BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Upaya perbaikan gizi masyarakat disebutkan dalam undang-undang No 36 tahun 2009 bertujuan untuk meningkatkan mutu gizi perseorangan dan masyarakat, antara lain melalui perbaikan pola konsumsi makanan, perbaikan perilaku sadar gizi dan peningkatan akses dan mutu pelayanan gizi dan kesehatan sesuai dengan kemajuan ilmu dan teknologi. Menurut Kementerian Kesehatan RI dalam laporan target Millenium Development Goals (MDGs) dibidang kesehatan yang berhubungan dengan kemiskinan dan kelaparan menyatakan salah satu tujuan paling penting adalah penurunan prevalensi gizi kurang dan gizi buruk. Berdasarkan tujuan tersebut, maka salah satu target dalam MDGs ke empat yaitu berhubungan dengan penurunan kematian balita dan merupakan target paling menentukan adalah penurunan prevalensi kasus gizi kurang dan gizi buruk (Bappenas RI, 2010). Terkait dengan hal tersebut bahwa pencapaian penurunan prevalensi gizi kurang dan gizi buruk dalam MDGs pada tahun 2015 adalah sebesar 15,0% dan 3,5% (Endang, 2011). Jumlah balita yang mengalami gizi buruk di Indonesia terus menurun sejak tahun 2004 sampai tahun 2007. Tahun 2010 dilaporkan secara nasional sudah terjadi penurunan prevalensi gizi buruk yaitu menjadi 4,9%, dan balita stunting yaitu menjadi 35,6%. Tetapi prevalensi gizi kurang masih menunjukkan angka yang sama dari keadaan tahun 2007 yaitu masih sebesar 13,0% (Kemenkes RI, 2010a). Walaupun secara nasional terjadi penurunan prevalensi masalah gizi, tetapi masih terdapat 18 provinsi diatas prevalensi nasional, dan Provinsi Aceh termasuk 10 besar dengan masalah gizi. Keadaan prevalensi gizi di Propinsi Aceh dari laporan Riskesdas 2010 menurut indikator BB/U sebesar 7,1% mengalami gizi buruk dan sebesar 16,6% mengalami gizi kurang. Prevalensi sangat pendek menurut Indikator TB/U sebesar 24,2% dan balita yang pendek sebesar 14,8% serta prevalensi kekurusan pada balita yaitu menurut indikator BB/TB yaitu sebesar 6,3% sangat kurus dan 7,9% kurus (Kemenkes RI, 2010a).
1
2
Dalam mencapai tujuan RPJMN 2010-2014 pada bidang kesehatan, Kementerian Kesehatan telah menetapkan rencana strategi yang memuat berbagai indikator keluaran yang harus dicapai, baik bersifat kebijakan maupun strategis. Didalam perbaikan gizi terdapat delapan indikator yang telah ditetapkan, dua diataranya yaitu 100% balita gizi buruk dirawat dan kabupaten/kota melakukan surveilans gizi (Kemenkes, 2010b). Dalam Pemantauan Status Gizi diperlukan suatu penilaian terhadap status gizi yang bersumber dari baku rujukan. Untuk mengetahui besarnya masalah gizi pada suatu populasi umumnya digunakan indikator status gizi yang merefleksikan suatu kekurangan gizi (Kemenkes, 2011). Pemantauan Status Gizi (PSG) sebagai salah satu komponen Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) telah dilakukan semenjak Pelita IV dengan tujuan memberikan informasi gambaran besaran masalah gizi kurang(Depkes, 2000). Berdasarkan UU RI No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 2007 tentang Pembiayaan Urusan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Propinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota menegaskan, bahwa informasi status gizi memegang peranan penting dalam menentukan perencanaan program di daerah. Pengembangan data serta sistem informasi kesehatan di kota/kabupaten adalah sebagai pendukung pengambilan keputusan manajemen baik perbaikan pelayanan maupun program kesehatan secara langsung. Pengumpulan data yang baik serta memadai dan seharusnya dilakukan secara rutin oleh pemegang program atau kegiatan survei, tetapi data atau informasi tidak teranalisis secara baik atau tidak dapat diakses secara tepat waktu dan untuk pemakai yang benar (Depkes, 2002). Menurut Lei (2002), pencatatan dan pelaporan merupakan indikator dari keberhasilan suatu kegiatan. Tanpa ada pencatatan dan pelaporan, apapun bentuk program gizi yang dilakukan akan meperoleh manfaat yang kurang baik. Hasil dari pencatatan dan pelaporan merupakan sebuah data dan informasi yang berharga dan bernilai bila menggunakan metode yang tepat dan benar. Sehingga, data dan informasi merupakan sebuah unsur terpenting, karena data dan informasilah yang berbicara tentang keberhasilan suatu program.
3
Selain itu Mutalazimah (2009), menyimpulkan peningkatan kinerja dan performance dari sistem pelaporan dan informasi pemantauan status gizi diperlukan pengembangan sistem informasi berbasis komputer dengan pendekatan spasial dimana pembuatan software yang digunakan untuk memudahkan input data, proses pengolahan dan analisis data, pembuatan pelaporan hasil kegiatan secara lebih lengkap dan cepat serta penyajian data berupa pemetaan wilayah berdasarkan indikator distribusi cakupan gizi baik, gizikurang dan gizi buruk. Lebih lanjutHinman et al. (2005) menyimpulkan bahwa informasi yang tepat waktu, kelengkapan dan keakurasian yang tinggi dapat meningkatkan proses pelayanan kesehatan, akan tetapi kenyataan dilapangan hal tersebut masih jarang dijumpai seperti data yang tidak lengkap, informasi yang terpisah serta tidak pada waktunya.Penelitian yang dilakukan oleh Alfred (2010), menyimpulkan bahwa suatu perencanaan program penanggulangan gizi lebih baik, maka diperlukan keberadaan informasi/data permasalahan gizi yang memadai dan berkualitas di setiap tingkat administrasi, pengambil keputusan di setiap tingkat menggunakan informasi yang akurat dan evidence base dalam menentukan kebijakannya. Untuk menghasilkan suatu sistem pencatatan dan pelaporan yang baik, tepat waktu dan akurat maka salah satu solusinya adalah adanya tool yang dapat menghasilkan sistem informasi yang handal. Dalam pemantauan status gizi, salah satu kegiatannya adalah melakukan proses penimbangan dan pencatatan yang ditujukan untuk mengumpulkan data secara antropometri pada balita yang dimulai dari tingkat desa (Posyandu) yang kemudian dikirim ke puskesmas. Di tingkat puskesmas data tersebut diolah untuk pengambilan keputusan dalam perencanaan, pengawasan dan pengendalian serta penilaian program gizi. Oleh karena itu data yang dikumpulkan harus merupakan fakta yang ada (evidence based). Menurut Iswon (2010), bahwa data yang tepat dan akurat adalah sebagai kunci dalam pengambilan keputusan yang tepat dan terarah, sehingga dalam memperoleh, mengolah sampai pelaporan data tenaga kesehatan perlu ditunjang oleh pengetahuan, keterampilan, serta kemampuan baik dari segi teknis maupun manajemen serta sarana pengolah data baik dalam bentuksoftware maupun hardwarepada komputer.Menurut Sartika (2009) bahwa
4
data yang telah dikumpulkan dari hasil penimbangan di Posyandu harus merupakan data yang akurat, tepat waktu dan relevan, sehingga hasil dari proses pengolahan memberikan suatu informasi yang berkualitas. Proses sistem informasi gizi masyarakat atau dikenal dengan PSG dimulai dari pengumpulan data dilapangan kemudian pengolahan dengan menggunakan teknologi informasi sehingga data tersebut menghasilkan informasi yang baik. Selain itu, ditemukan ketidaklengkapan
dalam
pengisian
format
maupun
dalam
pengukuran
antropometri. Pengisian yang tidak lengkap serta kesalahan dalam pengukuran indikator antropometri sangat berpengaruh terhadap pengolahan data dengan menggunakan software komputer. Faktor lain yang mendukung adalah sumber daya manusia, menurut Mock & Manson (1999) sumber daya manusia sangat mempengaruhi program kerja, hasil penelitiannya menyebutkan bahwa rendahnya kualitas sumber daya manusia menjadi faktor penghambat berhasilnya program pemantauan dan pertumbuhahan balita. Sebaran masalah gizi di Provinsi Aceh dan dampaknya terhadap kualitas sumber daya manusia, pencegahan dan penanggulangan masalah gizi merupakan program yang perlu mendapat perhatian khusus, sehingga berbagai upaya perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan sampai tahap evaluasi harus dilaksanakan secara berkesinambungan pada semua tingkatan administrasi baik dari dimulai tingkatan kecamatan, kabupaten/kota sampai provinsi, dengan tujuan untuk menghasilkan kualitas informasi data gizi yang memadai sebagai pendukung dalam pengambil keputusan (Irasahwadi, 2008). Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh khususnya di Seksi Gizi, kegiatan pemantauan status gizi dilakukan pada 11puskemas dan tersebar didalamnya 90 gampoeng/desa. Hasil cakupan penimbangan tahun 2009 dari 37% balita yang ditimbang sebesar 81,6% balita mengalami naik berat badan dan balita yang mengalami BGM sebanyak 110 orang dan mempunyai satu kecamatan yang rawan gizi. Sedangkan berdasarkan PSG, balita yang mengalami gizi buruk dan kurang sebesar 15,5%, balita yang mengalami stunting sebesar 38,8% serta balita yang mengalami kekurusan sebesar 10,3% (Dinkes Kota Banda Aceh, 2009).
5
Dari kegiatantersebut pengolahan dan analisis data hasilPSG yang dilakukan oleh Tenaga Pelaksana Gizi (TPG) pada masing-masing puskesmas masih dilakukan secara manual, mulai dariproses input data, proses penghitungan statusgizi, sampai pada interpretasipengkategorian status gizi yang tentu sajaini membutuhkan
waktu
yang
relatif
lebihlama
dan
memberikan
peluang
kesalahaninput data serta kesalahan penghitunganyang akan dapat mempengaruhi hasilanalisis dan pengambilan keputusan.Seperti data penimbangan balita dari posyandu setiap akhir bulan direkap perkelurahan setelah itu diserahkan ke Koordinator Gizi Puskesmas yang selanjutnya direkap menjadi laporan tingkat puskesmas. Cara pengolahan data perkelurahan tersebut dilakukan masih dengan teknik semi-manual menggunakan Microsoft Office Excellataukalkulator. Jumlah petugas gizi setiap puskesmas rata-rata 2 (dua) atau sampai dengan tiga (tiga) orang tiap-tiap puskesmas, 1 (satu) petugas gizi biasanya mengolah data 4 (empat) sampai 5 (lima) kelurahan setiap bulannya dengan rata-rata jumlah penimbangan balita setiap kelurahan mencapai rata-rata 250 balita, dengan kondisi tersebut pengolahan data menjadi laporan tingkat puskesmas membutuhkan waktu kurang lebih seminggu.Hasil interview dengan pengelola program gizi di Dinas Kota Banda Aceh, mengemukakan bahwa selama ini data gizi yang merupakan laporan dari tingkat puskesmas sering terlambatke tingkat dinas dan dari segi kelengkapan data status gizi balita, dari tiga indikator hanya indikator BB/TB yang ada sedangkan indicator BB/U dan TB/U hampir tidak ada.Ini merupakan suatu masalah yang harus segera dibenahi, jika tidak maka berbagai upaya untuk menghasilkan kualitas informasi data gizi masih belum mendukung dalam pengambil keputusan dan kebijakan. Permasalahan diatas, yang terjadi pada TPG di masing-masing puskesmas bisa diminimalkan melalui pembenahan dalam pemantauan status gizi balita yang didalamnya meliputi pencatatan dan pelaporan dengan cara yang mudah dan hanya membutuhkan waktu yang relatif singkat yaitu dengan cara melakukan pengolahan data gizi secara komputerisasi untuk menghasilkan kualitas data serta pelaporan gizi ke tingkat kota/kabupaten menjadi lebih cepat, tepat dan akurat. Selain itu, menurut de Onis et al. (2007), bahwa dalam upaya
6
untuk meningkatkan validitas data pelaporan status gizi balita baik input, dataimpor maupun output, sangat disarankan bagi bidang yang terkait untuk menggunakan softwareWHOAnthro. Sampai saat ini menurut Siswono (2010), Kemenkes RI melalui Direktorat Bina Gizi telah melakukan pelatihan pengguna (End-User) dengan berbagai metode dalam penilaian pertumbuhan balita mulai dari tingkat nasional, provinsi, dan seterusnya berjenjang kebawah dengan harapan pada akhir tahun 2012 seluruh Tenaga Pelaksana Gizi di Puskesmas sudah siap dan terampil menjadi End-userWHO Anthro. Akan tetapi permasalahan yang muncul di Provinsi Aceh, hampir semua TPG baik di puskemas maupun di tingkat dinas kota/kabupaten belum mendapatkan hal yang dimaksud, akan tetapi hanya sebatas dalam bentuk sosialisasi yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Propinsi tahun 2008 dan Politeknik Kesehatan Kemenkes Aceh pada tahun 2009. Berdasarkan permasalahan yang ada serta untuk mewujudkan tujuan Direktorat Bina Gizi untuk menjadikan TPG sebagai end-user WHO Anthro, maka mengingat Tenaga Pelaksana Gizi di Puskesmas adalah ujung tombak dalam menginput data hasil pengukuran antropometri yang menjadi sumber data bagi dinas kesehatan, dan menjadikan fondasi dari data status gizi. Sehingga diharapkan, tenaga gizi di puskesmas dapat menciptakan sebuah informasi data yang akurat, representatif dan reliabel tentunya hal tersebut akan terjawab apabila tenaga gizi di puskesmas mendapat pelatihan sehingga mempunyai kualitas dan kuantitas dalam mengoperasionalkan software WHO Anthro sebagai tool dalam menghasilkan data, menganalisis serta melakukan pelaporannya.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang serta kondisi permasalahan diatas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu “Bagaimanakah efektivitaspelatihan standar pertumbuhanWHOterhadap persepsi TPG dan kualitas informasi data status gizi balita antara menggunakan softwareWHO Anthrodengan yang berbasis manual ?” C. Tujuan Penelitian
7
1. Tujuan Umum Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan efektivitas pelatihan standar pertumbuhanWHOantara yang berbasis software WHO Anthrodengan yang berbasis manualterhadap persepsi TPG dan kualitas informasi data status gizi balita.
2. Tujuan Khsusus a. Mengukur
perbedaanpelatihan
standar
pertumbuhanWHOberbasis
softwareWHO Anthro terhadap peningkatan persepsi TPG dan kualitas informasi data status gizi balita. b. Mengukur
perbedaan
pelatihan
standar
pertumbuhanWHOberbasis
manualterhadap peningkatan persepsi TPG dan kualitas informasi data status gizi balita. c. Membandingkan efektivitas pelatihan standar pertumbuhanWHOterhadap persepsi TPG tentang kualitas informasi data status gizi balita antara yang berbasis softwareWHO Anthrodengan yang berbasis manual. d. Membandingkan efektivitas pelatihan standar pertumbuhanWHOterhadap kualitas informasi data status gizi balita antara yang berbasis softwareWHO Anthrodengan yang berbasis manual.
D. Manfaat Penelitian 1. Sebagai sumbangan pemikiran untuk pengembangan ilmupendidikan, khususnya yang berkaitan dengan penerapan aplikasi penilaian status gizi dilapangan untuk kepentingan program Pemantuan Status Gizi (PSG) dalam sistem pelaporan data status gizi balita. 2. Sebagai bahan pertimbangan dan pedoman bagi Dinas Kesehatan Propinsi, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, serta Puskesmas tentang pentingnya penggunaan
standar
pertumbuhanWHOkhususnya
yang
berbasis
softwareWHO Anthrountuk peningkatan kualitas data dalam sistem pelaporan status gizi balita di Provinsi Aceh.
8
3. Dengan informasi tentang penggunaan standar pertumbuhanWHOberbasis softwareWHO Anthro, diharapkan kedepan supaya Tenaga Pelaksana Gizi (TPG) dalam melakukan pelayanan gizi masyarakat dan menjadikannya sebagai salah satu bahan atau buku rujukan untuk pelaksanaan program PSG yang tidak terlepas dari sistem pencatatan dan pelaporan baik di Puskesmas maupun Dinas Kesehatan. 4. Sebagai bahan evaluasi bagiTPG di Puskesmas, sehingga dapat lebih menghasilkan data-data yang akurat, representatif dan reliabel serta tingkat validitas datanya dapat dipertanggungjawabkan dalampelaksanaan program PSG
E. Keaslian Penelitian Penelitian
berkaitan
dengan
pengaruhpelatihan
standar
pertumbuhanWHOterhadap kualitas informasi data status gizi balita, sampai saat ini belum pernah ada yang melakukan. Beberapa penelitian yang dilakukan oleh peneliti lain dan berkaitan dengan penelitian ini yaitu : 1. Iswon (2008), melakukan penelitiantentang pengaruh pelatihan dan penerapan sistem informasi terpadu program KIA-GIZI berbasis komputer terhadap kualitas informasi di Dinas Kesehatan Kabupaten AGAM. Perbedaan dengan penelitian ini ialah terdapatnya penerapan sistem informasi program KIA-GIZI serta menggunakan setting ulang database. Persamaannya adalah sama-sama mengukur pengetahuan dan keterampilan petugas serta subjek dan desain yang digunakan. 2. Alfred (2010), melakukan penelitian tentang prototipe sistem pencatatan dan pelaporan program gizi berbasis web pada puskesmas di Dinas Kesehatan Gorontalo. Perbedaan dengan penelitian ini adalah terletak pada perancangan prototipe berbasis web, serta penggunaan desain dan pendekatan penelitian. Persamaannya adalah sama-sama melihat output dari pencatatan dan pelaporan yang berkaitan dengan pemantauan status gizi. 3. Sartika (2009), melakukan penelitian tentang evaluasi kesuksesan sistem informasi gizi di Dinas Kesehatan Kota Padang. Perbedaan dengan penelitian
9
ini terdapat pada pendekatan metode dan rancangan penelitian serta penggunaan open source (lokal, baku rujukan NCHS). Persamaan yang terlihat yaitu menggunakan unit analisis yang sama yaitu tenaga gizi, dan tujuan dari masing-masing open source sama yaitu untuk melakukan penilaian status gizi. 4. Herman, A (2010) mengkaji tentang kualitas pencatatan dan pelaporan data program Jamskesmas di Kabupaten Kutai tahun 2009. Persamaan yang terlihat dengan penelitian ini adalah mengkaji tentang kualitas data dari kegiatan atau program kesehatan, sedangkan yang membedakannya yaitu pada penggunaan metode dan jenis penelitian yaitu menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif dengan jenis penelitian studi kasus dan bersifatdeskriptif.