BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Corporate Social Responsibility (CSR) pada dasarnya merupakan bentuk kepedulian perusahaan pada lingkungannya yang direpresentasikan dalam kegiatan-kegiatan yang melibatkan kehidupan sosial masyarakat. Perusahaan melalui CSR menampilkan diri sebagai bagian dari masyarakat dan secara halus menunjukan diri bahwa perusahaan bukan hanya berkepntingan profit semata. Perusahaan yang diidentikan sebagai bagian dari sistem kapitalisasi dengan eksplorasi sumber daya alam dan manusia di dalamnya memungkinkan untuk menumbuhkan pandangan negatif dari masyarakat terkait tujuan keuntungan yang dicarinya. Melalui program CSR, perusahaan menunjukan diri bahwa keberadaan perusahaan juga memiliki dampak positif bagi masyarakat dan lingkungannya termasuk memupuk sistem ekonomi berkelanjutan bagi masyarakat. CSR menjadi sarana perusahaan untuk menunjukan bahwa keberadaannya juga mengedepankan hubungan sosial yang dibangun atas dasar kepentingan bersama. Perusahaan melalui program CSR secara aktif melibatkan diri pada kompleksitas lingkungan dan turut serta membangun kehidupan masyarakat yang lebih baik. CSR pun menjadi sarana perusahaan untuk meningkatkan keuntungannya secara profit maupun dalam hal nama baik dengan merealisasikan CSR bagi kepentingan perusahaan, masyarakat dan lingkungan sebagaimana diungkapkan Elkington (dalam Wibisono, 2007: 6) bahwa, “Selain mengejar profit untuk kepentingan shareholders, perusahaan juga harus memperhatikan kepentingan stakeholders, yakni terlibat pada pemenuhan kesejahteraan masyarakat (people), serta berpartisipasi aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan (planet).” Perusahaan-perusahaan besar di Indonesia pun sekarang ini juga banyak menerapkan konsep CSR yang mempresentasikan bentuk peran serta dan kepeduliannya pada aspek sosial dan lingkungan masyarakat sekitar. Kepedulian sosial perusahaan terutama didasari alasan bahwa kegiatan perusahaan membawa
1
2
dampak positif bagi kondisi lingkungan dan sosial-ekonomi masyarakat, khususnya disekitar perusahaan beroperasi. Melalui program CSR, perusahaan secara langsung juga melibatkan masyarakat sebagai objek dari konsep pengembangan lingkungan sosialnya. Keterlibatan masyarakat dalam program CSR perusahaan dapat direalisasikan melalui berbagai cara, seperti memberikan berbagai bentuk keterampilan, pengetahuan, pelatihan yang akan berdampak pada peningkatan kualitas hidup masyarakat itu sendiri. PT Sarihusada Generasi Mahardhika atau Sari Husada yang dikenal sebagai produsen susu formula SGM, melakukan kegiatan CSR melalui pengadaan program Merapi Project. Merapi Project merupakan program CSR Sarihusada yang bekerjasama dengan Pemerintah Daerah DIY dan Pemerintah Kabupaten Sleman dengan membangun Pusat Pelayanan Pertanian dan Peternakan Terpadu. Merapi Project diselenggarakan sebagai bagian dari program revitalisasi masyarakat yang terkena dampak bencana erupsi Gunung Merapi, di Yogyakarta. Program ini berada di lima desa yaitu Desa Umbul Harjo, Desa Kepuh Harjo, Desa Gelagah Harjo, Desa Purwobinangun dan Hargobinangun. CSR bukan merupakan pengalaman baru bagi Sari Husada, meskipun pada pelaksanaannya berbagai program senantiasa memberikan pengaman baru dan masuklan berarti bagi perusahaan. Melalui program Merapi Project, Sari Husada menunjukan bahwa keberadaan perusahaan juga di tampilkan sebagai bagian dari masyarakat. Sari Husada menunjukan bahwa kegiatan CSR yang dilakukannya sebagai bentuk kepedulian sosial sebagaimana diungkapkan Raharjo (2012:3) dalam Buletin Program Merapi, bahwa “Bagi Sari Husada, tanggungjawab sosial sudah menjadi DNA yang mewarnai keseluruhan kiprah perusahaan.
Sejak
dilahirkan, Sari Husada mengemban misi sosial yakni mengatasi gizi buruk pasca perang kemerdekaan. Melalui perjalanan panjangnya, Sari Husada kini berada di Danone International, sebuah group bisnis multinational yang menempatkan pencapaian sosial sama pentingnya dengan pencapaian komersial. Program Merapi dengan sasaran masyarakat terdampak letusan Merapi bukanlah emergency response atau sekedar keinginan menghibahkan sebuah program.
3
Program Merapi merupakan kelanjutan dari program-program sosial yang telah ada bagi peternak sapi perah.” Merapi Project memberikan fasilitas terpadu yang terdiri dari perkandangan modern yang mampu menampung 240 ekor sapi perah dilengkapi dengan milking equipment, laboratorium mini, cooling unit, biogas digester ini diresmikan oleh Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X, Bupati Sleman, Sri Purnomo dan Presiden Direktur Sarihusada, Olivier Pierredon.1 Merapi Project menyediakan fasilitas belajar bagi petani dan peternak, serta lahan percontohan permanen untuk budidaya pertanian, perikanan dan peternakan ternak kecil di lokasi yang sama. Program Merapi Project diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat, keberdayaan masyarakat dan juga mampu meningkatkan status kesehatan dan gizi anak-anak serta keluarga petani di wilayah sekitar gunung merapi. Keberadaan pusat peternakan dan pertanian terpadu ini diharapkan mampu meningkatkan penyediaan susu yang berkualitas dan memenuhi standar mutu industri. Merapi Project memberikan fasilitas pengadaan pusat pelayanan pertanian dan peternakan terpadu dalam dinilai sesuai dengan kondisi masyarakat karena masyarakat di Desa Umbulharjo sebagian besar adalah petani dan peternak sapi. Masyarakat sudah terbiasa memelihara sapi dengan cara tradisional sebagai penghidupan mereka karena Desa Umbulharjo merupakan lereng gunung merapi yang subur dan tersedia banyak makanan untuk sapi. Melalui Merapi Project, Sarihusada ingin membantu masyarakat dengan memberikan pengetahuan mengenai pengelolaan pertanian dan peternakan terpadu yang nantinya dapat ditiru dan dikembangkan di tempat lain. Merapi Project dinilai dapat meningkatkan perekonomian masyarakat setempat karena masyarakat setempat memperoleh pembinaan dengan ditunjang sarana pendukung modern. Sarihusada juga akan memperoleh keuntungan dari pengadaan program ini karena juga meningkatkan sentra produksi susu sebagai bahan baku produksi perusahaan. Citra baik perusahaan berpotensi meningkat 1 http://www.beritasatu.com/kesra/143690-bantu-petani-dan-peternak-sarihusada- resmi kan-mera pi-project.html, diakses pada 2 Maret 2014.
4
dengan adanya pengalaman masyarakat yang mendapatkan keuntungankeuntungan dari program Merapi Project yang diselenggarakan tersebut sebagaimana diungkapkan Octavian (2012: 3) dalam Buletin Program Merapi, bahwa “Program ini akan dapat menumbuhkan kembali semangat peternakan dan pertanian bagi masyarakat sekitar lereng Merapi dan dapat meningkatkan kualitas hidup peternak, petani dan masyarakat sekitar lereng Merapi beserta keluarga, dan di kemudian hari dapat meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia Daerah.” Merapi Project dibiayai oleh Danone Ecosysteme Fund sebagai yayasan milik Grup Danone yang sekarang membawahi PT Sarihusada Generasi Mahardhika. Danone Ecosystem melalui Social Innovation Committee di Paris telah menyetujui pendanaan Program Merapi yang bertujuan untuk memperkuat reputasi Sari Husada dan membantu mendapatkan pasokan susu segar yang berkualitas bagi Sari Husada yang merupakan bagian dari unit usaha Danone Group di Indonesia. Setelah sebelumnya Sari Husada telah melakukan Studi Kelayakan program, Merapi Project kemudian dilakukan dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat, pemerintah, hingga akademisi sebagaimana diungkapkan Raharjo (2012:3) dalam Buletin Program Merapi, bahwa “Program Merapi bertujuan membantu menghidupkan kembali petani sapi perah disekitar lereng Gunung Merapi yang terkena dampak erupsi Gunung Merapi pada Oktober 2010 lalu. Mendukung petani sapi perah disekitar Gunung Merapi didaerah relokasi yang aman dan tersedia, melalui pembuatan model berkelanjutan dan bisnis terpadu usaha pertanian, pemberdayaan masyarakat petani dan peningkatan kualitas susu segar. Dalam penciptaan program ini Danone Ecosystem dibantu oleh Yayasan Temali sebagai mitra kerja yang bekerjasama dengan Sari Husada dan seluruh pihak terkait yakni, Pemerintah Daerah Provinsi DIY Jogjakarta, Pemerintah Daerah Sleman, Universitas Gadjah Mada, Para Praktisi dan Para Tokoh Masyarakat.” Program CSR melalui Merapi Project yang dilakukan Sari Husada dilakukan dengan melibatkan masyarkaat dan berbagai elemen yang ada di dalamnya. Sari Husada menunjukan bahwa partisipasi masyarakat menjadi bagian yang dijadikan sebagai pelaku dan juga penerima manfaat dari Merapi Project.
5
Meskipun pada pelaksanaan Merapi Project, Sari Husada juga diuntungkan atas keterlibatan masyarakat dengan adanya tenaga kerja terampil yang berkontribusi pada industri perusahaan dalam hal pengadaan bahan baku susu sebagaimana diungkapkan Raharjo (2012:3) dalam Buletin Program Merapi, bahwa “Program Merapi adalah upaya untuk melanjutkan sebuah kerjasama mutualisme antara perusahaan dan masyarakat. Maka dalam rancangannya, masyarakat kelak akan tampil sebagai mitra usaha bagi Sari Husada baik sebagai penyedia susu segar maupun produk lain yang dibutuhkan oleh proses produksi di Sari Husada maupun dibutuhkan oleh karyawan Sari Husada.” Masyarakat dilibatkan langsung dalam Merapi Project karena masyarakat diberikan kesempatan untuk dapat merencanakan dan berpartisipasi langsung dalam pelaksanaan Merapi Project. Sari Husada memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk turut berkembang dengan memberikan fasilitas pendukung yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat dengan keikutsertaannya dalam Merapi Project. Partisipasi masyarakat kemudian dibutuhkan untuk memaksimalkan berjalannya Merapi Project dan adanya simbiosis mutualisme yang di dapat Sari Husada. Partisipasi masyarakat sekita pada program CSR Sari Husada ini menjadi bagian yang mendapat perhatian peneliti untuk dapat diketahui sehingga keberhasilan program CSR yang dilakukan dapat lebih diberdayakan masyarakat. Program CSR pun menjadi salah satu bentuk produk sosial yang dapat dimanfaatkan masyarakat sekitar untuk menimba ilmu, mendapatkan keuntungan finansial, dan mendapatkan keuntungan sosial, dimana interaksi masyarakat dengan masyarakat lainnya, masyarakat dengan perusahaan dapat terjalin dengan lebih baik. CSR yang diterapkan Sari Husada pun harus dapat dinilai keberadaannya sehingga penerapan program di lapangan dapat dievaluasi guna meningkatkan partisipasi masyarakat. Untuk itu penelitian ini akan memberikan gambaran faktual mengenai program CSR Merapi Project Sari Husada dan tingkat partisipasi masyarakat.
6
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang penelitian sebagaimana diuraikan di atas, maka rumusan masalah penelitian ini yaitu: “Bagaimana penerapan CSR PT Sarihusada dalam program Merapi Project terhadap tingkat partisipasi masyarakat?” C. Tujuan Penelitian Penelitian ini utamanya ditujukan untuk mengetahui hal-hal sebagaimana dijelaskan berikut ini: 1. Untuk mengetahui penerapan CSR PT Sarihusada dalam melaksanakan program Merapi Project. 2. Untuk mengetahui tingkat partisipasi masyarakat terhadap program Merapi Project. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Secara teoritis penelitian ini dapat menjadi sumber informasi bagi pengembangan kajian Ilmu Komunikasi khususnya dalam memaknai penerapan program CSR dengan memanfaatkan fungsi-fungsi komunikasi agar lebih dapat memberikan pemahaman kepada masyarakat khususnya mengenai manfaat CSR untuk kepentingan bersama. Penelitian ini pun dapat menjadi sumber referensi ilmiah guna memperkaya literatur kajian Ilmu Komunikasi yang penerapannya dalam kepentingan komunikasi bisnis hingga upayanya dalam membangun hubungan masyarakat yang lebih baik. 2. Manfaat Praktis Secara teoritis penelitian ini dapat menjadi sumber informasi dan gambaran bagi Sari Husada dalam menilai pelaksanaan program Merapi Project di lapangan, sehingga dapat menjadi sumber evaluasi bagi perbaikan program CSR Sari Husada kedepannya. Penelitian ini juga dapat menjadi sumber informasi bagi masyarakat setempat guna menilai tingkatan partisipasi
7
mereka dalam program Merapi Project, sehingga lebih dapat memanfaatkan program sosial perusahaan untuk kebaikan bersama E. Kerangka Pemikiran Beberapa teori yang dapat memberikan sarana untuk menjelaskan konsep dan aplikasi dari CSR dan keterkaitannya dengan keberadaan masyarakat serta keterlibatan perusahaan dalam sistem sosial yang berlaku. Teori-teori yang peneliti gunakan tersebut antara lain: 1. Teori Stakeholder (Stakeholder Theory) CSR dalam pandangan teori stakeholder ditunjukan sebagai produk bisnis perusahaan yang bukan hanya memberikan keuntungan bagi stakeholder (pihak luar), tetapi juga berdampak pada kelangsungan perusahaan. Stakeholder pun menunjukan besarnya pengaruh lingkungan bagi perusahaan, sehingga kebijakan-kebijakan perusahaan bukan hanya berjalan linier pada stakeholder, tetapi juga timbal balik. Stakeholder pun dimaknai sebagai lingkup luas, bukan hanya mitra bisnis secara langsung tetapi semua pihak yang berkepentingan sebagaimana diungkapkan Luk et., al. (dalam Hadi, 2011: 93) bahwa “Stakeholder is a group or an individual who can affect, or be affected by, the success or failure of an organization (Stakeholder adalah semua pihak, internal maupun eksternal, yang dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh perusahaan baik secara langsung maupun tidak langsung).” Dengan demikian, stakeholder merupakan pihak internal maupun eksternal, seperti: pemerintah, perusahaan pesaing, masyarakat sekitar, lingkungan internasional, lembaga diluar perusahaan seperti misalnya lembaga swadaya masyarakat dan organisasi kemasyarakatan sejenisnya, lembaga pemerhati lingkungan, para pekerja perusahaan, kaum minoritas dan lain sebagainya yang keberadaannya sangat mempengaruhi dan dipengaruhi perusahaan. Teori stakeholder menunjukan bahwa stakeholder adalah sistem yang secara eksplisit berbasis pada pandangan tentang suatu organisasi dan
8
lingkungannya, mengakui sifat saling mempengaruhi antara keduanya yang kompleks dan dinamis. Stakeholder dan perusahaan saling mempengaruhi, hal ini dapat dilihat dari hubungan sosial keduanya yang berbentuk responsibilitas dan akuntabilitas. Oleh karena itu perusahaan memiliki akuntabilitas terhadap stakeholdernya. Sifat dari akuntabilitas itu ditentukan dengan hubungan antara stakeholder dan organisasi. Pengungkapan sosial perusahaan merupakan sarana yang sukses bagi perusahaan untuk menegosiasikan hubungan dengan stakeholdernya. Pada hakikatnya stakeholder theory mendasarkan diri pada asumsi-asumsi yang dijelaskan Jones et., al. (dalam Hadi, 2011: 94) berkaitan pada nilai-nilai sebagai berikut: a. The corporation has relationship many constituenty groups (stakeholders) that effect and are affected by its decisions (Perusahaan memiliki hubungan pada banyak pihak (stakeholders) yang saling mempengaruhi kebijakan-kebijakannya). b. The theory is concerned with nature of these relationship in terms of both processes and outcomes for the firm and its stakeholder (Teori stakeholder memusatkan perhatian pada kealamian hubungan dalam ketentuan bersama antara perusahaan dan stakeholder). c. The interest of all (legitimate) stakeholder have intristic value, and no set of interest is assumed to dominate the others (Ketertarikan semua pihak memiliki nilai intrinsik dan tidak ditujukan untuk mendominasi pihak lain) d. The theory focuses on managerial decission making. (Fokus teori stakeholder berasal dari manajemen atas pembuat keputusan). Berdasarkan asumsi-asumsi yang dijelaskan di atas mengenai teori stakeholder, dapat dimaknai bahwa teori ini berpegang pada setiap keputusan manajemen dibuat dengan menjadikan stakeholder sebagai bagian dari kebijakan yang harus diperhatikan, sebagaimana diungkapkan Adam (dalam Hadi, 2011: 94) bahwa “Perusahaan tidak dapat melepaskan diri dari lingkungan sosial. Perusahaan perlu menjaga legitimasi stakeholder serta mendudukkannya dalam kerangka kebijakan dan pengambilan keputusan,
9
sehingga dapat mendukung pencapaian tujuan perusahaan, yaitu stabilitas usaha dan jaminan.” Kutipan di atas memperlihatkan alasan yang relevan bagi perusahaan untuk melibatkan stakeholder sebagai bagian tidak langsung dalam manajemen. Lingkungan memiliki peran pada keberlangsungan perusahaan dan unit bisnis, sehingga stakeholder dalam kaitannya dengan CSR diposisikan sebagai mitra yang turut mengembangkan perusahaan, baik namanya, mereknya, citranya, dan manfaatnya. 2. Teori Legimitasi (Legitimacy Theory) Teori legimitasi menjadi bagian konsep dari CSR karena dapat memberikan pemahaman mengenai kepentingan masyarakat yang dipenuhi perusahaan. Perusahaan melalui program CSR dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dan tetap berorientasi pada kepentingan masyarakat, meskipun keputusan-keputusan perusahaan berada dalam manajemen perusahaan tetapi lingkungan membeikan dampak besar dalam kajian kebijakan mereka sebagaimana diungkapkan Gray et.al (dalam Hadi, 2011: 88) berpendapat bahwa legitimasi merupakan “…..a system-oriented view of organization and society ….permits us to focus on the role of information and disclosure in the relationship between organisations, the state, individuals and goup” Pemahaman mengenai legitimasi sebagaimana dijelaskan di atas dapat dimaknai bahwa legitimasi merupakan sistem pengelolaan perusahaan yang berorientasi pada keberpihakan terhadap masyarakat (society), pemerintah, individu, dan kelompok masyarakat. Untuk itu, sebagai suatu sistem yang mengedepankan keberpihakan kepada society, operasi perusahaan harus sejalan dengan harapan masyarakat. Keberadaan CSR yang utamanya ditujukan perusahaan bagi kepentingan masyarakat dalam teori legimitasi harus dilakukan dengan mengetahui hal-hal yang masyarakat butuhkan dan harapan mereka pada perusahaan. Perusahaan tidak secara sepihak menentukan CSR berdasarkan bentukbentuk pencitraan yang dangkal, tetapi mereka harus terjun ke lapangan dan
10
memaknai
legitimasi
masyarkaat
pada
keberadaan
perusahaan
yang
memberikan andil bagi kelangsungan hidup masyarakat. legitimasi masyarkat pun dianggap perlu untuk disusun dalam kerangka kebijakan yang menunjukan dukungan penuh atas pemenuhan kebutuhan masyarakat melalui serangkaian
penerapan
strategi
operasional
perusahaan
sebagaimana
diungkapkan (Hadi, 2011: 87) bahwa “Legitimasi masyarakat merupakan faktor strategis bagi perusahaan dalam rangka mengembangkan perusahaan kedepan. Hal itu dapat dijadikan sebagai wahana untuk mengonstruksi strategi perusahaan, terutama terkait dengan upaya memposisikan diri ditengah lingkungan masyarakat yang semakin maju.” Legitimasi masyarakat pada perusahaan sebagaimana kutipan di atas menunjukan bahwa kebijakan perusahaan bersifat situasional dan secara cair dapat menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat dan lingkungan. Perusahaan membutuhkan legitimasi masyarakat akan keberadaannya sebagai bagian langsung dari lingkungan masyarakat sehingga legitimasi tersebut menjadi sarana perusahaan untuk tetap hidup sebagaimana diungkapkan O’Donovan (dalam Hadi, 2011: 87) bahwa “Legitimasi organisasi dapat dilihat sebagai sesuatu yang diinginkan atau dicari perusahaan dari masyarakat. Dengan demikian, legitimasi merupakan manfaat atau sumber daya potensial bagi perusahaan untuk bertahan hidup (going concern).” Kutipan di atas menunjukan bahwa legitimasi ini merupakan seperangkat kebutuhan perusahaan untuk menampilkana dirinya di masyarakat melalui keterlibatannya dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan yang bukan hanya memerlukan kehadiran tetapi juga memahami kebutuhan mereka. Pada prakteknya, legitimasi masyarakat tersebut adakalanya bertentangan dengan arah kebijakan perusahaan sehingga perusahaan melegitimasi dirinya dengan ketentuan-ketentuan yang bersifat sepihak atas alasan operasional dan kebaikan perusahaan. Untuk itu, perusahaan terkadang membuat kebijakankebijakan
strategis
dalam
membangun
legitimasinya
sebagaimana
diungkapkan Lindblom (dalam Achmad, 2007: 156) mengenai empat strategi
11
legitimasi yang dilakukan perusahaan ketika menghadapi berbagai ancaman sebagai berikut: a. Mencoba untuk mendidik stakeholder tentang tujuan organisasi untuk meningkatkan kinerjanya. b. Mencoba untuk merubah persepsi stakeholder terhadap suatu kejadian (tetapi tidak merubah kinerja aktual organisasi). c. Mengalihkan (memanipulasi) perhatian dari masalah yang menjadi perhatian (mengkonsentrasikan terhadap beberapa aktivitas positif yang tidak berhubungan dengan kegagalan-kegagalan). d. Mencoba untuk merubah ekspektasi eksternal tentang kinerjanya. Teori legitimasi dalam bentuk umum memberikan pandangan yang penting terhadap praktek pengungkapan sosial perusahaan. Kebanyakan inisiatif utama pengungkapan sosial perusahaan bisa ditelusuri pada satu atau lebih strategi legitimasi yang disarankan oleh Lindblom sebagaimana dijelaskan di atas. Sebagai misal, kecenderungan umum bagi pengungkapan sosial perusahaan untuk menekankan pada poin positif bagi perilaku organisasi dibandingkan dengan elemen yang negatif, sehingga perusahaan terkesan skeptis dalam menilai permasalhan secara holistik. Tujuan legitimasi perusahaan atas masyarakat lebih sering diterapkan pada tujuan membangun tujuan positif tanpa mengindahkan hal-hal negatif yang sebenarnya dapat menjadi bahan pertimbangannya dalam membuat kebijakan. 3. Teori Kontrak Sosial (Social Contract Theory) Teori kontrak sosial muncul karena adanya interelasi dalam kehidupan sosial masyarakat yang merujuk pada terjadinya keselarasan, keserasian, dan keseimbangan, termasuk dalam lingkungan. Teori kontrak sosial merupakan bagian dari kesepakatan yang dibangun untuk menumbuhkan komitmen yang lelbih relevan pada pencapaian tujuan dan adanya konsep reward and punishment pada pelaksanaan kebijakan perusahaan dalam lingkungan masyarakat. Teori kontrak sosial memandang bahwa perusahaan sebagai bagian langsung dari lingkungan masyarakat, dan masyarakat memiliki hal
12
atas keberadaan perusahaan dilingkungan mereka. Begitu pun dalam penerapan konsep CSR, di mana perusahaan memberikan seperangkat kebijakan yang di atur untuk kepentingan masyarakat dan perusahaan, sehingga harus adanya kesepakatan-kesepakatan yang relevan untuk menjaga kepentingan-kepentingannya agar tetap sesuai dengan yang direncanakan sebagaimana diungkapkan (Hadi, 2011: 96) bahwa: “Perusahaan merupakan kelompok orang yang memiliki kesamaan tujuan dan berusaha mencapai tujuan secara bersama adalah bagian dari masyarakat dalam lingkungan yang lebih besar. Keberadaannya sangat ditentukan oleh masyarakat, di mana antara keduanya saling pengaruhmempengaruhi. Untuk itu, agar terjadi keseimbangan (equality), maka perlu kontrak sosial baik secara tersusun baik secara tersurat maupun tersirat, sehingga terjadi kesepakatan-kesepakatan yang saling melindungi kepentingan masing-masing.” Kontrak sosial sebagaimana dijelaskan di atas, memperlihatkan adanya kesepakatan-kesepakatan yang jelas mengenai hal-hal yang menjadi kewajiban perusahaan maupun masyarakat. Kesepakatan-kesepatan tersebut dibuat untuk dapat menunjukan komitmen dari masing-masing pihak mengenai manfaat tugas dan tanggungjawabnya dalam proses membangun hubungan yang seimbang. Pelaksanaan CSR pun harus dapat dibuat sebagai bagian dari ketentuan kontrak sosial yang dibuat sebagai kesepatan yang jelas, baik secara hukum maupun secara norma. Perusahaan dipandang sebagai pihak yang harus memberikan manfaat pada program CSR dengan tetap mengindahkan ketentuan-ketentuan yang berlaku dimasyarakat, begitu pun masyarakat sebagai penerima manfaat harus mengupayakan pemenuhan kebijakan perusahaan yang disepakati sebagaimana diungkapkan Deegan (dalam Hadi, 2011: 96) bahwa: “Kontrak sosial dibangun dan dikembangkan, salah satunya untuk menjelaskan hubungan antara perusahaan terhadap masyarakat (society). Di sini, perusahaan atau organisasi memiliki kewajiban pada masyarakat untuk memberi manfaat bagi masyarakat. Interaksi perusahaan dengan masyarakat akan selalu berusaha untuk memenuhi dan mematuhi aturan dan norma-norma yang berlaku di masyarakat, sehingga kegiatan perusahaan dapat dipandang legitimate.”
13
Kontrak sosial akan mengarahkan pada bentuk komitmen yang ditunjukan oleh perusahaan sehingga legitimasi masyarakat pada perusahaan akan terbangun dengan sendirinya. Kontrak sosial yang terjadi dalam konsep CSR pun akan menjamin kelangsungan hidup perusahaan ketika perusahaan mampu menampilkan dirinya sebagai bagian dari masyarakat dengan mengikuti berbagai ketentuan yang ada di masyarakat. Meskipun perusahaan bertindak sebagai pemberi manfaat seperti misalnya melalui dana yang dikeluarkan, fasilitas yang diberikan, tetapi perusahaan tetap merupakan bagian dari masyarakat yang mematuhi ketentuan masyarkat. Kesepakatan dalam kontrak sosial pun dipandang bukan hanya menguntungkan perusahaan atau masyarakat saja, tetapi mereka dapat mendapatkan manfaatnya masingmasing sebagai mana diungkapkan Rawl (dalam Hadi, 2011: 97) bahwa “Dalam perspektif manajemen kontemporer, teori kontrak sosial menjelaskan hak kebebasan individu dan kelompok, termasuk masyarakat yang dibentuk berdasarkan
kesepakatan-kesepakatan
yang
saling
menguntungkan
anggotanya.” Kutipan di atas menunjukan bahwa kontrak sosial ditujukan untuk mengamankan kepentingan masing-masing pihak secara formal, artinya ketentuan tersebut memang dibuat dengan mengacu pada kepentingan bersama. Teori kontrak sosial kemudian mengarahkan pada adanya legitimasi yang semakin terbangun pada perusahaan sebagai lingkup bisnis yang dinilai mampu menyesuaikan diri dengan karakter masyarkat sehingga masyarkat akan lebih menghargai keberadaan mereka. Tentu keadaan tersebut akan meminimalisir konflik yang mungkin terjadi antara perusahaan dengan masyarakat, dimana pandangan ini sejalan dengan konsep teori legitimasi seperti diungkapkan Deegan et., al. (dalam Hadi, 2011: 97) bahwa “Hal ini sejalan dengan konsep legitimacy theory bahwa legitimasi dapat diperoleh manakala terdapat keseuaian antara keberadaan perusahaan yang tidak menganggu atau sesuai (congruence) dengan eksitensi sistem nilai yang ada dalam masyarakat dan lingkungan.”
14
Kontrak sosial pun jika diaplikasikan dengan mengacu pada bentuk kesetaraan atas dasar pemenuhan kebutuhan bersama maka masyarakat dapat merasakan hasilnya sebagaimana diungkapkan Shocker dan Sethi (dalam Hadi, 2011: 98) yang menjelaskan konsep kontrak sosial bahwa untuk menjamin kelangsungan hidup dan kebutuhan masyarakat yang didasarkan pada dua hal utama, yaitu: a. Hasil akhir (output) yang secara sosial dapat diberikan kepada masyarakat luas. b. Distribusi manfaat ekonomis, sosial, atau pada politik kepada kelompok sesuai dengan kekuatan yang dimiliki. Mengingat output perusahaan bermuara pada masyarakat, serta tidak adanya
power
institusi
yang
bersifat
permanen,
maka
perusahaan
membutuhkan legitimasi. Legitimasi ini direalisasikan dari adanya dukungandukungan masyarakat pada perusahaan. Dukungan masyarakat pun terjadi ketika perusahaan menunjukan perhatian, dan pemenuhan kebutuhannya. Bukan hanya dalam hal pemenuhan ekonomi saja, tetapi juga atas dasar tanggung jawab sosialnya sebagaimana diungkapkan Hadi (2011: 98) bahwa: “Perusahaan harus melebarkan tanggungjawabnya tidak hanya sekedar economic responsibility yang lebih diarahkan kepada shareholder (pemilik perusahaan), namun perusahaan harus memastikan bahwa kegiatannya tidak melanggar dan bertanggungjawab kepada pemerintah yang dicerminkan dalam peraturan dan perundang-undangan yang berlaku (legal responsibility). Di samping itu, perusahaan juga tidak dapat mengesampingkan tanggungjawab kepada masyarakat, yang dicerminkan lewat tanggung jawab dan keberpihakan pada berbagai persoalan sosial dan lingkungan yang timbul (societal respobsibility).” Kutipan di atas menunjukan bahwa perusahaan kontrak sosial yang dilakukan perusahaan akan mengarahkan perusahaan pada ketentuanketentuan yang berlaku, sebagai upaya untuk membangun kesamaan pandangan dengan masyarakat dan ketentuan. Perusahaan dinilai baik ketika dapat mengikuti hukum dan norma yang berlaku, sehingga masyarakat memaknai ketundukan perusahaan tersebut sebagai suatu nilai positif dari perusahaan. Keterlibatan perusahaan dalam konsep CSR pun dinilai bukan
15
hanya sebagai bagian dari penyerahan bantuan perekonomian, tetapi secara sosial juga menjalin kerjasama perusahaan pada lingkungan sosialnya. F. Kerangka Konsep Peneliti kemudian menggunakan kerangka konsep sebagai sarana dalam memberikan gambaran dari alur penelitian yang dijelaskan sebagai berikut: Gambar 1.1 Kerangka Konsep Teori Stakeholder Corporate Social Responsibility: a. Perencanaan b. Implementasi c. Evaluasi d. Pelaporan
Teori Legitimasi
a. b. c. d.
Partisipasi Masyarakat: Pengambilan Keputusan Pelaksanaan Evaluasi Menikmati hasil
Tingkat Partisipasi Masyarakat
Teori Kontrak Sosial Sumber: Aplikasi peneliti, 2014. Pelaksanaan CSR yang dilakukan perusahaan dapat diketahui diketahui melalui tahap-tahap dalam penerapan CSR yang dilakukan melalui beberapa tahapan penerapan sebagaimana diungkapkan Wibisono (2007: 76) antara lain: a. Tahap perencanaan Tahap ini terdiri dari tiga langkah utama yaitu Awareness Building, CSR Assesment, dan CSR Manual Building. Awareness building merupakan langkah awal untuk membangun kesadaran perusahaan mengenai arti penting CSR dan komitmen manajemen, upaya ini dapat dilakukan melalui seminar, lokakarya, dan lain-lain. CSR Assesment merupakan upaya untuk memetakan kondisi
perusahaan
dan
mengidentifikasi
aspek-aspek
yang
perlu
mendapatkan prioritas perhatian dan langkah-langkah yang tepat untuk membangun struktur perusahaan yang kondusif bagi penerapan CSR secara efektif. Pada tahap membangun CSR manual, upaya dapat dilakukan melalui
16
benchmarking, menggali dari referensi atau meminta bantuan tenaga ahli independen dari luar perusahaan. Pedoman ini diharapkan mampu memberikan kejelasan dan keseragaman pola pikir dan pola tindak seluruh elemen perusahaan guna tercapainya pelaksanaan program yang terpadu, efektif dan efisien. b. Tahap implementasi Pada tahap ini terdapat beberapa poin yang harus diperhatikan seperti pengorganisasian sumberdaya, penyusunan untuk menempatkan orang sesuai dengan jenis tugas, pengarahan, pengawasan, pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan rencana, serta penilaian untuk mengetahui tingkat pencapaian tujuan. Tahap implementasi terdiri dari tiga langkah utama yaitu sosialisasi, pelaksanaan dan internalisasi. c. Tahap evaluasi Tahap ini perlu dilakukan secara konsisten dari waktu ke waktu untuk mengukur sejauh mana efektivitas penerapan CSR sehingga membantu perusahaan untuk memetakan kembali kondisi dan situasi serta capaian perusahaan dalam implementasi CSR sehingga dapat mengupayakan perbaikan-perbaikan yang perlu berdasarkan rekomendasi. d. Pelaporan Pelaporan perlu dilakukan untuk membangun sistem informasi, baik untuk
keperluan
proses
pengambilan
keputusan
maupun
keperluan
keterbukaan informasi material dan relevan mengenai perusahaan. Tahapan-tahapan
penerapan
CSR
sebagaimana
dijelaskan
di
atas
memberikan penjelasann mengenai pelaksanaan CSR mulai dari tahapan internal hingga pelaksanaannya di masyarakat selaku stakeholder yang juga melibatkan stakeholder lainnya. CSR merupakan komitmen dan upaya perusahaan sebagai bentuk pertanggungjawaban untuk meningkatkan kualitas hidup stakeholder. CSR dalam pandangan teori stakeholder ditunjukan sebagai produk bisnis perusahaan yang bukan hanya memberikan keuntungan bagi masyarakat selaku bagian dari stakeholder, tetapi juga berdampak pada kelangsungan perusahaan. Keberadaan stakeholder mempengaruhi lingkungan perusahaan, sehingga kebijakan-kebijakan
17
perusahaan dianggap mewakili kepentingan masyarakat yang membantu tumbuhnya partisipasi masyarakat itu sendiri. Upaya perusahaan untuk memenuhi kebutuhan stakeholder merupakan bagian dari pembentukan legitimasi. Teori legitimasi melakukan penerapan sistem pengelolaan perusahaan yang berorientasi pada keberpihakan stakeholder. Sebagai suatu sistem yang mengedepankan keberpihakan kepada masyarakat, CSR pun dilakukan dengan menyesuaikan pada apa yang dibutuhkan masyarakat. CSR menjadi cara perusahaan untuk mendapatkan legitimasi masyarakat atas adanya komitmen terhadap perbaikan hidup mereka, sehingga masyarakat pun akan lebih mengakui keberadaan perusahaan dan berbagai kebijakannya dengan mendukung dan berpartisipasi pada kebijakan-kebijakan perusahaan terkait dengan masyarakat. Masyarakat juga yang akan memberikan timbal balik keuntungan bagi perusahaan dalam berbagai bentuk legitimasi, termasuk sikap-sikap positif yang menjadikan stabilitas dan jaminan bagi keberlangsungan perusahaan. Teori kontrak sosial kemudian muncul sebagai sarana Masyarakat untuk dapat menjadikan CSR sebagai bentuk komitmen bersama perusahaan dan untuk kebaikan dua belah pihak. Masyarakat dapat membangun kontrak sosial dengan perusahaan, dan perusahaan pun dapat lebih menkonsepkan CSR berdasarkan kesepakan-kesepakan sosial dengan melibatkan keberadaan dan partisipasi masyarakat. Masyarakat dalam pelaksanaan CSR berkesempatan untuk mampu mengelola potensi yang dimiliki secara mandiri. Partisipasi masyarakat menjadi proses bertingkat dari pendistribusian kekuasaan pada komunitas sehingga mereka memperoleh kontrol lebih besar pada hidup mereka sendiri. Partisipasi masyarakat dapat dijadikan sebagai keikutsertaan masyarakat dalam pembangunan, baik itu pada prosesnya maupun dalam menikmati hasil pembangunan. Pada konteks pemberdayaan masyarakat, partisipasi dilakukan mulai dari tepat guna dan pembinaan kelompok usaha yang menerapkan teknologi dan ketrampilan tersebut. Partisipasi masyarakat dapat dipelajari melalui beberapa tahapan sebagaimana diungkapkan Cohen dan Uphof (dalam Makmur, 2005: 67) yaitu:
18
a. Tahap pengambilan keputusan, yang diwujudkan dengan keikutsertaan masyarakat dalam rapat-rapat. Tahap pengambilan keputusan yang dimaksud disini yaitu pada perencanaan suatu kegiatan. b. Tahap pelaksanaan yang merupakan tahap terpenting dalam pembangunan, sebab inti dari pembangunan adalah pelaksanaanya. Wujud nyata partisipasi pada tahap ini digolongkan menjadi tiga, yaitu partisipasi dalam bentuk sumbangan pemikiran, bentuk sumbangan materi, dan bentuk tindakan sebagai anggota proyek. c. Tahap evaluasi, dianggap penting sebab partisipasi masyarakat pada tahap ini dianggap sebagai umpan balik yang dapat memberi masukan demi perbaikan pelaksanaan proyek selanjutnya. d. Tahap menikmati hasil, yang dapat dijadikan indikator keberhasilan partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan dan pelaksanaan proyek. Beberapa tahapan partisipasi masyarakat sebagaimana diujelaskan di atas memberikan gambaran akan adanya partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan CSR perusahaan. Partisipasi masyarakat dalam penelitian ini menunjukan adanya keterlibatan masyarakat dalam dukungan bagi CSR yang dilakukan perusahaan. Pertisipasi ini memiliki tingkatan atau kadar yang memungkinkan berbeda dalam masyarakat dalam menilai keterlibatannya pada program CSR perusahaan. Masing-masing
tingkatan
partisipasi
masyarakat
tersebut
pada
hakekat
menunjukan adanya kadar keterlibatan masyarakat sebagaimana penjelasan Arnstein (dalam Wicaksono, 2010: 34) mengenai tingkat partisipasi yang ada di masyarakat antara lain: a. Manipulatif (Manipulation), yakni partisipasi yang tidak perlu menuntut respon partisipan untuk terlibat banyak. Pengelola program akan meminta anggota komunitas yaitu orang yang berpengaruh untuk mengumpulkan tanda tangan warga sebagai wujud kesediaan dan dukungan warga terhadap program. Pada tangga partisipasi ini relatif tidak ada komunikasi apalagi dialog. b. Terapi (therapy), yakni partisipasi yang melibatkan anggota komunitas lokaluntuk memberikan jawaban atas pertanyaan yang diberikan tetapi
19
jawaban anggota komunitas tidak memberikan pengaruh terhadap kebijakan, merupakan kegiatan dengar pendapat tetapi tetap sama sekali tidak dapat mempengaruhi program yang sedang berjalan. Pada level ini telah ada komunikasi namun bersifat terbatas. Inisiatif datang dari penyelenggara program dan hanya satu arah. c. Pemberitahuan (informing) adalah kegiatan yang dilakukan oleh instansi penyelenggara program sekedar melakukan pemberitahuan searah atau sosialisasi ke komunitas sasaran program. Pada jenjang ini komunikasi sudah mulai banyak terjadi tapi masih bersifat satu arah dan tidak ada sarana timbal balik. Informasi telah diberikan kepada masyarakat tetapi masyarakat tidak diberikan kesempatan melakukan tanggapan balik (feed back). d. Konsultasi (consultation), anggota komunitas diberikan pendampingan dan konsultasi dari semua pihak (stakeholder terkait program) sehingga pandangan-pandangan diberitahukan dan tetap dilibatkan dalam penentuan keputusan. Model ini memberikan kesempatan dan hak kepada wakil dari penduduk lokal untuk menyampaikan pendangannya terhadap wilayahnya (sistem perwakilan). Komunikasi telah bersifat dua arah, tapi masih bersifat partisipasi yang ritual. Sudah ada penjaringan aspirasi, telah ada aturan pengajuan usulan, telah ada harapan bahwa aspirasi masyarakat akan didengarkan, tapi belum ada jaminan apakah aspirasi tersebut akan dilaksanakan ataupun perubahan akan terjadi. e. Penenangan (placation), komunikasi telah berjalan baik dan sudah ada negosiasi antara masyarakat dan penyelenggara program. Masyarakat dipersilahkan untuk memberikan saran atau merencanakan usulan kegiatan. Namun penyelenggara program tetap menahan kewenangan untuk menilai kelayakan dan keberadaan usulan tersebut. Pada tahap ini pula diperkenalkan adanya suatu bentuk partisipasi dengan materi, artinya masyarakat diberi insentif untuk kepentingan perusahaan atau pemerintah, ataupun instansi terkait. Seringkali hanya beberapa tokoh di komunitas yang mendapat insentif, sehingga tidak mewakilkan komunitas secara keseluruhan. Hal ini dilakukan agar warga yang telah mendapat insentif segan untuk menentang program.
20
f. Kerjasama (partnership) atau partisipasi fungsional di mana semua pihak baik (masyarakat maupun stakeholder lainya), mewujudkan keputusan bersama. Suatu bentuk partisipasi yang melibatkan tokoh komunitas dan atau ditambah lagi oleh warga komunitas, “duduk berdampingan” dengan penyelenggara dan stakeholder program bersama-sama merancang sebuah program yang akan diterapkan pada komunitas. g. Pendelegasian wewenang (delegated power), suatu bentuk partisipasi yang aktif di mana anggota komunitas melakukan perencanaan, implementasi, dan monitoring. Anggota komunitas diberikan kekuasaan untuk melaksanakan sebuah program dengan cara ikut memberikan proposal bagi pelaksanaan program bahkan pengutamaan pembuatan proposal oleh komunitas yang bersangkutan dengan program itu sendiri. h. Pengawasan oleh komunitas (citizen control), dalam bentuk ini sudah terbentuk independensi dari monitoring oleh komunitas lokal. Dalam tangga partisipasi ini, masyarakat sepenuhnya mengelola berbagai kegiatan untuk kepentingannya sendiri, yang disepakati bersama, dan tanpa campur tangan pihak penyelenggaran program. Delapan tingkatan partisipasi masyarakat sebagaimana dijelaskan di atas memiliki kadar penerimaannya masing-masing, sehingga tingkat partisipasi pada penelitian ini pun akan menghasilkan suatu kesimpulan dalam menilai pada tingkat mana masyarakat berpartisipasi pada program CSR perusahaan. G. Metodologi Penelitian 1. Pendekatan Penelitian Penelitian
ini
menggunakan
pendekatan
kualitatif
untuk
lebih
memaparkan fenomena penelitian secara faktual dan tetap menjaga latar alami penelitian agar berbagai hal yang terjadi dilapangan dapat digambarkan secara lebih mendalam. Pendekatan kualitatif dipilih karena berbagai perilaku subjek di lapangan dapat direpresentasikan dengan lebih holistik melalui pendekatan kualitatif sebagaimana diungkapkan Moleong (2011: 6) bahwa:
21
“Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll secara holistik, dan dengan cara deskriptif dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan memanfaatkan berbagai metode alamiah.” Berbagai bentuk perilaku subjek yang telibat dalam CSR Sari Husada dan partisipasi masyarakat dapat dipelajari dari tindakan, perilaku, bahasa, dan berbagai karakteristik khasnya. Pendekatan kualitatif memungkinkan peneliti untuk dapat memaparkan fenomena berdasarkan gambaran pada bentuk kenyataan di lapangan, sehingga fenomena penelitian yang diteliti akan tergambar secara lebih utuh dengan tidak mengatur latar penelitian dalam konsep yang mengikat, tetapi peneliti hanya mengamatinya dari luar dan menempatkan diri sebagai pengamat yang tidak mencampuri kekhasan permasalan fenomena penelitian. 2. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif yang dipilih guna memaparkan fenomena penelitian mengenai CSR dan partisipasi masyarakat berdasarkan kenyataan di lapangan. Metode deskriptif tidak berupaya untuk melakukan prediksi-presiksi yang bersifat subjektif dari sudut pandang peneliti, tetapi peneliti menggunakan sudut pandang subjek penelitian dalam merepresentasikan fenomenanya dengan mempelajari dari perilakunya. Metode deskriptif dapat memberikan gambaran yang lebih faktual karena sifatnya yang hanya memaparkan keadaan sebenarnya sebagaimana yang peneliti temui di lapangan dengan mengedepankan bentuk-bentuk pemaparan data berupa rangkaian kalimat yang tersisistematis sebagaimana diungkapkan Bungin (2012: 124) mengenai metode deskriptif, yaitu: “Penelitian yang menggambarkan, meringkaskan berbagai kondisi, berbagai situasi atau berbagai variabel yang timbul dimasyarakat yang menjadi permasalahannya itu, kemudian menarik ke permukaan sebagai suatu ciri atau gambaran tentang kondisi, situasi ataupun variabel tertentu. Penelitian deskriftif dapat bertipe kualitatif dan kuantitatif
22
sedangkan yang bertipe kualitatif adalah data diungkapkan dalam bentuk kata-kata atau kalimat serta uraian-uraian.” Metode deskriptif pun kemudian digunakan sebagai upaya peneliti untuk lebih menjelaskan CSR yang dilakukan GSM dan partisipasi masyarakat setempat pada program CSR yang dilakukan tersebut. Peneliti akan memaparkan berbagai hal yang dilihat dan didengar mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan CSR dan partisipasi masyarakat dan menjelaskannya dalam bentuk pendeskripsian yang tersistematis. 3. Subjek Penelitian Subjek dapat merujuk pada sebuah identitas, tempat, kelompok, individu, dan apapun itu yang menjadi objek penelitian serta menjelaskan personalitas di dalamnya. Penggunaan subjek penelitian akan menunjukan sumber pelaku atau orang yang mengetahui permasalahan sebagaimana diungkapkan Arikunto (2010: 188) bahwa “Subjek penelitian adalah subjek yang dituju untuk diteliti oleh peneliti. Jika kita berbicara tentang subjek penelitian, sebetulnya kita berbicara tentang unit analisis, yaitu subjek yang menjadi pusat perhatian atau sasaran peneliti.” Penentuan subjek tersebut digunakan sebagai upaya peneliti dalam menentukan informan yang berguna bagi pemenuhan informasi penelitian. Penentuan mengenai siapa subjek yang dipilih dan berapa jumlah subjek tersebut, dapat ditentukan berdasarkan pada pemahaman-pemahaman peneliti dalam menetapkan kriteria tersendiri sebagaimana penjelasan Nasution (2006: 11) yang menyatakan bahwa, “Subjek adalah sumber yang dapat memberikan info, yang dipilih secara purposif bertalian dengan purpose atau tujuan tertentu.” Penentuan subjek penelitian kualitatif dapat secara leluasa ditentukan oleh peneliti berdasarkan tujuan-tujuan tertentu. Teknik purposive sampling digunakan karena subjek dalam penelitian ini dipilih karena berkaitan dengan purpose (tujuan), dimana peneliti dapat menentukan subjek karena penilaianpenilaian yang mengarah pada pemenuhan informasi yang dibutuhkan
23
peneliti. Oleh karena itu peneliti menggunakan 5 subjek penelitian yang terlibat dalam Merapi Project. Kelima subjek yang digunakan sebagai informan penelitian yaitu: 1. Didik Eri Hermawan selaku IT Support LPPT (Lembaga Pengembangan Teknologi Pedesaan) yang bertanggungjawab pada database Merapi Project dan juga termasuk sebagai fasilisator antara LPTP dengan peserta. 2. Rio JP Purnomo selaku Tim Studi Kelayakan (Juli 2011-November 2011) dan Business Development Manager (Juli 2012-Desember 2013) yang bertanggung jawab dalam perencanaan hingga pendampingan peserta. 3. Sriyono selaku Sebagai ketua KSM Mulya Manunggal Farm (MMF) yang bertanggungjawab dalam kelompok peserta dan proses tanggungjawab peserta dalam unit bisnisnya. 4. Sarmidi selaku anggota KSM Marga Temata Kemiri, Purwobinangun yang pada Merapi Project ini kelompoknya fokus pada budidaya belut. Informan juga terpilih menjadi wakil dari Marga Temata untuk turut serta dalam pelatihan budidaya belut yang difasilitasi Program Merapi di Bogor. 5. Pinarno Adi selaku Community Development Manager Program Merapi Tahap
I
yang
melakukan
pendampingan,
menampung
aspirasi,
menyampaikan materi-materi, dan menjalin komunikasi dengan peserta Merapi Project. 4. Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan beberapa teknik penumpulan data sebagai sumber data penelitian yang dapat memenuhi kebutuhan informasi penelitian. teknik pengumpulan data yang digunakan, antara lain: a. Wawancara Teknik pengumpulan data melalui wawancara digunakan untuk mengetahui fenomena penelitian dan keterlibatan subjek melalui percakapan sebagaimana diungkapkan Moleong (2011: 186) bahwa, “Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan dilakukan oleh dua pihak,
24
yaitu
pewawancara
(interviewer)
yang
mengajukan
pertanyaan
dan
terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu.” Teknik pengumpulan data melalui wawancara dilakukan untuk memenuhi berbagai kebutuhan penelitian menyangkut tentang pemenuhan informasi langsung dari sumber penelitian, serta dapat menjadi alat verifikasi atas informasi yang di dapat peneliti dari sumber lain. Wawancara dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara berstruktur melalui penggunaan pedoman wawancara agar pertanyaan tidak melebar dan keluar dari konsep awal, meskipun pada prakteknya peneliti dapat mengembangkan pertanyaan berdasarkan pedoman wawancara. b. Observasi non partisipan Observasi merupakan sarana peneliti untuk dapat menyajikan gambaran nyata mengenai perilaku atau kejadian di lapangan secara faktual berkenaan dengan keadaan fenomena penelitian. Pada pelaksanaan bentuk pengamatan melalui observasi dapat dilakukan dilakukan melalui observasi non partisipan sebagaimana diungkapkan Soehartono (2011: 70) bahwa “Pengamat berada diluar subjek yang diamati dan tidak ikut dalam kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan. Dengan demikian, pengamat akan lebih mudah mengamati kemunculan tingkah laku yang diharapkan.” c. Tinjauan Kepustakaan Tinjauan kepustakaan digunakan sebagai salah satu teknik pengumpulan data karena akan mendukung perolehan informasi dari berbagai literatur yang memiliki relevansi dengan penelitian yang tengah dilakukan sebagaimana diungkapkan Rakhmat (2012: 107), bahwa “Mengungkapkan teori atau penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian anda inilah yang disebut tinjauan kepustakaan. Masukkanlah dalam tinjauan kepustakaan itu artikel, kutipan, makalah, laporan penelitian, buku.” Tinjauan kepustakaan dapat memberikan keragaman informasi dan keluasan cara pandang peneliti dalam menilai berbagai fenomena yang ada dalam masyarakat dengan berdasarkan pada berbagai penelitian yang telah ada sebelumnya. Studi pustaka dapat memberikan keluasan cara pandang dan
25
menambah besarnya pemahaman peneliti dalam menilai fenomena yang tengah diamati. Studi pustaka dalam penelitian ini digunakan dengan mengacu pada berbagai sumber seperti buku, sumber online, jurnal, dan berbagai dokumen terkait penelitian. 5. Teknik Analisis Data Teknik analisis data merupakan usaha peneliti untuk menunjukan proses pengaturan data hingga dapat ditampilkan sebagai hasil penelitian dengan melalui serangkaian tahapan proses sebagaimana diungkapkan Patton (dalam Moleong, 2011: 280) yang menyatakan bahwa, “Analisis data adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikanya ke dalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian dasar.” Analisis data kualitatif dapat dilakukan dengan membangun pola interaktif sebagaimana diungkapkan Miles dan Huberman (dalam Sugiyono, 2013: 337) bahwa “Aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, hingga datanya sudah jenuh. Aktivitas dalam analisis data, yaitu data reduction, data display, dan conclusion drawing/verification.”
Gambar 1.2 Komponen Analisis Data Interactive Model Data Collection
Data Display
Data Reduction
(Sumber: Sugiyono, 2013: 338).
Conclusions: drawing/ verifying
26
Ada tiga komponen utama yang diterapkan dalam Analisis Data Interactive Model dan data yang terkumpul (data collection) yang berasal dari teknik penumpulan data tidak menjadi bagian di dalamnya karena justru teknik analisis data interaksi berawal dari keberadaan data sebagaimana diungkapkan lebih lanjut Sugiyono (2013: 338) mengenai bagian-bagiannya sebagai berikut: a. Data Reduction (Reduksi data) Diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data yang muncul dari catatan-catatan peneliti dilapangan. Selama pengumpulan data berlangsung, terjadi tahapan reduksi selanjutnya membuat ringkasan, mengkode, menelusur tema, membuat gugus-gugus, membuat partisi, dan penyempitan ringkasan data lainnya. Reduksi data/proses transformasi ini berlanjut terus sesudah penelitian lapangan, sampai laporan akhir lengkap tersusun. b. Data Display (Penyajian data) Digambarkan melalui rangkaian kalimat yang disusun secara logis dan sistematis agar mudah dipahami. Penyajian data ini merupakan serangkaian upaya peneliti dalam menyampaikan hasil-hasil temuan di lapangan yang telah melalui tahap reduksi data. Penyajian data ini merupakan upaya peneliti dalam menampilkan
hasil
penelitian
sebagaimana
pemahamannya
dalam
menkonsepkan jawaban-jawaban penelitian. c. Conclusion Drawing/verification Merupakan hasil akhir yang ingin disampaikan peneliti mengenai hal-hal yang menjadi perhatian peneliti. Verifikasi merupakan tinjauan ulang pada catatan-catatan lapangan dengan peninjauan kembali berbagai upaya penyusunan data melalui berbagai penyeleksian data yang di dapat agar memenuhi unsur keseluruhan kebutuhan hasil penelitian.
27
6. Uji Keabsahan Data Keabsahan data kualitatif dicapai dengan proses pengumpulan data yang tepat yang salah satu dilakukan melalui proses triangulasi. Triangulasi data merupakan bentuk verifikasi data dengan melakukan perbandingan data seperti diungkapkan Moleong (2011: 330) mengenai triangulasi data yaitu: “Teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu.” Teknik triangulasi pada dasarnya melakukan bentuk silang data antara satu data dengan data lainnya yang dalah satunya dapat dilakukan melalui bentuk teknik triangulasi sumber sebagaimana diungkapkan Moleong (2011: 330) bahwa: “Triangulasi sumber, bisa dilakukan dengan: (1) membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara; (2) membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa yang dikatakannya secara pribadi; (3) membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu; (4) membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang; (5) membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan.” Peneliti memilih untuk menggunakan teknik triangulasi sumber sebagai teknik uji keabsahan penelitian dengan mengedepankan bentuk-bentuk verifikasi dari berbagai sumber yang diperbandingkan informasinya. Pada utamanya triangulasi sumber dapat dilakukan dengan membandingkan sumber-sumber data untuk mencari keterpercayaan pada informasi yang di dapat dari sumber lainnya. Triangulasi sumber dalam penelitian ini dilakukan dengan
membandingkan
data
wawancara
dengan
pengamatan,
data
wawancara dengan sumber kepustakaan, atau pun data wawancara dengan data wawancara lainnya.
28
7. Lokasi dan Waktu Penelitian a. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di wilayah pelaksanaan Merapi Project Sari Husada di Kabupaten Sleman, Yogyakarta. b. Waktu Penelitian Penelitian ini terhitung dari bulan Febuari sampai dengan Juli 2014 yang dilakukan secara bertahap melalui persiapan, pelaksanaan, hingga penyusunan laporan penelitian.