1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Menghadapi persaingan yang semakin dinamis, banyak organisasi membangun kembali kultur, struktur, teknologi informasi, dan proses bisnis berdasarkan perspektif knowledge (pengetahuan). Dengan mengimplementasikan knowledge
management
(manajemen
pengetahuan),
organisasi
berharap
mendapatkan kemampuan mengelola pengetahuan mereka dan pada akhirnya dapat mencapai kinerja yang superior. Perspektif ini didasarkan pada teori organisasi resourcee-based view. Perspektif ini menekankan pentingnya sumber daya yang dimiliki oleh organisasi. Organisasi yang mempunyai keunggulan kompetitif adalah organisasi yang mempunyai sumber daya yang bernilai dan tidak mudah ditiru oleh organisasi lain, dan keunggulan kompetitif yang mampu bertahan dalam persaingan adalah keunggulan kompetitif yang berkelanjutan (sustainable competitive advantage). Manajemen pengetahuan merepresentasikan pandangan ini karena pengetahuan dipandang sebagai aset atau harta bagi organisasi yang bernilai dan tidak mudah ditiru. Dalam manajemen pengetahuan; kemampuan organisasi dalam mendapatkan, memelihara, dan memanfaatkan pengetahuan dalam proses bisnisnya akan menghasilkan keunggulan kompetitif yang berkelanjutan. Rumah sakit sebagai organisasi atau perusahaan yang bergerak dalam sektor jasa pelayanan kesehatan sangat relevan dengan konsep manajemen pengetahuan. Manajemen pengetahuan dibutuhkan oleh manajemen rumah sakit karena pelayanan kesehatan yang diberikan oleh rumah sakit sangat ditentukan oleh pengetahuan tentang ilmu kesehatan atau kedokteran. Dokter-dokter yang bekerja di rumah sakit merupakan knowledge worker. Knowledge worker adalah orang atau individu yang bekerja untuk tugas-tugas yang berhubungan dengan informasi spesifik atau membutuhkan pengembangan informasi dan menggunakan pengetahuan yang dimilikinya untuk menyelesaikan permasalahan, contohnya adalah dokter, ilmuan, akademis, pengacara, dan lain-lain. Oleh karena itu,
2
manajemen
rumah
sakit
kontemporer
sangat
membutuhkan
menajemen
pengetahuan untuk menghasilkan keunggulan kompetitif. Dalam operasionalnya, rumah sakit membutuhkan sumber daya manusia maupun non sumber daya manusia. Resource rumah sakit berupa non-sumber daya manusia dapat berupa aset tetap seperti bangunan rumah sakit ataupun peralatan-peralatan medis yang canggih. Namun aset-aset seperti ini sangat mudah untuk dimiliki oleh rumah sakit lain atau sangat mudah untuk ditiru, sehingga sulit bagi rumah sakit untuk mencapai keunggulan kompetitif. Namun untuk aset intangble yang berupa pengetahuan yang dimiliki oleh sumber daya manusia dalam rumah sakit tidak mudah untuk ditiru. Sumber daya seperti inilah yang bernilai dan tidak mudah untuk ditiru oleh rumah sakit lain. Rumah sakit seperti ini yang berpotensi untuk mencapai keunggulan kompetitif; dan jika sumber daya berupa aset pengetahuan ini dapat dikelola dengan baik, maka rumah sakit dapat mencapai keunggulan kompetitif yang berkelanjutan. Pengelolaan pengetahuan dalam institusi rumah sakit meliputi cara mendapatkan
pengetahuan,
memelihara
pengetahuan,
dan
memanfaatkan
pengetahuan tersebut untuk menghasilkan rumah sakit dengan kinerja yang superior. Walaupun pengetahuan yang menjadi aset bagi rumah sakit dapat berupa pengetahuan yang bermacam-macam, namun pengetahuan yang difokuskan dalam penelitian ini adalah pengetahuan medis yang dimiliki oleh para dokter atau tenaga medis yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan kepada pasien atau pelanggan. Mengapa rumah sakit membutuhkan pengetahuan? Rumah sakit membutuhkan pengetahuan karena pengetahuan merupakan sarana bagi rumah sakit agar dapat bertahan. Pengetahuan juga merupakan structure of our memory yang jika dikelola dengan baik akan menghasilkan kinerja yang superior dan mampu bertahan dalam lingkungan persaingan yang keras. Salah satu cara untuk mengelola pengetahuan dalam rumah sakit adalah cara membangun knowledge sharing (berbagi pengetahuan) di kalangan sumber daya manusia yang berperan dalam penyampaian pelayanan kesehatan oleh rumah sakit. Kemampuan suatu organisasi untuk melakukan knowledge sharing dari 1 unit (personal) ke unit (personal)
lainnya
telah
terbukti
memberi
kontribusi
terhadap
kinerja
3
organisasional baik pada sektor manufaktur (Epple dkk., 1996) maupun pada sektor jasa (Darr dkk., 1995) termasuk jasa pelayanan rumah sakit. Simon (2002) menyatakan bahwa manfaat-manfaat knowledge sharing telah didokumentasikan oleh Stewart (2001). Mengapa rumah sakit membutuhkan knowledge sharing? Rumah sakit membutuhkan knowledge sharing karena kemampuan bertahan dalam persaingan tidak bisa dicapai sendirian atau oleh sebagian kecil sumber daya manusia dalam sebuah rumah sakit. Dalam knowledge sharing terjadi proses pembelajaran yang melibatkan banyak orang yang pada akhirnya dapat mengakumulasikan aset pengetahuan yang dimiliki oleh rumah sakit. Ketersediaan peralatan medis yang canggih tidak akan ada artinya jika tidak diimbangi dengan pengetahuan medis yang dimiliki oleh sumber daya manusianya. Dalam knowledge sharing melibatkan proses cara pengetahuan didapatkan, ditransfer, dan juga dikonfirmasi kebenarannya untuk melakukan perbaikan kualitas pelayanan yang secara terus menerus. Ryu, Ho, dan Han (2003) mengutip pernyataan peneliti sebelumnya yaitu O’Dell dan Grayson (1998) menyatakan bahwa knowledge sharing di kalangan para dokter yang bekerja di suatu rumah sakit dapat merealisasikan keuntungan potensial dan merupakan hal yang kritis dalam lingkungan kompetitif. Para dokter dan tenaga kesehatan lainnya yang bertugas di rumah sakit membutuhkan knowledge sharing. Sebagai contoh, dalam hal membuat keputusan dan menyelesaikan masalah medis didasarkan tidak hanya oleh pengetahuan yang dimilikinya sendiri, melainkan juga berdasarkan pengetahuan dari dokter-dokter dan tenaga medis lainnya. Ketika seorang dokter menggunakan pengetahuan dari teman sejawatnya, dokter tersebut juga akan memperbaiki dan meningkatkan pengetahuannya sendiri yang berarti terjadi akumulasi pengetahuan yang didapat dari pengetahuan dokter lainnya. Dengan knowledge sharing juga memungkinkan terjadinya seorang dokter dapat memahami yang dipikirkan dan yang dilakukan oleh teman sejawatnya dalam hal medis. Sebaliknya, melalui knowledge sharing seorang dokter juga berusaha mengekspresikan pemikiran dan aksinya agar dapat dipahami
oleh
teman
sejawatnya.
Pada
akhirnya,
knowledge
sharing
memungkinkan terjadinya pembuatan keputusan dan penyelesaian masalah medis
4
di rumah sakit yang didasarkan oleh kerjasama para dokter dan tenaga medis lainnya. Imbas dari hal ini adalah memungkinkannya terbangun suatu pengetahuan baru yang diyakini kebenarannya secara bersama-sama. Dokter merupakan kelompok sumber daya manusia dalam rumah sakit yang mempunyai pengetahuan medis secara khusus. Pengetahuan yang dimiliki oleh para dokter secara teoritis maupun praktis sangat penting bagi penanganan medis terhadap pasien. Kualitas dari praktok-praktik klinis yang terspesialisasi merupakan faktor penentu yang utama dalam penyampaian pelayanan kesehatan kepada pasien. Peranan knowledge sharing menjadi semakin penting bagi para dokter; karena dalam memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas tinggi dibutuhkan pengetahuan-pengetahuan yang berdasarkan riset, kreativitas dalam pengobatan, dan kesiapan mendapatkan peluang-peluang pengetahuan baru yang didapatkan melalui mekanisme pembelajaran organisasional yang bervariasi. Dengan demikian, tujuan akhir dari knowledge sharing adalah meningkatkan kualitas dan efisiensi pelayanan kesehatan di rumah sakit. Knowledge sharing di kalangan dokter-dokter yang bekerja di rumah sakit mengacu pada perilaku penyebaran pengetahuan medis yang dimiliki oleh seorang dokter kepada dokter-dokter lain dalam suatu instansi rumah sakit. Fokus dari manajemen pengetahuan medis di rumah sakit adalah cara menyebarkan pengetahuan medis kepada semua dokter untuk menciptakan benefit yang menambah nilai bagi rumah sakit. Penyebaran pengetahuan ini menjadi lebih penting lagi mengingat cepatnya perkembangan ilmu pengetahuan medis atau kedokteran. Knowledge sharing akan terasa menjadi lebih penting lagi pada program kemitraan klinik (koas) dan program internship (magang). Bagi koasisten yang sedang menjalankan pendidikan profesi untuk mendapatkan gelar dokter dan bagi dokter-dokter muda yang baru lulus pendidikan profesi, knowledge sharing sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kemampuan mereka sebagai dokter. Peningkatan kemampuan sebagai dokter ini didapat melalui tahap pemahiran. Dalam
tahap
pemahiran
inilah
diperlukan
pendampingan
dan
terjadi
transfer/berbagi pengetahuan dari dokter pendamping kepada koas dan dokter muda.
5
Knowledge sharing dalam program kepaniteraan klinik dilakukan melalui beberapa tipe, yaitu: kuliah tatap muka, presentasi kasus, morning report, bed site teaching dan observasi langsung. Dalam kuliah tatap muka, para dokter spesialis yang merangkap sebagai dosen menyampaikan ilmunya secara langsung seperti lazimnya pada kuliah reguler. Namun, hal ini sangat jarang terjadi dikarenakan kesibukan pelayanan dan memang kuliah tatap muka saat kepaniteraan klinik porsinya sangat kecil. Walaupun porsi kuliah tatap muka ini kecil, namun hal ini sangat berarti, karena dalam kuliah tatap muka inilah terjadi tacit knowledge sharing. Tacit knowledge melekat pada orang yang memiliki knowledge tersebut dan hanya bisa dibagi atau ditransfer ketika terjadi interaksi langsung antara pemberi dan penerima knowledge. Presentasi kasus dilakukan secara rutin terjadwal. Para koas diminta mempresentasikan kasus yang menurut mereka menarik setiap minggu. Pembahasan dalam presentasi kasus dilakukan secara komprehensif meliputi segala aspek kasus terpilih dan dibimbing oleh para dokter spesialis. Kegiatan utama lainnya dalam program kepaniteraan klinik adalah morning report, bed site teaching dan observasi langsung. Morning report merupakan kegiatan koas yang dilakukan setiap pagi sebelum memulai kegiatan lainnya. Dalam morning report para dokter berkumpul dan membahas kasus yang terjadi selama 1 malam, biasanya ada dokter yang jaga malam sebagai dokter yang bertanggungjawab mempresentasikan kasus. Kasus yang dibahas hanya kasus yang penting atau kasus kematian. Bed site teaching adalah cara pembelajaran secara langsung pada pasien yang ada. Dalam bed site teaching, para koas bertanggunjawab atas beberapa pasien. Kemudian saat pagi hari (ronde, round, visite), koas yang bertanggungjawab terhadap pasien kemudian mempresentasikan keadaan terkini pasien tersebut kepada dokter spesialis. Kemudian koas memberikan rencana terapi atau pemeriksaan yang akan dilakukan. Dalam bed site teaching ini, dokter spesialis memberikan saran/ masukan dan pertanyaan atas kondisi pasien tersebut, serta rencana yang akan dilakukan berikutnya. Adapun observasi langsung terjadi ketika para koas mengikuti dokter spesialis pada saat di poli, bangsal maupun saat melakukan tindakan operatif.
6
Setelah selesai mengikuti program kepaniteraan klinik dan sudah disumpah menjadi dokter, para dokter muda/baru diwajibkan mengikuti program pemerintah yang disebut program internship (magang) ke daerah-daerah yang ditunjuk oleh pemerintah. Dalam program internship ini, tanggung jawab berada pada dokter muda itu sendiri, dan masih terdapat target-target yang harus dicapai oleh dokter muda dalam 1 tahun proses internship ini. Knowledge sharing juga sangat kental dirasakan pada tahapan ini, salah satu contoh adalah kegiatan morning report (seperti pada program kepaniteraan klinik), presentasi kasus, serta proses konsultasi ke dokter spesialis dan proses rujukan. Selain itu, hubungan antara dokter umum yang baru dilantik dan dokter umum senior juga menggambarkan adanya proses knowledge sharing. Pengalaman dan jam terbang dokter senior sangat dibutuhkan bagi dokter-dokter muda, dan oleh karena itu knowledge sharing menjadi penting dalam program-program Internship. Secara umum, perilaku knowledge sharing harus lebih dioptimalkan untuk mencapai kualitas pelayanan kesehatan yang tinggi pada rumah sakit. Knowledge sharing juga berperan dalam mencapai kinerja yang tinggi pada dokter-dokter yang bertugas di rumah sakit maupun dokter-dokter yang berprofesi sebagai pengajar. Namun apa yang menyebabkan para dokter bersedia dalam berbagi pengetahuan? Untuk membantu menjelaskan perilaku knowledge sharing ini peneliti menggunakan Theory of Reasoned Action (TRA) dan Theory of Planned Behavior (TPB) dari Fishbein dan Ajzen (1985). TPB merupakan pengembangan dari TRA, dan kedua teori ini sangat banyak digunakan untuk menjelaskan berbagai perilaku individu termasuk di bidang kesehatan, baik perilaku positif maupun perilaku negatif. Berdasarkan TRA dan TPB, perilaku individu terbentuk dari attitude toward the behavior, subjective norm, dan perceived behavioral control. Ketiga faktor ini membentuk intensi atau niat terhadap suatu perilaku aktual. Dalam konteks penelitian ini knowledge sharing diduga dipengaruhi oleh attitude toward knowledge sharing, subjective norm toward knowledge sharing, dan perceived behavioral control toward knowledge sharing. Untuk lebih menjelaskan apa yang membuat dokter-dokter bersedia melakukan knowledge sharing, peneliti
7
menambahkan 2 faktor yang cukup penting dalam konsep knowledge sharing yaitu kultur organisasi dan tingkat penggunaan teknologi informasi/komunikasi. Kultur organisasi dipertimbangkan sebagai faktor eksternal individu yang memotivasi
perilaku
knowledge
sharing,
sedangkan
adanya
teknologi
informasi/komunikasi dipertimbangkan sebagai media komunikasi yang dapat mewujudkan terjadinya knowledge sharing. Dengan menggunakan perspektif-perspektif TRA, TPB, organizational culture dan teknologi informasi/komunikasi; penelitian ini akan menjelaskan secara lebih komprehensif faktor-faktor yang berperan dalam membentuk perilaku knowledge sharing pada dokter-dokter yang bertugas pada rumah sakit – rumah sakit di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur. Terdapat 9 rumah sakit yang akan dilibatkan dalam penelitian ini yang meliputi 2 rumah sakit pemerintah, 1 rumah sakit khusus, 2 rumah sakit TNI, 1 rumah sakit Polri, 1 rumah sakit swasta, dan 2 rumah sakit non provider. Tabel 1 memuat rumah sakit – rumah sakit yang berada dalam wilayah Kota Kupang. Tabel 1. Rumah Sakit di Kota Kupang, NTT Nama Rumah Sakit RSUD Johanes
Kelas RS Tipe B
RSUD Kota Kupang RSIA Dedari
Tipe C
3
Jenis Rumah Sakit RS pemerintah RS pemerintah RS khusus
4 5
RS TNI RS TNI
6 7
RS Polri RS swasta
RST Wirasakti RSAL Lantamal VII Kupang RS Bhayangkara RS Mamami
No 1 2
8
Tipe C Tipe D Tipe C Tipe C Tipe D
RS non RS ST. Carolus Tipe D provider(IGD) Boromeus RS Kartini Tipe D 9 RS non provider(IGD) Sumber: Kantor Dinas Kesehatan Kota Kupang
Alamat Jl. Moch.Hatta 19, Kupang Jl. Timor raya 134, Pasir panjang Jl. Rantai Damai No. 69D, Kupang Jl. Moch.Hatta, Kupang JL. Yos sudarso No.5 Namosain Kupang Jl. Nangka, Kupang Jl. Wolter Monginsidi 3, Pasir panjang, Kupang Jl. HR. Koroh Km.08, Kupang Jln.Frans Seda, Kupang
8
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Faktor-faktor apa yang menentukan intensi atau niat terhadap perilaku knowledge sharing pada dokter-dokter yang bertugas di rumah sakit? 2. Faktor apakah yang paling dominan yang menentukan intensi atau niat terhadap perilaku knowledge sharing pada dokter-dokter yang bertugas di rumah sakit?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan permasalahan, penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut: 1. Menguji pengaruh attitude toward knowledge sharing terhadap intention to knowledge sharing 2. Menguji pengaruh subjective norm to knowledge sharing terhadap intention to knowledge sharing 3. Menguji pengaruh perceived behavioral control to knowledge sharing terhadap intention to knowledge sharing 4. Menguji pengaruh organizational culture terhadap intention to knowledge sharing 5. Menguji pengaruh level of ICT use terhadap intention to knowledge sharing 6. Menguji pengaruh variabel-variabel attitude toward knowledge sharing, subjective norm to knowledge sharing, perceived behavioral control to knowledge sharing, organizational culture, dan level of ICT use secara bersama-sama terhadap intention to knowledge sharing
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini dapat memperkaya pemahaman tentang teori knowledge sharing, dan secara umum memberikan kontribusi pada literatur knowledge management untuk meningkatkan keunggulan kompetitif yang berkelanjutan. Manfaat praktis dari penelitian ini adalah membantu manajemen rumah sakit
9
untuk mendorong perilaku berbagi pengetahuan di kalangan dokter dalam rangka mendapatkan sumber daya manusia yang bernilai dan tidak mudah ditiru oleh rumah sakit lain.
E. Keaslian Penelitian Penelitian sejenis sudah pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Penelitian yang serupa dengan penelitian ini antara lain adalah sebagai berikut: 1. Penelitian tentang pengelolaan intranet untuk mendorong knowledge sharing oleh Stoddart (2001). Penelitian Stoddart hanya memfokuskan pada teknologi informasi dan komunikasi. Perbedaan penelitian Stoddart dengan penelitian ini adalah: penelitian ini tidak hanya pada aspek teknologi, melainkan juga pada aspek perilaku individu terutama faktor-faktor yang memotivasi perilaku knowledge sharing, baik secara internal maupun eksternal. 2. Penelitian tentang membangun suatu knowledge sharing company pada sektor perusahaan asuransi oleh Widen-Wulff dan Suomi (2002). Penelitian WidenWulff dan Suomi ini membangun sebuah model fungsional knowledge sharing yang menekankan pada learning organizational, proses bisnis, infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi. Perbedaan penelitian Widen-Wulff dan Suomi dengan penelitian ini adalah: penelitian ini lebih melihat pada faktor motivasi yang menghasilkan perilaku knowledge sharing pada diri individu. 3. Penelitian tentang iklim kolaboratif dan keefektivan dari pekerjaan yang berbasis pengetahuan oleh Sveiby dan Simons (2002). Penelitian Sveiby dan Simons khusus membahas iklim kolaboratif yang dibutuhkan dalam knowledge
management.
Lebih
dalam
lagi,
Sveiby
dan
Simons
mengembangkan instrumen untuk mengukur iklim kolaboratif. Perbedaan penelitian Sveiby dan Simons dengan penelitian ini adalah: penelitian ini mengadopsi dan sekaligus menguji indikator yang dikembangkan oleh Sveiby dan Simons untuk mengukur organizational culture yang menjadi salah satu variabel independen. 4. Penelitian tentang perilaku knowledge sharing pada tenaga medis di rumah sakit oleh Ryu, Ho, dan Han (2003). Penelitian Ryu, Ho, dan Han bertujuan
10
menjelaskan secara empiris perilaku knowledge sharing pada tenaga medis dengan mengadopsi teori-teori psikologi sosial seperti TRA dan TPB. Perbedaan penelitian Ryu, Ho, dan Han dengan penelitian ini adalah pada penggunaan 2 variabel independen lain yang menjadikan kerangka konsep lebih komprehensif yaitu dengan menambahkan organizational culture dan tingkat penggunaan teknologi informasi dan komunikasi yang menjadi fasilitator terbentuknya knowledge sharing. Selain itu, dalam penelitian ini mengembangkan variabel-variabel yang digunakan oleh Ryu, Ho, dan Han dengan penggunaan dimensi-dimensi yang lebih spesifik. 5. Penelitian tentang peran line managers sebagai fasilitator knowledge sharing dalam sebuah tim oleh MacNeil (2003). Perbedaan penelitian MacNeil dengan penelitian ini adalah: penelitian ini menggunakan faktor yang lebih luas sebagai fasilitator dalam knowledge sharing, yaitu kultur organisasi dan teknologi informasi dan komunikasi. 6. Penelitian tentang peran dari kepercayaan yang berdasarkan affect dan cognition dalam complex knowledge sharing oleh chowdhury (2005). Penelitian chowdhury hanya mengkhususkan pada faktor-faktor motivasi secara internal dari dalam diri individu terutama cara membangun suatu kepercayaan yang sangat dibutuhkan dalam prosees knowledge sharing yang kompleks. Perbedaan penelitian chowdhury dengan penelitian ini adalah: penelitian ini membangun rerangka konsep yang tidak hanya melibatkan faktor-faktor motivasi secara internal dari dalam diri individu, melainkan juga pada faktor motivasi eksternal dan teknologi informasi. 7. Penelitian kualitatif tentang attitude dokter terhadap knowledge transfer and sharing oleh Jabr (2007). Perbedaan penelitian Jabr dengan penelitian ini adalah pada disain risetnya. Penelitian ini menggunakan riset kuantitatif. 8. Penelitian tentang imbas dari kultur organisasi dan teknologi informasi terhadap knowledge sharing oleh Issa dan Haddad (2007). Penelitian Issa dan Haddad ini bertujuan memahami faktor-faktor yang mempengaruhi knowledge sharing pada perusahaan kontsruksi. Perbedaan penelitian Issa dan Haddad dengan penelitian ini adalah pada penggunaan variabel yang lebih lengkap.
11
Penelitian Issa dan Haddad hanya memfokuskan pada peran kultur organisasi dan teknologi informasi saja, sedangkan penelitian ini melibatkan faktorfaktor internal individu (faktor psikologial) yang mendorong perilaku knowledge sharing. 9. Penelitian tentang sebuah model teoritikal yang terintegrasi untuk menentukan perilaku knowledge sharing oleh Wu dan Zhu (2012). Model teoritis yang dikembangkan oleh Wu dan Zhu hanya mendasarkan pada rerangka TRA dan TPB. Perbedaan penelitian Wu dan Zhu dengan penelitian ini adalah: penelitian ini lebih terintegrasi dan lebih komprehensif, karena menambahkan aspek kultur dan teknologi informasi serta pengembangan dimensi salah satu variabel independen yang lebih spesifik.