BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Signifikansi peran public relations dalam organisasi semakin nyata urgensinya dalam kurun beberapa tahun terakhir. Secara umum, kinerja sistem public relations seperti dinyatakan oleh Rus melibatkan dua subsistem utama yang berpusat pada lingkup internal dan eksternal organisasi (Petrovici, 2014, hal. 80). Dalam lingkup internal, public relations bertanggungjawab terhadap proses membentuk dan menjaga hubungan di dalam organisasi sehingga memungkinkan terbentuknya iklim internal yang harmonis, sedangkan di lingkup eksternal public relations bertanggungjawab untuk membentuk hubungan jangka panjang dengan para publiknya. Kesadaran akan signifikansi peran public relations mendorong organisasi menempatkannya sebagai fungsi yang terpisah dari fungsi-fungsi lain dalam organisasi. Fungsi public relations yang mulanya kerap disandingkan dengan fungsi pemasaran dan sumber daya manusia kini berdiri sebagai fungsi terpisah yang fokus utama kinerjanya berpusat pada upaya membangun dan mengembangkan hubungan jangka panjang antara organisasi dan para konstituennya (Hon dan Grunig, 1999). Konstituen merupakan sekelompok individu yang berada dalam kondisi serupa, sedangkan publik merupakan bagian dari konstituen yang lebih spesifik. Seperti yang diungkapkan oleh Grunig dan Repper, secara konseptual publik didefinisikan sebagai kelompok stakeholder yang diterpa isu tertentu mengenai organisasi (Grunig, 1992). Hubungan antara organisasi dan publik dimaknai oleh Ledingham dan Bruning (1998) sebagai kondisi yang terjadi antara organisasi dan publik-publik utamanya (key publics) dengan tindakan yang dilakukan oleh satu pihak dapat memengaruhi pihak lain. Pengaruh tersebut dapat mewujud baik dalam aspek ekonomi, sosial, politik, atau budaya. Kinerja public relations berfokus pada upaya untuk menjaga stabilitas kondisi dan menciptakan hubungan yang harmonis sehingga dapat mencegah stakeholder berubah menjadi publik. Perspektif relasional ini sejalan
1
pula dengan definisi konseptual public relations untuk membangun dan menjaga hubungan dua arah yang saling menguntungkan (mutually beneficial relationships) bagi organisasi dan publik (Cutlip, Center, dan Broom, 2000). Seiring perkembangannya, kehadiran media baru memberi warna dalam dinamika hubungan antara organisasi dan publik. Sejumlah kajian secara optimis meyakini bahwa media baru mampu mendukung terciptanya hubungan positif antara organisasi dan publik, serta memungkinkan terwujudnya model simetris dua arah (two-way symmetrical) yang selama ini dianggap utopis dan mustahil diwujudkan (Grunig, 2009; Kelleher, 2007). Optimisme ini menguat seiring meningkatnya penetrasi social media di masyarakat yang memengaruhi dinamika komunikasi dan hubungan interpersonal. Kehadiran fisik dalam satu ruang yang sama kini tidak lagi menjadi prekondisi atas praktik komunikasi interpersonal. Melalui jaringan social media setiap individu dapat terhubung satu sama lain secara virtual. Dalam konteks organisasi dan publik, social media memungkinkan mereka “bertemu” dalam ruang virtual sekaligus memediasi interaksi di antara keduanya. Organisasi dan publik dapat berkomunikasi secara langsung tanpa melibatkan pihak lain
sebagai
gatekeeper
dalam
proses
komunikasi
yang
dijalankan.
Konsekuensinya, pola proses komunikasi yang terjadi antara organisasi dan publik pun mengalami perubahan. Bagi publik, kehadiran social media memungkinkan mereka dapat menyampaikan keluhan, pertanyaan, dan opininya secara langsung kepada organisasi dalam konteks real-time. Adapun bagi organisasi, social media tidak hanya berfungsi sebagai media diseminasi informasi yang cepat dan murah, melainkan juga dapat digunakan untuk memelajari tren kompetitor, kondisi pasar, serta memahami keinginan publik. Pemanfaatan social media oleh organisasi utamanya digunakan untuk menjalin hubungan yang harmonis dengan publik. Di antara beragam platform, Twitter menjadi salah satu kanal komunikasi antara organisasi dan publik. Hingga akhir tahun 2011, penetrasi jumlah pengguna Twitter di Indonesia mencapai lebih dari 49 juta pengguna yang kemudian menempatkan Indonesia sebagai negara dengan jumlah pengguna Twitter terbanyak nomor lima di dunia. Akibatnya, semakin
2
banyak organisasi yang kemudian membuat akun Twitter resmi perusahaan (official corporate Twitter account) untuk berkomunikasi dengan publiknya di media baru. Terlepas dari fungsi social media sebagai medium diseminasi informasi, tekanan kekuatan social media berpusat pada prinsip kolaborasi, berbagi (sharing), partisipasi, dan pemberdayaan (Vasquez dan Velez, 2011). Social media memberikan peluang bagi organisasi untuk melibatkan publik dalam proses komunikasi yang bersifat dialogis (Rybalko dan Seltzer, 2010). Berangkat dari gagasan-gagasan tersebut idealnya model komunikasi simetris dua arah antara organisasi dan publik dapat terwujud. Akan tetapi, faktanya aktualisasi model komunikasi dua arah yang dimediasi oleh social media tidak dapat diwujudkan dengan mudah. Utopia keseimbangan relasi antara organisasi dan publik perlu dikaji ulang. Sejumlah persoalan baik di tataran publik maupun organisasi berkaitan dengan hubungan di antara keduanya dihadapkan pada sejumlah persoalan yang kompleks. Pada tataran publik, optimisme terhadap gagasan model komunikasi simetris dua arah pada praktiknya menghadapi sejumlah tantangan. Faktanya, relasi antara organisasi dan publik tidak pernah berjalan seimbang. Proses komunikasi yang disampaikan oleh organisasi dijalankan secara terorganisir baik dalam konteks media tradisional maupun media baru. Kondisi ini berbeda dengan publik dalam media baru yang relatif tersebar (Breakenridge, 2008). Pesan yang disampaikan oleh publik kepada organisasi melalui Twitter dapat saja diabaikan karena prinsipnya organisasi memiliki kuasa untuk menjawab, menyebarkan, atau bahkan mengabaikan pesan tersebut. Akibatnya, medium lain seperti surat pembaca, fitur status di akun social media user, dan mailing list menjadi pilihan publik untuk menyalurkan aspirasinya. Aspirasi yang disampaikan oleh publik melalui mediummedium tersebut kemudian dapat berkembang lebih besar hingga tidak dapat dikontrol oleh organisasi (Grunig, 2009). Ironisnya, kerap kali kondisi ini mendorong public relations organisasi untuk cenderung lebih responsif menanggapi aspirasi yang disampaikan oleh publik melalui medium tersebut dibandingkan akun Twitter organisasi.
3
Pada tataran organisasi, pertumbuhan pengguna social media di masyarakat mendorong praktisi public relations memanfaatkan platform tersebut untuk berkomunikasi dengan publik, salah satunya melalui Twitter. Idealnya, penggunaan Twitter oleh organisasi seharusnya tidak semata didasarkan pada tren modernitas usaha saja karena Twitter dapat berguna sebagai platform promosi sekaligus koneksi sosial (Smith, 2010). Meskipun demikian, pengukuran kinerja public relations dalam menggunakan Twitter sebagai media untuk menjalin hubungan dengan publik cenderung masih dilakukan secara terbatas. Hubungan antara organisasi dan publik kerap diukur hanya dengan menggunakan indikator jumlah follower, retweet, listed, dan interaction yang diterima oleh akun Twitter organisasi. Padahal, hubungan tidak dapat diukur hanya dengan menggunakan data statistik saja. Di luar organisasi, sejumlah ajang penghargaan berupaya menjadi evaluator tambahan dalam menakar hubungan antara organisasi dan publik, salah satunya “Social Media Awards”. “Social Media Awards” merupakan ajang penghargaan yang diberikan oleh lembaga konsultan komunikasi bagi industri yang dianggap mampu memanfaatkan social media dengan baik. Akan tetapi, ajang penghargaan tersebut cenderung melakukan pengukuran secara terbatas. Pertama, indikator pengukuran utamanya dihitung dari jumlah percakapan dan brand awareness di antara para user social media. Kedua, ajang penghargaan tersebut cenderung memerlakukan seluruh bidang industri secara seragam tanpa memerhatikan perbedaan karakter antara satu bidang industri dan lainnya padahal dinamika aktivitas public relations yang dilakukan oleh masing-masing industri jelas berbeda. Akibatnya, menakar hubungan melalui data statistik tersebut saja dianggap tidak cukup representatif. Hubungan antara organisasi dan publik direpresentasikan oleh pola interaksi, transaksi, pertukaran, dan kaitan (linkage) di antara keduanya (Broom et al., 2000). Oleh karena itu, pengukuran kinerja public relations dalam membangun relasi antara organisasi dan publik semestinya dilakukan secara tepat dengan memerhatikan aspek mutualitas kontrol, komitmen, kepuasan, kepercayaan, serta bentuk hubungan yang dijalin oleh organisasi dan publik (Hon dan Grunig, 1999).
4
Basis kajian mengenai hubungan antara organisasi dan publik dapat ditelusuri melalui sejumlah literatur. Yang (2005) mengkaji dampak hubungan organisasi dan publik terhadap reputasi organisasi dari perspektif publik di Korea Selatan. Kajian lain dilakukan oleh Jo (2003) yang menguji indikator pengukuran hubungan antara manufacturer dan retailer di Korea Selatan. Terakhir, Edman (2010) mengkaji hubungan antara organisasi dan publik dengan menganalisis 47 akun Twitter perusahaan di Amerika. Meskipun mengambil objek yang berbeda, namun seluruh kajian tersebut mengambil konteks negara maju dan belum ada kajian yang secara spesifik mengukur hubungan organisasi dan publik di negara berkembang. Padahal, standar prinsip kerja public relations tidak hanya diaplikasikan secara global melainkan harus memerhatikan kesesuaiannya dengan konteks lokal (Sriramesh dan Vercic, 2009). Lebih lanjut, secara metodologis penggunaan metode analisis isi untuk menakar hubungan antara organisasi dan publik terbilang baru dan masih jarang digunakan. Selama ini, penekanan kajian hubungan yang berpusat pada persepsi publik menyebabkan survei menjadi kerangka metodologis utama yang digunakan para peneliti. Selain itu, penggunaan metode studi kasus yang digunakan untuk mengkaji hubungan dari perspektif organisasi cenderung sarat akan bias subjektivitas organisasi. Penelitian ini berupaya menakar hubungan antara organisasi dan publik melalui corporate tweets lima perusahaan dari tiga bidang industri yaitu perbankan, telekomunikasi, dan otomotif sepanjang kurun dua minggu menjelang Idul Fitri 2014. Pemilihan ketiga bidang industri didasarkan pada pertimbangan bahwa bidang-bidang tersebut merupakan tiga bidang yang berperan vital bagi aktivitas masyarakat pada kurun waktu objek penelitian. Adapun setiap bidang direpresentasikan oleh masing-masing dua akun Twitter perusahaan yaitu Astra Honda Motor (@welovehonda), BNI (@BNI46), BCA (@HaloBCA), Telkomsel (@Telkomsel), dan XL Axiata (@XL123). Khusus bagi industri otomotif hanya direpresentasikan oleh satu perusahaan karena keterbatasan peneliti menelusuri data tweets perusahaan. Di bidang telekomunikasi, akun @XLAxiata dan @Telkomsel merupakan dua akun Twitter dengan catatan jumlah tweet, following, dan follower terbanyak
5
dibandingkan akun perusahaan telekomunikasi lain seperti Indosat Mentari (@indosat) dan Indosat IM3 (@indosatmania). Akun @Telkomsel tercatat memiliki 1,2 juta tweets, 27.500 following, dan 576.000 followers, sedangkan akun @XL123 tercatat memiliki 91.400 tweets, 49.400 following, dan 1 juta followers, jauh lebih banyak dibandingkan akun Twitter @Indosat yang hanya memiliki 19.300 tweets dan @indosatmania yang diikuti oleh 395.000 followers. Di bidang perbankan, akun @HaloBCA dan @BNI46 juga tercatat memiliki jumlah statistik yang lebih besar dibandingkan akun perbankan lain seperti Mandiri (@Bankmandiri) dan BRI (@BankBRI_ID). Hingga saat ini, akun @HaloBCA memiliki 168.000 tweets, 27.500 following account, dan 576.000 followers, sedangkan @BNI46 memiliki 62.400 tweets, 28.100 following account, dan 332.000 followers. Jumlah tersebut jauh mengungguli akun Twitter @Bankmandiri yang hanya memiliki 9.482 tweets dan @BankBRI_ID yang hanya mengikuti 3 following account. Di bidang otomotif, posisi Astra Honda Motor sebagai pemimpin pasar sepeda motor di Indonesia dikukuhkan pula oleh capaiannya di social media. Akun @welovehonda menempati posisi puncak dalam ajang Social Media Awards 2013 diikuti oleh akun @yamahaindonesia miliki Yamaha Indonesia Motor. Akun @welovehonda tercatat telah mengirimkan 50.000 tweets, 1.049 following account, dan diikuti oleh 251.000 followers. Menyusul setelahnya, akun @yamahaindonesia memiliki 62.000 tweets, 407 following account, dan 213.000 followers. Meskipun demikian,
ketidakmampuan
peneliti
untuk
memeroleh
data
tweet
akun
@yamahaindonesia sepanjang rentang waktu kajian menyebabkan hanya akun @welovehonda saja yang digunakan sebagai objek kajian. Lebih lanjut, dilihat dari kuantitas interaksi yang dilakukan oleh industri otomotif dengan publik di Twitter, akun @welovehonda bahkan mengungguli akun perusahaan sepeda motor lain seperti @suzukimotorID dengan 42.000 tweets dan @kawasakilovers yang bahkan hanya memiliki 3.466 tweets. Lebih lanjut, ketiga bidang industri yang menjadi objek kajian dalam penelitian ini seluruhnya merupakan bidang yang aktivitas operasionalnya berperan vital bagi masyarakat khususnya pada momen Idul Fitri. Industri otomotif sangat penting
6
utamanya karena sebagian besar pemudik cenderung menggunakan kendaraan pribadi. Signifikansi industri telekomunikasi semakin terasa pada momen Idul Fitri khususnya berkaitan dengan kualitas layanan paket mobile data yang kini bahkan menjadi kebutuhan primer masyarakat. Adapun industri perbankan berperan besar dalam mengatur putaran uang sepanjang masa Idul Fitri. Pengukuran hubungan organisasi dan publik dalam penelitian ini secara sekilas memang memiliki premis serupa dengan pengukuran Social Media Awards yaitu menempatkan ketiga industri secara sama. Meskipun demikian, perbedaan dengan Social Media Awards terletak pada titik tekan kerangka kajian yang digunakan. Apabila Social Media Awards menitikberatkan pada jumlah percakapan yang terjadi, maka penelitian ini menitikberatkan pada kualitas hubungan yang terbentuk melalui pola interaksi, transaksi informasi, dan kaitan antara organisasi dan publik. Lebih lanjut, hasil analisis dari penelitian ini dapat digunakan sebagai basis untuk menyusun instrumen pengukuran hubungan organisasi dan publik dengan titik tekan berbeda sesuai dengan karakter publik ketiga bidang industri dalam penelitian selanjutnya.
B. Rumusan Masalah Signifikansi hubungan antara organisasi dan publik telah lama disadari baik oleh organisasi maupun para pengkaji ilmu komunikasi. Meskipun demikian, pengukuran hubungan cenderung masih dilakukan secara terbatas dan parsial. Hubungan organisasi dan publik selama ini dilihat hanya dari sisi persepsi publik saja, atau perspektif perusahaan secara terpisah dan sarat bias. Penelitian ini berupaya menjawab rumusan masalah berikut: Sejauh mana hubungan antara organisasi dan publik yang dibangun melalui corporate tweets industri perbankan, otomotif, dan telekomunikasi sepanjang periode 21 Juli – 3 Agustus 2014?
7
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk: 1. Menakar hubungan antara organisasi dan publik melalui corporate tweets yang disampaikan
oleh
akun
Twitter
industri
perbankan,
otomotif,
dan
telekomunikasi. 2. Memetakan kecenderungan dimensi hubungan organisasi dan publik yang nampak dari corporate tweets akun Twitter industri perbankan, otomotif, dan telekomunikasi.
D. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini berada dalam dua tataran yaitu akademis dan praktis. Pada tataran akademis, kebaruan metode penelitian yang digunakan diharapkan dapat menjadi referensi basis metodologis yang dapat digunakan untuk mengembangkan kajian relasi antara organisasi publik. Selama ini, kajian pengukuran hubungan antara organisasi dan publik cenderung lebih banyak dilakukan dengan menggunakan metode survei untuk mengetahui persepsi publik dan studi kasus untuk memahami perspektif organisasi. Analisis isi kemudian menjadi kerangka metodologis yang dapat dikembangkan untuk melakukan kajian mengenai pengukuran hubungan antara organisasi dan publik secara lebih objektif. Pada tataran praktis, takaran hubungan antara organisasi dan publik melalui social media dapat digunakan untuk mengevaluasi kinerja public relations secara lebih komprehensif dalam proses membangun dan menjaga hubungan sehingga nantinya dapat memberikan keuntungan bagi kedua pihak.
E. Kerangka Pemikiran Media baru telah menjadi media komunikasi yang tidak dapat dipisahkan dalam keseharian praktik bermedia masyarakat. Bagi mayoritas masyarakat, media baru kini menjadi kebutuhan primer mengungguli media-media konvesional. Kondisi ini kemudian mengakibatkan adanya dampak struktural baik dalam tataran sosial, kultural, ekonomi, maupun politik. Dalam kaitannya dengan kajian public relations, kehadiran media baru mengubah lanskap pola hubungan antara organisasi dan
8
publik. Hubungan organisasi dan publik yang mulanya hanya dilakukan secara terbatas dalam bentuk promotional event, layanan purna jual, atau customer care kini berkembang dengan memanfaatkan basis manajemen relasional dengan konsumen. Seiring kehadiran dan popularitas social media, peluang organisasi untuk menjalin hubungan dengan publik semakin terbuka. Prinsip interaktivitas dan linearitas hubungan semestinya memungkinkan organisasi dan publik dapat mengembangkan hubungan yang menguntungkan kedua pihak.
1.
Perkembangan Media Baru dan Tren e-PR Tiga Bidang Industri Perkembangan media baru mengubah lanskap praktik komunikasi antara
organisasi dan masyarakat. Sebagai bagian dari media baru, internet kini menjadi kanal
utama
yang digunakan
masyarakat
untuk
berkomunikasi.
Prinsip
interaktivitas yang dimiliki oleh media baru memungkinkan setiap penggunanya terhubung dengan para pengguna lain dalam konteks real time. Pesan yang disampaikan oleh satu pengguna media baru dapat menyebar cepat dalam sebuah jaring virtual besar yang menghubungkan banyak pengguna tanpa mewajibkan adanya kehadiran fisik sebagai prekondisi. Dalam konteks dinamika hubungan antara organisasi dan publik, media baru memungkinkan proses interaksi di antara kedua pihak berjalan secara langsung dan dialogis. Public relations sebagai representasi fungsi manajemen komunikasi antara organisasi dan publik (Grunig dan Hunt, 1984, hal.6) dituntut untuk turut mampu menggunakan media baru sebagai kanal komunikasi dengan publik secara online. Adopsi media baru sebagai kanal komunikasi menghadirkan tren e-PR dalam fungsi kerja public relations. E-PR dikenal juga dengan istilah PR 2.0 atau public relations generasi kedua (Solis dan Breakenridge, 2009). Public relations dalam generasi ini berpusat pada perkembangan media baru dan peran yang dijalankan dalam proses komunikasi antara organisasi dan publik. Berbeda dengan kerja public relations tradisional yang terkesan berat sebelah, dalam konteks PR 2.0 public relations tidak dapat mengabaikan kehadiran dan kuasa publik dalam media baru. Peran public relations organisasi yang mulanya hanya dianggap sebagai tactical tools untuk memengaruhi koverasi publikasi media berkembang menjadi fungsi
9
manajemen strategis yang bertanggungjawab terhadap keterlibatan berbagai lapisan stakeholder organisasi. Prinsip dasar e-PR secara umum selaras dengan fungsi utama public relations yaitu untuk membantu tercapainya keseimbangan hubungan jangka panjang antara organisasi dan publik sasaran (Fischer dikutip oleh Petrovici, 2014). Dalam konteks hubungan online, publik memiliki kesempatan untuk berinteraksi dengan organisasi dan memeroleh respon langsung sehingga terdapat peluang kemungkinan terpenuhinya kepentingan kedua pihak. Kinerja public relations dalam konteks ePR berubah dari proses komunikasi yang mulanya bersifat monolog menjadi dialog (Solis dan Breakenridge, 2009, hal. 2). Berbeda dengan public relations tradisional yang cenderung menerapkan model komunikasi satu arah, interaktivitas yang ada dalam media baru memungkinkan terwujudnya proses komunikasi dua arah. Publik dapat merespon pesan yang disampaikan oleh organisasi melalui media baru secara langsung sehingga dialog antara organisasi dan publik dapat terus menerus diproduksi. Pemanfaatan media baru sebagai kanal komunikasi utamanya diaktualisasikan oleh oganisasi melalui social media. Istilah social media dimaknai sebagai aplikasi berbasis internet yang dibangun atas dasar ideologi dan teknologi web 2.0 serta memungkinkan adanya kreasi dan pertukaran konten dari pengguna (user generated content) (Kaplan dan Haenlein, 2010). Selaras dengan definisi tersebut, pemaknaan atas
konsep
social
media
secara
sederhana
dilakukan
pula
dengan
memertimbangkan bentuk platform teknologi yang populer digunakan di masyarakat
(Treem
dan
Leonardi,
2012).
Menelusuri
kembali
risalah
perkembangan social media, pada tahun 1999 platform blog seperti LiveJournal dan Blogger menjadi bentuk social media yang populer namun relatif digunakan masih secara terbatas oleh masyarakat. Pada tahun 2001, Wikipedia menjadi bentuk social media yang melibatkan banyak pengguna media baru untuk dapat terlibat dalam proses penyusunan konten. Popularitas penggunaan social media secara luas sendiri baru muncul pada tahun 2004 ketika situs jejaring sosial Facebook dan microblogging Twitter diluncurkan. Seiring perkembangan platform dan tingkat
10
adopsi teknologi, social media bergerak dari yang mulanya hanya digunakan secara terbatas oleh kalangan masyarakat tertentu menjadi lebih luas (Shirky, 2008). Signifikansi kebutuhan organisasi terhadap social media didasarkan pada gagasan bahwa social media mampu menjadi ruang sosial yang dapat memberikan hiburan, sekaligus kesempatan bagi konsumen untuk berpartisipasi aktif dalam proses komunikasi (Bercovici, 2010). Para praktisi public relations menggunakan berbagai social media platform untuk mendukung program e-PR yang dijalankan organisasi. Pada praktiknya, beberapa organisasi kerap hanya menggunakan beberapa platform saja, namun tidak sedikit pula organisasi yang menggunakan hampir seluruh social media platform. Pemilihan social media platform untuk mendukung program e-PR utamanya didasarkan pada pertimbangan keterjangkuan (affordance) atau kemampuan masing-masing platform mendukung program e-PR. Setiap jenis social media platform memiliki perbedaan tingkat keterjangkauan yang berbeda meskipun secara umum seluruhnya memiliki tingkat keterjangkauan yang tinggi dilihat dari faktor visibilitas, penyuntingan (editability), persistensi, dan asosiasi. Tabel 1.1 Perbandingan Tingkat Keterjangkauan Social Media (Treem dan Leonardi, 2012) Social Media
Contoh Aplikasi Publik
Level Keterjangkauan
Organisasi
Visibilitas
Penyuntingan
Persistensi
Asosiasi
Wikis
Wikipedia
MediaWiki
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Situs jejaring sosial
Facebook
IBM’s
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Social
Blue Blogs
Blogger
-
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Microblogging
Twitter
Yammer
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Perbedaan tingkat keterjangkauan social media di level visibilitas utamanya berpusat pada isu kemampuan platform untuk menampilkan informasi. Meskipun seluruh platform memiliki tingkat keterjangkauan yang tinggi, namun visibilitas yang dimiliki oleh setiap platform berbeda. Platform Wikis mampu menampilkan informasi dalam format teks dan grafik, sedangkan platform blog dapat
11
menampilkan informasi dalam format teks, video, atau audio serta memungkinkan media dimiliki secara personal. Social networking sites memiliki keterjangkauan visibilitas utamanya pada kemampuannya menampilkan status updates, daftar jaring pertemanan, serta memungkinkan adanya ekspresi opini dari para pengguna lain yang diaktualisasikan melalui fitur comment, share, atau like. Adapun tingkat keterjangkauan microblogging berpusat pada keterbatasan jumlah karakter teks, push content, serta jaringan pengguna lain dalam satu akun (following dan follower). Keterjangkauan atas penyuntingan konten informasi turut menjadi keunggulan berbagai social media platform secara umum, meski masing-masing platform memiliki level berbeda. Pada satu sisi, platform Wikis dan blog memiliki kemiripan dilihat dari adanya fitur yang memungkinkan pengguna melakukan penyuntingan konten. Akan tetapi perbedannya Wikis dilengkapi fitur risalah penyuntingan dan blog tidak memiliki fitur tersebut. Kondisi serupa terjadi pula pada platform situs jejaring sosial dan microblogging. Kedua platform sama-sama memungkinkan pemilik akun untuk menyunting konten. Meskipun demikian, perbedan terletak pada kemampuan pemilik akun untuk mengubah konten pengguna lain. Sebagai contoh, situs jejaring sosial Facebook memungkinkan pemilik akun menghapus komentar dari pengguna lain di akun Facebook miliknya, sedangkan microblogging Twitter tidak dilengkapi dengan fitur tersebut. Perbedaan tingkat keterjangkauan setiap platform di level persistensi ditunjukkan dari bentuk informasi yang disimpan oleh social media dalam satu waktu. Persistensi platform Wikis ditunjukkan melalui risalah aktivitas dan diskusi yang terjadi, sedangkan persistensi platform blog ditunjukkan melalui adanya tautan (link) antar konten yang berkaitan dan fitur yang disediakan untuk mengurutkan konten sesuai waktu. Persistensi platform situs jejaring sosial ditampilkan secara berbeda yaitu dalam format tampilan rangkaian aktivitas yang dilakukan oleh individu pada di akun jejaring sosial miliknya. Adapun persistensi platform microblogging ditampilkan dalam bentuk katalog entri konten yang bersifat tekstual, misalnya rangkaian tweets pemilik akun Twitter pada satu periode waktu.
12
Tingkat keterjangkauan asosiasi masing-masing platform meskipun seluruhnya relatif tinggi namun tetap memiliki perbedaan karakteristik. Asosiasi yang dimiliki oleh platform Wikis utamanya ditunjukkan melalui daftar editor dan kontribusi masing-masing di setiap entry informasi, sedangkan asosiasi platform blog ditunjukkan dengan adanya tautan ke laman blog lain (blog roll) serta tautan profil pengunjung blog yang meninggalkan komentar. Berbeda dengan kedua platform sebelumnya, situs jejaring sosial menampilkan asosiasi dalam bentuk tampilan relasional antarpengguna dalam jaring pertemanan (friend list), persetujuan pengguna lain melalui fitur like, share, atau komentar; serta aktivitas yang berkaitan dengan pemilik akun lain melalui fitur tagging. Asosiasi dalam platform microblogging ditunjukkan melalui tampilan aliran pertukaran pesan yang terjadi melalui fitur followers dan following, fitur retweet untuk menunjukkan reproduksi pesan dan mention untuk menyampaikan pesan secara spesifik, serta penggunaan tagar (#) untuk menunjukkan kontribusi pengguna microblogging terhadap topik tertentu. Penggunaan social media dalam praktik e-PR dilakukan dengan menekankan pada prinsip transparansi informasi, kecepatan respon, dan interaktivitas. Umumnya organisasi memanfaatkan social media platform sebagai basis pendukung program e-PR sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik industri yang digeluti. Karakteristik industri telekomunikasi yang sangat dekat kaitannya dengan teknologi digital mendorong program e-PR dilakukan dengan memanfaatkan social media. Perusahaan XL Axiata sebagai contoh, menggunakan platform blog dan microblogging sebagai media pendukung program e-PR. Corporate blog yang dikelola langsung oleh tim humas dan CEO XL Axiata menjadi media yang digunakan untuk menyampaikan gagasan personal CEO sebagai representasi perusahaan, serta informasi terbaru mengenai aktivitas perusahaan. Lebih lanjut, apabila sebelumnya perusahaan telekomunikasi cenderung menempatkan posisi customer service melalui layanan telepon sebagai garda depan penanganan konsumen, kini XL Axiata menggunakan situs microblogging Twitter sebagai media untuk berdialog secara langsung dengan publik, termasuk melayani keluhan konsumen.
13
Di bidang otomotif, komunalitas pengguna kendaraan bermotor menjadi ciri khas bidang industri ini. Selama ini, program public relations yang dikembangkan oleh industri otomotif cenderung berpusat pada upaya pengembangan hubungan komunitas yang diaktualisasikan antara lain melalui kegiatan temu komunitas (community gathering), touring, pertemuan dealer (dealers meeting), dan event. Menyadari bahwa upaya pengembangan komunitas cenderung bersifat personal, maka platform situs jejaring sosial dan microblogging banyak digunakan oleh para pelaku industri otomotif untuk mendukung program e-PR. Astra Honda Motor sebagai salah satu contoh pelaku industri otomotif memanfaatkan social media sebagai salah satu media pengembangan komunitas di media baru. Twitter digunakan untuk membangun kedekatan dengan publik misalnya melalui kuis, informasi kegiatan, serta dialog dengan publik secara personal dengan memanfaatkan fitur mention. Adapun Facebook digunakan untuk menyampaikan informasi baik yang berkaitan dengan produk, misalnya tips perawatan kendaraan; maupun informasi di luar produk seperti tips berkendara secara aman. Bagi industri otomotif, penangan keluhan konsumen cenderung tidak sepenuhnya dilakukan melalui social media karena umumnya keluhan yang berkaitan dengan kerusakan produk membutuhkan penanganan langsung dari para teknisi dan tidak bisa dilakukan sendiri oleh konsumen. Tren e-PR dalam industri perbankan memiliki karakteristik yang berbeda dibandingkan dua bidang sebelumnya. Dalam kurun lima tahun terakhir, industri perbankan
seolah
semakin
gencar
mengadopsi
teknologi
digital
untuk
mengembangkan kualitas layananannya, misalnya ditunjukkan melalui layanan ebanking. Meskipun demikian, karakteristik industri perbankan yang cenderung bersifat personal dan privat menyebabkan praktik e-PR yang dilakukan sangat berbeda dengan praktik e-PR industri telekomunikasi dan otomotif. Di antara berbagai social media platform yang ada, situs microblogging Twitter merupakan platform yang paling banyak digunakan oleh pelaku industri perbankan untuk menjalin komunikasi dengan publik. Meskipun demikian, arus interaksi yang terjadi cenderung masih terbatas. Hal ini disebabkan karena sensitivitas informasi privat yang disampaikan oleh konsumen seperti nomor rekening atau data diri lain
14
sebagai prosedur untuk menyelesaikan persoalan perbankan tidak mungkin disampaikan secara terbuka di Twitter. Selain itu, distribusi informasi cenderung masih dilakukan melalui website perusahaan dibandingkan melalui platform lain seperti situs jejaring sosial. Dalam kaitannya dengan teknologi digital, perusahaan seperti Bank Mandiri sebagai contoh, lebih banyak menggunakan platform aplikasi sebagai layanan perbankan dibandingkan social media.
2.
Corporate Twitter dan Kinerja Public Relations Popularitas penggunaan social media di masyarakat turut berdampak pada
kinerja public relations di era digital. Akses informasi yang terbuka mendorong organisasi untuk mengedepankan prinsip transparansi. Pada tataran ini, hubungan antara organisasi dan publik dipengaruhi oleh cara public relations membangun dialog. Social media dianggap mampu memediasi proses dialogis antara organisasi dan publik. Prinsip interaktivitas dalam social media memungkinkan setiap penggunanya dapat berbagi informasi melalui akun personal masing-masing. Selain itu, social media juga memungkinkan terbentuknya komunitas-komunitas online di sekitar organisasi sehingga dapat membantu organisasi untuk membangun dan menjaga relasi interpersonal dengan publiknya (Edman, 2010). Di antara berbagai platform social media yang ada, Twitter menjadi media komunikasi yang banyak digunakan organisasi untuk berkomunikasi dengan publik. Twitter merupakan situs microblogging yang memadukan jejaring sosial, blogging, dan pesan dalam satu medium (Miller, 2008). Microblogging menjadi bentuk komunikasi baru yang memungkinkan penggunanya mendeskripsikan kondisi atau statusnya saat itu dalam bentuk short post yang didistribusikan melalui pesan instan, mobile phone, email, atau website (Java et al., 2007). Twitter memungkinkan setiap pengguna untuk mengunggah pesan singkat hingga 140 karakter berisi pembaruan (quick updates), opini, atau informasi yang dikenal dengan istilah tweets (Evans, Twomey, Talan, 2011). Proses komunikasi di antara para pengguna terjadi dalam konteks real time, cepat, dan membutuhkan komitmen kontinuitas yang lebih kecil dibandingkan dengan bentuk social media lain seperti blog.
15
Twitter turut menjadi medium yang memungkinkan terciptanya kebebasan berekspresi bagi setiap penggunanya. Kebebasan ini berada dalam dua tataran yaitu kebebasan berpendapat dan kebebasan untuk memilih akun siapa saja yang akan diikuti (follow) dalam lini masanya. Ketika pengguna Twitter pertama kali membuat akunnya, maka pengguna tersebut memiliki kebebasan untuk menentukan akun siapa saja yang akan diikuti. Akan tetapi, berbeda dengan platform social media lain yang menekankan prinsip mutualitas dalam jaring pertemanan, praktik “following” di Twitter justru tidak bersifat mutual. Ketika seorang pengguna Twitter memutuskan untuk mengikuti akun tertentu (following), maka pengguna tersebut akan memeroleh update mengenai post yang diunggah oleh akun Twitter yang diikuti tersebut. Akan tetapi, akun yang diikuti oleh pengguna tersebut dapat memilih untuk mengikuti atau tidak mengikuti balik (follow back) akun followernya. Dalam konteks organisasi dan publik, publik dapat mengikuti akun Twitter resmi organisasi namun organisasi memiliki kuasa untuk mengikuti atau tidak mengikuti balik akun Twitter publiknya. Ketidakseimbangan hubungan ini menyebabkan simetri model komunikasi dua arah antara organisasi dan publik sulit diwujudkan. Kebebasan setiap pengguna untuk berpendapat memungkinkan Twitter menjadi medium keragaman opini. Twitter dianggap sebagai media yang memiliki kapasitas untuk melakukan bypass terhadap media konvensional. Tidak jarang, suatu informasi mulanya berkembang lebih dulu melalui Twitter kemudian diangkat menjadi isu yang lebih besar oleh media massa. Perbincangan yang dilakukan oleh para pengguna Twitter dengan menggunakan tagar (hashtag/#) dalam jumlah terbanyak memungkinkan topik diskusi tersebut menjadi trending topic yang mencuri perhatian para pengguna Twitter internasional.
16
Corporate Twitter
Identitas Nama Foto profil Sosial Bio
Konten Sumber Jenis Arah diskusi Isi Isu
Gambar 1.1 Dimensi Corporate Twitter (Edman, 2010)
Secara umum, Edman (2010) membagi dimensi Twitter korporasi menjadi dua bagian utama: a. Dimensi identitas Dimensi identitas mengungkap informasi berupa identitas yang ditampilkan oleh organisasi di laman homepage akun Twitternya. Identitas terdiri dari beberapa bagian yaitu nama organisasi sebagai pemilik akun Twitter, foto profil atau avatar, bio atau deskripsi singkat mengenai akun Twitter, serta sosial yang meliputi data statistik interaksi sosial organisasi dan para followers-nya.
b. Dimensi konten Dimensi konten berpusat pada isi pesan yang disampaikan oleh akun Twitter organisasi melalui tweet-nya. Konten terdiri dari lima sub-dimensi yaitu sumber pengirim tweet, jenis tweet, arah diskusi, isi pesan, serta isu dalam konten tweet. Sumber pengirim tweet dapat berasal dari organisasi itu sendiri, publik, atau bahkan instansi lain. Jenis pesan dapat berupa original tweet jika disusun dan dikirimkan oleh organisasi sendiri, retweet jika dikirimkan oleh pihak lain dan dikirimkan kembali oleh organisasi, serta reply apabila dikirimkan oleh organisasi untuk membalas tweet yang dikirimkan oleh akun Twitter lain. Idealnya, semakin banyak
17
tweet berjenis reply maka akan semakin interaktif pula hubungan antara organisasi dan publik. Arah diskusi berpusat pada arah aliran informasi yang terjadi dalam proses komunikasi. Arah diskusi dapat berasal dari organisasi kepada pengguna Twitter lain, pengguna Twitter kepada organisasi, atau bahkan dari organisasi ke instansi lain. Isi pesan berpusat pada format yang disampaikan dalam konten tweet apakah bersifat tekstual, visual, audio visual, atau menampilkan tautan (link). Isu menjadi elemen penting dalam mengkaji hubungan antara organisasi dan publik. Isu berpusat pada sifat konten tweet yang disampaikan dan dibagi menjadi tiga jenis yaitu promosi, informasi, dan umum. Isu tweet dikatakan bersifat promosional apabila tweet yang disampaikan berisi ajakan untuk menggunakan produk atau layanan yang disediakan oleh organisasi. Isu tweet dikatakan bersifat informatif apabila tweet memuat informasi mengenai layanan, produk, tips, dan informasi terkini organisasi. Adapun isu dikatakan bersifat umum apabila tweet yang disampaikan berisi informasi umum dan tidak berkaitan dengan aktivitas pemasaran organisasi. Pada praktiknya, penggunaan Twitter di kalangan praktisi public relations untuk menjalin hubungan dengan publik hadir bukan tanpa halangan. Idealnya, semakin banyak konten yang bersifat dua arah maka semakin baik pula hubungan antara organisasi dan publik. Simetri dua arah yang terjadi memungkinkan publik memeroleh ruang yang cukup untuk menyuarakan aspirasinya dan organisasi merespon aspirasi tersebut. Mengacu pada gagasan ini, social media seolah memungkinkan target publik dapat diraih secara lebih mudah. Dalam konteks media baru konsep publik sendiri agak sulit untuk dijelaskan secara pasti karena media baru memungkinkan siapa pun terlibat dalam diskusi. Akan tetapi, dalam penelitian ini publik dibagi menjadi dua jenis yaitu publik konsumen dan nonkonsumen. Publik konsumen merujuk pada pengguna Twitter yang berinteraksi dengan organisasi melalui corporate Twitter dalam diskusi yang berkaitan dengan aktivitas penjualan dan pemasaran produk, sedangkan publik non-konsumen merujuk pada pengguna Twitter yang merespon isu di luar penjualan dan pemasaran produk.
18
Prinsip interaktivitas dan karakteristik relasi horizontal yang terjadi melalui Twitter melahirkan optimisme di kalangan praktisi public relations. Melalui Twitter publik dimungkinkan untuk turut berperan dalam mengatur arah jalannya proses komunikasi. Publik memeroleh ruang untuk menyuarakan aspirasinya sehingga diskusi yang terjadi antara organisasi dan publik tidak diciptakan oleh wacana organisasi secara mutlak seperti halnya melalui media konvensional. Kehadiran Twitter menyebabkan publik merasa berdaya (empowered) karena menjadi bagian dari komunitas yang lebih besar. Komunitas ini kemudian dapat saling berbagi informasi dan berinteraksi satu sama lain. Twitter kemudian tidak lagi menjadi media yang diisi oleh entitas-entitas terpisah melainkan menjadi satu populasi yang lebih besar dan saling terhubung. Apabila dimanfaatkan secara optimal, kondisi ini sebenarnya merupakan peluang untuk membangun percakapan, menyebarkan informasi positif, dan menciptakan eksposur yang lebih besar bagi organisasi. Idealnya, melalui Twitter organisasi dapat melihat respon dan mendengar aspirasi publik secara langsung. Akan tetapi, faktanya organisasi kerap kali abai dan menempatkan relasi antara organisasi dan publik secara tidak seimbang. Pada masa awal penggunaan websites sebagai media komunikasi, prinsip interaktivitas tidak benar-benar dipahami oleh para praktisi public relations (Philips dan Young, 2009). Internet digunakan hanya sebagai medium diseminasi informasi tanpa memerhatikan feedback yang diberikan oleh publik. Publik dianggap sebagai kelompok pasif yang menerima begitu saja seluruh pesan yang disampaikan organisasi. Konten pesan yang disampaikan cenderung bersifat pushed content sementara sifat alami media baru adalah pulled content. Melalui media baru, publik dapat mencari informasi sesuai dengan kebutuhannya masing-masing kapan pun dikehendaki. Dalam konteks social media, pandangan public relations dalam memanfaatkan media baru tentu perlu ditata ulang. Kajian yang dilakukan oleh Oxford Internet Survey menunjukkan bahwa saat ini pengguna media baru cenderung resisten terhadap pesan-pesan spam dan “pushed” content (Philips dan Young, 2009). Oleh karena itu, public relations dituntut untuk mampu memahami tiga elemen dasar dalam praktik online public relations yaitu platforms, channel, dan context (Philips
19
dan Young, 2009:94). Platforms berkaitan dengan perangkat akses informasi digital, channel berkaitan dengan kanal penyampaian pesan di media baru, dan context berkaitan dengan konteks saat pengguna mengakses media baru. Pemahaman akan ketiga konsep tersebut kemudian dapat membantu organisasi untuk
menerapkan
praktik
komunikasi
yang
memungkinkan
terjadinya
interaktivitas berbasis contingency public relations (Kelleher, 2007). Contingency public relations didasarkan pada pemahaman public relations akan konteks dan kanal
media
yang
sesuai
dengan
karakter
target
audiensnya
sehingga
memungkinkan terjadinya interaktivitas berupa pergantian peran (interchangeable) antara organisasi dan publik. Melalui proses komunikasi tersebut diharapkan nantinya dapat terbentuk hubungan jangka panjang antara organisasi dan publik yang nantinya dapat menguntungkan kedua pihak.
3. Hubungan antara Organisasi dan Publik dalam Media Baru Peran public relations dalam pendekatan manajemen komunikasi berpusat pada upaya untuk memaksimalkan hubungan antara organisasi dan stakeholder-nya (Clark dalam Goodwin dan Bartlett, 2008). Dalam perspektif manajemen relasional, public relations harus mampu menyeimbangkan kepentingan organisasi dan publik melalui hubungan yang efektif (Center dan Jackson, 1995). Publik kemudian terbentuk sebagai bagian dari stakeholder yang menghadapi persoalan atau memiliki isu dengan organisasi (Grunig dan Hunt, 1984). Konsep stakeholder secara khusus dimaknai oleh Freeman (1984) sebagai kelompok yang aktivitasnya memengaruhi dan dipengaruhi oleh organisasi. Secara umum, stakeholder terbagi menjadi tiga jenis yaitu para pemilik organisasi (equity stake), pihak yang memiliki kepentingan ekonomi terhadap organisasi namun di luar para pemilik organisasi tersebut (economic/market stake), dan kelompok kepentingan yang memiliki pengaruh terhadap organisasi (influencer stake). Lebih lanjut, publik sebagai bagian dari stakeholder terbentuk ketika muncul suatu isu yang spesifik sehingga ketika dua isu yang berbeda dapat melibatkan segmen publik yang berbeda pula. Secara ringkas, dilihat dari pola hubungannya, stakeholder diidentifikasi dari hubungan
20
kelompok terhadap organisasi sementara publik diidentifikasi berdasarkan hubungan kelompok terhadap pesan (Rawlins, 2006). Pengidentifikasian publik dapat dilakukan melalui beberapa cara. Grunig dan Rapper (dikutip oleh Edwards dalam Tench dan Yeomans, 2009) melakukan segmentasi publik menjadi dua kategori yaitu publik aktif dan pasif. Publik aktif secara proaktif mencari dan merespon informasi dari organisasi, sebaliknya publik pasif cenderung tidak ingin berhubungan dengan organisasi. Lebih lanjut, mengacu pada situational theory of publics (Grunig, 1983) segmentasi publik dilakukan secara spesifik berdasarkan perseptual, motivasi, dan kognisi publik yang memengaruhi aksi komunikatif mereka terhadap suatu isu. Di satu sisi, segmentasi publik dapat bermanfaat bagi organisasi untuk memetakan segmen publik yang berpotensi terdampak isu. Di sisi lain, segmentasi publik turut memungkinkan adanya gap perbedaan cara publik memaknai hubungannya dengan organisasi. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, dalam penelitian ini publik dibagi menjadi dua kategori yaitu publik konsumen dan non-konsumen. Mengacu pada gagasan Ledingham dan Bruning (2000) perspektif relasional merekonseptualisasikan public relations sebagai fungsi manajemen yang mengubah praktik public relations dari manipulasi opini publik melalui pesan komunikasi menjadi kombinasi pesan komunikasi simbolik dan perilaku organisasi untuk memulai, menumbuhkan, dan menjaga hubungan yang menguntungkan baik bagi organisasi maupun publik. Hon dan Gruning (1999) lebih lanjut menjelaskan bahwa hubungan antara organisasi dan publik terjadi ketika muncul tindakan organisasi yang memiliki konsekuensi terhadap publik atau sebaliknya ketika tindakan publik berdampak pada organisasi. Konstruksi hubungan antara organisasi dan publik kemudian dilakukan oleh Hon dan Gruning (1999) dengan mengembangkan panduan pengukuran hubungan yang terdiri dari dua jenis hubungan dan empat keluaran hubungan yang diyakini dapat mendefinisikan kualitas hubungan jangka panjang antara organisasi dan publik. Adapun keenam indikator tersebut meliputi exchange relationship, communal relaionship, control mutuality, trust, commitment, dan satisfaction (Hon dan Grunig, 1999).
21
communal relationship exchange relationship control mutuality Organization-Public Relationship
trust
integrity dependability competenc e continuance
commitment affective satisfaction Gambar 1.2 Hubungan Organisasi dan Publik Sumber: Hon dan Gruning (1999)
Dilihat dari bentuk hubungannya, Hon dan Gruning (1999) mengidentifikasi dua jenis hubungan interpersonal yang dapat digunakan untuk menilai hubungan antara organisasi dan publik yaitu exchange dan communal relationship. Dalam exchange
relationship,
hubungan
bersifat
transaksional
yang
melibatkan
pengalaman masa lalu atau ekspektasi di masa depan. Hubungan antara organisasi dan publik terbentuk karena adanya risalah satu pihak membantu pihak lain di masa lalu atau keinginan akan terjadinya kondisi tersebut di masa depan. Berbeda dengan exchange relationship, communal relationship sebaliknya menekankan hubungan yang menguntungkan kedua pihak tanpa memertimbangkan pengalaman masa lalu atau imbalan yang diharapkan akan diterima oleh satu pihak di masa depan. Setiap pihak bersedia untuk saling memberikan keuntungan karena keduanya saling peduli akan kesejahteran satu sama lain. Meskipun demikian, pada praktiknya kedua bentuk hubungan ini dapat terjadi secara simultan. Kerap kali hubungan organisasi dan publik terbentuk diawali dengan exchange relationship yang kemudian berkembang menjadi communal relationship, atau sebaliknya. Selain bentuk hubungan, empat indikator lain turut berperan dalam menentukan kualitas hubungan antara organisasi dan publik. Control mutuality mengukur relasi kuasa antara organisasi dan publiknya. Idealnya, hubungan antara organisasi dan
22
publik dapat berjalan secara seimbang sehingga dapat saling mengontrol satu sama lain. Trust menjadi indikator yang berkaitan dengan keyakinan publik terhadap organisasi serta kesediaannya untuk berhubungan dengan organisasi. Agar dapat menjalankan aktivitas operasionalnya secara efektif maka organisasi harus mampu memeroleh kepercayaan publik. Terbentuknya kepercayaan publik didasari oleh tiga aspek yaitu integrity, dependability, dan competence (Hon dan Grunig, 1999). Integrity diperoleh apabila publik menganggap organisasi mampu bersikap jujur kepada publik. Keandalan berkaitan dengan persepsi publik bahwa organisasi dapat diandalkan dan akan memenuhi ekspektasi publik. Adapun kompetensi terbentuk ketika publik meyakini bahwa organisasi memiliki kapasitas untuk memenuhi janjinya kepada publik. Indikator selanjutnya adalah commitment yang melibatkan kesediaan organisasi dan publik untuk menjaga dan meningkatkan hubungan mereka. Komitmen terbagi menjadi dua subdimensi yaitu continuance yang berkaitan dengan tindakan dan affective commitment yang berkaitan dengan emosi. Terakhir, satisfaction yang berkaitan dengan kondisi dimana baik publik maupun organisasi sama-sama merasa diuntungkan karena ekspektasi positif setiap pihak dapat terwujud. Dalam membangun hubungan positif antara organisasi dan publik di media baru terdapat tiga faktor yang perlu diperhatikan yaitu teknologi, individu, serta struktur sosial dan budaya yang mengkontekstualisasikan jenis hubungan (Kelleher, 2007). Teknologi menjadi faktor penting dalam hubungan antara organisasi dan publik karena organisasi perlu menentukan media komunikasi yang tepat untuk berhubungan dengan publiknya. Individu sebagai bagian dari publik pun berpengaruh terhadap hubungannya dengan organisasi. Keputusan individu untuk berhubungan dengan organisasi melalui media baru dipengaruhi oleh sejumlah faktor seperti pengetahuan awal individu mengenai organisasi (prior knowledge), sikap, aktivitas komunikasi organisasi, personalitas, dan tujuan (Hallahan dikutip oleh Kelleher, 2007). Terakhir, faktor kultural juga perlu diperhatikan guna menunjang hubungan antara organisasi dan publik. Dalam konteks media baru, interaktivitas tidak dapat dipisahkan dari kajian mengenai hubungan antara organisasi dan publik. Interaktivitas yang terjadi di
23
media baru dapat bersifat rendah (low), sedang (medium), atau tinggi (high). Perbedaan level interaktivitas antara organisasi dan publik akan berpengaruh pada model komunikasi public relations yang dikembangkan oleh organisasi, lebih lanjut berpengaruh pula pada hubungannya dengan publik. Adapun mengacu pada Grunig dan Huang (dalam Ledingham dan Bruning, 2000) hubungan organisasi dan publik dapat dikatakan sukses ketika organisasi dan publik saling memercayai, menyepakati pihak mana yang memiliki kuasa untuk memengaruhi (influence), setiap pihak merasa puas, dan saling berkomitmen satu sama lain.
4.
Interaktivitas dalam Media Baru Dalam konteks media baru, interaktivitas tidak dapat dipisahkan dari kajian
mengenai hubungan antara organisasi dan publik. Rogers (dikutip oleh Edman, 2010) memaknai interaktivitas sebagai derajat pertukaran peran dan kontrol informasi di antara para partisipan yang terlibat dalam proses komunikasi. Dalam kaitannya dengan hubungan antara organisasi dan publik, interaktivitas kemudian berpusat pada pertukaran peran dan kontrol informasi yang terjadi di antara keduanya. Sundar et al. (dikutip oleh Edman, 2010) mengidentifikasi dua perspektif utama interaktivitas yaitu kontingensi dan fungsional. Perspektif kontingensi menekankan konsep interaktivitas berdasarkan pesan, sementara perspektif fungsional menekankan kapasitas untuk melakukan dialog atau pertukaran informasi antara pengguna dan interface-nya. Secara ringkas, dapat disimpulkan bahwa perspektif kontingensi berangkat dari gagasan bahwa interaktivitas pesan ditentukan dari adanya respon atas pesan yang dikirimkan sebelumnya, sedangkan perspektif fungsional cenderung menekankan aspek teknologi medium pengiriman pesan seperti link, chat rooms, dan lainnya. Kaitan antara interaktivitas dan hubungan antara organisasi dan publik dapat dilihat pada kajian yang dilakukan Sundar et al. (dikutip oleh Edman, 2010) yang melakukan riset eksperimental mengenai interaktivitas websites politik di antara sekelompok mahasiswa. Dalam penelitian tersebut interaktivitas dibagi menjadi tiga kategori yaitu low, medium¸ dan high interactivity. Low interactivity tidak
24
memuat link informasi apapun. Medium interactivity memuat link yang berkaitan dengan informasi biografis yang ada dalam laman webpage, sedangkan high interactivity menyediakan link informasi yang lebih komprehensif. Dari riset ini diperoleh temuan bahwa semakin tinggi interaktivitas maka akan semakin positif impresi kandidat. Pola ini kemudian dianggap dapat diaplikasikan dalam konteks hubungan antara organisasi dan publik. Semakin tinggi level interaktivitas dalam konten tweet akun Twitter korporasi maka akan semakin positif pula impresi publik terhadap organisasi.
F. Kerangka Konsep Dalam penelitian ini, konsep public relations di media baru merujuk pada kinerja divisi public relations organisasi yang dilakukan di media sosial, khususnya Twitter. Kinerja public relations di media baru dikenal pula dengan istilah e-PR atau PR 2.0. Public relations dalam generasi ini bertanggungjawab untuk menjalin komunikasi dengan publik secara setara, tanpa mengabaikan kehadiran dan kuasa publik dalam proses komunikasi yang dijalankan (Solis dan Breakenridge, 2009). Prinsip dasar dalam fungsi e-PR secara umum selaras dengan fungsi utama public relations yaitu untuk membantu tercapainya keseimbangan hubungan jangka panjang antara organisasi dan publik sasaran (Fischer dikutip oleh Petrovici, 2014). Dalam konteks media baru, publik memiliki peluang yang lebih besar untuk berkomunikasi secara langsung dengan organisasi sehingga lahir optimisme akan terbentuknya mutual dialogue antara kedua pihak. Lebih lanjut, dialog ini diyakini mampu mendorong adanya pemahaman bersama antara kedua pihak sehingga mendorong terciptanya hubungan jangka panjang yang berorientasi bagi kesejahteraan kedua pihak. Hubungan organisasi dan publik (organization public relationship/OPR) merupakan konsep yang berangkat dari perspektif relasional dimana peran public relations direkonseptualisasikan sebagai fungsi manajemen yang mulanya berpusat pada upaya manipulasi opini publik menjadi upaya untuk menumbuhkan dan menjaga hubungan yang menguntungkan baik bagi organisasi maupun publik. Hubungan organisasi dan publik dikonstruksikan oleh Hon dan Grunig (1999)
25
melalui enam indikator yaitu control mutuality, trust, commitment, satisfaction, exchange relationship, dan communal relationship. Control mutuality berkaitan dengan kuasa organisasi dan publik dalam mengontrol proses komunikasi yang terjadi di antara keduanya. Trust berkaitan dengan keyakinan publik terhadap oganisasi. Commitment berkaitan dengan kesediaan organisasi dan publik untuk menjaga hubungan. Komitmen dibagi menjadi dua jenis yaitu continuance yaitu upaya menjaga hubungan yang berkaitan dengan tindakan dan affective yang berkaitan dengan aspek emosional. Satisfaction merupakan kepuasan atas hubungan dimana baik publik maupun organisasi samasama merasa diuntungkan karena ekspektasi positif setiap pihak dapat terwujud. Bentuk keluaran hubungan mewujud dalam dua bentuk yaitu exchange dan communal
relationship.
Dalam
exchange
relationship
hubungan
bersifat
transaksional dan melibatkan adanya pengalaman interaksi di masa lalu atau ekspektasi interaksi di masa depan. Sedangkan,
communal
relationship
menekankan bentuk hubungan yang menguntungkan kedua pihak tanpa mempertimbangkan pengalaman interaksi antara organisasi dan publik. Interaktivitas turut menjadi konsep kunci dalam penelitian ini. Rogers (sebagaimana dikutip oleh Edman, 2010) memaknai interaktivitas sebagai derajat pertukaran peran dan kontrol informasi di antara para partisipan yang terlibat dalam proses komunikasi. Tingkat interaktivitas dibagi menjadi tiga yaitu rendah, medium, dan tinggi. Interaktivitas tingkat rendah ditunjukkan melalui konten pesan yang tidak memuat informasi tambahan dan bersifat monolog. Tingkat sedang ditunjukkan ditunjukkan melalui adanya informasi tambahan dalam pesan yang disampaikan. Adapun interaktivitas tingkat tinggi ditunjukkan melalui konten informasi yang komprehensif dan adanya diskusi interaktif di antara para pengguna media baru yang terlibat.
26
G. Operasionalisasi Konsep No.
Konsep
Dimensi
Definisi
Subdimensi Nama
Keterangan Identitas mengenai nama, bidang usaha, dan nama akun. Identitas visual yang ditampilkan dalam foto profil akun.
Skala Nominal
Interaksi sosial organisasi dan publik melalui Twitter. Informasi deskriptif yang disediakan oleh akun Twitter organisasi.
Nominal
Sumber tweet
Pengirim tweet
Nominal
Jenis tweet
Format tweet dalam akun Twitter organisasi
Nominal
Arah diskusi
Sender-receiver dalam tweet
Nominal
Bentuk tweet
Tekstual
Foto profil
Sosial Identitas
Identitas perusahaan yang ditampilkan di laman homepage akun Twitter. Bio
1.
Corporate Tweets (Edman, 2010)
Konten
Nominal
Nominal
Isi tweet yang disampaikan oleh akun Twitter organisasi.
Visual Audio visual Link berita
Nominal
Indikator a. Nama perusahaan b. Bidang perusahaan c. Twitter ID a. Logo perusahaan b. Nama perusahaan c. Varian produk d. Event yang diselenggarakan e. Lainnya (sebutkan) a. Jumlah followers b. Jumlah following c. Jumlah lists a. Informasi official account b. Informasi contact center c. Informasi alamat kantor d. Link website organisasi e. Lainnya (sebutkan). a. Organisasi b. Publik/individu c. Instansi lain (sebutkan) a. Original tweet b. Retweet (RT) c. Mention (@mention) d. Reply (@reply) a. Organisasi-publik b. Publik-organisasi c. Organisasi-organisasi lain Tweet berisi teks tanpa disertai tautan apapun. Tweet menampilkan foto atau gambar. Tweet menampilkan video. Tweet menyertakan tautan link berita.
27
Isu
Promosi
Nominal
Informasi
Nominal
Umum
Nominal
a. Menawarkan produk. b. Menawarkan layanan. c. Menawarkan program spesial (diskon, special price, promo gratis, kuis, dll). d. Gabungan menawarkan produk dan layanan e. Gabungan menawarkan layanan dan program spesial f. Gabungan menawarkan produk, layanan, dan program spesial g. Tidak ada. a. Informasi spesifikasi produk. b. Informasi detail layanan. c. Tips menggunakan produk dan layanan. d. Gabungan info spesifikasi produk dan detail layanan. e. Gabungan info spesifikasi dan tips menggunakan produk serta layanan. f. Gabungan info detail dan tips menggunakan produk serta layanan. g. Gabungan info spesifikasi, detail, dan tips menggunakan produk serta layanan. h. Lainnya (sebutkan). i. Tidak ada. a. Konten hanya berisi sapaan kepada para follower (selamat pagi, siang, malam, dll). b. Update berita terkini di luar informasi produk.
28
2.
OrganizationPublic Relationship Measurement (Hon dan Grunig, 1999)
Control mutuality
Kondisi dimana satu pihak menyepakati pihak mana yang memiliki kuasa untuk memengaruhi pihak lain.
Trust
Derajat keyakinan dan kesediaan satu pihak untuk mengungkap dirinya kepada pihak lain.
Nominal
Integrity
Organisasi mampu bersikap jujur kepada publik.
Dependability
Keyakinan publik bahwa organisasi dapat diandalkan dan akan memenuhi ekspektasi publik. Keyakinan publik bahwa organisasi memiliki kapasitas untuk
Competence
Nominal
c. Tips mengenai hal di luar produk. d. Gabungan sapaan kepada follower dan update berita terkini. e. Gabungan sapaan kepada follower dan tips di luar produk. f. Gabungan update berita terkini dan tips. g. Gabungan sapaan, update berita, dan tips. h. Lainnya (sebutkan). i. Tidak ada. a. Berisi jawaban organisasi atas pertanyaan/keluhan user. b. Berisi pertanyaan terbuka kepada follower. c. Terdapat @mention. d. Terdapat retweet. e. Gabungan jawaban dan @mention. f. Lainnya (sebutkan) g. Tidak ada. a. Tweet berisi ralat informasi mengenai produk atau layanan. b. Tweet berisi ralat informasi mengenai program khusus. c. Tweet berisi jawaban organisasi terhadap pertanyaan user. d. Terdapat @mention. e. Lainnya (sebutkan) f. Tidak ada.
29
memenuhi janjinya kepada publik. Satisfaction
Kondisi dimana setiap pihak merasa diuntungkan karena terpenuhinya ekspektasi positif di antara keduanya.
Commitment
Kondisi dimana setiap pihak meyakini bahwa energi yang dikeluarkan untuk membangun dan menjaga relasi adalah layak.
Exchange Relationship
Satu pihak memberikan keuntungan pada pihak lain karena adanya pengalaman sebaliknya di masa lalu atau mengharapkan di masa depan pihak tersebut akan kembali memberikan keuntungan. Kedua pihak memberikan keuntungan satu sama lain bahkan jika salah satu pihak tidak memeroleh keuntungan yang
Communal Relationship
Nominal
Continuance commitment Affective commitment
Berkaitan dengan tindakan. Berkaitan dengan aspek emosional.
Nominal
Nominal
a. Retweet atas tweet user yang puas terhadap produk/layanan organisasi. b. Balasan organisasi terhadap tweet user yang berisi ucapan terima kasih. c. Terdapat @reply. d. Terdapat retweet. e. Lainnya (sebutkan) f. Tidak ada. a. Tweet berisi jawaban organisasi atas pertanyaan user. b. Tweet berisi sapaan organisasi terhadap user (ucapan selamat pagi, siang, malam, selamat beraktivitas, dll). c. Tweet berisi ucapan personal kepada user (ucapan selamat ulang tahun) yang secara khusus di-@mention. d. Tweet berisi tips. a. Lainnya (sebutkan). b. Tidak ada. a. Ajakan untuk menggunakan produk/layanan organisasi. b. Ajakan untuk ikut berpartisipasi dalam program khusus yang diadakan organisasi. c. Tips penggunaan/perawatan produk/layanan. d. Tips di luar produk/layanan. e. Lainnya (sebutkan)
30
Low
Medium
4.
lebih besar. Perusahaan memiliki level interaktivitas yang rendah dengan user.
Perusahaan memiliki level interaktivitas sedang dengan user.
Nominal
Nominal
Interactivity (Edman, 2010)
f. a. b. c. d. a. b. c. d. e. f. g.
High
Perusahaan memiliki level interaktivitas yang tinggi dengan user.
Nominal
h. a. b. c.
d.
Tidak ada. Original tweet. Tidak di-retweet oleh user. Tidak di-reply oleh user. Tidak ada. Terdapat retweet Terdapat @mention Terdapat @reply Terdapat tautan gambar dan/atau link. Gabungan @mention dan tautan. Gabungan @reply dan tautan. Organisasi membalas tweet user di hari yang berbeda. Tidak ada. Terdapat @reply Organisasi membalas tweet user di hari yang sama. Percakapan organisasi dan user melalui fitur @reply terjadi lebih dari satu kali. Tidak ada.
31
H. Metodologi Dinamika hubungan antara organisasi dan publik semakin semarak seiring dengan pemanfaatan media baru oleh sejumlah organisasi untuk berkomunikasi dengan publiknya. Kini, hampir seluruh perusahaan berlomba-lomba untuk terlibat menggunakan berbagai platform social media untuk menjalin hubungan yang bermanfaat bagi kedua pihak. Twitter menjadi salah satu kanal social media yang dipilih oleh organisasi untuk berkomunikasi dengan publiknya melalui corporate tweets yang disampaikan oleh akun Twitter organisasi. Melalui corporate tweets tersebut hubungan organisasi dan publik dapat dikaji secara komprehensif. Penelitian ini berfokus pada domain pesan serta menekankan pada hubungan antara organisasi dan publik melalui media Twitter yang dimiliki oleh organisasi. Metode analisis isi kuantitatif kemudian dianggap memiliki kapasitas untuk mengkaji aspek-aspek tersebut secara mendalam.
1. Pendekatan Penelitian Penelitian mengenai analisis isi corporate tweets untuk menakar hubungan organisasi dan publik dilakukan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif. Pendekatan kuantitatif berangkat dari paradigma klasik yang meyakini bahwa realitas berada “di luar” diri peneliti sehingga peneliti dapat membuat jarak dengan objek yang diteliti. Dalam proses penelitian, peneliti ditempatkan sebagai observer sehingga data yang diperoleh bersifat objektif serta dapat digeneralisasikan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis isi. Metode analisis isi seperti dinyatakan Holsti (1969) dapat digunakan untuk mengeksplorasi konten media yang bersifat nampak (manifest). Selain itu, penggunaan analisis isi tidak hanya terbatas untuk mengkaji karakteristik konten komunikasi namun juga untuk menarik simpulan mengenai peran komunikator (Wright, 1986). Karakteristik ini sejalan dengan asumsi dalam penelitian ini yang beranggapan bahwa organisasi cenderung memiliki peran yang lebih besar dalam relasinya dengan publik. Lebih lanjut, dengan menggunakan analisis isi, peneliti tidak memaksakan keterlibatan dirinya dengan objek kajian sehingga nantinya tidak memengaruhi hasil penelitian (Berger, 2000). Dalam penelitian ini, analisis isi digunakan untuk melihat merekam
32
isu yang muncul dalam relasi antara organisasi dan publik melalui kecenderungan yang nampak dari distribusi frekuensi data temuan.
2. Populasi Penelitian ini dilakukan pada lima organisasi yang bergerak di tiga bidang industri yaitu telekomunikasi, perbankan, dan otomotif. Setiap bidang diwakili oleh dua organisasi, kecuali di bidang otomotif yang hanya diwakili oleh satu organisasi saja. Bidang telekomunikasi diwakili oleh perusahaan XL Axiata (@XL123) dan Telkomsel (@Telkomsel), bidang perbankan diwakili oleh BNI (@BNI46) dan BCA (@HaloBCA), dan bidang otomotif diwakili oleh Astra Honda Motor (@welovehonda). Kelima perusahaan yang menjadi objek kajian dalam penelitian ini merupakan para pemenang ajang Social Media Awards 2013. Social Media Awards merupakan ajang kompetisi tahunan yang mengevaluasi kinerja perusahaan dari berbagai bidang industri dalam memanfaatkan social media sebagai media komunikasi. Meskipun peneliti tidak serta merta menyebutkan bahwa ajang ini menjadi standar evaluasi praktik penggunaan social media yang ideal oleh perusahaan namun capaian sebagai perusahaan dalam ajang tersebut mengindikasikan bahwa kelima perusahaan tersebut dapat memanfaatkan social media dengan baik. Lebih lanjut, akun Twitter kelima perusahaan merupakan akun yang paling representatif dibandingkan akun-akun Twitter perusahaan lain dalam bidang industri yang sama karena memiliki tingkat interaksi di Twitter yang lebih tinggi ditunjukkan melalui jumlah tweet, following account, dan followers. Dalam penelitian ini, unit analisis yang digunakan adalah tweet. Penelitian ini menggunakan sensus pada konten tweet kelima akun karena dilihat dari jumlah tweet yang ada peneliti menganggap jumlah tersebut masih memungkinkan untuk dianalisis secara keseluruhan. Populasi dalam penelitian ini yaitu corporate tweets kelima akun selama dua minggu sepanjang tanggal 21 Juli – 3 Agustus 2014 (n=433). Pemilihan rentang tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa rentang waktu tersebut merupakan periode dengan tingkat traffic tertinggi antara organisasi dan publik karena berdekatan dengan hari raya Idul Fitri. Dalam konteks Indonesia,
33
hari raya Idul Fitri merupakan momen-momen tersibuk bagi masyarakat sekaligus momen dimana putaran uang terjadi dalam jumlah besar dan cepat. Kondisi ini kemudian mendorong organisasi untuk semakin gencar mengembangkan relasinya dengan publik.
3. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam metode analisis isi dilakukan dengan menggunakan lembar pengodingan (coding sheet). Coding sheet yang digunakan dalam penelitian ini terbagi menjadi tiga bagian utama. Pertama, coding sheet membahas informasi deskriptif corporate tweet meliputi aspek identitas dan konten. Kedua, coding sheet berpusat pada hubungan organisasi dan publik yang dicerminkan melalui tweet. Terakhir, coding sheet membahas mengenai interaktivitas yang dicerminkan oleh corporate tweet. Melalui ketiga bagian dalam coding sheet tersebut dapat direkam isu dan kecenderungan pola hubungan antara organisasi dan publik dari berbagai bidang industri.
4. Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif. Analisis deskriptif digunakan untuk melihat distribusi frekuensi sehingga isu yang muncul dapat dipetakan sesuai dengan kecenderungan yang dihasilkan oleh temuan penelitian. Kecenderungan tersebut antara lain berkaitan dengan elemen hubungan yang paling menonjol serta pola interaktivitas yang terjadi antara organisasi dan publik. Selanjutnya, analisis deskriptif digunakan untuk memaknai data temuan yang diperoleh.
5. Uji Reliabilitas Uji reliabilitas dilakukan dengan membandingkan setiap kategori komparasi antar coder dengan menghitung koefisien reliabilitas. Koefisien reliabilitas (CR) untuk menghitung reliabilitas data antara dua coder digunakan dengan menggunakan rumus berikut (Chadwick, et al., 1991, hal. 272): Koefisien reliabilitas = jumlah unit dalam kategori yang sama jumlah total unit-unit yang dikode 34
Ambang batas penerimaan koefisien reliabilitas yang digunakan adalah 70%. Apabila nilai yang dihasilkan dalam uji reliabilitas di bawah 70% maka definisi operasional perlu disusun kembali secara lebih spesifik. Lebih lanjut, indeks reliabilitas diperoleh dari rumus Kappa yang sebagai berikut: K = PA-Pc 1-PC
PA merupakan proporsi unit yang disetujui koder dan PC merupakan proporsi unit yang persetujuannya diharapkan dari kesempatan. Dalam penelitian ini hasil uji intercoder reliability menunjukkan bahwa nilai koefisien reliabilitas yang diperoleh sebesar 0,857. Adapun mengacu pada interpretasi Landis dan Koch yang dikutip oleh Stemper (2001) nilai 0,857 memiliki kekuatan persetujuan yang nyaris sempurna. Dari seluruh variabel kuantitatif yang diujikan dalam coding sheet ditemukan bahwa 24 variabel memiliki tingkat persetujuan sebesar 100% dan nilai Kappa sempurna sebesar 1. Sedangkan tiga variabel menunjukkan angka 0,577 (besar) untuk variabel isu umum, nilai 0,861 (nyaris sempurna) untuk variabel exchange relationship, dan nilai 0,718 (sangat besar) untuk variabel communal relationship.
6. Limitasi Penelitian Basis penelitian dalam kajian ini didasarkan pada data riil yang tersedia di lapangan serta pemilihan metode yang digunakan memungkinkan data penelitian terjaga objektivitasnya. Meskipun demikian, sejumlah keterbatasan menyebabkan adanya limitasi dalam penelitian ini. Pertama, penelitian ini hanya mengukur hubungan antara organisasi dan publik melalui interaksi yang dicerminkan oleh corporate tweets. Aspek-aspek lain seperti kaitan antara persepsi publik dan oganisasi mengenai hubungan satu sama lain di media baru tidak diungkap dalam penelitian ini. Kedua, beban informasi yang sangat besar di media baru serta keterbatasan kemampuan peneliti untuk mengakses pesan masuk yang diterima oleh akun
35
Twitter organisasi melalui fitur interactions menyebabkan peneliti hanya dapat mengakses corporate tweet seperti yang ditampilkan dalam laman homepage akun. Terakhir, dimensi waktu yang memungkinkan untuk memerdalam variabel interaktivitas tidak cukup dapat diakomodir oleh penelitian analisis isi karena keterbatasan kemampuan peneliti untuk melacak proses diskusi antara organisasi dan publik.
36