BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Greater Mekong Subregion (GMS) merupakan mekanisme kerjasama pembangunan yang didesain dan disponsori oleh Asian Development Bank (ADB). Dinisiasi pada tahun 1992, GMS diprakarsai untuk meningkatkan pembangunan di area natural economic yang tergabung secara alami oleh aliran sungai Mekong di Asia, yaitu provinsi Yunnan dan daerah otonomi Guangxi Zhuang di Republik Rakyat China dan lima negara anggota ASEAN, termasuk Kamboja, Laos, Myanmar, Thailand dan Viet Nam.1 Negara-negara tersebut secara gradual beralih dari orientasi agraris menjadi lebih berorientasi diversifikasi ekonomi ke arah sistem berbasis pasar. Relasi komersil antara keenam negara tersebut, dalam hal perdagangan dan investasi lintas batas negara, pun semakin berkembang. Selain itu, dalam lingkup subregional, pengelolaan sumber daya alam pun semakin terbangun dengan baik. Kekayaan dalam aspek sumber daya alam maupun manusia yang dimiliki oleh keenam negara yang dilalui oleh sungai Mekong tersebut pun menjadi salah satu kekuatan utama yang hanya memerlukan pengelolaan lebih terarah. Hal inilah yang dilakukan melalui mekanisme Greater Mekong Subregion dan menjadikan kerjasama ini menjadi salah satu pelopor terdepan dalam perkembangan ekonomi Asia. Bahkan, area Mekong pun dipertimbangkan berpotensial sebagai salah satu area dengan pembangunan yang paling pesat di dunia. ADB mengasumsikan peran Sekretariat GMS sebagai fasilitator, penyandang dana, perantara yang jujur
1
‗Greater Mekong Subregion: Program Overview‘. 2013. Situs Resmi Asian Development Bank (Online).
diakses pada tanggal 15 Desember 2013.
1
serta penasehat teknis.2 Program GMS didesain fleksibel, berbasis aktivitas dan program dan bukan sebagai kooperasi berbasis aturan maupun regulasi. Oleh karena itu, negara anggota GMS berkooperasi dalam lingkup yang cukup terbatas. ADB telah memberikan 40 persen dari kebutuhan dana, atau bernilai US$ 3,5 milyar untuk pinjaman GMS dan hibah khusus; serta sekitar US$ 82 juta untuk pendampingan teknis bagi program GMS yang disponsori oleh ADB; kemudian 35 persen dana berasal dari negara anggota dan 25 persen dari mitra lainnya.3 Kerjasama dalam program GMS bergerak dalam dukungan terhadap pembangunan dan saling berbagi basis sumber daya untuk mempromosikan kebebasan bergerak bagi barang dan manusia dan mengupayakan pengakuan dari dunia internasional agar kawasan regional Mekong dipertimbangkan sebagai area pertumbuhan dan pembangunan yang progresif.4 GMS bertujuan untuk mempromosikan dan mengimplementasikan langsung programnya dengan tujuan pembangunan yang berkelanjutan. Oleh karena itu, keenam pemerintah negara anggotanya pun menyetujui inisiasi GMS Core Environment Program atau GMS CEP berikut sekretariatnya, Environment Operations Center (EOC) untuk mendukung implementasi CEP. CEP sendiri merupakan pendekatan sistematis dan integratif yang berfokus pada isu lingkungan dan sumber daya yang akan berimplikasi terhadap pertumbuhan ekonomi di kawasan subregional tersebut. Pelaksanaan program GMS terfragmentasi ke dalam sejumlah termin yang memiliki karakteristik tertentu. Sepuluh tahun pertama pelaksanaan GMS, yaitu 1992-2002 ditandai oleh program yang spesifik pada sektor tertentu saja, tanpa memandangnya sebagai suatu kebijakan komprehensif dengan visi holistik. Sepuluh tahun GMS Strategic Framework 2002-2012 akhirnya disepakati setelah melakukan evaluasi terarah atas kinerja GMS selama sepuluh tahun pertamanya 2
‗Greater Mekong Subregion: Regional Cooperation Assistance Program Evaluation‘. Desember 2008. Evaluation Study CAP: REG 2008-73. Asian Development Bank: Operations Evaluation Department (Online). diakses pada tanggal 15 Desember 2013. 3 ‗Greater Mekong Subregion: Regional Cooperation Assistance Program Evaluation‘— 4 ―Promoting free flow of goods and people in the subregion and led to the international recognition of the subregion as a growth area” retrieved from Asian Development Bank (Online) <www.adb.org/gms/> diakses pada 15 Desember 2013.
2
dan diskusi dilakukan dalam GMS Summit di Phnom Penh, Kamboja pada tahun 2002.5 Kerjasama tersebut harus diikuti oleh rangkaian program dan implementasi yang terarah berbentuk kombinasi dari perspektif ―top-down” dan ―bottom-up” serta evaluasi berkala untuk mengulas hasil kinerja GMS per periode pelaksanaan. Evaluasi ini merujuk pada dua aspek. Pertama, penilaian atas kinerja yang telah berlangsung dan lampau yang telah tergantung pada dukungan kelembagaan ADB. Kedua, identifikasi pelajaran dan rekomendasi bagi program GMS untuk bergerak secara progresif6, dengan negara anggota kemudian mengambil tanggung jawab dalam porsinya masing-masing. Penelitian ini akan memfokuskan penelitian pada era implementasi Strategic Framework 2002-2012 yang dibicarakan dalam Leaders’ Summit pertama GMS di Phnom Penh, Kamboja pada tahun 2002 yang secara langsung dihadiri oleh perdana menteri Thailand yang baru setahun menjabat sejak 2001, yaitu Thaksin Shinawatra. Kerangka kerja GMS CEP berjangka panjang dan memiliki target untuk mengentaskan kemiskinan dan menciptakan kawasan subregional yang bebas dan dan kaya dalam aspek ekologi. Hasil yang diharapkan dari kerangka kerjasama ini ialah keberlangsungan lingkungan dan persamaan sosial dari program kerjasama ekonomi maupun pembangunan. Diharapkan hasil yang akan tercapai ialah sistem manajemen lingkungan yang baik dan manajemen kelembagaan dalam pengelolaan lingkungan dengan kaitannya dengan program kerjasama ekonomi. Komitmen dalam kerjasama GMS berkisar pada penyediaan dukungan teknis, operasional
dan
finansial
untuk
meningkatkan
kapabilitas
manajemen
lingkungan.7 Negara-negara anggota GMS telah memperoleh manfaat dari kerjasama dalam GMS, kendatipun proses yang terjadi menghasilkan dampak ekonomi yang 5
‗4th GMS Summit Endorses New 10-years Strategic Framework‘. 20 Desember 2011. Chinese’s Government Official Web Portal (Online). diakses pada 15 Desember 2013. 6 ‗Greater Mekong Subregion: Regional Cooperation Assistance Program Evaluation‘.— 7 Hussain Mir, Javed. ‗Implementing the Greater Mekong Subregion Core Environment Program‘. 28 Februari 2006. TWG on Forestry and Environment, Phnom Penh (Online). diakses pada 16 Desember 2013.
3
cukup lama terasa signifikansinya di level regional. Sebagai negara pelopor dan salah satu negara yang secara ekonomi berkembang paling pesat di Asia Tenggara, Thailand akan menjadi fokus dalam penelitian ini. Melalui implementasi mekanisme strategi dalam GMS CEP, penelitian ini akan memfokuskan pada implikasi dan pengaruhnya terhadap perkembangan pertumbuhan hijau di Thailand dalam lima tahun era kepemimpinan Thaksin Shinawatra, yaitu pada tahun 2001-2006. Alasan di balik terfokusnya penelitian ini pada era Thaksin ialah karena dalam lima tahun kepemimpinannya, Thailand berhasil
meraih
pencapaian
signifikan
dalam
bidang-bidang
indikator
pertumbuhan hijau hingga menimbulkan fragmentasi dalam masyarakat yang mendukung pemerintahan Thaksin maupun tidak (red shirt dan yellow shirt). Manifestasi dari internalisasi kebijakan GMS CEP dalam ranah domestik menjadi orientasi kebijakan yang diambil oleh Thaksin Shinawatra selama masa kepemimpinannya. Istilah pertumbuhan hijau (green growth) belakangan ini menjadi populer di kalangan economic policy makers baik di negara maju maupun berkembang. Istilah ini sangat dekat dengan konsep sustainable development, namun lebih berfokus pada pertumbuhan dan aksi dalam menangani isu perubahan iklim dan lingkungan dalam jangka waktu yang lebih panjang. Strategi green growth awalnya dibangun oleh think-tank Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) yang kemudian semakin dikelola oleh sejumlah bank pembangunan multilateral, selah satunya Asian Development Bank. Istilah ini juga dibahas dalam konferensi Rio+20 pada bulan Juni 2012 silam yang menyatakan perlunya
pembahasan
green
growth
sebagai
kunci
dalam
pembangunan berkelanjutan dan kemakmuran (Bowen, 2012). Pada bulan Mei 2012, World Bank mempublikasikan ―Inclusive Green Growth: The Pathway to Sustainable Development” yang secara khusus membahas konsep ini secara teoritis dan kontekstual. Terdapat tiga pilar dalam pembangunan yang berkelanjutan, yaitu sosial, ekonomi dan lingkungan. Green growth merupakan pertimbangan yang terpenting dalam perumusan kebijakan ekonomi di era kontemporer, karena aspek lingkungan dan ekonomi, khususnya yang berkaitan dengan pendapatan maupun konsumsi, saling berkaitan dan tidak
4
dapat dipisahkan dalam jangka panjang. Aset lingkungan merupakan inti dari perkembangan dan pertumbuhan ekonomi yang sedang berlangsung. Alangkah baiknya jika kebijakan yang diinisiasi mempertimbangkan kedua aspek tersebut (World Bank, 2012). World Bank beserta OECD dan UNEP pun membangun Green Growth Knowledge Platform pada Mei 2012 berikut terbentuknya organisasi internasional baru, the Global Green Growth Institute, yang turut bekerjasama dalam pembangunan perangkat konsep green growth tersebut. Memang belum disepakati definisi dari green growth secara global, akan tetapi dua bank pembangunan multinasional, World Bank dan Asian Development Bank (ADB) memiliki definisinya masing-masing. Menurut
World
Bank, green growth
ialah
pertumbuhan yang meminimalisir polusi dan dampak lingkungan, serta peranan dalam pengelolaan modal berupa sumber daya alam yang bersifat inklusif untuk menyasar tiga pilar berupa ekonomi, lingkungan dan sosial yang berjangka panjang. Pertumbuhan ini pun dimaksudkan untuk meningkatkan pembangunan, mengurangi tingkat kemiskinan sekaligus menghindari konsekuensi negatif dalam bidang lingkungan. Sedangkan menurut ADB, istilah ini bermakna pola pembangunan yang bertujuan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi dan mempromosikannya melalui model industri maupun bisnis berbasis lingkungan demi peningkatan kualitas hidup masyarakat (Bowen, 2012). Terdapat tiga indikator pencapaian dalam implementasi green growth atau pembangunan hijau8, yaitu: 1. Pertumbuhan ekonomi 2. Inklusi sosial 3. Perlindungan terhadap lingkungan Ketiganya merupakan aspek output yang diproyeksikan dapat tercapai melalui kerangka pembangunan hijau dan ketercapaiannya adalah indikator signifikansi implementasi pembangunan hijau.
8
‗Low Carbon Green Growth Roadmap for Asia and the Pacific‘. 2012. UNESCAP Publication, Bangkok. diakses pada 20 Januari 2014.
5
Melalui maksimalisasi sinergi dalam pembangunan ekonomi dan proteksi lingkungan, green growth menekankan pada fakta bahwa kebijakan lingkungan bukan hanya bertujuan untuk meningkatkan keberlangsungan lingkungan saja, melainkan memiliki tujuan jangka panjang untuk menjadi katalisator dalam pertumbuhan ekonomi (Toman, 2012). Ketiga aspek dan tujuan yang terkoneksi dalam pertumbuhan hijau inilah yang menjadi orientasi dari kebijakan nasional era Thaksin di Thailand yang merupakan internalisasi dari kerjasama subregional GMS CEP.
B.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan pada pendahuluan di atas, maka terdapat rumusan masalah, yaitu: 1. Bagaimanakah
implikasi
dari
Greater
Mekong
Subregion-Core
Environment Program terhadap pertumbuhan hijau di Thailand era Thaksin Shinawatra (2001-2006)? 2. Bagaimana orientasi politik Thaksin dilihat dari konteks political ecology?
C. KERANGKA BERPIKIR
Dalam studi ilmu Hubungan Internasional, kajian-kajian tentang lingkungan kerap terkalahkan dengan kajian-kajian yang bersifat ‗high politics‘ seperti isu pertahanan-keamanan, konflik-perdamaian dan sebagainya. Kajian lingkungan yang awalnya kerap menjadi isu ‗kelas dua‘, telah perlahan menjadi kajian yang menuntut konsentrasi tersendiri untuk dielaborasi lebih dalam dan fokus. Perkembangan perubahan iklim dan isu lingkungan yang dikoneksikan dengan isu kesejahteraan dan kerja sama regional menjadi isu utama dalam studi Hubungan Internasional belakangan ini. Sebagaimana dijelaskan di atas, skripsi ini hendak meneliti tata kelola pembangunan dan lingkungan sebagai variabel utama dalam sebuah kerjasama
6
subregional yang sesungguhnya tidak steril dari sebuah dinamika politik yang mengitarinya. Untuk mengelaborasi tema tersebut penulis menggunakan pendekatan Political Ecology. Pendekatan populer dalam studi Hubungan Internasional ini dipergunakan untuk mengkoneksikan isu lingkungan dengan isu sosial-ekonomi dan politik. Agar mendapat sebuah elaborasi yang komprehensif terkait dengan tema sentral penelitian skripsi ini yakni studi kasus GMS di Thailand, political ecology dilengkapi pula dengan kajian dan dinamika politik domestik Thailand di era Thaksin Shinawatra.
1. Political Ecology
Ranah baru dalam Political Ecology menciptakan sebuah pendekatan yang mengkoneksikan relasi antara perilaku manusia dengan perubahan lingkungan (Bryant, 1997). Jangkauan dari teori ekologi politik sangat luas dan eklektik. Inti dari observasi ini adalah sentralitas dari politik untuk menjelaskan mengenai interaksi manusia dan lingkungan, atau dinamika dan properti dari lingkungan yang dipolitisasi (Bryant, 1997; p. 82). Teori ekologi politik mulai berkembang pada tahun 1970-an sebagai sebuah studi empirik yang mengaitkan antara budaya ekologi, yang bermakna studi empiris antropologi dengan praktek lingkungan, dengan analisis mengenai ekonomi politik (Escobar 1999a). Inti dari ekologi politik adalah bahwa permasalahan lingkungan bukanlah aspek netral, karena tidak dapat dipahami jika diisolasi dari konteks ekonomi dan politik (Bryant, 1997; p.26). Penyelesaian permasalahan lingkungan bukan dan tidak dapat diselesaikan hanya melalui pengelolaan teknis, akan tetapi dengan mengerahkan sumber daya politik (power) serta pembenahan dalam hal redistribusi sumber daya ekonomi demi aksesibilitas sosial bagi masyarakat. Seluruh argumen mengenai program berorientasi lingkungan secara simultan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh argumen ekonomi politik. Permasalahan lingkungan adalah masalah penghidupan (Bryant and Bailey, 1997). Distribusi sumber daya dan hubungan kekuasaan yang tidak
7
merata dari level negara bagi masyarakat luas, khususnya masyarakat menengah ke bawah, menjadi sumber permasalahan, baik permasalahan lingkungan dan masalah kemiskinan. Masalah ini akan menjadi saling terkait ketika masyarakat di tingkat grassroot termarjinalisasi dan rentan menjadi penyebab dan akibat dari degradasi lingkungan. Dalam penelitian ini, teori ekologi politik, dengan memfokuskan pada teori ekologi politik regional, akan digunakan untuk menganalisis relasi antara isu lingkungan yang dipolitisasi melalui kerangka kerjasama regional dengan implikasinya terhadap perkembangan berkelanjutan serta integrasi ekonomi negara (Blaikie and Brookfield, 1987), dalam hal ini Thailand oleh mekanisme GMS CEP pada era pemerintahan Thaksin Shinawatra. Teori ini akan menjadi instrumen untuk menganalisis orientasi politik yang eklektik dari kebijakan nasional Thailand era Thaksin selama lima tahun.
2. Dinamika Politik Thailand di Era Pemerintahan Thaksin Shinawatra
Dalam dua dekade belakangan ini, sistem politik domestik Thailand selalu mengalami dinamika dan fragmentasi. Dinamika ini sangat berpengaruh terhadap pola kebijakan politik, ekonomi dan pembangunan Thailand yang dideterminasi oleh tiga faktor, yaitu aktor yang berkuasa, dalam hal ini orientasi kebijakan perdana menteri; partai politik terpilih dengan signifikansi porsi pendukung; serta dukungan dan fragmentasi politik dalam masyarakat. Sistem politik Thailand kerap kali mengalami transformasi sejak adaptasi demokrasi berbentuk monarki konstitusional diterapkan di Thailand pasca kudeta tidak berdarah pada 24 Juni 1932. Kudeta tersebut merupakan titik fenomenal yang meruntuhkan peran absolut dari kerajaan di Thailand selama lebih dari tujuh abad dan absolutisme dinasti Chakri selama 150 tahun oleh sekelompok militer dan sipil yang tergabung dalam partai politik pertama Thailand, Khana Ratsadon (People’s party) melalui konstitusi yang juga
8
pertama kali tertuang dalam politik Thailand
9
. Ironisnya, kendatipun
demokrasi telah mengalir dalam tata kelola politik Thailand sejak periode tersebut, sistem politik, ekonomi dan rencana pembangunan pro-rakyat belum menjadi pertimbangan signifikan. Perekonomian dan situasi politik Thailand pasca krisis Tom Yam Kung di tahun 1997 mulai mengalami ketidakstabilan. Dugaan korupsi bagi Democrat Party di bawah Chuan Leekpai mulai mengangkat popularitas Thaksin Shinawatra yang naik tahta pada tahun 2001 dengan partainya yang mengklaim berkarakter populis, atau pro-rakyat. Thaksin merupakan mantan polisi, seorang pengusaha dan pendiri partai Thai Rak Thai. Pendukung Thaksin dan partainya, Thai Rak Thai, diidentifikasi sebagai kelompok ―Kaus Merah‖ (Red-shirt) yang sebagian besar berasal dari rakyat menengah ke bawah maupun kaum petani. Mereka menilai kebijakan Thaksin sangat pro-rakyat dan pro kesejahteraan. 10 Akan tetapi, kelompok oposisi bertajuk
People’s
Alliance
for
Democracy
yang
pro-monarki
dan
diidentifikasikan melalui warna kerajaan Siam, atau kelompok ―Kaus Kuning‖ (Yellow-shirt) yang berasal dari kalangan menengah ke atas, menuntut Thaksin untuk turun akibat sejumlah tuduhan. Thaksin diduga melakukan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme demi menguntungkan bisnisnya sendiri, Shin Corp, melalui liberalisasi ekonomi dan instalasi proyek-proyek raksasa, khususnya dalam ranah pembangunan infrastruktur. Akan tetapi, dugaan yang paling memberatkan ialah lèse majesté 11 . Dugaan ini pun menjadi alasan
9
Batson, Benjamin A. (1984). The End of Absolute Monarchy in Siam. Singapore: Oxford University Press. 10 Vanderklippe, Nathan. ‗Rising Tension in Thailand Pit Urbanities Against Rular Poor‘. 5 Januari 2014. The Globe and Mail World News (Online). diakses pada 20 Januari 2014. 11 lèse majesté adalah hukum atas segala bentuk penghinaan dan pencemaran nama baik terhadap raja, kerajaan maupun anggota kerajaan Thailand. Tersangka akan dilabeli tahanan politik dan pelanggar dalam bentuk apapun dikenakan sanksi kurungan selama tiga sampai lima belas tahun. Hukum ini berlaku secara mutlak sejak tahun 1908. Hookway, James. ‗in Thailand, Insulting the King Can Mean 15 Years in Jail‘. 16 Oktober 2008. The Wall Street Journal (Online).
9
tersendiri bagi tim kudeta militer untuk menjatuhkan rezim transformasi dan reformasi di bawah kekuasaan perdana menteri Thaksin Shinawatra, yang kemudian menjadi tahanan politik. Saudara perempuannya, Yingluck Shinawatra, melanjutkan orientasi kebijakan politik Thaksin sejak 2011 silam dan menjadi perdana menteri perempuan pertama di Thailand. Thai Criminal Code elaborates in section 112: "Whoever defames, insults or threatens the King, Queen, the Heir-apparent or the Regent, shall be punished with imprisonment of three to fifteen years."12
Dinamika politik dan orientasi kebijakan aktor pemimpin Thailand berpengaruh terhadap signifikansi efektivitas adaptasi kebijakan GMS CEP dalam lingkup domestik. Tidak dapat dipungkiri bahwa situasi, pola dan arah kebijakan politik domestik adalah faktor determinan yang berpengaruh terhadap implementasi program kerjasama subregional Mekong dalam bidang lingkungan dan pembangunan berkelanjutan.
D. HIPOTESIS
Kebijakan GMS CEP adalah manifestasi dari political ecology dalam upaya maksimalisasi pencapaian green growth di subregional sungai Mekong di Asia Tenggara. Tak hanya sampai disitu, kebijakan GMS CEP di era Thaksin juga telah menjadi sebuah ‗keuntungan politik‘ tersendiri karena membantu penguatan dan popularitas politik pemerintahan Thaksin di mata rakyat. Kebijakan dalam bidang lingkungan demi pencapaian progres pembangunan berkelanjutan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan dalam GMS CEP, mengingat keduanya saling berkesinambungan satu sama lain. Selama lebih dari wsj&url=http%3A%2F%2Fonline.wsj.com%2Farticle%2FSB122411457349338545.html%3Fmod %3Dgooglenews_wsj> diakses pada 20 Januari 2014. 12 Hookway, James. ‗in Thailand, Insulting the King Can Mean 15 Years in Jail‘. 16 Oktober 2008. The Wall Street Journal (Online).
10
dua puluh tahun implementasinya, GMS CEP telah menjadi katalisator bagi pembangunan keenam negara anggotanya berikut menciptakan suatu kondisi interkoneksi di antaranya. GMS memang merupakan salah satu program dalam upaya pencapaian target ASEAN Connectivity untuk mencapai kawasan regional yang terkoneksi dalam pasar dan basis produksi tunggal, menjadi kawasan yang kompetitif dan inklusif dalam pembangunan serta terintegrasi sepenuhnya terhadap ekonomi global. Konektivitas ini diciptakan bukan hanya dari segi fisik, akan tetapi juga dari aspek institusional kelembagaan. Dalam partisipasinya dengan GMS, Thailand merupakan negara yang dapat dikatakan paling kontributif dan aktif. Selain itu, Thailand sendiri mengalami eskalasi pembangunan yang sangat pesat, khususnya pada lima tahun masa kepemimpinan Thaksin Shinawatra yatu pada tahun 2001-2006. Hal ini dicapai oleh Thailand saat pemerintah menggunakan Thaksinomics dan kebijakan populis sebagai komoditas utama ekologi politik untuk mencapai perkembangan yang berkelanjutan dan terinterkoneksi dalam bidang satu dan lainnya, yaitu sosial, ekonomi, politik dan lingkungan.
E.
JANGKAUAN PENELITIAN
Penelitian skripsi ini akan membahas mengenai praktek Political Ecology dan penerapan Green Growth dalam mekanisme kerjasama Greater Mekong Subregion-Core Environment Program demi penciptaan kawasan subregional Mekong yang secara holistik terintegrasi dalam program pembangunan berkelanjutan secara spesifik dalam dampaknya terhadap pembangunan hijau dan mekanisme tata kelolanya di Thailand pada kurun waktu pemerintahan Thaksin Shinawatra, yaitu tahun 2001-2006. Peran Thailand dalam kerjasama GMS, khususnya GMS CEP, dinilai signifikan dan berdampak langsung pada kesejahteraan masyarakat. Untuk memperkuat argumen tersebut, penulis juga akan membahas tentang analisis data peningkatan pertumbuhan hijau di Thailand yang dipengaruhi oleh kerangka kerjasama GMS CEP ini serta pengaruh dari
11
pertentangan politik Thailand dalam implementasinya di ranah domestik. Penelitian ini akan mencoba menelaah mengenai implikasi dari penerapan kebijakan GMS CEP berbasis pertumbuhan hijau di era pemerintahan Thaksin Shinawatra, yang berbentuk kebijakan populis dalam bingkai Thaksinomics dalam kurun waktu yang sama, menggunakan teori political ecology.
F.
SISTEMATIKA PENULISAN
Bab I: Pendahuluan Pada bab ini akan diuraikan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, kerangka berpikir, hipotesis, jangkauan penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II: Performa Thailand dalam Kerangka Kerja Subregional GMS CEP Bab ini akan menjelaskan tentang kerangka kerja GMS CEP dan performa Thailand dalam pelaksanaan GMS CEP pada masa kepemimpinan PM Thaksin Shinawatra. Dalam bab ini akan dielaborasi mengenai indikator-indikator yang mengalami
eskalasi
yang
menandakan
performa
Thailand
dalam
menginternalisasi kebijakan GMS CEP pada tahun 2001-2006.
Bab III: Political Ecology dalam Implementasi Kebijakan Pertumbuhan Hijau sebagai Manifestasi GMS CEP di Thailand Era Thaksin Shinawatra Bab ini akan membahas mengenai implementasi political ecology dalam pengelolaan pertumbuhan hijau sebagai internalisasi kebijakan GMS CEP di Thailand dalam kurun waktu 2001-2006.
Bab IV : Penutup Bab ini akan menyajikan kesimpulan dari keseluruhan pembahasan dan analisis dalam penulisan skripsi ini.
12