BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Hidup sekarang merupakan sebuah rumah makan dengan jumlah pilihan tak terbatas.Mau hobi, liburan, gaya hidup, pandangan-dunia atau agama, selalu ada sesuatu bagi setiap orang....Secara sederhana, kita telah mencapai tahap di dalam pluralisasi dimana pilihan tidak hanya masalah peristiwa tetapi merupakan sikap budi...Perubahan telah menjadi hakikat kehidupan. (Os Guinness)1 Pluralisasi yang dilukiskan Os Guinness telah dirumuskan oleh Peter Ludwig Beger sebagai proses yang dengannya jumlah pilihan di dalam suasana pribadi masyarakat moderen secara cepat berlipat ganda pada semua tahap, khususnya pada tingkat pandangan akan dunia, iman dan ideologi.2 Dalam kenyataan hidup keseharian yang senantiasa berproses dan berhadapan dengan banyak pilihan, baik sebagai manusia maupun institusi dituntut untuk mampu menyesuaikan.3 Penyesuaian baik dalam cara pandang terhadap dunia, iman, ideologi dan berelasi dengan pihak lain. Penyesuaian ini tentunya berkaitan dengan sebuah kesadaran bahwa adanya sebuah realitas (baca: kenyataan) yang berkembang dalam masyarakat.4 Kenyataan Indonesia yang plural adalah fakta sosio-antropologik yang tak terbantah.5 Masyarakatnya
yang majemuk baik dari segi budaya, kesukuan,
1
Os Guinness adalah seorang penulis dan kritikus sosial. Lahir di China 30 september 1941. ( Sumber dari www.Osguinness.com) 2 Linda Smith Dan William Raeper, Ide–Ide Filsafat dan Agama Dulu dan Sekarang. (Yogyakarta: Kanisisus, 2000), 206 3 Bonie Payong, Sambodo, Agama Dalam Himpitan Zaman Sebuah Refleksi Atas Kristianitas Masa Kini. (Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama, 2003), 48. 4 Ibid 5 Sa’id Aqiel Siradj , “Basis Teologis Kerukunan Umat Beragama: Perspektif Islam”, Trialog Hindu,Kristen dan Islam (Bali: Institute For Syriac Christian Studies /ICCS , 2000), 41
1
keagamaan/kepercayaan dan sebagainya memunculkan banyak konsekuensi. Salah satunya adalah adanya perjumpaan antara yang satu dengan yang lain (the others). Perjumpaan antara pengikut agama yang satu dengan pengikut agama yang lain. Perjumpaan ini tidak bisa dielakkan dan ini merupakan keniscayaan. 6 Dalam perjumpaan dengan yang lain (baca: pengikut agama yang lain) diketahui bahwa truth claim dimiliki oleh umat yang berbeda.7 Dan klaim-kebenaran masing-masing agama ini bersaing , selalu berada berdampingan dan semuanya menyatakan sebagai yang benar. Dan hal ini bisa menimbulkan masalah dalam memahami bagaimana “agama” dimengerti dalam sebuah masyarakat. 8 Khususnya masyarakat yang majemuk seperti Indonesia. Titaley mengatakan bahwa pluralitas masyarakat Indonesia merupakan suatu tantangan dan sekaligus peluang yang jarang sekali terjadi dalam sejarah umat manusia, terutama dalam perspektif keagamaan. Tantangan karena keragaman agama dapat menjadi sumber bagi lahirnya konflik dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, termasuk juga beragama.9 Peluang karena kalau keragaman agama ini bisa ditangani dengan tepat maka konflik bisa berubah menjadi dukungan moral, etis dan spiritual yang positif bagi kehidupan masyarakat, berbangsa, bernegara dan beragama.10 Hidayat mengatakan bahwa keberagaman dalam masyarakat Indonesia, khususnya dalam paham keagamaan yang beragam dianggap sebagai kekayaan budaya bangsa. Sekalipun di pihak lain ada yang merasa tidak happy dengan keragaman ini, khususnya dalam bidang agama. Menurutnya, keberagaman di Indonesia ini harus diberi ruang yang sama di depan hukum bagi warganya, apapun agamanya dan apapun etnisnya.11
6
Komaruddin Hidayat , “Memahami Kebenaran Yang Lain Sebagai Upaya Pembaharuan Hidup Bersama” , Pengantar Memahami Kebenaran Yang Lain Sebagai Upaya Pembaharuan Hidup Bersama (Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 2010), 21 7 Ibid 8 Linda Smith Dan William Raeper, ibid , 206 9 John A. Titaley, Religiositas di Alinea Tiga: Pluralisme, Nasionalisme dan Transformasi Agama-Agama, (Salatiga: Satya Wacana University Press, 2013), 43 10 Ibid 11 Pengantar Memahami Kebenaran...., 23
2
Berdasarkan pendapat Titaley dan Hidayat, dapat ditarik sebuah pengertian bahwa oleh karena perjumpaan dengan yang lain tidak bisa dihindari (baca: antara penganut agama yang satu dengan penganut agama yang lain) dan bisa menimbulkan peluang dan konflik maka dalam perjumpaan dan interaksi antara satu dengan yang lain harus diberi ruang yang sama. Masing-masing memiliki dan diberi hak yang sama, hak untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya. Apapun latar belakang kesukuan, status sosial, keagamaan dan lain-lain. Dalam konteks perkawinan, setiap individu dalam interaksinya dengan individu yang lain juga harus mendapatkan ruang yang sama. Tidak boleh ada perbedaan. Apapun latar belakang kesukuan, status sosial bahkan keagamaan. Interaksi antar individu (baca: dalam konteks perkawinan pasangan beda agama) ini haarus diberi ruang yang sama dalam ranah publik oleh karena
perkawinan
merupakan sesuatu yang mendasar dalam kehidupan manusia. Seperti pendapat David C.Thomas dan Kerr Inkson yang mengatakan bahwa perkawinan merupakan kebutuhan mendasar dari kemanusiaan. Selain kebutuhan mendasar, menurut David dan kerr, perkawinan adalah sebuah watak dasar manusia dengan segala kompleksitasnya. Seperti adanya kebutuhan-kebutuhan dasar, baik yang bersifat jasmaniah maupun rohaniah :
kebutuhan makan untuk memenuhi rasa lapar,
mengatasi rasa sakit, kebutuhan seksual, kebutuhan akan tempat tinggal, berkeluarga , membesarkan anak-anak , dan sebagainya.12 Dengan pemahaman yang demikian maka interaksi individu yang berbeda keyakinan dalam sebuah perkawinan tetap diupayakan untuk mendapatkan ruang yang sama dalam publik. Oleh karena perkawinan menjadi bagian dari kemanusiaan seseorang maka adalah hal yang tak terhindarkan ketika seorang pria dan wanita, khususnya pasangan yang berbeda agama
sepakat untuk menjalin relasi cinta kasih yang
kemudian dilanjutkan ke relasi yang lebih serius yaitu perkawinan. Akan tetapi dalam kenyataan, untuk mewujudkan harapan tersebut mereka (baca: pasangan beda agama) terkendala oleh beberapa hal, seperti: kendala administratif baik di
12
Siti Syamsiyatun, “Agama dan Kebebasan Dapatkah Bersanding?” dalam rumpun tulisan : Memahami Kebenaran Yang Lain Sebagai Upaya Pembaharuan Hidup Bersama . (Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 2010) , 120
3
Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil dan juga kendala
pengesahan
perkawinan sesuai hukum agama mereka masing-masing. Pencatatan perkawinan bagi pasangan beda agama di luar Kota Salatiga masih menjadi polemik, mengalami banyak kendala , bahkan masih terjadi penolakan.
Akan tetapi berbeda dengan yang terjadi di Kota Salatiga. Dinas
kependudukan dan Pencatatan Sipil Salatiga
sebagai pejabat pemerintah telah
melaksanakan pencatatan perkawinan (khusus: pasangan beda agama) sejak tahun 2000 sampai dengan tahun 2014. Sejak tahun 2000 sampai dengan tahun 2014, Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil
Kota Salatiga telah beberapa kali
mengalami pergantian Kepala Dinas. Akan tetapi kebijakan yang diambil berkenaan pencatatan
perkawinan
khusus
beda
agama
tetap
sama.
Apa
alasan-
alasan/pertimbangan Kepala Dinas dan Kependudukan Pencatatan Sipil sebagai pejabat pemerintah ini bersedia melaksanakan pencatatan perkawinan pasangan beda agama. Padahal beberapa Dinas Kependudukan Dan Pencatatan Sipil diluar Salatiga menolak mencatatkan, khususnya pasangan perkawinan beda agama. Berangkat dari kenyataan diatas , penulis tertarik untuk meneliti apa alasanalasan Kepala Dinas Kependudukan Dan Pencatatan Sipil Salatiga dalam melakukan pencatatan perkawinan, khususnya bagi pasangan beda agama. Berdasarkan penjelasan tersebut maka judul tesis yang akan diteliti adalah: PENCATATAN PERKAWINAN PASANGAN BEDA AGAMA (STUDI SOSIO-HUKUM TERHADAP ALASAN-ALASAN KEPALA DINAS KEPENDUDUKAN DAN PENCATATAN SIPIL KOTA SALATIGA DALAM MENCATATKAN PERKAWINAN PASANGAN BEDA AGAMA ANTARA TAHUN 2000-2014) B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang dan pemahaman di atas, maka rumusan masalah yang diangkat adalah :
4
1. Bagaimana prosedur Pencatatan Sipil Perkawinan Pasangan Beda Agama yang dilakukan oleh Kepala Dinas Dan Kependudukan Pencatatan Sipil Kotamadya Salatiga? 2. Apa Alasan-alasan Kepala Dinas Dan Pencatatan Sipil Kotamadya Salatiga mencatatkan Perkawinan Pasangan Beda Agama? C. TUJUAN PENELITIAN 1. Mendeskripsikan prosedur Pencatatan Perkawinan Pasangan Beda Agama di Kotamadya Salatiga 2. Mendeskripsilan Alasan-Alasan Kepala Dinas Dan Pencataan Sipil Kotamadya Salatiga mencatatkan Perkawinan Pasangan Beda Agama? D. MANFAAT PENELITIAN Melalui kajian tesis ini, diharapkan dapat memberikan sumbangsih teoretis dan praktis bagi Dinas kependudukan dan pencatatan sipil Kota Salatiga, Pemerintah Kota Salatiga, Pengadilan Kota salatiga, Instansi keagamaan baik yang ada di kota Salatiga maupun yang ada disekitarnya dan juga Universitas Kristen Satya Wacana. E. METODE PENELITIAN 1. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian Deskriptif – Kualitatif yaitu dengan mendeskripsikan secara sistematis, kritis, faktual, akurat berkaitan dengan fenomena yang ada dengan pelbagai variabel yang diteliti. Metode ini berusaha menggambarkan secara obyektif, factual, apa adanya.
13
Langkah-langkah yang ditempuh adalah sebagai
berikut: a.
Pengumpulan Data
13
Imam Suprayogo dan Tobroni, Metode Penelitian Sosial-Agama (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003), 136-137.
5
Pengumpulan data bertumpu pada dua sumber utama yaitu wawancara dan dokumen-dokumen tertulis yang berkaitan dengan masalah penelitian ini. 1.) Observasi Dalam langkah ini peneliti melakukan observasi dengan cara menentukan siapa-siapa yang dapat dijadikan informan atau nara sumber kompeten dalam subyek penelitian yang diharapkan dapat memberikan gambaran yang jelas. Nara sumber yang dipilih adalah salah satu petugas aparatur negara, dalam hal ini Kepala Dinas Kependudukan Dan Pencatatan Sipil Kota Salatiga periode tahun 2000-2014 di Salatiga. Langkah lain yang diambil adalah dengan cara melakukan studi pustaka yang berkenaan dengan masalah penelitian guna mendukung memberikan landasan teori penelitian. 2.) Wawancara Wawancara yang digunakan adalah wawancara mendalam (indepth interview). Tipe wawancara mendalam ini bersifat terbuka demi memperoleh informasi yang kaya, bervariasi dan mendalam dari orang-orang yang kompeten dalam bidang yang diteliti mengenai pandangan, informasi, keterangan mereka.14 3.) Studi Dokumen Dokumen-dokumen
yang
relevan
seperti
:
Undang-undang
perkawinan, Undang-Undang Administrasi Kependudukan, surat-surat keputusan Dinas kependudukan dan Pencatatan Sipil Salatiga yang berkaitan dengan pencatatan perkawinan pasangan beda agama dan dokumen-dokumen keagamaan yang mendukung penelitian tersebut. 4.) Analisa Data
14
Bruce L. Berg, Qualitative Research Methods: For The Social Sciences (Messachusetts: Needham Heights, 1989), 16-17.
6
Dalam analisa data, penulis mengintepretasikan data factual yg terjadi dilapangan dengan menggunakan teori yang ada untuk melihat kesesuaian data lapangan dengan teori. Untuk menjamin validasi data maka penulis menggunakan validasi data dengan menggunakan model Trianggulasi. Trianggulasi adalah sebuah model (pengukuran, pengamatan, teori dan Metode) untuk melihat obyek dari berbagai perspektif sehingga memberi pandangan yang lebih akurat tentang hal tersebut.15 b. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di kalangan Dinas Kependudukan Dan Pencatatan Sipil Salatiga . Waktu penelitian dilakukan pada bulan Juli 2015 – Januari 2016.
15
W. Lawrence Neuman, Sosial Research Methods: Qualitative & Quantitative Approaches (New York: Allyn & Bacon, 2004), 137-139.
7
8