BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta tuntutan pola hidup, masyarakat Indonesia dituntut untuk beraktivitas serba cepat. Pola hidup demikian juga berpengaruh pada pola makan masyarakat yang cenderung untuk memilih makanan siap santap daripada mengonsumsi nasi. Makanan siap santap tersebut dinilai dapat menghemat waktu serta lebih praktis jika dibandingkan dengan mengonsumsi nasi. Makanan siap santap yang bersifat praktis contohnya roti tawar. Roti tawar dalam pembuatannya memerlukan bahan baku berupa tepung terigu. Tepung terigu mengandung gluten yang berperan penting dalam menahan gas hasil fermentasi sehingga menyebabkan volume roti menjadi besar (Hung and Morita, 2004). Selain itu gluten juga berperan dalam membentuk tekstur pada roti (Sandstedt, 1961). Tepung terigu diperoleh dari gandum, yang sulit tumbuh di Indonesia. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan tepung terigu nasional, Indonesia biasa mengimpor gandum dari berbagai negara di dunia. Impor gandum pada tahun 2014 mencapai 7,7 juta ton dan pada tahun 2015 sampai dengan September 2015 yaitu 5,6 juta ton (Kementrian Pertanian, 2015). Dengan adanya impor gandum yang semakin meningkat, maka diperlukan upaya untuk mengurangi penggunaan tepung terigu yang berbahan baku gandum. Salah satu upaya yang dilakukan yaitu dengan membuat tepung yang berasal dari umbi-umbian. Tapioka merupakan salah satu bahan yang berpotensi sebagai substitusi tepung terigu dalam pembuatan roti. Tapioka memiliki komposisi kimia pati 73,3-84,9%, lemak 0,08-1,54%, protein 0,03-0,60%, dan abu 0,020,33% (Rickard et al., 1992). Tapioka merupakan pati yang terbuat dari ubi kayu. Ubi kayu merupakan komoditas yang keberadaannya cukup melimpah di Indonesia. Berdasarkan data BPS (2015), produksi ubi kayu di Indonesia pada tahun 2014 mencapai 23,4 juta ton dan pada tahun 2015 produksi ubi
1
2
kayu mencapai 22,9 juta ton. Selain bahan bakunya yang cukup melimpah di Indonesia, tapioka memiliki beberapa kelebihan lain seperti harganya yang lebih terjangkau dibanding terigu serta warna dan flavor netral yang menyebabkan tapioka banyak dimanfaatkan sebagai bahan baku maupun aditif di industri pangan (Syamsir dkk, 2012). Roti tawar merupakan produk pangan dari tepung terigu yang dibuat melalui tahapan proses pengadonan, fermentasi, dan pemanggangan. Bahan yang berperan penting dalam pembuatan roti tawar adalah jenis protein gluten yang terdapat dalam tepung terigu (Suhardi, 1989 dalam Basuki dkk, 2013). Saat ini, produksi roti dan kue di Indonesia setiap tahunnya meningkat. Menurut Kementrian Perindustrian (2016) produksi roti dan kue pada tahun 2011 mencapai Rp 9,5 milyar, pada tahun 2012 mencapai Rp 12,5 milyar, dan pada tahun 2013 mencapai Rp 18,2 milyar. Jumlah produksi roti tawar di Indonesia tahun 2001 mencapai 19,5 juta buah, pada tahun 2002 mencapai 14,9 juta buah dan pada tahun 2003 mencapai 25,1 juta buah (BPS, 2005 dalam Setyawan 2006). Peningkatan produksi roti tawar tersebut terjadi akibat meningkatnya jumlah populasi manusia, sehingga terjadi peningkatan kebutuhan untuk mengonsumsi roti tawar. Peningkatan konsumsi roti tawar berpengaruh pada meningkatnya kebutuhan tepung terigu sebagai bahan pembuatan roti tawar. Penggunaan tapioka dalam industri pangan, misalnya sebagai bahan pada pembuatan roti tawar. Tapioka memiliki potensi sebagai substitusi tepung terigu dalam pembuatan roti tawar. Pada penelitian Basuki dkk (2013) tapioka digunakan sebagai bahan substitusi tepung terigu dengan penambahan gliserol monostearat. Penelitian tersebut menyebutkan bahwa substitusi tepung tapioka yang semakin besar dengan penambahan gliserol monostearat pada pembuatan roti tawar menyebabkan menurunnya kadar air dan menurunkan kesukaan panelis pada roti tawar tersebut. Substitusi tapioka 30% menyebabkan ketidaksukaan panelis pada roti tawar tersebut. Pada penelitian Jensen et al. (2015) susut berat dari roti dengan substitusi 30% tapioka yang berasal dari tepung singkong manis dan asam menghasilkan nilai
3
yang lebih besar daripada susut berat dari roti yang disubstitusi 30% tepung singkong varietas Lafu dan Mogo. Pembuatan
roti
tawar
dengan
menggunakan
tapioka
masih
menghasilkan sifat-sifat roti tawar yang kurang optimal, sehingga terdapat beberapa penelitian menggunakan pati yang sudah dimodifikasi sebagai bahan substitusi terigu dalam pembuatan roti tawar. Pada penelitian Miyazaki et al. (2005) roti yang dibuat dari tapioka modifikasi yaitu dari substitusi 20% hydroxypropylated tapioca starch (HTS) dapat menghasilkan roti yang lebih lembut (soft) dibandingkan dengan roti substitusi 20% tapioka alami atau tanpa modifikasi dan 100% terigu selama penyimpanan. Selain itu, roti yang dibuat dari substitusi acetylated tapioca starch (ATS) dan phosphorylated cross-linked tapioca starch (PTS) menghasilkan roti yang lebih kokoh (firm) dari tapioka aslinya. Pada penelitian Uzomah dan Ibe (2011) menyebutkan bahwa substitusi 10% tapioka modifikasi dengan asetilasi menghasilkan baking expansion yang tinggi serta volume spesifik yang lebih tinggi dibandingkan dengan tapioka alami pada pembuatan roti substitusi tersebut. Sensoris yang dihasilkan juga menunjukkan kesukaan panelis pada roti dengan substitusi tapioka modifikasi asetilasi dan roti dengan substitusi tapioka oksidasi dibandingkan roti substitusi tapioka alami. Tapioka modifikasi dengan whey keju memiliki swelling power yang lebih besar 12,10 g/g dibandingkan tapioka tanpa modifikasi sebesar 7,96 g/g. Daya serap air tapioka modifikasi whey keju juga lebih besar 1,61 g/g, daripada tapioka tanpa modifikasi 1,61 g/g (Andyva, 2016). Swelling power yang besar menunjukkan kemampuan pati untuk mengembang ketika diberi perlakuan suhu (Erika, 2010). Sehingga swelling power yang besar akan berpengaruh pada pengembangan roti yang akan dihasilkan. Volume air yang digunakan dalam pembuatan roti harus tepat, sehingga akan membentuk adonan dengan sifat viskoelastisitas yang optimal. Pada pembuatan roti tawar penambahan air harus sesuai dengan daya serap air yang dimiliki suatu tepung yang menjadi bahan dalam pembuatan roti tawar, karena akan menghasilkan adonan yang terhidrasi dan mengembang dengan baik setelah difermentasi
4
(Rauf dkk, 2015). Peningkatan swelling power dan daya serap air setelah tapioka diberi perlakuan atau modifikasi tersebut diharapkan mampu menghasilkan roti tawar dengan pengembangan yang besar serta elastis. Kajian mengenai tekstur roti tawar secara sensoris, tekstur secara instrumental, dan sifat fisik roti tawar substitusi tapioka modifikasi menggunakan whey keju belum pernah dilakukan. Menurut Andyva (2016) whey hasil pengolahan keju masih memiliki kandungan asam laktat yang dapat digunakan sebagai asam untuk memodifikasi pati. Kandungan asam laktat tersebut sebesar 0,18%. Whey dianggap sebagai limbah industri pangan, hasil pengolahan keju. Karena kandungan whey yang masih bisa dimanfaatkan, maka whey dapat dijadikan bahan untuk memodifikasi tapioka yang selanjutnya akan dilakukan pembuatan roti tawar dengan substitusi tapioka modifikasi untuk mengurangi penggunaan tepung terigu. Penelitian seperti ini diperlukan untuk menjadikan roti tawar substitusi tapioka modifikasi sebagai salah satu produk pangan yang diminati konsumen, sehingga dapat menjadikan salah satu cara untuk meningkatkan potensi ubi kayu secara maksimal. Penelitian ini bertujuan untuk membuat roti tawar substitusi tapioka modifikasi yang kemudian dikarakterisasi baik tekstur roti secara sensoris, tekstur secara instrumental, dan sifat fisik yang akan menghasilkan formula terpilih yang selanjutnya akan dibandingkan dengan roti tawar substitusi tapioka tanpa modifikasi. B. Perumusan Masalah 1. Bagaimana tekstur roti tawar secara sensoris (springiness, cohesiveness, hardness, chewiness, dan overall) dari terigu yang disubstitusi tapioka modifikasi? 2. Bagaimana
tekstur
roti
tawar
secara
instrumental
(springiness,
cohesiveness, hardness, chewiness, dan modulus elastisitas) dari terigu yang disubstitusi tapioka modifikasi?
5
3. Bagaimana sifat fisik roti tawar (volume adonan, volume spesifik adonan, volume roti, volume spesifik roti, tingkat pengembangan, dan susut berat) dari terigu yang disubstitusi tapioka modifikasi? 4. Bagaimana perbandingan tekstur roti tawar secara sensoris, tekstur roti tawar secara instrumental serta sifat fisik roti tawar substitusi tapioka modifikasi terbaik dengan roti tawar substitusi tapioka tanpa modifikasi?
C. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui tekstur roti tawar secara sensoris (springiness, cohesiveness, hardness, chewiness, dan overall) dari terigu yang disubstitusi tapioka modifikasi. 2. Mengetahui
tekstur
roti
tawar
secara
instrumental
(springiness,
cohesiveness, hardness, chewiness, dan modulus elastisitas) dari terigu yang disubstitusi tapioka modifikasi. 3. Mengetahui sifat fisik roti tawar (volume adonan, volume spesifik adonan, volume roti, volume spesifik roti, tingkat pengembangan, dan susut berat) dari terigu yang disubstitusi tapioka modifikasi. 4. Mengetahui perbandingan tekstur roti tawar secara sensoris, tekstur roti tawar secara instrumental serta sifat fisik roti tawar substitusi tapioka modifikasi terbaik dengan roti tawar substitusi tapioka tanpa modifikasi.
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat sehingga dapat memberikan informasi kepada masyarakat tentang roti tawar yang dibuat dari terigu yang disubstitusi dengan tapioka modifikasi yang dapat menghasilkan roti tawar yang dapat diterima konsumen, serta memberikan informasi kepada masyarakat untuk memanfaatkan potensi ubi kayu secara maksimal. Dengan demikian, penggunaan terigu yang masih merupakan komoditas impor dapat berkurang, sehingga nilai guna produk pertanian lokal akan meningkat serta dapat meningkatkan diversifikasi produk pangan di Indonesia.