BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Kita sedang hidup pada masa di mana saling terhubung satu sama lain antar manusia adalah bukanlah tergantung pada jarak, tetapi pada ada atau tidaknya akses terhadap teknologi komunikasi. Teknologi komunikasi merupakan peralatan perangkat keras dalam sebuah struktur organisasi yang mengandung nilai-nilai sosial, yang memungkinkan setiap individu mengumpulkan, memproses, dan saling tukar informasi dengan individuindividu lain.1 Teknologi komunikasi berkaitan erat dengan media massa. Di mana, akses terhadap teknologi komunikasi merupakan jawaban dari kebutuhan seseorang terhadap media massa. Perkembangan teknologi komunikasi telah membawa kita terjun pada arus yang tidak pernah lagi sama seperti sebelum kehadiran teknologi komunikasi. Media menyediakan banyak pilihan yang dapat digunakan oleh orang dalam meraih tujuannya. Telepon genggam bukan lagi digunakan berdasarkan fungsinya saja, namun juga bagaimana ia memiliki fungsi sosial dan budaya di masyarakat. Hal ini tergantung daripada akses terhadap media yang ada. Di dalam proses atau sistem komunikasi, akses merujuk kepada kemungkinan bagi pengirim pesan untuk menjangkau audiens yang dipilihnya atau bagi audiens untuk menerima pesan tertentu dan atau channel (saluran) tertentu.2 Aksesibilitas menjadi sangat penting ketika membahas mengenai keterbukaan channel media tertentu yang tidak memiliki sumber daya sendiri, misalnya media non-profit (media yang tidak mencari keuntungan berupa dana). Hal ini dapat meningkatkan pembahasan mengenai keberagaman media.
1
Ana Nadya Abrar. 2003. Teknologi Komunikasi: Perspektif Ilmu Komunikasi. Yogyakarta: LESFI. Hal. 1 2 Danis McQuail. 2005. McQuail’s Mass Communication Theory. London: SAGE. Dalam Glosarium
1
Akses terhadap media bukan menjadi pertanyaan seputar seberapa sering saja, namun yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana akses terhadap media tersebut dapat kemudian menjadi bermakna dalam kehidupan manusia. Misalnya, perkembangan media seharusnya tidak membuat orang stress, namun pada kenyataannya semakin banyak pilihan yang ditemui, semakin orang tersebut stress dengan multitasking. Maka akses terhadap media di sini penting untuk mengetahui bagaimana seseorang dapat lebih cenderung untuk mengakses media dengan konten tertentu dan bagaimana mereka menggunakannya. Dalam etnografi berjudul Alone Together, disebutkan bahwa Teknologi Komunikasi memiliki daya tarik dalam kehidupan manusia, yaitu bahwa komputer bersifat sangat menarik sehingga orang-orang tidak mau terpisah dengannya.3 Adapun dalam Ilmu Komunikasi, daya tarik teknologi komunikasi tersebut disebabkan oleh apa yang dapat disajikan oleh media antara lain televisi, radio, dan media baru yaitu internet. Alasan dari daya tarik yang ada adalah karena apa yang disajikan oleh media dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan karakter penggunanya. Daya tarik tersebut membuat orang mengakses media dengan caranya sendiri-sendiri. Salah satu ciri penggunaan internet yang berbeda dari media massa lain adalah penggunaannya yang personal. Penggunaan media dilihat dari sudut pandang individual di mana internet menjadi media yang mereka pilih untuk melakukan tujuan-tujuannya. Pada tingkat individu, dalam mengakses media memerlukan pertimbangan kebutuhan (need), keinginan (want), masalah (problem), situasi, dan issu yang dihadapi. Perlu juga memperhatikan hambatan untuk memperoleh kebutuhan dan merealisasikan keinginan, serta keterlibatan proses perolehan. Katz, Blumer, dan Gurevith menyatakan bahwa setiap kelompok pengakses media memiliki latar belakang “kebudayaan” yang berbeda, sehingga mereka memiliki kebutuhan, keinginan, masalah, situasi, dan issu yang berbeda-beda.4 Penelitian yang 3
Sherry Turkle. 2011. Alone Together: Why Expect More From Technology and Less From Each Other. New York: Basic Books 4 Alo Liliweri. 2001. Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal. 305
2
akan dilakukan ini akan sangat khas karena menyajikan sekelompok perempuan Islam Salafi yang meminimalisir kehadirannya di ruang publik, namun sebagai pengguna aktif dalam akses internet. Secara singkat, pengertian Salafi adalah orang yang menisbatkan diri kepada manhaj Salaf. Salaf bukanlah golongan atau kelompok, namun ia adalah manhaj5. Salaf adalah para sahabat Nabi muhammad, tabi‟in, tabi‟ut tabi‟in, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan ittiba‟( mengikuti suatu pendapat dengan dalil) manhaj mereka dengan baik. Di antara imam terkenal yang mengikuti manhaj Salaf adalah Imam asy-Syafi‟i. “Orang Salafi” adalah orang yang mengikuti jalan para salafush shalih6, yaitu orangorang yang mempunyai pemahaman seperti pemahaman para sahabat-sahabat Nabi Muhammad seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, serta para ulama yang mengikuti jejak mereka dalam hal ibadah. Penamaan ini bermula dari munculnya firqah-firqah dan terjadinya perpecahan umat maka kalimat salaf sangat tepat bagi orang yang menjaga keselamatan aqidah dan manhaj, sesuai dengan pemahaman para sahabat dan generasi yang utama. Kata salaf adalah sinonim dari kata ahlus sunnah wal jama‟ah atau ahlus sunnah.7 Terdapat juga anggapan yang salah tentang pengertian Salafi. Pengertian tersebut adalah bahwa “orang Salafi” memiliki pengertian orang yang gemar mengkafirkan dan membid‟ahkan8. Padahal pengertian yang benar adalah sebagaimana yang telah disebutkan di atas.
5
Kaidah-kaidah dan ketentuan-ketentuan yang digunakan bagi setiap pelajaran-pelajaran ilmiyyah, seperti bahasa Arab, ushul fiqh, ushul ‘aqidah, dan ushul tafsir, di mana dengan ilmuilmu ini pembelajaran Islam beserta pokok-pokoknya menjadi teratur dan benar. Dan manhaj yang benar adalah jalan hidup yang lurus dan terang dalam beragama menurut pemahaman para Sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. 6 Pendahulu yang shalih dari zaman Nabi Muhammad, dua generasi setelahnya, dan para ulama terdahulu yang mengikuti mereka. 7 Abdussalam bin Salim as-Suhaimi. 2007. Jadilah Salafi Sejati. Jakarta: Pustaka At-Tazkia. Hal 56 8 Mengkafirkan adalah menganggap atau memandang seseorang tidak percaya kepada Allah dan Rasul-Nya. Membid’ahkan adalah menganggap atau memandang perbuatan yang dikerjakan tidak menurut contoh yang sudah ditetapkan, termasuk menambah atau mengurangi ketetapan; pembaruan ajaran Islam tanpa berpedoman pada Al-Qur’an dan Hadits
3
Pemahaman Salafi berkembang di Indonesia ketika memasuki sekitar tahun 1990-an, ketika mulai berkembang demokrasi di Indonesia.9 Sedangkan ia masuk di Indonesia sekitar tahun 80-an, bersamaan dengan perkembangan LIPIA pada masa tersebut yang membawa pengajar dari Timur Tengah, dan membawa manhaj ini secara lebih terbuka di Indonesia. Meski tidak mencampurkan diri ke dalam demokrasi, orang Salafi diuntungkan dengan peristiwa kebebasan berpendapat setelah masa-masa Orde Baru dengan lahirnya beragam media Salafi di Indonesia. Ilmu agama Islam dengan pemahaman dari Salafi semakin tersebar luas dan mudah diakses melalui media lokal. Perkembangan Salafi di Indonesia membawa perempuan-perempuan Indonesia lebih mengenal pemahaman salafush shalih, sehingga mereka yang mulai mengenal Salafi mulai mengubah gaya berpakaian mereka.10 Menurut pendapat terkuat dari para shalafush shalih, perempuan diwajibkan mengenakan jilbab hingga ke seluruh tubuh mereka kecuali wajah dan telapak tangan. Perempuan Salafi mempraktikkan hal ini sebagai bentuk ketaatan terhadap perintah Allah dan agar dapat menjalankan Islam yang mereka yakini sebagai kebenaran. Tidak menutup mata, perempuan Salafi juga mengakses media massa mainstream. Namun, intensitas mereka dalam mengakses media massa tersebut berbeda-beda menurut tingkatan kebutuhan mereka, meskipun lebih banyak dari mereka yang tidak mengakses atau mengakses namun sangatlah membatasi. Bahkan ada pula yang tidak mengakses sama sekali meskipun memiliki televisi dan internet di rumah. Tayangan televisi misalnya, dianggap sebagai sesuatu
yang dapat
memengaruhi keyakinan atau pikiran mereka jika tidak digunakan sesuai kebutuhan. Misalnya saja, ketika tayangan di televisi dan internet maupun media massa pada umumnya lebih cenderung menampilkan perempuan yang mempertunjukkan anggota tubuh yang terbuka yang tidak ingin mereka lihat. 9
Moeflich Hasbullah. 2012. Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia. Bandung: CV Pustaka Setia. Hal. 96 10 Eva F. Nisa. 2013. The Internet Subculture of Indonesian Face-Veiled Women. International Journal of Cultural Studies. SAGE Publications. http://ics.sagepub.com/content/early/2013/02/08/1367877912474534 Diakses 22 Oktober 2013. Hal. 3
4
Hal ini sebagaimana yang terjadi di Wisma Qaanitah, Yogyakarta. Wisma Qaanitah merupakan wisma muslimah, ditinggali oleh perempuan Salafi yang terdiri dari mahasiswi dari berbagai daerah di Indonesia. Mereka sedang kuliah sambil menimba ilmu agama Islam di sekitar wisma muslimah. Mayoritas dari mereka memiliki gaya berpakaian dengan jilbab panjang dan menggunakan cadar. Di dalam kesehariannya mereka mengakses media seperti layaknya perempuan pada umumnya, namun cenderung mengakses konten media yang berkaitan dengan salaf. Misalnya saja, perempuan Salafi cenderung untuk mengakses situs yang berisi ratusan artikel dan informasi kajian seperti muslim.or.id, muslimah.or.id, maupun yufid.com. Tidak hanya situs, namun juga TV streaming yang memutar kajian-kajian dari ustadz Salafi dan murotal Al-Qur‟an seperti rodja tv dan insan tv. Penggunaan media televisi di wisma yang tidak diperbolehkan, tidak menjadikan mereka terhenti dari bermedia. Sarana wifi berbayar dan telepon selular yang dapat digunakan untuk internet, menjadikan mereka dapat mengakses internet dengan mudah. Berbagai cara dalam mengakses konten di internet seperti melalui video, file .mp3, website, radio, aplikasi di smartphone, dan lain sebagainya menjadikan mereka pengguna aktif dalam bermedia. Perempuan Salafi menjadi aktif bermedia didukung oleh akses terhadap saluran berkonten salaf yang banyak tersebar, namun perempuan Salafi kebanyakan tidak menutup diri dari akses terhadap situs-situs lainnya, selama situs yang diakses sesuai dengan apa yang dipahami oleh mereka. Jika tidak mengerti tentang konten tersebut, perempuan Salafi bisa jadi akan berdiskusi di dunia maya maupun di dunia nyata tentang pantas atau tidaknya sebuah konten diterima. Jika mereka tidak menemukan jawaban, mereka memiliki akses mudah untuk bertanya kepada ustadz atau ustadzah yang mengerti permasalahan tersebut. Tidak semua perempuan Salafi bercadar, namun perempuan Salafi di Wisma Qaanitah mayoritas mengenakan cadar. Menurut Sabarudin di dalam tesisnya,
perempuan
bercadar
mengalami
banyak
hambatan
dalam
berinteraksi sosial dengan masyarakat setempat. Hambatan ini disebabkan mereka jarang keluar rumah melainkan ada hajat, dan jika keluar rumah,
5
mereka selalu memakai cadar, sehingga komunikasi mereka sangat terbatas, hanya dengan kalangan ibu-ibu atau remaja putri yang sangat terbatas pula.11 Hal ini juga yang mendasari peneliti ingin mengamati perilaku perempuan Salafi dalam mengakses medianya. Dalam mengakses media, kita dapat mengetahui
bagaimana
gambaran
seorang perempuan
Salafi
dalam
kehidupannya sehari-hari. Melalui interaksi dengan media, kita dapat mengetahui seberapa orang tersebut menerima keberadaan media. Hal ini dapat memicu pertanyaan mendasar mengenai pola-pola yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari dalam bermedia yang mereka lakukan. Eva F. Nisa pernah meneliti mengenai perempuan Salafi dengan cara melihat aktivitas online dari perempuan bercadar Salafi tentang bagaimana internet dapat berfungsi bagi mereka untuk membentuk budaya bermedia (online) agar sesuai dengan kehidupan offline mereka melalui mailing list AsSalafiyyat serta website rumahbunda.com. Adapun dalam penelitian ini akan mengangkat permasalahan dari sisi perilaku khalayak perempuan bercadar Salafi dalam mengakses media. Peneliti tertarik untuk lebih lanjut mengetahui mengenai hal tersebut berdasarkan berbagai penelitian terdahulu yang telah meneliti tentang Salafi dan juga kenyataan yang ditemui di lapangan.12 B. Rumusan Masalah Bagaimanakah aksesibilitas media di kalangan perempuan Salafi di Wisma Qaanitah, Yogyakarta? C. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui bagaimana aksesibilitas media di kalangan perempuan Salafi di Wisma Qaanitah, Yogyakarta.
11
Sabarudin. 1999. Gerakan Salafiyah At-Turats Al-Islami di Yogyakarta. Program Pasca Sarjana, Jurusan Sosiologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Hal. 140 12 Eva F. Nisa. 2013. The Internet Subculture of Indonesian Face-Veiled Women. SAGE International Journal of Cultural Studies. SAGE Publications. http://ics.sagepub.com/content/early/2013/02/08/1367877912474534 Diakses 22 Oktober 2013
6
D. Objek Penelitian Objek penelitian ini adalah perempuan Salafi yang tinggal di Wisma Qaanitah Yogyakarta. Bertempat di Pogung Dalangan SIA XVI No. 39, Sinduadi, Mlati, Sleman, Yogyakarta. Wisma ini dibawahi oleh sebuah yayasan yang bernama YPIA atau Yayasan Pendidikan Islam Al-Atsary. YPIA ini memiliki divisi yang bernama FKKA atau Forum Kegiatan Kemuslimahan Al-Atsary yang memiliki 4 wisma muslimah, dan wisma Qaanitah ini adalah salah satunya. Wisma Muslimah Qaanitah berbeda dari ke-tiga wisma muslimah lainnya, karena memiliki sarana wifi berbayar. Wisma ini berisi mahasiswi yang berasal dari latar belakang daerah yang berbeda,
dengan
mayoritas
berstatus
sebagai
mahasiswi,
mayoritas
mengenakan jilbab lebar dan menggunakan cadar. Perempuan Salafi dipilih sebagai objek dari penelitian ini dikarenakan perempuan Salafi memiliki keunikan tersendiri, baik dari segi keberadaan yang masih jarang ditemukan sehingga sedikit dapat dijumpai, maupun jumlah penelitian mengenai Salafi yang masih sedikit jumlahnya. Perlu juga sebagai catatan, bahwa perempuan Salafi yang dikatakan sedikit dijumpai jika yang dilihat adalah secara fisik, yaitu hadir di kajian-kajian Salafi atau memakai jilbab yang besar. Meskipun, pemakaian jilbab yang lebar sekalipun belum tentu adalah seorang Salafi. Dikatakan sebagai Salafi jika mengambil aqidah atau metode beragama sebagai seorang Salafi. Demikian juga sebaliknya, meskipun jilbabnya tidak besar, belum tentu tidak mengambil aqidah dari Salafi. Dikarenakan setiap orang memiliki kadar Salafi di dalam dirinya jika telah menjalankan metode beragama ini. Meskipun kadar tersebut berbeda-beda, sehingga konsekuensinya adalah pengamalan ajarannya yang belum menyeluruh, namun tidak dapat dengan mudah bagi manhaj ini untuk memvonis seseorang sudah „tidak lagi salafi‟ atau „belum salafi‟. Sebagian besar ulama tidak mengajarkan untuk melakukan vonis terhadap seseorang, apalagi hingga harus mengkafirkan seseorang.13
13
Muhammad Abduh. 2011. Beda Salafi dengan Takfiri http://ustadzaris.com/beda-salafidengan-takfiri Diakses 30 Juni 2014
7
Sebenarnya kelompok Salafi di Yogyakarta tidak hanya di Daerah Pogung Dalangan. Namun, kelompok Salafi di Pogung Dalangan memiliki keunikan, yaitu status yang mereka sandang adalah mahasiswa yang tidak menetap serta hidup bersama kelompok masyarakat yang beragam baik dari segi sosial maupun agama. Mayoritas dari mereka pun adalah perempuan yang baru mengenal Salafi ketika di bangku kuliah. Sehingga, berbeda dari kelompok Salafi di daerah lainnya yang mayoritas penduduknya sudah berkeluarga, lalu berada di sebuah kompleks khusus Salafi, dan kebanyakan sudah mengenal Salafi sejak kecil, seperti di Daerah Jamilurrahman, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Perempuan Salafi di dalam penelitian ini tinggal bersama di dalam sebuah tempat sejenis asrama yang tidak terikat oleh aturan seperti di pesantren, namun tetap memiliki program-program harian wisma di bawah sebuah yayasan. Yayasan tersebut adalah Yayasan Pendidikan Islam AlAtsary (YPIA) yang hanya memfasilitasi kajian dan dakwah sosial masyarakat, serta tidak membuat aturan khusus kecuali apa yang telah menjadi program pendidikan di wisma muslimah. Di dalam penelitian ini, perempuan Salafi menggunakan media seperti radio, surat kabar, majalah, buletin, televisi, serta internet. Namun, untuk analisis yang dilakukan akan berfokus pada internet. Internet dinilai lebih dekat dan sering digunakan oleh objek penelitian di dalam kegiatan sehari-hari. E. Kerangka Pemikiran Untuk mengetahui aksesibilitas pada perempuan Salafi dalam bermedia, pada nantinya penelitian ini berfokus pada perempuan Salafi sebagai audiens aktif mengakses media Salafi, peran dan fungsi media Salafi bagi perempuan Salafi; dan perilaku perempuan Salafi terhadap media Salafi. Dari hal-hal tersebut, diharapkan akan dapat dijabarkan mengenai aksesibilitas perempuan Salafi pada media Salafi.
8
1. Audiens Media Audiens merupakan produk sosial yang saling berbagi ketertarikan serta pola budaya, pemahaman, maupun informasi. Audiens bisa dibedakan menjadi berbagai macam kategori tergantung kebutuhan. Misalnya, audiens bisa dibagi berdasarkan tempat, orang, konten pesan, maupun berdasarkan waktu. Namun, secara umum jenis-jenis audiens dapat dibagi menjadi empat kategori yang disusun oleh Nightingale14: 1.
Audiens sebagai orang yang berkumpul. Pada dasarnya diukur sebagai agregat memperhatikan presentasi media tertentu atau produk pada waktu tertentu ini disebut dengan penonton.
2.
Audiens
sebagai
penonton
yang
berbicara.
Merujuk
kepada
sekelompok orang yang digambarkan oleh komunikator dan untuk konten yang dibentuk. Hal ini juga dikenal sebagai audiens tertulis. 3.
Audiens sebagai penonton yang mengalami langsung kejadian. Penerimaan pengalaman sendiri atau dengan orang lain sebagai sebuah peristiwa interaktif dalam kehidupan sehari-hari, dalam konteks oleh tempat atau fitur lain.
4.
Audiens di mana penonton yang mendengar. Dasarnya mengacu pada partisipatif pengalaman penonton, ketika penonton terbawa dalam sebuah pertunjukan atau diaktifkan untuk berpartisipasi dari jarak jauh berarti memberi tanggapan pada waktu yang sama. Selain jenis-jenis, audiens juga memiliki karakteristik yang terdapat
dalam komunikasi massa15, yaitu: 1.
Audiens terdiri dari individu-individu yang memiliki pengalaman yang sama dan terpengaruh oleh hubungan sosial dan interpersonal yang sama.
Mereka menggunakan produk media berdasarkan
kebiasaan dan kesadaran diri
14
Denis McQuail. 2005. McQuail’s Mass Communication Theory. London: SAGE Publication Ltd. Hal. 399 15 Elviano Ardianto, dkk. 2007. Komunikasi Massa: Suatu Pengantar. Bandung: Simbiosa Rekatama Media. Hal. 43
9
2.
Audiens berjumlah besar. Artinya, dapat dijangkau oleh komunikator komunikasi massa, di mana jumlah tersebut tidak dapat diraih bila komunikasi dilakukan secara tatap muka (face to face).
3.
Audiens bersifat heterogen, yaitu mewakili berbagai kategori sosial. Meskipun beberapa media telah memiliki audiens dengan karakteristik tertentu, namun masing-masing individu akan bersifat heterogen.
4.
Audiens bersifat anonim, yaitu komunikator tidak dapat mengetahui identitas dari audiens
5.
Audiens biasanya tersebar, baik dalam konteks ruang dan waktu. Dalam penelitian ini konsep audiens yang dijadikan fokus adalah
audiens aktif. Audiens aktif merupakan studi yang muncul setelah adanya pendekatan efek media untuk melihat audiens. Pendekatan audiens aktif tidak melihat audiens sebagai pihak pasif yang terkena efek media, namun melihatnya sebagai pihak yang juga aktif melakukan sesuatu terhadap media. Teori yang akan didasarkan pada asumsi bahwa konsumen media adalah audiens yang aktif harus menjelaskan apa yang dimaknai dengan “audiens aktif”. Orang yang disebut audiens aktif tentu secara aktif mencari media tertentu dan muatan atau isi tertentu untuk menghasilkan kepuasan atau hasil tertentu. Aktivitas tersebut adalah yang dimaknai oleh Mark Levy dan Sven Windahl (1985) 16 dalam kalimat berikut: Sebagaimana dipahami secara umum oleh peneliti gratifikasi, istilah “aktivitas audiens” merujuk pada orientasi sukarela dan selektif oleh audiens terhadap proses komunikasi. Singkatnya, hal ini menyatakan bahwa penggunaan media dimotivasi oleh kebutuhan dan tujuan yang didefinisikan oleh audiens itu sendiri, dan bahwa partisipasi aktif dalam proses komunikasi mungkin difasilitasi, dibatasi, atau memengaruhi kepuasan dan pengaruh yang dihubungkan dengan eksposur. Pemikiran terbaru juga menyatakan bahwa aktivitas audiens paling baik dikonseptualisasikan sebagai sebuah variabel konstruk, dengan audiens mempertunjukkan berbagai jenis dan tingkat aktivitas.
16
Richard West, Lynn H. Turner. 2008. Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi. Jakarta: Salemba Humanika. Hal. 110
10
Audiens memiliki peran besar untuk memilih dan secara sukarela melakukan tindakan di dalam memilih channel tertentu pada media. Hal ini melibatkan aktivitas audiens jika ingin dikatakan sebagai audiens aktif. Aktivitas audiens tersebut pun juga berhubungan dengan hal-hal yang melatarbelakangi aktivitasnya bermedia. Alasan tersebut berupa kebutuhan dan tujuan yang ada tidak serta merta hadir namun juga dipengaruhi oleh terpaan media, serta kepuasan tertentu yang ingin diraih. Hal ini merupakan penjelasan mendasar dari konsep audiens aktif. McQuails menyatakan bahwa audiens aktif berhubungan erat dengan aktivitas audiens terhadap media. Selanjutnya, ia mengatakan bahwa audiens aktif dipelajari lebih dalam pada tradisi penelitian Uses and Gratification serta analisis resepsi. Kaum Salafi dikatakan sebagai audiens aktif oleh sebab penggunaan media mereka yang secara khusus merujuk pada konten media yang berasal dari kelompok Salafi, meskipun tidak menutup kemungkinan bagi perempuan Salafi untuk mengakses selainnya. Perlu menjadi sorotan bahwa pengguna media Salafi mengakses media difasilitasi dan dibatasi oleh „Salafi‟ itu sendiri, namun tidak bertolak belakang dengan hal tersebut kaum Salafi mendapatkan kepuasan dalam bermedia. Pembahasan menjadi lebih mengerucut ketika Salafi dilihat dari sisi kaum perempuannya sebagai audiens aktif yang mengakses media berkonten Salafi dan juga media lainnya secara umum. 2. Salafi dan Perempuan Dalam bahasa Arab, kata salaf berasal dari kata salafa – yaslufu – salafan, artinya telah lalu. Misalnya dalam kata-kata al-qaum as-sullaaf, artinya adalah kaum yang terdahulu. Bentuk jamak dari kata salaf adalah aslaaf atau sullaaf. Menurut Ibnu Manzhur, seorang pakar bahasa arab yang berkata tentang arti kata salaf secara bahasa “kata salaf juga berarti orang yang mendahului kamu, yaitu nenek moyangmu, sanak kerabatmu yang berada di atasmu dari sisi umur dan keutamaan. Oleh karenanya maka generasi awal yang mengikuti para sahabat disebut dengan salafush
11
shalih (pendahulu yang baik).”17 Termasuk dalam hal ini pengertian salaf menurut bahasa adalah sabda Rasulullah shalallahu „alaihi wasallam kepada putrinya Fathimah, “Sesungguhnya sebaik-baik Salaf (pendahulu) bagimu adalah aku.”18 Dari dua pengertian di atas mengenai salaf, dapat kita lihat bahwa salaf merujuk pada sesuatu yang telah mendahulu atau sesuatu yang sudah terdahulu yaitu para generasi paling dekat dengan Rasulullah shalallahu „alaihi wasallam, nabi umat Islam. Perempuan Salafi yang hidup di zaman ini sangatlah sedikit jumlahnya jika dibandingan dengan mayoritas penduduk. Sedikit sekali kita jumpai wanita-wanita seperti ini sehingga jika kita pergi ke pasar, mall-mall, ataupun taman hiburan dan tempattempat umum, maka sangat jarang kita akan melihat mereka kecuali hanya segelintir saja. Meskipun dengan jumlah yang kecil tersebut, Salafi baik perempuan maupun laki-laki berusaha untuk hidup di tengah masyarakat seperti biasa. Pasalnya, Salafi memiliki pemahaman bahwa walaupun ia sendirian di tengah masyarakat dan belum pernah bertemu dengan sesama orang salaf, ia tetap dapat disebut sebagai Salafi jika menjalankan apa yang menjadi pemahaman pokok dari para salafush shalih. Meskipun ia sedang sendirian di suatu daerah sekalipun, dan belum pernah bertemu dengan sesama orang yang disebut salafi, ia dapat dikatakan mengikuti ajaran salaf jika menjalankan Al-Qur‟an dan Sunnah sesuai pemahaman nabi melalui para sahabat terdekat nabi. Meskipun pada hakikatnya orang tersebut tidak mengetahui makna salaf yang sesungguhnya. Para ustadz Salafi ketika membahas tentang Salafi sering mengartikan “Salafi” itu sebagai Islam itu sendiri. Oleh karena itulah, kita tidak dapat mengetahui secara akurat berapa jumlah orang Salafi di dunia, maupun di Indonesia. Terlebih khusus, jumlah perempuan Salafi yang ada. Tetapi tidak menutup kemungkinan untuk dapat menemukan mereka. Misalnya, jika kita ingin melihat antusiasme perempuan Salafi di sebuah kota, kita dapat 17
Yazid bin Abdul Qadir Jawas. 2008. Mulia Dengan Manhaj Salaf. Bogor: Pustaka At-Taqwa. Hal. 14 18 Shahih Muslim: HR.Muslim (no. 2450 (98))
12
menemukan mereka di tempat kajian Salafi berlangsung. Kajian merupakan sarana bagi perempuan Salafi untuk menuntut ilmu agama19. Sama dengan laki-laki Salafi, perempuan Salafi akan terlihat di tempattempat kajian. Jika kajian Salafi berlangsung, perempuan Salafi akan berada di balik hijab besar yang tinggi atau ruangan berbeda yang memisahkan mereka dari laki-laki Salafi. Perlu menjadi catatan, bahwa jumlah yang ditemui di tempat kajian belum termasuk jumlah mereka yang tidak berangkat kajian, karena sebagian dari perempuan Salafi yang memiliki anak lebih memilih untuk tidak berangkat kajian karena mengurus keperluan anaknya di rumah. Untuk selanjutnya, Salafi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Salafi yang tidak tergabung di dalam organisasi maupun afiliasi. Di dalam tubuh Salafiyah memang terjadi pengkotak-kotakan yang terjadi akibat adanya oknum yang berasal dari Salafi namun kemudian berlepas diri dari Salafi dan membuat nama baru ataupun dipengaruhi oleh pemikiran tertentu. Di antara contoh yang paling sering didengar adalah Salafi Yamani, Salafi Haraki, Salafi Jihadi.20 Nama-nama tersebut dinisbatan kepada Salafi sehingga seolah Salafi menjadi beberapa kelompok. Padahal, penisbatan nama tersebut justru semakin memperkuat bahwa mereka tidak sejalan dengan Salafi, sehingga membutuhkan nama baru untuk mendeskripsikan kelompoknya. Mereka pun tidak ingin disamakan dengan sebenar-benar Salafi, yaitu yang mengikuti metode beragama seperti Rasulullah berdasarkan pemahaman sahabat-sahabat Nabi tentang Al-Qur‟an dan Sunnah. Sehingga di dalam praktik ke-Salafian yang dilakukan, menjadi seolah terkesan ada beragam Salafi yang terbentuk.
19
Kajian biasa berlangsung di masjid-masjid dengan dihadiri oleh ustadz yang mengisi kajian dengan tema-tema tertentu seputar agama Islam. Kajian terdiri dari pembukaan, isi kajian, serta seringkali terdapat tanya jawab setelah kajian usai serta bersifat terbuka untuk umum. Informasi kajian biasanya tersebar luas melalui poster, sms, website, grup di social media, serta fitur grup di smartphone. 20 AM. Waskito. 2011. Bersikap Adil Kepada Wahabi: Bantahan Kritis dan Fundamental Terhadap Buku Propaganda Karya Syaikh Idahram. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. Hal. 56
13
Masih berkaitan dengan nama, pada dasarnya Salafi tidaklah berbeda dengan pengertian “Ahlus Sunnah wal Jama‟ah”. Maka pengertian kata sunnah yang dimaksud adalah „apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad shalallahu „alaihi wasallam baik berupa ucapan, perbuatan, ketetapan, atau sifat, baik fisik; akhlak maupun perjalanan hidup, sebelum diangkat menjadi Nabi atau sesudahnya‟. 21 Di antara ulama kontemporer yang menjadi rujukan Salafi di dalam penelitian ini adalah ulama besar pada zaman ini seperti Syaikh Bin Baz, Syaikh Nashiruddin al-Albani, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, Syaikh Abdul Muhsin al Abbad, Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi‟i, Syaikh Rabi‟ bin Hadi al-Madkhali, Syaikh Abdurrazaq, dan masih terdapat banyak jumlah ulama ahlus sunnah yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Adapun para ulama terdahulu yang lebih dahulu di atas mereka adalah Imam Nawawi, Ibnu Taimiyah, Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah, Ibnu Katsir, Ibnu Rajab, dan lainnya, serta para ulama lain yang mengikuti jejak para ulama tersebut.22 Maka, kelompok Salafi yang dimaksudkan di dalam penelitian ini tidak menyebut dirinya sebagai sebuah kelompok, atau tidak ingin dikelompokkan. Mereka hidup tidak terikat dengan pemimpin atau organisasi yang mengharuskan mereka untuk loyal di dalamnya. Artinya, tidak ada standar tertulis tentang siapa yang sudah menjadi bagian dari Salafi maupun yang bukan. 3. Perempuan Salafi Mengakses Media Media merupakan sarana yang tepat bagi perempuan untuk membentuk ruang bagi diri mereka sendiri dalam mempertahankan apa yang mereka yakini. Untuk isu perempuan misalnya, media menjadi salah satu bentuk dari usaha dari kaum feminis dalam memperjuangkan kedudukan kesetaraan gender. Bagi mereka, media bisa menjadi lahan
21
Abdussalam bin Salim as-Suhaimi. 2007. Jadilah Salafi Sejati. Jakarta: Pustaka At-Tazkia. Hal. 35 Nama-nama sebagian Ulama tersebut diambil dari blog Salafi http://ahlulhadist.wordpress.com/ yang terdaftar pada search engine Salafi Yufid: Ilmu-Ilmu Pengetahuan Bermanfaat dari Sumber Terpercaya (http://yufid.com/). 22
14
aktualisasi diri sehingga memiliki kedudukan yang setara dengan laki-laki dalam penggunaan maupun produksi media. Perempuan dapat berekspresi dengan bebas di dunia maya, karena mereka memasuki ruang publik yang mana publik dapat mengakses informasi secara bebas mengenai diri mereka. Media pun dapat bersikap sebaliknya. Media dapat menjadi sangat tertutup
tergantung
bagaimana
penggunaannya.
Contohnya
bagi
perempuan Salafi. Dalam mengakses media, perempuan Salafi lebih cenderung tertutup. Misalnya dengan tidak memajang profile pictures berupa foto diri di sosial media. Oleh karena itu, sebagaimana media dapat penuh dengan kebebasan dalam menampakkan diri, media pun dapat menjadi sangat tertutup seperti yang dilakukan oleh perempuan Salafi. Perempuan Salafi terbiasa untuk hidup dalam area privat, tertutup, dan dengan meminimkan akses dengan lingkungan sosialnya. Namun, dengan kondisi sosial yang demikian, mereka turut memasuki area penggunaan media secara luas. Seperti perempuan lain pada umumnya, perempuan Salafi mengakses media tak terbatas pada media tertentu saja. Televisi, radio, surat kabar maupun new media menjadi media yang juga dikonsumsi kaum perempuan Salafi. Penggunaan media ini menjadi dapat menjadi jembatan bagi perempuan Salafi dalam bentuk akses yang dilakukannya di dalam penggunaan media. Bagi Salafi, selain aktualisasi diri, media merupakan sarana untuk berdakwah serta mengambil manfaat yaitu berupa ilmu yang disebarkan oleh para ulama dan asatidz23. Dengan begitu pula, Salafi berkembang di Indonesia dan menjangkau daerah-daerah terpencil. Perempuan Salafi sendiri pun, mereka tidak harus keluar rumah jika ingin mendapatkan ilmu atau informasi seputar Salafi. Sesuai dengan karakter mereka, yaitu senang di rumah. Para perempuan Salafi akan lebih memilih untuk tinggal di rumah karena menurut mereka lebih banyak tinggal di rumah adalah seperti yang diajarkan oleh Rasulullah.
23
Istilah Salafi untuk menyebut kata ustadz (dalam bentuk jamak)
15
Dengan begitu, media menjadi jembatan bagi mereka dalam mengakses media sesuai kebutuhan mereka. Kebutuhan ini menjadi unik jika dihubungan dengan kondisi psikologis yang mereka hadapi seharihari. Mereka menghadapi sebuah situasi psikologis di mana kebiasaan pada ruang gerak di dunia luar rumah tidak sebebas di dalam rumah, tetapi dengan kehadiran media pun mereka harus mentranfer nilai-nilai agama yang mereka anut di luar rumah dalam bentuk perilaku penggunaan media di dalam rumah. Perempuan Salafi memiliki beberapa ciri, mulai dari ciri umum hingga ciri khusus. Sesuai pemahaman salafush shalih, perempuan Salafi banyak yang menggunakan jilbab panjang ke seluruh tubuh, banyak juga di antara mereka yang mengenakan cadar. Walaupun memakai cadar bukan termasuk dari ciri khusus, namun ciri ini merupakan salah satu tanda dari perempuan Salafi yang ingin menjalankan Islam secara benar. Bagi perempuan Salafi, mengenakan pakaian seperti itu adalah sebuah sarana untuk mencontoh para shahabiyah24. Selain itu, perempuan Salafi juga memiliki ciri khusus yaitu memisahkan kehidupan sosial mereka dengan laki-laki Salafi. Hal ini juga terjadi ketika mereka bermedia. Sifat media yang memungkinkan perempuan Salafi untuk menjadi terlindungi dari laki-laki membuat mereka berada di zona nyaman ketika harus masuk ke dunia maya. Kehidupan perempuan Salafi seperti yang telah dipaparkan di atas menjadikan perempuan Salafi pengguna media yang aktif. Perempuan Salafi memiliki kemungkinan besar untuk menjadi demikian semenjak mereka memutuskan untuk lebih banyak tinggal di rumah.
Jika
dibandingkan dengan laki-laki Salafi, maka perempuan Salafi akan lebih cenderung menjadi pengguna media yang aktif dibandingkan dengan lakilaki Salafi yang keluar rumah untuk bekerja mencari nafkah. Dari sebagian perilaku perempuan Salafi, mereka menunjukkan bahwa perilaku bermedianya seolah sama dengan perilaku kehidupan sosialnya di masyarakat. Jika di luar rumah mereka menerapkan ajaran 24
Sahabat wanita di zaman Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam
16
„menundukkan pandangan terhadap lawan jenis‟, maka di dunia maya seperti internet ketika berhadapan dengan foto dengan wajah laki-laki maka serta merta mereka tidak menatap mereka dengan seksama, atau sekedar melihat tanpa dipandang terlalu lama, ataupun dengan cepat menurunkan scroll atau mengganti tab yang terpampang foto tersebut ke tab lain di jendela peramban. Jika di luar lingkungan rumah perempuan Salafi menunjukkan sikap sopan dengan mengucapkan kata-kata „jazaakillahu khayran‟ dan yang bersangkutan membalas dengan „wa jazaakilahu khayran‟ maka di dunia maya mereka akan membalas dengan minimal yang serupa untuk menjaga kesopanan dan adab seperti yang mereka lakukan di dunia nyata. Hal ini adalah ketika media menjadi implementasi yang cukup pantas untuk dikatakan akurat dari kehidupan sosial seseorang. Penjelasan mengenai hal ini kita dapat sedikit merujuk kepada Media Equation Theory yang diperkenalkan dalam ilmu komunikasi pertama kali oleh Byron Reeves dan Clifford Nass pada tahun 1996 melalui buku yang berjudul The Media Equation: How People Treat Computers, Television, and New Media Like Real People and Places. Media Equation Theory muncul dari penelitian mengenai respon sosial dan teknologi komunikasi. Teori ini bermula dari anggapan bahwa interaksi manusia dengan media, baik televisi, komputer, atau new media pada dasarnya adalah bersifat natural dan sosial sama seperti interaksi di kehidupan nyata. Pada dasarnya reaksi orang ketika menggunakan media, sangat bersifat natural dan sosial. Misalnya saja ketika orang akan bersikap sopan ketika ada yang menanyakan suatu hal kepadanya, maka respon ketika media bertanya (dalam hal ini perangkat komputer) mengenai sesuatu kepada orang, maka orang akan merespon dengan sikap sopan juga. Di dalam teori ini, audiens media dilihat secara aktif bukan hanya secara pasif terkena efek media. Media dianggap sebagai bagian dari kehidupan nyata mereka. Penjelasan ini cocok untuk melihat bagaimana
17
perilaku perempuan Salafi ketika menggunakan media berdasarkan kehidupan sosial dan naturalnya. Media Equation melihat media diberlakukan seperti layaknya aktor sosial di mana mereka memiliki status sosial yang diyakini, baik itu berupa komputer maupun televisi. Perilaku individu dalam berinteraksi dengan orang lain relatif sama dengan perilaku ketika berinteraksi dengan media. Manusia biasanya berinteraksi berdasarkan keyakinan, kepercayaan, status sosial, serta kebutuhan lainnya.25 Maka ketika berhadapan dengan media pun demikian, mereka mengakses media berdasarkan hal-hal yang mereka biasa berinteraksi dengannya. Seperti saat kita mengakses internet, kita cenderung pada kebutuhan kita seperti di kehidupan nyata. Perempuan Salafi pun demikian, dalam mengakses media berusaha menerapkan apa yang menjadi keyakinannya dalam beragama. Dalam hal ini, apa yang mereka pelajari dan dapatkan dikehidupan nyata berusaha diterapkan di saat kepada media. Hal ini dibahas lebih lanjut dalam hal-hal penting seputar Media Equation Theory berikut. Teori Media Equation ini melihat media lebih dari sekedar “tools” atau alat mencapai maksud dan tujuan. Mereka menyebutnya demikian dikarenakan media telah memberikan pengaruh yang cukup banyak terhadap kehidupan nyata manusia, lebih dari hanya sekedar alat. Pengaruh itu berupa manusia telah menganggap media merupakan bagian dari kehidupan sosial dan alami mereka sehari-hari. Berikut adalah ciri dari Media Equation Theory: The Media Equation: Media = Real Life Hal pertama yang perlu diperhatikan dalam teori ini adalah hal mendasar yang dikemukakan oleh Reeves dan Nass, yaitu media = real life, atau media sama dengan kehidupan nyata. Hal ini yang menjadi dasar dari segala penelitian yang dilakukan mereka untuk membuktikan bahwa manusia merespon media seperti merespon seseorang di kehidupan nyata.
25
Byron Reeves & Clifford Nass. 1996. The Media Equation: How People Treat Computers, Television, and New Media Like Real People and Places. United States: CSLI Publications. Hal. 21
18
Beyond Intuition That Protests: “Not Me, I Know A Picture Is Not A Person” Jika kita ditanya mengenai gambar di sebuah layar komputer, tentang “apakah gambar tersebut nyata?” Tentu kita semua setuju bahwa gambar tersebut tidaklah nyata. Namun, hal yang terjadi secara alami adalah sebaliknya, ketika pertama kali melihat gambar tersebut, reaksi kita adalah seolah melihat gambar yang nyata. Ini tidaklah bisa dipungkiri bahwa secara natural dan alami kita merespon media seperti kehidupan nyata. Old Brains Fooled By New Technologies Menurut Reeves dan Nass, berdasarkan studi yang mereka lakukan, bahwa otak manusia terlibat hanya dalam aktivitas dan perilaku sosial, serta merasakan bahwa objek sebagai benda yang nyata. Hal ini dikarenakan, apa yang dilihat seperti sebuah kebenaran lebih penting daripada kebenaran itu sendiri. Persepsi lebih penting dan terkadang lebih berpengaruh daripada kebenaran itu sendiri. Ketiga hal tersebut di atas merupakan “aturan main” di dalam menjelaskan mengenai bagaimana media dapat berperan penting sebagai aktor sosial bagi kehidupan seseorang. Ketiga hal tersebut menghasilkan delapan proposisi yang dalam penelitian ini akan sedikit dijadikan sebagai acuan26: 1.
Setiap orang memiliki respon yang bersifat sosial dan alami terhadap media
2.
Antar media lebih dikatakan mirip daripada berbeda
3.
Media Equation terjadi secara otomatis
4.
Respon yang berbeda menunjukkan karakterisasi yang berbeda dari Media Equation
5.
Apa yang terlihat seperti sebuah kebenaran lebih penting daripada kebenaran itu sendiri
26
6.
Orang merespon kepada apa yang terjadi sekarang
7.
Orang menyukai kemudahan/kesederhanaan
Ibid., Hal. 251
19
8.
Sifat sosial dan alami itu mudah Dari penjelasan proposisi di atas, kita mendapat beberapa hal
yang dapat dilakukan bagi penelitian tentang perilaku bermedia dalam kaitannya dengan interaksi sosial. Perilaku bermedia yang dikaitkan dengan interaksi sosial ini lebih kepada melihat perilaku manusia yang didasarkan pada perilaku sosial. Sehingga, perilaku sosial seseorang dapat tercermin dari perilaku bermedia. Kenyataannya, tidak semua perilaku bermedia seseorang didasarkan pada alasan kebutuhan sosial. Meskipun teori ini menuai banyak kritik, namun cukup membantu dalam menjelaskan perilaku bermedia. Teori Media Equation terbagi menjadi beberapa bagian27, namun dalam penelitian ini tidak semua bagian relevan untuk digunakan. Reeves dan Nass membagi analisis penelitiannya ke dalam lima bagian penting yang masing-masing terbagi menjadi beberapa bagian penelitian:
The Media Equation Theory Kesopanan Media dan perilaku
Jarak antar pribadi Pujian Menilai orang lain dan diri sendiri
Media dan kepribadian
Kepribadian karakter Kepribadian tatap muka Peniruan kepribadian Baik versus buruk Media dan emosi
Negatif Gairah
Media dan peran 27
Spesialis
Ibid., Hal. 19
20
Rekan tim
sosial
Gender Suara Orientasi kepada sumber Ukuran gambar Ketepatan Media dan bentuk
Sinkronisasi Gerakan Perubahan adegan Gambar subliminal
Tabel 1. The Media Equation Theory
Dalam menjelaskan fenomena perilaku sosial perempuan Salafi, yang menjadi tolok ukur adalah perilaku, kepribadian, emosi, serta peran sosial. Sedangkan media dan bentuk tidak menjadi pembahasan dalam bagian ini. Bahwa perilaku, kepribadian, emosi, dan peran sosial dari perempuan Salafi dalam penggunannya terhadap media adalah ditentukan dari perilaku, kepribadian, emosi, serta peran sosial dari lingkungan Salafi yang mereka alami di kehidupan nyata. Dari pemaparan mengenai perempuan Salafi ini, menjadi alasan lebih lanjut bagi peneliti untuk secara langsung meneliti perempuan Salafi dari dekat. Kehidupan mereka yang jauh dari lingkungan terbuka merupakan faktor yang membuat perempuan Salafi layak untuk diteliti dalam penelitian ini. Akses media merupakan jembatan bagi peneliti untuk mendalami bagaimana Salafi mempresentasikan dirinya terhadap media. Pemaknaan Salafi dalam kehidupannya sehari-hari, dapat dimaknai dari perilakunya terhadap media. 4. Praktik Penggunaan Media Berbagai teori komunikasi telah membantu banyak peneliti untuk menjelaskan praktik penggunaan media. Praktik perempuan Salafi dalam mengakses media, tidak dapat dijabarkan secara rinci jika tidak mengacu
21
kepada teori-teori terdahulu dari Ilmu Komunikasi. Dalam penelitian ini, Teori Uses and Gratification digunakan untuk membantu menjelaskan alasan terperinci dari seorang perempuan Salafi dalam mengakses medianya sehingga pada nantinya dapat dibuat bangunan utuh mengenai bagaimana seorang perempuan Salafi mengakses media. Untuk praktik penggunaan media bagi Salafi, dapat kita jabarkan dalam Teori Uses and Gratification Theory. Penggunaan Uses and Gratification Theory dalam melihat apa yang dilakukan oleh audiens media memang merupakan cara yang pas. Teori ini pada nantinya akan mengungkapkan apa yang dilakukan oleh audiens terhadap media secara terperinci. Gunanya, ketika mengetahui apa yang dilakukan oleh audiens media, dalam hal ini perempuan Salafi dalam mengakses media, akan diketahui kecenderungan dalam penggunaan media menurut peran dan fungsi yang mereka jalani. Teori Uses and Gratification atau Teori Kegunaan dan Gratifikasi ini merupakan teori perluasan dari Teori Kebutuhan dan Motivasi oleh Abraham Maslow pada tahun 1970. Teori kebutuhan dan motivasi ini melihat bahwa keinginan dan kebutuhan seseorang itu memiliki tahapan yang jika orang tersebut berhasil melalui tahapan pertama, ia akan mulai memikirkan tahapan ke dua, dan selanjutnya. Penggunaan media pun demikian. Sehingga, teori ini dibangun atas dasar bahwa audiens media memilih
menggunakan
media
berdasarkan
keputusannya
sendiri,
berdasarkan kebutuhan dan keinginan mereka. Teori ini bertujuan membuat kerangka dan pada awalnya bertujuan menetapkan alasan dari perilaku penggunaan media. Berangkat dari teori tersebut, teori Uses and Gratification pun tidak jauh berbeda dengan teori tersebut. Orang yang memiliki kesadaran diri, tentu mereka mampu memahami dan menyatakan alasan mereka menggunakan media. Media dilihat sebagai salah satu cara untuk pemuasan kebutuhan yang mereka miliki. Maka, fokus pertanyaan dari Teori Kegunaan dan Gratifikasi adalah: apa yang orang lakukan dengan media? Dengan mengetahui apa yang dilakukan oleh audiens terhadap
22
media, peneliti dapat merumuskan mengenai apa yang dicari oleh perempuan Salafi dan latar belakang dari penggunaan media dari mereka. Fungsi dari Teori Kegunaan dan Gratifikasi adalah untuk memberikan kerangka yang tepat dalam memahami 1. proses kapan dan bagaimana konsumen sebuah media menjadi lebih atau kurang aktif dan 2. konsekuensi dari keterlibatan yang meningkat atau menurun. Asumsi dasar membantu peneliti untuk mengkotakkan dan membatasi area penelitian bagi perempuan Salafi sehingga hasil penelitian tidak keluar dari batas yang telah ditetapkan. Elihu Katz, Jay G. Blumler, dan Michael Gurevitch menguraikan lima elemen atau asumsi-asumsi dasar yang dimiliki oleh Teori Kegunaan dan Gratifikasi28, yaitu: 1.
Audiens aktif dan penggunaan medianya berorientasi pada tujuan
2.
Inisiatif dalam menghubungkan antara kebutuhan kepuasan, dan pilihan media tertentu terletak di tangan audiens
3.
Media bersaing dengan sumber-sumber lain dalam upaya memuaskan kebutuhan audiens
4.
Orang-orang mempunyai kesadaran-diri yang memadai berkenaan penggunaan media, kepentingan atau minat, dan motivasinya, ini menjadi bukti bagi peneliti tentang gambaran keakuratan penggunaan tersebut
5.
Nilai pertimbangan seputar keperluan audiens tentang media spesifik atau isi harus dibentuk Dari asumsi tersebut, kita dapat melihat audiens perempuan Salafi
melakukan aktifitasnya sebagai pihak yang aktif. Memilih untuk menggunakan laptop dibandingkan handphone, atau sebaliknya. Dari sisi persaingan, media berkonten Salafi pun menjadi nomor satu dalam penggunaannya. Asumsi ini merupakan pijakan bahwa teori ini dapat berlaku bagi perempuan Salafi dalam akses kepada media Salafi.
A. Kepuasan dan Kegunaan
28
Stanley J. Baran, Dennis K. Davis. 2010. Teori Komunikasi Massa: Dasar, Pergolakan, dan Masa Depan. Jakarta: Salemba Humanika. Hal. 298
23
McQuails
mengemukakan
sistem dasar dalam menilai
kepuasan dasar dari perilaku orang dalam mengonsumsi media. Penjelasan ini adalah hasil dari melihat pengalaman audiens dalam menggunakan media. Sistem dasar untuk menilai ini dibagi menjadi empat tipologi29: 1.
Pengalihan perhatian (penggunaan media untuk lari dari rutinitas dan masalah-masalah serta untuk pelepasan emosi)
2.
Hubungan pribadi (interaksi sosial dan persahabatan)
3.
Identitas pribadi (referensi pribadi, eksplorasi terhadap realitas, penguatan nilai)
4.
Pengamatan (memperoleh informasi dan mengembangkan opini mengenai isu-isu publik, berita) Perempuan Salafi yang dinilai sebagai individu aktif ini dapat
membawa tingkat aktivitas yang berbeda dalam penggunaan media mereka. Mereka menggunakan media untuk meraih tujuan-tujuan yang mereka miliki. Di antara tujuan-tujuan yang mereka inginkan untuk miliki, terdapat tipe-tipe kebutuhan yang disampaikan oleh Katz Gurevitch, dan Haas (1973) untuk menilai kepuasan dalam tabel kebutuhan yang dipuaskan oleh media30, sebagai berikut:
Tipe
Deskripsi Tujuan
Media
Kebutuhan Kognitif
Afektif
Memperoleh informasi,
Internet dan
pengetahuan dan pemahaman Smartphone Pengalaman emosional, menyenangkan, atau estetis
Video, .mp3
Integrasi
Meningkatkan kredibilitas,
Website, Social
Personal
percaya diri, dan status
Media
29
Denis McQuail. Audience Analysis. California: SAGE Publications, Inc. Hal. 72 Richard West, Lynn H. Turner. 2010. Introducing Communication Theory: Analysis and Application. New York: McGraw Hill. Hal. 398 30
24
Integrasi Sosial Pelepasan Ketegangan
Meningkatkan hubungan
Internet (social
dengan keluarga, teman, dan
media, e-mail, chat
lainnya
room)
Pelarian dan pengalihan
Televisi, film, radio, internet
Tabel 2. Tabel Tipe Kebutuhan oleh Katz Gurevitch, dan Haas (1973)
Dari tabel di atas, kita dapat melihat bahwa lima hal tersebut merupakan kegunaan media sehari-hari. Hal-hal seperti inilah yang mengantarkan mereka kepada keaktifan bermedia. Untuk menilai keaktifan mereka, diperlukan pengertian mengenai aktivitas dari audiens aktif.
B. Aktivitas Perempuan Salafi Sebagai Audiens Aktif Perempuan Salafi merupakan audiens aktif yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhannya sebagai seorang Salafi. Fasilitas, pembatasan mempengaruhi kepuasan dan pengaruh yang diperoleh perempuan Salafi dalam mengakses media. Pada akhir kata dari kalimatnya, Mark Levy dan Sven Windahl menyebutkan bahwa audiens paling baik dinilai dan ditunjukkan ke dalam berbagai jenis dan tingkat aktivitas. Oleh karena itu, jenis dan tingkat aktivitas tersebut dapat kita ketahui dari Jay G. Blumer (1979) yang mengkategorikan jenis aktivitas audiens sebagai konsumen media31, yaitu: 1.
kegunaan (utility), yaitu untuk melakukan hal-hal tertentu
2.
kesengajaan (intentionality), yaitu motivasi awal konsumen menggunakan media
3.
selektivitas (selectivity), yaitu minat yang ditunjukkan oleh audiens media
4.
kesulitan untuk memengaruhi (imperviousness to influence), yaitu pemaknaan audiens dalam mengonstruksikan muatan media.
31
Baran, Op. Cit. Hal. 297
25
Selanjutnya,
Teori
Kegunaan
dan
Gratifikasi
juga
membedakan antara aktivitas dan keaktifan untuk dapat memahami tingkatan aktivitas audiens. Aktivitas merujuk kepada apa yang dilakukan oleh konsumen media, sedangkan keaktifan lebih ke arah kebebasan dan otonomi audiens ketika berhadapan dengan media massa. Tingkatan ini akan dapat menilai sejauh mana aktivitas dan keaktifan dari sudut pandang perempuan Salafi. F. Metodologi 1. Pendekatan Penelitian Terdapat tiga pendekatan di dalam penelitian yaitu positivis, konstruktivis, dan kritis. Di dalam penelitian ini, digunakan konstruktivis sebagai pendekatan. Pendekatan ini melihat bahwa realitas tidak dibentuk secara ilmiah, namun dibentuk dan dikonstruksi. Realitas yang dilihat dan dimaknai secara konstruktif akan menghasilkan pandangan berdasarkan perspektif yang ada di masyarakat. Di dalam konstruktivisme pengetahuan dibentuk secara sosial, yaitu hasil dari kehidupan secara kultural atau kelompok.32 Dari kehidupan tersebut, interaksi sosial merupakan modal dasar untuk memahami gagasan tentang konstruktivisme. Budaya menjadi sangat penting ketika ingin menentukan makna dari sebuah kejadian. 2. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode etnografi, sebagaimana yang telah digunakan oleh berbagai peneliti untuk dapat mendeskripsikan sebuah budaya di dalam sekelompok masyarakat. Di dalam buku “Metode Etnografi”, Spradley menjelaskan bahwa dalam melakukan kerja lapangan, seorang etnografer diharuskan membuat kesimpulan budaya yang terdiri dari tiga sumber: (1) dari yang dikatakan 32
Stephen W. Little John, Karen A. Foss. 2012. Teori Komunikasi. Jakarta: Salemba Humanika. Hal. 25
26
orang, (2) dari cara orang bertindak; dan (3) dari berbagai artefak yang digunakan orang. Spradley juga menjelaskan bahwa etnografi berupaya untuk memerhatikan makna-makna tindakan dari kejadian yang menimpa orang yang ingin kita pahami. Penelitian etnografi membutuhkan kerja di lapangan sebagai bahan untuk pengambilan data etnografi yang akurat. Hal ini dilakukan agar dapat membantu peneliti dalam memahami peristiwa menurut sudut pandang penduduk asli yang diteliti. Dalam konteks perempuan Salafi yang akan diteliti, metode etnografi lebih dari sekedar melihat data kuantitatif, namun melihat konteks dan kaitan yang terjadi bagi salaf dalam penggunaan medianya. Metode etnografi dipelopori oleh AR. Radcliffe Brown dan B. Malinowski. Menurut mereka, definisi dari etnografi adalah mendeskripsikan dan membangun struktur sosial dan budaya suatu masyarakat”. Menurut Ember & Ember dan Neuman, etnografi merupakan penggambaran suatu budaya atau cara hidup orang-orang dalam komunitas tertentu. Etnografi media memungkinkan seorang peneliti menemukan bagaimana perilaku bermedia sebuah komunitas dalam kurun waktu tertentu.33 3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dilakukan oleh peneliti untuk menentukan cara pengumpulan data disesuaikan dengan metode penelitian dan keadaan di lapangan. Peneliti akan melakukan observasi
yang memungkinkan peneliti
untuk melakukan
pengamatan terhadap obyek yang diteliti dengan lebih bebas dan lebih lentur sesuai dengan keadaan yang ditemukan. Waktu yang digunakan peneliti adalah selama empat bulan, terhitung mulai
33
S. Arifianto. 2008. Metodologi Riset Komunikasi: Panduan Untuk Melaksanakan Penelitian Komunikasi. Yogyakarta: BPPI & PKMBP. hal. 179
27
Februari 2014 hingga Mei 2014. Langkah-langkah yang dilakukan untuk mengumpulkan data adalah sebagai berikut:
a. Observasi Partisipan Observasi partisipan adalah suatu bentuk observasi khusus di mana peneliti tidak hanya menjadi pengamat yang pasif, melainkan juga mengambil peran dalam situasi tertentu dan berpartisipasi dalam peristiwa-peristiwa yang akan diteliti.34 Dengan observasi partisipan, peneliti akan berbaur dengan obyek penelitian untuk mengamati makna-makna tindakan serta pola yang ada. Telah disebutkan dalam penelitian yang dilakukan Herbert Blumer dan George Herbert Mead yang menekankan pentingnya penelitian dengan observasi partisipan. Hal ini guna mengetahui secara detail tentang hubungan-hubungan sosial.35 Tujuan dari observasi terhadap perempuan Salafi ini adalah mengetahui apa yang dilakukan oleh obyek penelitian tersebut terhadap media. Dengan cara mendengar secara langsung apa yang disampaikan oleh mereka mengenai apa yang mereka rasakan di saat mereka menginginkan untuk bermedia, atau hal-hal lain yang ditemukan saat proses penelitian. Selain itu, peneliti juga mencari tahu mengenai kepentingan
mereka
dalam
bermedia
dalam
mencari
kepuasaan. Peneliti juga dapat mengetahui kapan saja waktu yang mereka membutuhkan mencari sesuatu yang berkonten Salaf di media. Dengan cara observasi partisipan, peneliti dapat menuliskan hasil penelitian mengenai makna-makna dari pola tindakan yang ada.
34
Prof. DR. Robert K Yin. 2002. Studi Kasus: Desain dan Metode. Jakarta: Rajagrafindo Persada. Hal. 114 35 Stephen W. Little John, Karen A. Foss. 2012. Teori Komunikasi. Jakarta: Salemba Humanika. Hal 67
28
Untuk memudahkan analisa, maka dibuatlah poin-poin observasi sebagai berikut:
Media Equation Theory Media dan perilaku : kesopanan, jarak antar pribadi, pujian, menilai orang lain dan diri sendiri Media dan kepribadian : kepribadian karakter, kepribadian tatap muka, peniruan kepribadian Media dan emosi: baik versus buruk, negatif, gairah Media dan peran sosial: spesialis, rekan tim, gender, suara, orientasi kepada sumber Uses and Gratification Faktor sosial dan psikologi individu Menimbulkan kebutuhan Harapan terhadap media / sumber lain Pola penggunaan media Kepuasan / konsekuensi Struktur media Elemen Uses and Gratification Penggunaan Media Berorientasi Tujuan Inisiatif dalam Menghubungkan Kebutuhan, Kepuasan, dan Pilihan Media Persaingan Media dengan Sumber Lain dalam Pemuasan Kebutuhan Kesadaran Diri dalam Penggunaan Media Nilai Pertimbangan Audiens Seputar Keperluan Audiens Tentang Media
29
b. Wawancara Mendalam Wawancara etnografi dilakukan dengan mengajukan beberapa pertanyaan etnografis dalam wawancara. Wawancara yang panjang, berkali-kali, juga dilakukan dengan beberapa informan yang telah dipilih. Wawancara mendalam adalah cara bagi peneliti untuk mengetahui hal-hal yang perlu diketahui secara mendalam secara langsung. Wawancara ini harus dilakukan berulang kali dengan frekuensi tinggi secara intensif. Dengan wawancara, peneliti dapat menggali informasi yang cukup banyak dan mendalam mengenai pandangan dari perempuan Salafi dalam kaitannya terhadap akses media dengan konten Salafi, serta memudahkan informan terpilih dalam mengutarakan apa yang mereka ingin katakan. Penggunaan wawancara mendalam ini telah digunakan oleh banyak peneliti etnografi sebagai salah satu sumber utama dari data penelitian. 4. Teknik Menentukan Informan Pada penelitian ini informan yang menjadi sumber dari data peneliti adalah perempuan Salafi yang tinggal di Wisma Qaanitah, Yogyakarta dan sebagai pengguna media internet melalui laptop dan smartphone. Adapun kriteria-kriteria pada satu informan dengan informan lainnya memiliki perbedaan. Oleh karena itu, peneliti menggunakan teknik sampling purposif, yaitu teknik pengambilan sampel secara acak, tetapi dipilih dengan sengaja pada informan yang memiliki kriteria yang sesuai dengan kriteria yang ditetapkan peneliti.36 Dari 25 perempuan Salafi di Wisma Qaanitah, dipilihlah lima orang sebagai informan di dalam penelitian ini. Kelima informan tersebut adalah informan yang memenuhi kriteria berupa aksesibilitas terhadap internet di wisma. Selain itu, kelima 36
Ina Bertrand & Peter Hughes. 2005. Media Research Methods: Audience, Institutions, Texts. Basingstoke: Palgrave Macmillan. hal. 68
30
orang tersebut adalah mereka yang bersedia untuk dimasukkan sebagai informan di dalam penelitian ini, karena tidak semua perempuan Salafi di wisma tersebut bersedia menjadi informan. 5. Teknik Analisa Data Proses analisis data di dalam penelitian ini dilakukan bersamaan dengan pengumpulan data dari informan. Peneliti membuat catatan lapangan sederhana ketika observasi telah selesai dilakukan. Analisis dilakukan terus hingga data yang dikumpulkan dirasa telah mencukupi kebutuhan. Menurut Craswell, yang dipaparkan oleh Engkus, teknik analisis data dalam etnografi terdiri dari tiga hal sebagai berikut37: 1. Deskripsi : Deskripsi menjadi bagian pertama bagi etnografer dalam menuliskan laporan etnografinya. Pada bagian ini akan dilakukan proses pengambilan data awal sebagai gambaran umum mengenai minat serta arah penggunaan internet dan media lainnya yang dilakukan oleh informan. 2. Analisis : Pada bagian analisis peneliti melakukan triangulasi data dengan cara mengulang proses wawancara dengan wawancara kedua, kuesioner singkat, maupun observasi yang dilakukan pada beberapa poin penelitian. 3. Interpretasi : Pada bagian ini, interpretasi menjadi mungkin dilakukan.
Setelah
ditemukannya
data
dan
dianalisis,
interpretasi dilakukan sebagai bentuk kesimpulan atas perilaku bermedia yang terjadi pada perempuan Salafi. Pembagian waktu untuk informan dilakukan secara bergantian sesuai waktu yang disepakati. Terdapat empat hingga lima kali wawancara dibarengi observasi. Waktu pengambilan data tersebut disepakati sesuai kelonggaran jadwal informan. Pengambilan data dibarengi dengan penulisan etnografi serta
37
Engkus Kuswarno. 2008. Etnografi Komunikasi: Pengantar dan Contoh Penelitiannya. Bandung: Widya Padjajaran. Hal: 68
31
analisis. Proses tersebut akan berlangsung dari bulan Februari 2014 sampai Mei 2014. Analisis dilakukan setelah pengumpulan data serta penataan data secara sistematis dilakukan. Analisis data dilakukan dengan cara pemeriksaan ulang catatan lapangan dalam mencari simbol-simbol budaya, serta pencarian hubungan antar simbol. Analisis data juga dilakukan dengan interpretasi arti dan fungsi dari perilaku perempuan Salafi dan dilakukan dengan format deskripsi verbal dan penjelasan. Metode yang dilakukan dalam analisis yaitu dengan cara melakukan analisis domain, taksonomik, komponen, serta tema budaya. Dari analisis domain akan didapatkan gambaran menyeluruh dari obyek penelitian. Dari analisis taksonomik akan didapatkan analisis terhadap domain-domain dengan lebih terperinci. Dalam analisis komponen akan didapatkan gambaran mengenai komponen makna yang berhubungan dengan simbolsimbol budaya. Sedangkan dalam analisis tema budaya, akan didapatkan hubungan antara domain dengan keseluruhan data yang selanjutnya dinyatakan dalam tema-tema yang sesuai fokus penelitian. Pada akhirnya hasil etnografi yang diperoleh dapat dituliskan. Namun dalam hal analisis ini perlu juga disampaikan bahwa subjektivitas peneliti di dalam etnografi tetaplah ada, sebagaimana penelitian etnografi selalu mengandung unsur-unsur subjektivitas dari peneliti dikarenakan interpretasi terhadap data hasil dari analisis yang dilakukan.
32