminasi akibat ketidakberpihakan pemerintah terhadap kepentingan mereka. Perlawanan dari kelompok masyarakat inilah yang kemudian memunculkan gerakan advokasi. Advokasi merupakan upaya mempengaruhi kebijakan pemerintah melalui berbagai pendekatan persuasif. Pendekatan tidak hanya dilakukan kepada pemerintah, melainkan juga masyarakat luas agar mendapat dukungan sebanyak-banyaknya sehingga mampu menekan pemerintah untuk mempengaruhi kebijakan. Untuk itulah diperlukan strategi komunikasi yang tepat dalam upaya advokasi. Peraturan Pemerintah nomor 109/2012 tentang pengendalian tembakau telah menimbulkan perlawanan dari kelompok masyarakat yang menamakan dirinya sebagai Komunitas Kretek. Kebijakan tersebut dinilai telah memberikan dampak buruk bagi petani tembakau, pedagang asongan, buruh pabrik, konsumen rokok dan seniman bahkan masyarakat secara luas. Untuk itu, sejak tahun 2010 komunitas kretek melakukan upaya advokasi untuk mencabut kebijakan tersebut. Kebijakan Peraturan Pemerintah nomor 109/2012 berawal dari rokok yang telah lama menjadi polemik di Indonesia. Perdebatan panjang pro dan kontra terhadap rokok masih terus belangsung baik di kalangan pemerintah, tokoh agama, konsumen rokok dan masyarakat umum lainnya. Isu kesehatan menjadi dalang yang dimainkan pemerintah untuk membuat regulasi tentang produk tembakau dan sigaret tersebut. Isu yang dilemparkan pemerintah ke masyarakat antara lain dampak dari kebiasaan merokok. Menurut WHO merokok dapat menyebabkan kematian yakni sekitar 80%-90% akibat kanker paru, sekitar 75% akibat bronkitis, 40% akibat kanker kandung kemih, 25% akibat penyakit jantung iskemik dan 18% akibat penyakit stroke (Hamilton, 2010: ix). Bahkan, pada tahun
1
2002 WHO dalam The Tobacco Atlas menyebutkan, konsumsi tembakau membunuh 1 orang setiap 10 detik (Hamilton, 2010: viii-ix). Dari fakta yang menakutkan inilah, pemerintah semakin ketat membuat regulasi tentang tembakau dan produknya. Sebagai turunan dari undang-undang nomor 36 tahun 2009, pada 24 Desember 2012 lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono resmi menandatangani Peraturan Pemerintah no. 109/2012 tentang pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan. Peraturan Pemerintah tentang rokok ini memaktub banyak peraturan baru mulai dari memperketat model pemasaran dan promosi produk rokok hingga mengatur keberadaan pengguna rokok dengan memperluas kawasan bebas rokok. Jika melihat kembali ke belakang, industri kretek di Indonesia memiliki sejarah yang panjang dan tidak mudah untuk mencapai kesuksesan seperti sekarang ini. Menurut TS Raffless dalam History of Java (Abhisam, 2012: 33), awalnya Belandalah yang memperkenalkan rokok kepada masyarakat Indonesia tahun 1601, namun kemudian masyarakat Indonesia berhasil menciptakan rokok sendiri yang disebut dengan kretek. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah kretek berarti bunyi daun yang terbakar/rokok yang tembakaunya dicampuri serbuk cacahan cengkih. Budiman dan Onghokham dalam Abhisam (2012: 67) memperkirakan kelahiran industri kretek terjadi antara tahun 1870 sampai tahun 1880 di Kudus. Ada beberapa pendapat mengenai siapa yang mula-mula menciptakan kretek, namun yang paling populer adalah Hadji Djamhari. Menilik perkembangannya di Indonesia, meminjam istilah Denys Lombard dalam Abhisam (2012: 64) pantaslah bila kretek disebut sebagai osmosis kebudayaan. Di mana kretek merupakan proses memadupadankan antara budaya yang datang dari luar dengan keadaan dan persepsi masyarakat. Melalui kreativitas intuitif masyarakat Indonesia membubuhkan serpihan cengkeh ke dalam sigaret. Inilah yang mesti diapresiasi sebagai proses osmosis, di mana masyarakat yang menghasilkan kreasi tersebut dan hasil kreasinya sendiri merupakan karakteristik Nusantara yang unik dan khas.
2
Berdasarkan hasil penelitian dari Global Adult Tobacco Survey (GATS) Indonesia tahun 2011, bila dibandingkan dengan negara-negara lain yang melaksanakan GATS (16 lowand middle income countries), Indonesia menduduki posisi pertama dengan prevalensi perokok aktif tertinggi, yaitu 67,0 % pada lakilaki dan 2,7 % pada wanita (bandingkan dengan India, 2009): laki-laki 47.9% dan wanita 20.3 %; Philippines (2009): laki-laki 47,7 % dan wanita 9,0%; Thailand (2009): laki-laki 45,6% dan wanita 3,1%; Vietnam (2010): 47,4% laki-laki dan 1,4% wanita. GATS juga menemukan bahwa 60,9% pria, 2,7% wanita dan ratarata 31,5% atau 54,3 juta orang dewasa saat ini merokok kretek. Melihat besarnya angka prevalensi perokok aktif di Indonesia, sudah pasti industri kretek memiliki peran yang penting dalam negara. Lihat saja, ditilik dari sisi ekonomi, industri kretek menyumbang pendapatan pajak dan cukai negara yang sangat besar nilainya. Berdasarkan data Ditjen. Bea Cukai 2011, tahun 2009 penerimaan cukai rokok sebesar Rp. 54,3 triliun, naik di tahun 2010 menjadi Rp. 59,3 triliun. Sedangkan, di tahun 2011 penerimaan cukai rokok oleh negara melonjak hingga Rp 77 triliun. Pendapatan pajak dan cukai oleh negara terus meningkat dari tahun ke tahun, namun sayangnya, hal ini tidak sejalan dengan jumlah perusahaan rokok yang masih aktif. Tahun 2009, Indonesia masih memiliki 3255 unit perusahaan. Di tahun 2010 turun drastis menjadi 1994 unit dan di tahun 2011 jumlah perusahaan semakin menurun, yaitu sebanyak 1664 unit. Bahkan, menurut data Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) , tahun 2012, dari 800 izin perusahaan, yang aktif memproduksi rokok hanya tinggal 100 perusahaan. Dari 100 perusahaan yang aktif, hanya 15-20 produsen yang dikategorikan menengah ke bawah. Lainnya merupakan perusahaan besar. Fakta ini tidak lain disebabkan oleh semakin ketatnya regulasi pemerintah tentang tembakau. Dari Peraturan Pemerintah yang di buat pemerintah ini pula membuka peluang besar banjirnya tembakau impor di Indonesia. Menurut data Bank Indonesia tahun 2011, Indonesia mengimpor 29.579 ton tembakau di tahun 2003, kemudian meningkat menjadi 35.171 ton di tahun 2004 dan terus bertambah menjadi 48.142 ton di tahun 2005. Di tahun 2010 impor tembakau ke Indonesia
3
menembus hingga 186 ribu ton. Sementara saat ini, impor rokok ke Indonesia mencapai 520.000 ton per tahun.Hal ini membuktikan bahwa impor tembakau dan rokok ke Indonesia terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Corporate Communication GAPPRI Hasan Aoni Aziz dalam jpnn.com (18/10/12) mengatakan peningkatan produksi rokok terjadi pada rokok putih (sigaret kretek mesin/SKM) yang diproduksi oleh pabrik rokok (PR) skala besar, bahkan pabrik rokok asing. Sedangkan, produsen rokok skala kecil dan menengah semakin tertekan. Pasal 12 tentang bahan-bahan tambahan juga mengindikasikan ancaman terhadap produk kretek, produk asli Indonesia, yang kaya dengan berbagai bahan tambahan. Sehingga pada akhirnya rokok putih saja yang akan bertahan di pasaran. Disamping itu, alasan utama mengapa produsen kecil tergeser dalam persaingan bisnis adalah beban finansial yang semakin besar untuk memenuhi syarat produk dalam PP no 109/2012. Misalnya, cukai rokok yang naik sekitar 10 persen per tahunnya. Kebijakan tersebut tentu memberatkan produsen yang hanya memproduksi 500 batang per bulan. Belum lagi, investasi yang harus dilakukan untuk menepati ketentuan PP Tembakau yaitu standar kadar rokok sebesar 1,5 mg dan 20 mg nikotin, ditambah lagi memberikan peringatan kesehatan berupa gambar pada kemasan rokok. Ketentuan tersebut tentu saja sulit di penuhi produsen kecil karena harus mengeluarkan biaya yang cukup tinggi. Keadaan ini pun dimanfaatkan oleh perusahaan asing untuk mengakuisis industri kretek yang tengah diambang kebangkrutan. Melihat fenomena saat ini, bukan tidak mungkin indutri kretek lama kelamaan akan mati. Padahal, selama ini industri kretek telah menjadi mata pencaharian utama dan sumber ekonomi bagi keluarga petani tembakau dan ribuan pekerja di industri kretek. Gubernur Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubuwono X dalam tempo.co (3/4/12) juga mengkritik kampanye antirokok yang tengah gencar disosialisasikan oleh pemerintah dan LSM-LSM. Ia menuturkan gencarnya kampanye anti tembakau dan nikotin membahayakan kesehatan tidak lepas dari kepentingan industri farmasi berskala raksasa. Contohnya, ujung dari kampanye itu adalah penjualan obat antirokok berupa permen, koyo, obat tetes, tablet, dan inhaler.
4
Bahkan, tiga industri farmasi besar mengalokasikan US$ 750.000 untuk mendukung WHO’s Nicotine Replacement Therapy. Disadari atau tidak, isu kesehatan yang digadang-gadangkan oleh pemerintah dalam PP no. 109/2012 demi menyelamatkan bangsa justru mematikan sumber ekonomi bangsa dengan membuka celah besar bagi industri asing dan menenggelamkan industri lokal. Khususnya, dalam hal ini petani dan buruh menjadi orang yang paling dirugikan. Padahal, kretek bukan hanya sebagai barang konsumsi, tetapi juga bagian dari budaya indonesia yang seharusnya dipertahankan dan dilestarikan. Inilah yang tengah diperjuangkan oleh Komunitas Kretek. Komunitas ini lahir pada bulan oktober 2010 di salah satu kota yang terkenal sebagai sentra tembakau bermutu internasional, Jember. Saat ini memiliki satu sekretariat nasional dan 7 sekretariat wilayah, yaitu di Medan, Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Jember dan Makassar. Komunitas ini aktif membela tembakau dan rokok kretek sebagai sebuah produk budaya unggulan khas nusantara melalui sejumlah kegiatan komunikasi untuk membentuk opini publik sehingga mampu mempengaruhi pemerintah untuk membuat kebijakan publik yang dapat melindungi khususnya para buruh dan petani tembakau. Dalam hal ini, Komunitas Kretek aktif melakukan kegiatan yang ditujukan kepada pemerintah sebagai pembuat kebijakan yaitu melalui advokasi terhadap PP 109/2012. Pembelaan Komunitas Kretek melalui advokasi ini berlangsung di dua lini besar. Pertama, bahwa sumber-sumber ekonomi yang menjadi sumber penghidupan orang banyak harus tetap berada di tangan rakyat. Kedua, dalam operasi dagangnya, industri-industri asing (dalam hal ini industri rokok putih dan farmasi internasional) sekaligus penggrojokan wacana harus dibongkar oleh wacana tandingan. Untuk itu, sebagai sebuah advokasi terhadap kebijakan pemerintah, tentu tidak mudah dan memerlukan strategi komunikasi yang tepat agar mampu mempengaruhi opini, tingkah laku, minat serta kepercayaan publik dan pemerintah terhadap pesan yang disampaikan (Rice & Paisley, 1982). Oleh karena itu, advokasi terhadap PP 109/2012 dirasa patut untuk diteliti untuk mengetahui
5
bagaimana Komunitas Kretek mampu menciptakan strategi komunikasi yang tepat dalam upaya advokasi sehingga dapat mempengaruhikebijakan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan paparan latar belakang diatas, maka rumusan masalah penelitian ini adalah : “Bagaimana strategi komunikasi Komunitas Kretek dalam melakukan upaya advokasiterkait kebijakan PP 109/2012?”
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini, yaitu untuk mendeskripsikan secara mendalam strategi komunikasi dalam praktek advokasi
terkait kebijakan PP
nomor 109/2012 yang dilakukan Komunitas Kretek.
D. Manfaat Penelitian
1.
Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi yang bermanfaat bagi
penelitan sejenis dan dapat memberi kontribusi bagi pengembangan ilmu komunikasi, khususnya bidang komunikasi dalam upayaadvokasi.
2.
Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan masukan dan kritik yang
membangun terhadap strategi komunikasi dalam upayaadvokasi serta dapat memberikan gambaran dan masukan tentang berbagai metode dan kegiatan komunikasi yang dilakukan dalam praktek advokasi agar mampu mempengaruhi pemerintah untuk mencapai tujuan advokasi.
6
E. Kerangka Pemikiran
1.
Strategi Komunikasi Dalam konteks komunikasi, strategi merupakan hal penting yang harus
dimiliki dalam berbagai bentu baik komunikasi public relations, komunikasi pemasaran dan komunikasi dalam upaya advokasi. Strategi diperlukan untuk mendukung kekuatan pesan agar mampu mengungguli semua kekuatan yang ada untuk menciptakan efektivitas komunikasi. Efek yang terjadi adalah perubahan pada khalayak penerima sebagai akibat pesan yang diterimanya baik secara langsung maupun melalui media. Deddy Mulyana (2003) mendefinisikan komunikasi yang efektif adalah komunikasi yang hasilnya sesuai dengan harapan orang-orang yang terlibat dalam proses komunikasi. Salah satu unsur penting yang menjadikan komunikasi menjadi efektif adalah empati. Menurut Stewart L. Tubbs, empati adalah mengalami persepsi orang lain, yaitu melihat dan merasakan sesuatu seperti yang dirasakan orang lain (Mulyana, 2003). Strategi komunikasi merupakan paduan dari perencanaan komunikasi (communication
planning)
dan
manajemen
komunikasi
(communication
management) untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Menurut effendy (2003), ada tiga tujuan utama dalam strategi komunikasi, yaitu to secure understanding, to establish acceptance, and to motive actions. Pertama adalah memastikan bahwa komunikan mengerti pesan yang diterimanya (to secure understanding). Andaikan komunikan telah mengerti dan menerima, maka penerimaannya harus dibina (to establish acceptance), dan pada akhirnya kegiatan dimotivasikan (to motive actions). Strategi komunikasi ini selanjutnya juga harus mampu menunjukkan bagaimana operasionalisasinya secara taktis harus dilakukan, dalam arti kata bahwa pendekatan bisa berbeda-beda tergantung situasi dan kondisi yang didapati di lapangan. Dari uraian tersebut, artinya strategi komunikasi tidak hanya sebuah rencana organisasi tetapi juga bagaimana cara yang digunakan sampai pada pola tindakan nyata yang diimplementasikan. Dalam merumuskan strategi komunikasi, ada lima faktor yang harus diperhatikan, yaitu: mengenal khalayak, penyusunan pesan,
7
penetapan metode, pemilihan media dan penerapan komunikator (Arifin, 1984). Disamping
itu,
dalam
menyusun
strategi
komunikasi
juga
perlu
mempertimbangkan faktor pendukung dan penghambat seperti peluang dan ancaman, sumber daya organisasi, dan kondisi lingkungan sosial. Dengan begitu, keputusan strategi yang telah ditetapkan oleh organisasi dapat mencapai tujuan yang diinginkan.
1.1 Strategi Komunikasi dalam Upaya Advokasi Untuk membahas pentingnya strategi komunikasi dalam melaksanakan sebuah gerakan advokasi, terlebih dahulu diperlukan pemahaman tentang advokasi. Advokasi muncul akibat dari proses kebijakan publik yang tidak selalu mulus dan hanya sampai pada tahap evaluasi kebijakan, tetapi juga memungkinkan hadirnya pertentangan dari pihak lain terhadap kebijakan pemerintah. Dampak dari suatu kebijakan itu tidak sama bagi setiap orang sehingga muncul perlawanan dari kelompok masyarakat yang sifatnya mengadvokasi kepentingan masyarakat. Advokasi terhadap kebijakan hadir sebagai alternatif kebijakan yang mendorong pada arah perubahan yang lebih baik. Advokasi merupakan tindakan mempengaruhi atau mendukung sesuatu atau seseorang yang berkaitan dengan kebijakan publik seperti regulasi dan kebijakan pemerintah (KADIN Indonesia, 2005: 9). Definisi dari advokasi dapat bermacammacam sesuai dengan keadaan dan konteks yang ada, sehingga pendefinisian advokasi yang paling baik adalah definisi kontekstual. Ketika advokasi dekat dengan tujuan perubahan kebijakan, maka advokasi cenderung sebagai tindakan untuk mengubah atau mempengaruhi (to influence or to change) kebijakan publik. Seperti yang diungkapkan Suharto (2005: 124) bahwa advokasi merupakan reaksi atas kebijakan yang berupaya untuk mempengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintah melalui berbagai bentuk komunikasi persuasif. Advokasi menjadi kebutuhan ketika publik yang memiliki posisi lemah dihadapkan pada pemerintah yang memiliki kewenangan dalam membuat kebijakan. Pada saat itulah konflik berdampak pada pembuatan kebijakan yang
8
menempatkan publik dan pemerintah pada situasi konflik dengan kekuasaan yang tidak imbang (with unequal power) (Sabatier, 1993: 13). Advokasi menjadi penting untuk dilakukan karena tindakan tersebut merupakan upaya untuk membela atau memberi dukungan kepada masyarakat yang termarginalkan dan tidak berdaya dalam menghadapi ketidakadilan kebijakan pemerintah. Masyarakat menjadi tidak berdaya dan termarginalkan bukan karena takdir melainkan akibat dari sistem, struktur, dan lingkungan yang hierarkis, menindas dan tidak memberdayakan (Subkhan (eds), 2003: 23). Tujuan utama advokasi adalah menciptakan kebijakan, mereformasi kebijakan, dan menjamin kebijakan-kebijakan tersebut diimplementasikan (Suharto, 2005: 124). Advokasi bukan merupakan proses revolusi yang bertujuan merebut kekuasaan politik yang dapat mengakibatkan perubahan sistem dan struktur kemasyarakatan secara menyeluruh. Tetapi advokasi terhadap kebijakan menjadi jalan bagi masyarakat untuk dapat keluar dari ketidaknyamanan yang selama ini diciptakan oleh suatu kebijakan. Ada beberapa instrumen yang menjadikan organisasi bertindak sesuai dengan konsep advokasi menurut Valerie Miller dan Jane Covey (2005), yaitu legitimasi, kredibilitas dan kekuasaan yang menurut penulis sangat penting dimiliki oleh sebuah organisasi dalam melakukan tindakan advokasi. Sebuah tindakan advokasi dapat dilakukan apabila organisasi memiliki tiga instrumen yang dimaksud. Pendekatan-pendekatan advokasi dapat beraneka ragam, mulai dari bentuk kerjasama dengan pihak penguasa hingga pendekatan yang menekankan pada pendidikan dan himbauan bagi kelompok akar rumput, dan akhirnya sampai pada bentuk yang secara terbuka menentang dan berlawanan dengan pemegang kekuasaan. Pentingnya memahami hubungan kekuasaan di dalam masyarakat merupakan cara yang efektif dalam proses menyusun strategi advokasi. Karena dengan mengenal kekuasaan yang ada, maka advokasi terhadap kebijakan yang dilakukan akan lebih tepat sasaran. Kaitannya dengan kekuasaan, maka pendekatan-pendekatan advokasi dapat disederhanakan menjadi tiga, yaitu pendekatan
kepentingan
publik,
pendekatan
tindakan
warganegara,
dan
pendekatan transfomasi (Miller, 2005:35).
9
Pendekatan kepentingan publik biasa dilakukan oleh kaum profesional dan pelobi ahli yang dapat membawa kasus ke meja politik. Asumsi dari pendekatan ini adalah bahwa sistem politik itu pada dasarnya bersifat terbuka dan adil, dan orang hanya perlu dibantu untuk mengartikulasikan kepentingan mereka supaya dipedulikan. Advokasi yang dilakukan oleh para profesional ini adalah advokasi bagi rakyat. Mereka seringkali berbicara atas nama warganegara, melobi para elit, memobilisasi massa, dan terkadang juga melatih orang dalam keterampilan tertentu seperti menyurati para politisi. Namun para pelobi ini tidak meribetkan diri dengan melakukan pendekatan pada kelompok akar rumput. Landasan pendekatan ini adalah perubahan yang nantinya cukup membuat rakyat merasa dipedulikan, dan hadirnyapara pelobi dan adanya informasi yang tepat sangat penting untuk mencapai perubahan tersebut. Pendekatan tindakan warganegara biasanya dilakukan oleh aktivis atau organisator profesional yang membangun kepemimpinan setempat. Mereka berpendapat bahwa sistem pengambilan keputusan politik itu di dalamnya terdapat kekuasaan yang relatif tidak seimbang dan proses politik yang tidak terjangkau. Sehingga orang perlu diorganisir dan belajar bagaimana menggunakan kekuasaan supaya suara mereka dapat didengar dan dapat menyuntikkan kepentingan mereka ke dalam sistem politik. Advokasi dengan dan oleh rakyat ini lebih peduli pada penguatan kelompok akar rumput dengan cara membangun dan mengumpulkan massa menjadi koalisi untuk menghadapi diskriminatif supaya mereka dapat ikut serta dalam proses kebijakan. Pendekatan transformasi hadir untuk melengkapi kedua pendekatan sebelumnya, karena para aktivis dan organisator memandang bahwa tidak cukup hanya melobi elit dan mengorganisasi massa tanpa mempersenjatai mereka dengan
memberi
kesadaran-kesadaran
diri.
Advokasi
oleh
rakyat
ini
mengembangkan keterampilan berpikir kritis tentang politik, kebijakan, kesadaran, dan pengetahuan. Tujuan dari pendekatan ini adalah menciutkan nyali para pengambil kebijakan dan membuat mereka merasa bersalah sehingga dapat mengubah kebijakan publik melalui cara kerja massa yang sudah dibekali oleh unsur-unsur pendidikan tadi.
10
Pendekatan-pendekatan di atas kadang tidak digunakan secara terpisah oleh para advokator. Pendekatan advokasi tidak jarang digunakan secara kolaboratif dalam implementasinya, tidak hanya membekali dengan edukasi bagi masyarakat, tetapi dalam waktu yang sama juga memobilisasi massa. Pendekatan dalam advokasi seringkali merujuk pada waktu (timing), karena ada beberapa isu advokasi yang membutuhkan gerak cepat dari pelaku advokasi sehingga tidak tepat jika menggunakan pendekatan yang basisnya memberikan keterampilan yang membutuhkan waktu lebih lama ketimbang langsung mengerahkan massa atau melakukan lobi terhadap elit. Dari uraian tersebut, dapat dipahami bahwasannya upaya advokasi adalah kegiatan untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah melalui berbagai pendekatan. Pendekatan tersebut tidak hanya dilakukan kepada pemerintah, tetapi juga melakukan pendekatan kepada seluruh masyarakat secara luas. Hal ini guna mendapatkan dukungan massa yang banyak agar mampu menekan pemerintah mempengaruhi kebijakan. Untuk itu, dibutuhkan strategi komunikasi yang tepat agar mampu mempengaruhi masyarakat sehingga mau ikut mendukung kegiatan advokasi. Tanpa strategi maka langkah untuk melakukan sesuatu itu menjadi tidak terorganisir dan kemungkinan keberhasilan juga menjadi kecil. Dalam mencapai tujuannya, meskipun advokasi merupakan salah satu dari sebagian kecil gerakan perubahan sosial, namun advokasi adalah gerakan yang menggunakan cara-cara bukan kekerasan (non-violence movement) (Topatimasang (eds), 2005: 87). Strategi komunikasi dalam upaya advokasi dapat dilakukan dengan bermacam cara yang diarahkan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pada tingkat organisasi, lokal, nasional, dan internasional. Dalam proses advokasi biasanya tidak hanya menggunakan satu jenis strategi, tetapi keberhasilan dari advokasi dapat terjadi karena kelompok-kelompok yang melakukan advokasi menggunakan kombinasi dari banyak strategi sebagai taktik untuk dapat mengubah kebijakan. Strategi tindakan komunikasi dalam upaya advokasi yang telah diidentifikasi oleh IDR adalah Strategi kerjasama, Strategi
11
persuasi, Strategi litigasi, dan Strategi kontestasi atau perlawanan (Miller, 2005:67). Strategi yang digunakan dalam advokasi terhadap kebijakan terbagi menjadi dua kategori siasat, yaitu strategi otak dan strategi otot (Hasrul Hanif dalam Pamungkas (ed), 2010: 76). Strategi otak dapat meliputi strategi kerjasama, strategi persuasi, dan strategi litigasi. Ketiga strategi tersebut disebut strategi otak karena mengandalkan bagaimana kemampuan seseorang dalam berargumen untuk mempengaruhi pendapat umum (jajak pendapat dan opini publik) dan mempengaruhi policy maker dengan negosiasi atau lobi. Sedangkan strategi otot lebih pada bentuk-bentuk aksi yang mengandalkan tenaga manusia, seperti demo, mogok massal dan pemboikotan (strategi perlawanan). Hal yang menjadi penting dalam strategi komunikasi dalam upaya advokasi adalah membangun aliansi atau koalisi untuk mendukung apa yang menjadi tujuan advokasi. Advokasi tidak akan berhasil jika hanya dijalankan oleh seorang individu saja, tanpa memiliki jaringan aliansi dan bukan seorang yang berpengaruh dalam kebijakan. Oleh karena itu, orang-orang sering membentuk aliansi untuk melakukan advokasi karena semakin banyak pendukung maka cukup memberi peluang bagi keberhasilan advokasi terhadap kebijakan. Banyak pelaksana advokasi yang beranggapan bahwa membangun aliansi ini yang paling sulit dilakukan karena membutuhkan waktu dan energi yang lebih untuk dapat berjejaring
dan
mengembangkannya,
tetapi
peluang
untuk
mendapat
keuntungannya juga lebih besar (Sharma, 2004:126). Koalisi berbeda dengan jaringan karena koalisi membutuhkan lebih banyak waktu dan energi. Jaringan bersifat informal dan cair yang dibangun secara sadar dan sengaja untuk membantu mencapai tujuan advokasi sehingga mudah untuk diciptakan dan dipelihara. Sedangkan koalisi yang terkoordinasi merupakan pilihan lain untuk upaya advokasi dan sifatnya memperluas, bukan menggantikan jaringan yang sudah ada (Sharma, 2004:135). Proses advokasi terhadap kebijakan seperti pemaparan di atas merupakan bagian dari alternatif kebijakan publik. Dimana kebijakan publik sendiri diartikan sebagai proses pembuatan keputusan (decision making) oleh pejabat eksekutif.
12
Dan advokasi terhadap kebijakan hadir ketika tercipta kondisi ketidakadilan di masyarakat yang merupakan produk dari proses kebijakan publik. Advokasi memang tidak hanya ditujukan secara langsung untuk pemerintah. Namun, melalui pembentukan opini di masyarakat, mampu mempengaruhi dan mendorong pemerintah untuk melakukan perubahan kebijakan publik yang telah di buat. Untuk itu, proses advokasi harus berlangsung secara seimbang, baik ditujukan kepada pemerintah maupun masyarakat melalui strategi komunikasi yang tepat dan efektif. Dengan begitu diharapkan perubahan kebijakan semakin cepat dilakukan. 1.2 Perumusan Strategi Komunikasi
Strategi komunikasi pada hakekatnya tidak hanya sebuah rencana komunikasi, tetapi strategi juga berarti proses manajemen untuk mencapai suatu tujuan.(Effendy, 2003). Akan tetapi, untuk mencapai tujuan tersebut, strategi tidak berfungsi sebagai peta jalan yang hanya menunjukkan arah saja, melainkan harus mampu menunjukkan bagaimana taktik operasionalnya. Sehubungan dengan hal tersebut, maka model komunikasi yang bisa dikaitkan dengan strategi komunikasi adalah model atau formula yang dikemukakan oleh Lasswell dalam Cangara (2002) yaitu : who, says what, in which channel, to whom, with what effect (siapa, berkata apa, melalui saluran apa, kepada siapa, dan bagaimana efeknya). Perumusan strategi komunikasi dapat dilihat dengan menjawab pertanyaanpertanyaan dalam model komunikasi Lasswell melalui proses manajemen. Menurut Putra (1999), manajemen merupakan suatu proses yang khas yang terdiri dari
tindakan-tindakan
perencanaan,
pengorganisasian,
menggerakan
dan
pengendalian yang dilakukan untuk menentukan serta mencapai sasaran-sasaran yang telah ditentukan melalui pemanfaatan sumber daya manusia dan sumbersumber lainnya Advokasi dapat dilakukan dengan berbagai cara yang dianggap sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Advokasi merupakan proses dinamis yang menyangkut seperangkat pelaku, gagasan, agenda dan politik yang selalu berubah (Sharma,
13
2004:18). Dalam proses advokasi harus memperhatikan prinsip partisipatoris, independen, anti kekerasan, transparan dan terpercaya. Advokasi bukanlah tindakan tunggal, melainkan serangkaian tindakan yang terencana dan diarahkan pada tujuan tertentu. Advokasi merupakan sebuah proses panjang yang membentuk tahapan rancangan advokasi yang saling berhubungan atau bahkan saling bertindihan antara tahap satu dengan yang lain. Beragam strategi komunikasi dalam upaya advokasi yang ada tidak lepas dari proses manajemen komunikasi dalam upaya advokasi yang dijalankan, mulai dari memilih isu strategis dan membingkai isu, menentukan tujuan, identifikasi dan analisis stakeholders, membangun koalisi, merancang
strategi,
melaksanakan
strategi,
evaluasi
dampak
advokasi
(lessondrawing), dan penerapan pelajaran dari strategi dan taktik untuk usaha advokasi masa depan yang dapat digunakan untuk menyesuaikan dengan isu yang dipilih (Miller, 2005: 68). Namun pada kenyataannya proses advokasi yang berupa tahapan dinamis tersebut berbeda dalam impelementasinya. Tidak semua aktor advokasi menjalankan semua proses advokasi seperti yang telah dijabarkan di atas. Proses manajemen komunikasi dalam upaya advokasi dapat dipahami menjadi tiga tahap advokasi terhadap kebijakan, yaitu tahap perencanaan (inisiasi), tahap pelaksanaan (konsolidasi), dan tahap evaluasi. Tahapan advokasi ini dapat mempermudah dalam memahami alur dalam advokasi karena dalam implementasinya proses advokasi itu tidak selalu sama antara kasus satu dengan kasus yang lain. Tahap Perencanaan merupakan tahap dalam mendorong substansi advokasi yang mengarah pada problem and need assessment. Tahap ini dalam proses advokasi dapat berisi agenda dalam pencarian berupa riset, memilih isu strategis dan membingkai isu, menentukan tujuan, mengidentifikasi sasaran advokasi, dan merancang strategi advokasi. Tahap Pelaksanaan merupakan tahap dalam implementasi substansi advokasi yang biasanya berupa pelaksanaan strategi advokasi, termasuk dalam hal membangun koalisi. Tahap yang ketiga adalah tahap evaluasi advokasi yang berarti melakukan penilaian terhadap serangkaian proses komunikasi dalam upaya advokasi yang telah dilaksanakan, mulai dari
14
tahap perencanaan sampai tahap pelaksanaan. Manfaat dari adanya tahap evaluasi ini adalah pembelajaran mengenai dampak advokasi supaya dapat dijadikan bahan untuk perbaikan pada advokasi selanjutnya. Tahapan manajemen dalam upaya advokasi yang di dalamnya terdapat proses dinamis advokasi secara lebih jelasnya dapat digambarkan sebagai berikut:
Bagan 1.1 Proses Manajemen Komunikasi dalam Upaya Advokasi
(Sumber: Modifikasi dari Valerie Miller dan Jane Covey. Pedoman Advokasi: Perencanaan, Tindakan, dan Refleksi. 2005: 69).
2.
Komunikasi Persuasi dalam Advokasi Komunikasi telah menjadi bagian dalam setiap aspek kehidupan manusia,
termasuk dalam melakukan advokasi. Penyampaian pesan komunikasi sangat mendukung kesuksesan proyek advokasi yang dijalankan. Harapannya, khalayak publik dapat dengan sukarela melakukan perubahan opini untuk mendukung
15
pesan-pesan yang disampaikan dan pemerintah pun ikut melakukan perubahan kebijakan. Menurut Ruben dan Steward(1998: 16),“Human communication is the process through which individuals –in relationships, group, organizations and societies—respond to and create messages to adapt to the environment and one another.”Dari definisi tersebut dikatakan proses komunikasi manusia tidak hanya pada konsep satu individu saja, melainkan dapat juga mengarah kepada proses komunikasi yang berhubungan dengan kelompok, organisasi, dan masyarakat dalam
merespon
dan
menciptakan
pesan
untuk
beradaptasi
dengan
lingkungannya. Dalam kasus yang tengah dihadapi Komunitas Kretek, untuk mendukung upaya mereka menolak PP 109/2012, dengan gencar mereka membentuk opiniopini publik, baik pemerintah, tokoh masyarakat, petani, serta pemangku kepentingan lainnya. Upaya-upaya mempengaruhi opini publik tersebut dilakukan melalui komunikasi persuasi. Termasuk, dalam melakukan advokasi baik ke pemerintah maupun publik seni persuasi merupakan upaya penting yang harus dilakukan oleh Komunitas Kretek. Sebagaimana Aristoteles (dalam Berlo, 1960) menyebutkan “the study of communication as the search for all available of pertuation” yaitu mempelajari komunikasi berarti mempelajari segala sesuatu tentang alat untuk membujuk. Sebagai sebuah proses komunikasi, persuasi merupakan upaya menyampaikan informasi lewat cara tertentu yang membuat orang menghapus gambaran lama dibenaknya dan menggantikan dengan gambaran baru sehingga berubahlah perilakunya. Kebanyakan program persuasi bertujuan untuk mengubah atau menetralkan opini yang belum terbentuk atau bersifat laten serta untuk menjaga opini yang favorable dengan cara mengubah opini itu (Malik, 1994:99). Sementara itu DeVito(1997) menjelaskan komunikasi persuasif dalam buku Komunikasi Antarmanusia, bahwa: Pembicaraan persuasif mengetengahkan pembicaraan yang sifatnya memperkuat, memberikan ilustrasi, dan menyodorkan informasi kepada khalayak. Akan tetapi tujuan pokoknya adalah menguatkan atau
16
mengubah sikap dan perilaku, sehingga penggunaan fakta, pendapat, dan himbauan motivasional harus bersifat memperkuat tujuan persuasifnya. Dari penjelasan tersebut, DeVito mengemukakan terdapat dua macam tujuan atau tindakan yang ingin dicapai dalam melakukan pembicaraan persuasif. Tujuan tersebut dapat berupa untuk mengubah sikap atau perilaku penerima atau untuk memotivasi perilaku penerima. Sedangkan menurut Wijaya (1993), tujuan komunikasi persuasif adalah untuk mempengaruhi pikiran, perasaan dan tingkah laku seseorang, kelompok untuk kemudian melakukan tindakan/perbuatan sebagaimana dikehendaki komunikator. Komunikasi persuasi dapat membantu dalam menciptakan suatu advokasi yang strategis yang melibatkan suatu negosiasi untuk : 1) Meningkatkan perasaan saling tergantung antara pemangku kepentingan yang relevan. 2) Meningkatkan kemungkinan komunikasi melalui pengembangan organisasi yang bersifat mendorong pemangku kepentingan yang kurang terorganisir. 3) Menciptakan ruang institusional terhadap proses interaktif yang inovatif. 4) Menciptakan kesadaran akan pentingnya kepentingan yang berbeda dalam bidang yang bermasalah (Venus, 2004). Dalam melakukan komunikasi persuasif, penyampaian pesan yang dilakukan oleh komunikator tentu memiliki target komunikan serta perubahan perilaku yang diharapkan. Proses penyampaian pesan ini dapat dijelaskan melalui teori behaviorisme S-R yang dikemukan oleh Hovland, Janis, dan Kelley. ModelStimulus Response Theory atau SR theory menunjukkan bahwa komunikasi merupakan proses aksi-reaksi. Artinya model ini mengasumsi bahwa kata-kata verbal, isyarat non verbal, simbol-simbol tertentu akan merangsang orang lain memberikan respon dengan cara tertentu.(Sumartono, 2002:42). Berdasarkan uraian tersebut, proses komunikasi dalam teori S-R ini dapat digambarkan sebagai berikut:
17
Bagan 1.2 Proses komunikasi persuasi dalam teori S-R
Stimulus Komunikator
Komunikan Respon
Namun, Kurt Lewin (Hergenhahn, 2008), seorang Gestaltis mengkritik teori tersebut. Menurutnya, perilaku individu tidak hanya dipengaruhi oleh stimulus berupa pengalaman empiris, tetapi juga dipengaruhi oleh proses kognitif. Ia menambahkan, bahwa individu berada dalam suatu medan kekuatan psikologis. Dimana, perilaku individu dipengaruhi oleh faktor personal dan faktor lingkungan sosial. Faktor personal dapat berupa motivasi dan tujuan sedangkan, faktor lingkungan sosial dapat berupaa hambatan dan tantangan. Dengan begitu, teori ini belajar berusaha untuk mengatasi hambatan-hambatan demi mencapai suatu tujuan. Asumsi tersebut dikenal dengan Teori Medan Kognitif.
3.
Kerangka Konsep Pembahasan ini secara sederhana berusaha mengkonseptualisasi kerangka
berpikir yang telah dijabarkan di atas. Berikut penjabaran kerangka konsep dalam penelitian ini: Sebagai turunan dari undang-undang nomor 36 tahun 2009, pada 24 Desember
2012
lalu,
Presiden
Susilo
Bambang
Yudhoyono
resmi
menandatangani Peraturan Pemerintah no. 109/2012 tentang pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan. Peraturan Pemerintah tentang rokok ini memaktub banyak peraturan baru mulai dari memperketat model pemasaran dan promosi produk rokok hingga mengatur keberadaan pengguna rokok dengan memperluas kawasan bebas rokok. Kebijakan publik yang dibuat pemerintah ini didasari oleh data kesehatan dari berbagai penelitian tentang dampak rokok yang sangat berbahaya dan mematikan. Dengan dikeluarkannya PP 109/2012 ini pemerintah berharap, masyarakat Indonesia dapat
18
terhindar dari dampak bahaya yang ditmbulkan oleh rokok, dengan kata lain kebijakan publik tersebut dibuat demi menyelamatkan bangsa. Namun, suatu kebijakan yang dibuat oleh pemerintah memunculkan dampak yang tidak sama bagi setiap orang sehingga muncul perlawanan dari kelompok masyarakat yang sifatnya mengadvokasi kepentingan masyarakat. Advokasi inilah yang tengah dilakukan oleh Komunitas Kretek di bawah Lembaga Indonesia Berdikari untuk melakukan perubahan kebijakan yang dibuat pemerintah tersebut. Faktanya, peraturan tersebut ternyata berdampak buruk bagi industri kretek Indonesia yang telah puluhan tahun menjadi aset budaya bangsa Indonesia sendiri. Akibatnya, ribuan buruh dan petani tembakau pun terancam kehidupannya. Untuk itu lah, sejak tahun 2010 Komunitas Kretek aktif melakukan advokasi terhadap kebijakan demi melakukan perubahan dan menyelamatkan kelompok masyarakat yang termarginalkan. Advokasi terhadap kebijakan hadir sebagai alternatif kebijakan yang mendorong pada arah perubahan yang lebih baik. Advokasi merupakan reaksi atas kebijakan yang berupaya untuk mempengaruhi perubahan kebijakan, mereformasi kebijakan, dan menjamin kebijakan-kebijakan tersebut diimplementasikan. Dalam kasus ini, Komunitas Kretek aktif melakukan advokasi terhadap PP 109/2012 dimana dalam upaya mempengaruhi kebijakan pemerintah, komunitas ini melakukan pendekatan tidak hanya kepada pemerintah tetapi juga masyarakat luas agar mampu menekan pemerintah. Harapannya, dengan terbentuk opini publik yang mampu mendorong dan mempengaruhi pemerintah mencabut atau mengubah kebijakan tersebut. Untuk mencapai tujuan tersebut, Komunitas Kretek menyusun strategi komunikasi yang diharapkan dapat berjalan efektif. Strategis atau tidaknya kegiatan komunikasi dalam upaya advokasi yang dilakukan dapat dilihat dari proses manajemen komunikasi yang dijalankan secara terorganisir serta memiliki isu dan tujuan yang strategis. Proses manajemen komunikasi dalam upaya advokasi terdiri dari tiga tahap, yaitu tahap perencanaan, tahap pelaksanaan, dan tahap evaluasi.
Tahap
perencanaan
tujuan,
berisi
riset,
pemilihan
isu
strategis,
menentukan
mengidentifikasi sasaran advokasi, dan merancang strategi advokasi. Tahap
19
pelaksanaan merupakan tahap dalam implementasi substansi advokasi yang biasanya berupa pelaksanaan strategi advokasi. Tahap yang ketiga adalah tahap evaluasi advokasi yang berarti melakukan penilaian terhadap serangkaian proses advokasi yang telah dilaksanakan, mulai dari tahap inisiasi sampai tahap konsolidasi. Dalam upaya advokasi,ada empat strategi tindakan komunikasi yang digunakan Komunitas Kretek, yaitu strategi kerjasama, strategi persuasi, strategi litigasi, dan strategi kontestasi atau perlawanan. Proses penyampaian pesan dalam upaya advokasi tersebut sesuai dengan Teori Medan Kurt Lewin dimana perilaku individu bukan sekedar dipengaruhi oleh pengalaman empiris tetapi juga proses mental. Begitu pula halnya dalam proses advokasi yang dilakukan oleh Komunitas Kretek. Komunitas Kretek bertujuan untuk melakukan perubahan perilaku pada masyarakat dan pemerintah untuk tentunya mendukung upaya advokasi mereka. Dan pada akhirnya, pemerintah dapat mengubah regulasi teknik PP 109/2012. Namun, dalam proses menggapai
tujuan
dan
motivasi
tersebut,
terdapat
hambatan
yang
mempengaruhinya. Hambatan tersebut berasal dari kelompok-kelompok anti rokok yang juga giat menyebarkan kampanyenya dan
melawan Komunitas
Kretek. Masyarakat pun sebagian besar masih terpengaruh dengan hambatan tersebut. Menurut teori ini, hambatan itulah yang harus diselesaikan demi tercapainya tujuan melalui strategi dan taktik yang telah disusun dalamstrategi komunikasi dalam upaya advokasi terhadap kebijakan tentang PP no 109/2012 tersebut.
20
Bagan 1.3 Strategi Komunikasi dalam Upaya Advokasi Tahap Perencanaan - memilih isu - menentukan tujuan - menentukan sasaran - merancang strategi : Strategi Kerjasama, Strategi Persuasi, Strategi Perlawanan dan Strategi Litigasi
Tahap Pelaksanaan - implementasi strategi
Tahap Evaluasi - evaluasi akhir
Teori medan kognitif
4.
Metodologi Penelitian
1.
Metode penelitian Metode penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah studi
kasus. Studi kasus adalah jenis penelitian terhadap suatu gambaran yang mendetail mengenai latar belakang serta sifat-sifat khas dari suatu kasus ataupun peristiwa.
Sedangkan, kasus atau peristiwa yang menjadi objek penelitian
menurut Yin (2003 : 1) merupakan fenomena kontemporer di kehidupan nyata dimana peneliti hanya memiliki sedikit peluang untuk mengontrol peristiwaperistiwa yang akan diselidiki. Terdapat empat jenis desain penelitian dalam studi kasus, yaitu desain kasus tunggal holistik (single case-holistic), desain kasus tunggal terjalin (single caseembedded), desain multikasus holistik (multiple case-holistic), dan desain
21
multikasus terjalin (multiple case-embedded). Penelitian ini akan menggunakan desain penelitian kasus tunggal holistic (single case-holistic) dimana hanya terdapat satu unit analisis yang dikaji (Yin, 2013:46). Pemilihan metode studi kasus dirasa tepat dalam penelitian ini karena Advokasi terhadap PP nomor 109/2012 merupakan fenomena kontemporer yang saat ini tengah berlangsung. Selain itu, sebagai sebuah metode, studi kasus bermanfaat untuk meneliti fenomena yang unik di tengah masyarakat. Advokasi terhadap PP nomor 109/2012 dirasa unik karena ditengah gemparan hujatan dari berbagai kalangan di media massa, Komunitas Kretek berani memperjuangkan hak-hak para petani serta buruh tembakau yang selama ini sudah puluhan tahun hidup dari industri tersebut.
2.
Objek penelitian Dalam penelitian ini, objek penelitiannya adalah aktivis Komunitas Kretek
aktif. Penelitian ini mencakup seluruh kegiatan advokasi terkait PP 109/2012 yang dilakukan oleh Komunitas Kretek. Dengan begitu, diharapkan peneliti mampu mendapatkan data yang kontemporer dan mendalam.
3.
Teknik Pengumpulan Data Untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini, terdapat empat teknik
pengumpulan data yang akan dilakukan, yaitu : a. Wawancara mendalam (Depth interview) Teknik wawancara mendalam dimaksudkan untuk mengumpulkan data primer yang dilakukan melalui wawancara secara mendalam. Seperti yang diungkapkan Yin (2013 : 108), wawancara mendalam merupakan sumber informasi yang esensial dalam studi kasus. Proses wawancara dalam penelitian ini dilakukan dalam bentuk tanya jawab secara lisan dengan berhadapan fisik antara peneliti dan informan. Sedangkan, tipe wawancara yang digunakan dalam penelitian ini yaitu open ended atau bersifat terbuka, dimana informan menjawab secara bebas tanpa dibatasi pilihan-pilihan. Hal ini karena menurut Wimmer dan Dominick (2008 : 116) penelitian kualitatif menggunakan pendekatan pertanyaan
22
yang fleksibel, dimana peneliti dapat mengganti pertanyaan ditengah wawancara atau bertanya suatu hal yang sebelumnya tidak terdapat dalam panduan wawancara. Sebagai sumber data primer, wawancara akan ditujukan kepada enam orang komunitas kretek Yogyakarta yang berperan sebagai koordinator kegiatan. Pertama Kordinator Wilayah DIY untuk menanyakan seputar PP 109/2012 serta tinjauan Komunitas Kretek. Kedua, Koordinator Komunitas KretekNasional. Sebagai pemimpin di Komunitas Kretek, peneliti akan mengajukan pertanyaan mengenai tahap perencanaan dan evaluasi, sedangkanuntuk meneliti tahap pelaksanaan strategi, peneliti akan mengajukan pertanyaan kepada kordinator divisi media, melalui bagian ini peneliti akan mengajukan pertanyaan mengenai strategi dan taktik komunikasi melaluimedia baik media konvensional (surat kabar, radio, poster, brosur dan stiker) maupun media baru (website, twitter, dan facebook),tim pembela kretek yang bertanggungjawab di bagian litigasi untuk mengajukan pertanyaan seputar strategikomunikasi dalam upaya advokasiyang bersifat yudikatif, dankordinator divisi gerakan sosial, peneliti akan mengajukan pertanyaan seputar strategi dan taktik dalam melakukan gerakan sosial seperti aksi demo, seminar serta diskusi publik, terakhir kordinator petani, peneliti akan mengajukan pertanyaan tentang strategikomunikasi dalam upaya advokasi terhadap PP 109/2012 yang dilakukan Komunitas Kretek kepada para petani. b. Dokumentasi Teknik dokumentasi dimaksudkan untuk mengumpulkan data sekunder yang diperoleh melalui cara mengumpulkan dan mempelajari dokumen-dokumen baik dokumen tertulis, gambar maupun elektronik yang digunakan objek penelitian. Berkaitan dengan data sekunder ini adalah dokumen-dokumen tentang pola dan macam strategi yang dirumuskan dan diimplementasikan oleh Komunitas Kretek serta
peraturan/ketentuan-ketentuan
yang
melandasi
kebijakan
Advokasi
109/2012. Dokumentasi yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini berupa situs/website, foto kegiatan, artikel surat kabar yang berkaitan dengan Advokasi, kebijakan pemerintah terkait peraturan rokok dan artikel lainnya yang berkaitan dengan kretek.
23
c. Observasi langsung Observasi langsung, merupakan kegiatan mengamatidan mengidentifikasi fenomena yang tidak tersirat pada data hasil dari wawancara.Tetapi pada penelitian ini peneliti hanya akan menjadi pengamat yang pasif dan tidakikut berperan
di
dalamnya.
Bukti
dari
observasi
seringkali
bermanfat
untukmemberikan informasi tambahan tentang topik yang akan diteliti (Yin, 2006: 113). Dalam
melakukan
observasi
langsung,
peneliti
memiliki
peran
sebagaiobserver non-partisipan. Cara ini dilakukan dengan menghadiri agendaagendakegiatan komunikasi dalam upaya advokasi yang diselenggarakan oleh Komunitas Kretek. Melalui kegiatan-kegiatantersebut, peneliti dapat mengamati secara langsung sikap aktor-aktor daninteraksinya dengan aktor lain yang tidak peneliti dapatkan ketika melakukanwawancara dengan masing-masing aktor.
4.
Teknik Analisis Data dan Tahapan Penelitian Menurut Yin dalam Rianto (2008 : 96), terdapat tiga teknik analisis data yang
digunakan dalam metodologi studi kasus, yaitu penjodohan pola (pattern matching), pembuatan penjelasan dan analisis deret waktu. Untuk meneliti advokasi terhadap PP nomor 109/2012 ini, peneliti menggunakan teknik analisis data penjodohan pola (pattern matching), dimana dalam melakukan analisis data peneliti melakukan perbandingan antara data yang diperoleh dengan suatu pola yang sudah dibuat dari beberapa teori yang telah disusun. Data penelitian ini berupa hasil dari beberapa teknik pengumpulan data yang telah dijelaskan sebelumnya, yaitu wawancara, dokumentasi dan observasi yang kemudian dalam analisis datanya, peneliti akan mencocokan data tersebut dengan kerangka konsep yang berisi beberapa teori yang telah disusun. Sedangkan, untuk melakukan uji validasi data, peneliti akan menggunakan sistem triangulasi, dimana data yang peneliti dapat dari Komunitas Kretek tidak langung diambil kesimpulannya, tetapi peneliti akan mencocokan data tersebut kepada pihak ketiga, yakni target sasaran.
24
Untuk menjawab rumusan masalah, penelitian ini akan melalui beberapa tahapanpenelitian, berikut penjelasannya :
25
Tabel 1.1 Tahapan Penelitian
No.
Data yang diperlukan
Indikator ‐
1.
Tinjauan Komunitas Kretek
Sumber data
Sejarah dan
Kordinator komtek
Perkembangan Komunitas
DIY
Teknik pengumpulan data wawancara
Kretek ‐
Visi dan misi
Kordinator komtek
wawancara
DIY ‐
‐
Kesekretariatan dan
Kordinator komtek
Stuktur Organisasi
DIY
Kegiatan
Kordinator komtek
wawancara
wawancara
DIY ‐
Makna Logo
Kordinator komtek
wawancara
DIY Tinjauan strategi komunikasi 2.
dalam upaya advokasi terhadap PP 109/2012 Tahap Perencanaan
‐
Pemilihan isu
Kordinator Nasional
Wawancara
komtek 26
‐
Penentuan tujuan
Kordinator Nasional
Wawancara
komtek ‐
Penentuan sasaran
Kordinator komtek
Wawancara
Bagian lobbying
Wawancara
advokasi ‐
Perancangan strategi
politik, bagian litigasi, bagian media, bagian petani dan buruh, bagian gerakan sosial. Tahap Pelaksanaan
‐
Implementasi strategi Strategi kerjasama Strategi litigasi
Bagian lobbying
Wawancara, observasi,
politik
dokumentasi
Bagian litigasi
Wawancara, observasi, dokumentasi
Strategi persuasi Strategi perlawanan (strategi social movement)
Bagian media, bagian
Wawancara, observasi,
petani dan buruh
dokumentasi
Bagian gerakan sosial
Wawancara, observasi, dokumentasi
27
Tahap Evaluasi
‐
Evaluasi akhir
Kordinator Nasional
Wawancara, dokumentasi
komtek
28