1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan distribusi dokter spesialis masih merupakan isu yang sampai saat ini masih ada dalam sistem kesehatan di dunia, tidak terkecuali Indonesia. Indonesia merupakan negara kepulauan terdiri dari pulau-pulau yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Memiliki ciri geografis yang khusus antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya dan keadaan sosial ekonomi yang masih menunjukkan perbedaan yang sangat tinggi. Bersamaan dengan kondisi tersebut ternyata kontribusi desentralisasi belum mampu menyelesaikan permasalahan pemerataan dokter spesialis di Indonesia. Di Indonesia pengembangan sumber daya manusia merupakan salah satu prioritas dari delapan fokus prioritas pembangunan kesehatan dalam kurun waktu 2010 – 2014. Penetapan pengembangan sumber daya manusia kesehatan sebagai salah satu prioritas karena Indonesia masih menghadapi masalah tenaga kesehatan, baik jumlah, jenis, kualitas maupun distribusinya. Rasio tenaga kesehatan per 100.000 penduduk belum memenuhi target yang ditetapkan sampai dengan tahun 2010. Sampai dengan tahun 2008, rasio tenaga kesehatan untuk dokter spesialis per 100.000 penduduk adalah sebesar 7,73 dibandingkan dengan target yang ingin dicapai yaitu 9. Dari pendataan tenaga kesehatan pada tahun 2010, ketersediaan tenaga kesehatan di rumah sakit milik pemerintah (Kementerian Kesehatan dan Pemerintah Daerah), telah tersedia 7.336 dokter spesialis. Dengan memperhatikan standar ketenagaan rumah sakit yang berlaku, maka pada tahun 2010 masih terdapat kekurangan tenaga kesehatan di rumah sakit milik pemerintah baik Rumah Sakit Kementerian Kesehatan maupun Rumah Sakit Pemerintah Daerah sejumlah 2.098 dokter spesialis (Kemenkes RI, 2011) Untuk mencukupi ketersediaan dan pemerataan dokter spesialis di seluruh Indonesia, Pemerintah telah menggulirkan Program Penugasan Khusus tenaga kesehatan di Daerah Terpencil,Perbatasan, dan Kepulauan (DTPK) yang dilaksanakan sejak Tahun 2006. Terhitung sejak Tahun 2006 sampai dengan 2010
tercatat pada Tahun 2006 sebanyak 8 dokter spesialis, Tahun 2007 sebanyak 15 dokter spesialis, Tahun 2008 sebanyak 52 dokter spesialis, Tahun 2009 sebanyak 54 dokter spesialis, dan Tahun 2010 sebanyak 374 dokter spesialis (Kemenkes RI, 2011). Pada tahun 2014 diharapkan ketersediaan tenaga dokter spesialis mencapai 12 per 100.000 penduduk. Pada tahun 2019 diharapkan ketersediaan tenaga dokter spesialis mencapai 24 per 100.000 penduduk dan tahun 2025 diharapkan ketersediaan tenaga dokter spesialis mencapai 28 per 100.000 penduduk. Distribusi dokter spesialis di Idonesia masih menunjukkan disparitas yang sangat tinggi antara daerah di Pulau Jawa Bali khususnya dengan daerah di luar Pulau Jawa seperti terlihat pada tabel 1 berikut. Tabel 1. Rasio Dokter Spesialis per 100.000 Penduduk per Provinsi Tahun 2010 Provinsi
Rasio Dsp per 100.000 Penduduk
Jumlah Penduduk
DKI Jakarta
46,95
9.607.787
DIY
22,88
3.457.491
Bali
17,50
3.890.757
Sulawesi Utara
12,93
2.270.596
Sulawesi Selatan
9,71
8.034.776
Sumatera Utara
8,62
12.982.204
Kalimantan Timur
8,53
3.553.143
Sumatera Barat
8,25
4.846.909
Jawa Timur
7,56
37.476.757
Kepulauan Riau
7,47
1.679.163
Jawa Barat
6,52
43.053.732
Jawa Tengah
6,15
32.382.657
Sumatera Selatan
5,91
7.450.394
Banten
5,64
10.632.166
NAD
4,93
4.494.410
Riau
4,60
5.538.367
Papua Barat
4,21
760.422
Kalimantan Selatan
4,16
3.626.616
2
Provinsi
Rasio Dsp per 100.000 Penduduk
Jumlah Penduduk
Jambi
3,85
3.092.265
Bangka Belitung
3,35
1.223.296
Kalimantan Barat
3,23
4.395.983
Gorontalo
3,18
1.040.164
Papua
2,70
2.833.381
Sulawesi Tengah
2,66
2.635.009
Bengkulu
2,63
1.715.518
Kalimantan Tengah
2,59
2.212.089
Maluku Utara
2,22
1.038.087
Lampung
2,17
7.608.405
Sulawesi Tenggara
2,15
2.232.586
NTB
2,11
4.500.212
Maluku
1,96
1.533.506
NTT
1,26
4.683.827
Sulawesi Barat
0,69
1.158.651
Sumber : (Dirjen Dikti, Kemendikbud, BPS, 2010) Pemenuhan ketersediaan dokter spesialis merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta lembaga-lembaga yang mempunyai keterkaitan dengan keberadaan profesi dokter spesialis seperti Kolegium Dokter Spesialis Indonesia, Konsil Kedokteran Indonesia, Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) dan lembaga-lembaga lain yang dapat dimanfaatkan perannya dalam membantu permasalahan ketersediaan tenaga dokter spesialis di daerah kabupaten tertinggal. Berkaitan dengan hal tersebut salah satu peluang sekaligus tantangan terbesarnya adalah adanya otonomi daerah. Dengan otonomi daerah, pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan azas otonomi dan tugas pembantuan. Hal ini dapat dimanfaatkan oleh Kementerian Kesehatan untuk mencari pendekatan yang paling efektif sesuai dengan situasi dan kondisi sosial politik yang berkembang saat ini di Indonesia.
3
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 yang menyebutkan adanya pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah, urusan wajib yang diselenggarakan pemerintah daerah meliputi 31 urusan diantaranya adalah : kesehatan, ketenagakerjaan dan kepegawaian (PP No. 38 Tahun 2007). Kesempatan ini hendaknya dapat digunakan sebagai terobosan dalam menyelesaikan permasalahan ketersediaan tenaga dokter spesialis di daerah kabupaten tertinggal, mengingat kebutuhan dokter spesialis di daerah tertinggal masih sangat jauh dari ideal. Permasalahan pemerataan tenaga dokter spesialis di Indonesia bukan hanya menjadi pekerjaan rumah Kementerian Kesehatan semata khususnya Badan PPSDM Kesehatan sebagai sebuah badan yang bertanggung jawab dalam bidang pengembangan dan pemberdayaan sumber daya manusia kesehatan di Indonesia, akan tetapi merupakan bagian dari pekerjaan yang melibatkan sektor lain di luar kesehatan. Ketidakmerataan jumlah dokter spesialis di daerah sebagai imbas dari ketidakmerataan pembangunan. Terutama pembangunan sektor kesehatan dan pembangunan sektor lain yang mempunyai dampak langsung terhadap sektor kesehatan, antara lain ; pembangunan infrastruktur rumah sakit, penguatan sektor ekonomi daerah untuk meningkatkan daya beli masyarakat, reformasi birokrasi di daerah. Data terakhir menyebutkan rasio dokter spesialis di tiap kabupaten/kota seperti terdapat pada tabel 1. Masih jauh dari harapan Kementerian Kesehatan yang menargetkan pada tahun 2014 rasio dokter spesialis di Indonesia menjadi 12 per 100.000 penduduk (Kemenkes RI, 2011). Beberapa faktor yang berkaitan dengan distribusi dokter spesialis di kabupaten/kota di Indonesia yang luput mendapat perhatian Pemerintah Pusat dan Daerah adalah peningkatan taraf sosial ekonomi masyarakat, tingkat pertumbuhan ekonomi, kebijakan daerah terkait program penyedian dokter spesialis di daerah terpencil, sistem kesehatan daerah, pengembangan sistem pelayanan rumah sakit tingkat kabupaten, dan infrastruktur rumah sakit. Menurut Dussault & Franceschini (2006) kesenjangan rural-urban, lemahnya sistem pendidikan kedokteran, migrasi, public-to-private brain drain dan kurangnya insentif adalah beberapa faktor yang mempunyai kontribusi terhadap ketidakseimbangan
4
ketersediaan tenaga kesehatan. Hal senada dikemukakan oleh Wibulpolprasert & Pengpaibon (2003), faktor yang mempengaruhi ketidakseimbangan distribusi dokter adalah mulai dari kesenjangan sosial dan ekonomi, sistem pendidikan kedokteran, insentif, pembangunan sistem kesehatan publik dan swasta, serta gerakan sosial, peningkatan keterlibatan sektor swasta dalam pelayanan kesehatan, buruknya pengelolaan desentralisasi, dan meningkatkan distribusi pendapatan. Kebijakan yang dibuat sering kali concern hanya pada mengurangi kesenjangan; seperti menaikkan gaji/upah atau insentif, ketimbang membuat strategi jangka panjang (Dolea, et al., 2009). Perbaikan dan penguatan sistem kesehatan daerah dan mutu pelayanan kesehatan belum digarap secara serius. Pemerataan tenaga dokter spesialis tidak bisa dilihat hanya dari sudut pandang ketenagaannya saja, melainkan perlu juga memperhatikan pengembangan sistem kesehatan daerah dan peningkatan mutu pelayanan kesehatan. Apabila sistem pelayanan kesehatan di suatu daerah sudah baik maka dengan sendirinya para dokter spesialis muda akan dengan sukarela mau bertugas di daerah sampai ke level kabupaten sekalipun. Penguatan sistem di tingkat hulu sangat mempengaruhi keberhasilan program pemerataan tenaga dokter spesialis khususnya pada tingkat kabupaten. Tingkat pertumbuhan ekonommi daerah dapat menjamin adanya kemajuan pada sektor-sektor lain termasuk sektor kesehatan. Untuk melihat apakah tingkat pertumbuhan suatu daerah berpengaruh terhadap minat dokter spesialis bekerja di suatu daerah, kita dapat ketahui dengan melihat proporsi keberadaan antara dokter spesialis penugasan pusat dengan dokter spesialis yang memang berminat secara sukarela bertugas di suatu daerah. Pada daerah dengan tingkat pembangunan yang baik memungkinkan daerah tersebut akan lebih diminati dibandingkan dengan daerah yang tingkat pertumbuhannya rendah. Harapannya adalah seorang dokter spesialis yang bekerja di daerah bukan hanya sekedar menyelesaikan kewajiban tugas dalam kurun waktu tertentu semata tetapi mampu bertahan lama. Kesadaran dan minat sendiri yang seharusnya mendasari dalam memutuskan seseorang akan bertugas di daerah tersebut, dengan pertimbangan daerah tersebut memiliki iklim
5
yang memungkinkan dapat mengembangkan ilmu dan keterampilan mereka serta mempunyai masa depan yang baik secara ekonomi. Fakta-fakta tersebut di atas dapat ditafsirkan sebagai kenyataan bahwa sektor kesehatan di Indonesia dipengaruhi secara kuat oleh mekanisme (Trisnantoro, 2006). Beberapa kondisi yang telah dipaparkan di atas sangat berpengaruh pada minat di kalangan tenaga kesehatan untuk bekerja di daerah terpencil, salah satu faktor yang paling menentukan karena insentif finansial yang ditawarkan kurang memadai (S.R. Mustikowati, et al., 2006). Perbedaan pendapatan antara daerah kota dan daerah terpencil dapat digunakan sebagai dasar pengambilan kebijakan untuk mengurangi ketidakmerataan distribusi geografi tenaga kesehatan. Upaya yang dilakukan Pemerintah untuk menarik minat para lulusan dari Jakarta untuk bekerja di luar Pulau Jawa adalah dengan memberikan bonus 100% di atas gaji normal (Chomitz, 1998 cit. Carmen, 2009). Di samping masalah pemberian insentif yang belum memadai, masalah kondisi tempat tinggal yang masih minim perhatian, peningkatan fasilitas rumah sakit dan manajemen rumah sakit yang buruk diyakini sebagai demotivator dokter spesialis untuk bekerja di daerah terpencil (Malik, et al., 2010) Selama ini insentif non finansial seperti pemberian fasilitas sarana dan prasarana tempat tinggal bagi dokter, manajemen lingkungan tempat kerja, peningkatan fasilitas rumah sakit serta peningkatan mutu pelayanan rumah sakit tidak mendapat perhatian sebagaimana insentif yang bersifat finansial. Rumah sakit sebagai institusi pemberi pelayanan kesehatan kepada masyarakat sebagai salah satu aset yang dimiliki sebagai daya tarik bagi tenaga kesehatan belum dimanfaatkan Pemerintah Daerah secara maksimal. Banyak studi epidemiologi tentang pemanfaatan pelayanan kesehatan fokus pada faktor individu dan rumah tangga yang mengabaikan peran faktor lingkungan dan pemberi pelayanan. Hanya melakukan pengumpulan data tentang pelayanan individu dibandingkan ketersedian fasilitas kesehatan. Di sisi lain studi geografi, umumnya meneliti faktor aksesibilitas tanpa melihat kontrol terhadap faktor individu. Pengabaian terhadap determinan penting akan memberikan
6
gambaran yang tidak utuh yang berakibat pada kesalahan dalam menentukan prioritas kebijakan kesehatan (Gabrysch, et al., 2011). Dari pemaparan yang telah disampaikan di atas terdapat tiga hal penting yang akan menjadi fokus dalam penelitian ini; antara lain pembangunan daerah terpencil, peningkatan kapasitas rumah sakit; meliputi kelas rumah sakit, akreditasi rumah sakit, sistem pengelolaan keuangan rumah sakit, dan penerapan remunerasi, dan terakhir adalah peningkatan daya beli masyarakat yang berpengaruh terhadap kualitas kesehatan masyarakat. Pada penelitian ini akan membahas keterkaitan tiga hal tersebut di atas dengan ketersediaan dokter spesialis di Indonesia dengan menganalisis ketersediaan dokter spesialis yang ada di rumah sakit umum pmerintah (selanjutnya disebut RSU Pemerintah) di Indonesia. Dengan mengidentifikasi level daerah, kapasitas rumah sakit, dan pertumbuhan ekonomi daerah, ketersediaan dokter spesialis di RSU Pemerintah diharapkan dapat dijadikan tolak ukur keberhasilan penyebaran distribusi dokter spesialis di Indonesia di Indonesia. B. Rumusan Masalah Dari uraian di atas maka masalah dalam penelitian ini adalah : “Adakah hubungan antara Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita, pengembangan sistem kesehatan, kebijakan organisasi, fasilitas penunjang spesialistik, dan level daerah yang ditetapkan Kementerian Percepatan Daerah Tertinggal (KPDT) dengan ketersediaan dokter spesialis di RSU Pemerintah kabupaten/kota Indonesia ?”. C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui determinan ketersediaan dokter spesialis dan gambaran fasilitas kesehatan di RSU Pemerintah kabupaten/kota di Indonesia
7
2. Tujuan khusus : a. Menganalisis hubungan antara Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita dengan ketersediaan dokter spesialis RSU Pemerintah di kabupaten/kota. b. Menganalisis hubungan antara kebijakan organisasi (pola pengelolaan keuangan rumah sakit, penerapan sistem remunerasi) dengan ketersediaan dokter spesialis RSU Pemerintah di kabupaten/kota. c. Menganalisis hubungan antara pengembangan sistem kesehatan (kelas rumah sakit, status akreditasi) dengan ketersediaan dokter spesialis RSU Pemerintah di kabupaten/kota. d. Menganalisis hubungan antara ketersediaan pelayanan spesialistik dengan ketersediaan dokter spesialis RSU Pemerintah di kabupaten/kota. e. Menganalisis hubungan antara level daerah dengan ketersediaan dokter spesialis RSU Pemerintah. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis a. Sebagai pengembangan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan pemerataan dokter spesialis di Indonesia b. Sebagai langkah awal untuk penelitian berikutnya terkait dengan permasalahan distribusi dokter spesialis di Indoensia 2. Manfaat praktis Sebagai bahan masukan bagi pembuat kebijakan dalam membuat kebijakan pemerataan dokter spesialis di Indonesia. E. Keaslian Penelitian Penelitian tentang distribusi dokter spesialis di Indonesia sudah pernah dilakukan dan di manca negara penelitian serupa juga pernah dilakukan antara lain : 1.
Yaslis Ilyas (2006) dengan judul “Determinan distribusi dokter spesialis di kota/kabupaten Indonesia”. Penelitian ini bertujuan untuk menggali
8
determinan distribusi Dokter Spesialis di RSUD kabupaten/kota di Indonesia. Rancangan penelitian ini adalah studi cross sectional. Data diambil dari Badan Pusat Statistik dan Biro Personalia, Departemen Kesehatan R.I. Selain itu, data tentang sosio-ekonomi kota/ kabupaten diambil dari Buku terbitan Kompas berjudul Profil Daerah, Kabupaten dan Kota tahun 2004. Unit analisis penelitian adalah kabupaten/kota. Analisis dilakukan dengan Program Stata versi 7.0. melalui 3 tahapan: analisis univariat, analisis bivariat dan analisis multivariat. Kesimpulan: 1. Determinan distribusi dokter spesialis di kota/kabupaten dan signifikan adalah: PDRB per kapita tinggi; jumlah kematian bayi rendah, dan kepadatan penduduk tinggi. 2. Dokter spesialis lebih memilih untuk berkeja dan tinggal daerah perkotaan. 3. Perlu dikembangkan
intervensi
manajemen
yang
komprehensif
untuk
mendistribusikan dokter spesialis ke RSUD di seluruh kabupaten Indonesia. 2.
S.R. Mustikowati et al. (2006) dengan judul “Faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan penempatan dokter spesialis ikatan dinas”. Tujuan penelitian menggambarkan faktor-faktor yang mempengaruhi penempatan dokter spesialis. Menggunakan rancangan cross sectional dengan variabel bebasnya predisposing factor (motivasi, komitmen, keadaan sosial budaya, rasa aman, dan pengetahuan daerah yang akan ditempati), enabling factors (penerimaan daerah tujuan, sarana di daerah tujuan, sarana di daerah tujuan, reward, karier pasca ikatan dinas), reinforcing factor (peraturan kebijakan, sanksi). Variabel tergantung adalah penempatan dokter spesialis ikatan dinas. Sebagian besar responden mempunyai motivasi dan komitmen rendah karena sarana daerah dalam menunjang pekerjaan tidak memadai, sehingga tidak dapat mengembangkan karir. Kesimpulan: Sebagian besar dokter spesialis ikatan dinas menolak untuk penempatan karena komitmen dan motivasi rendah. Dari faktor predisposing, enabling, reinforcing yang paling dominan adalah faktor predisposing yaitu: komitmen dan motivasi
3.
Zina M. Daniels et al. (2007) dengan judul “Factors in recruiting and retaining health professionals for rural practice”. Yang mengidentifikasi faktor yang berkaitan dengan rekrutmen dan retensi dari berbagai lulusan
9
program pendidikan kesehatan di Southwestern United States. Sebuah survei mengumpulkan data longitudinal dikirimkan kepada lulusan dari 12 program kesehatan profesional di New Mexico. Dilakukan analisis univariat terhadap kali pertama bekerja di daerah terpencil dengan pekerjaan lain di daerah terpencil sejak kelulusan. Analisis multivariat dilakukan sebagai kontrol faktor eksternal yang mempengaruhi pilihan pertama bekerja, tinggal di daerah terpencil dan pindah lokasi praktek. Temuan : Ukuran kota kecil, pasca tugas di daerah terpencil, disiplin ilmu, dan usia pada saat wisuda berhubungan dengan pilihan praktek di daerah terpencil (P < 0.05). Keputusan untuk memilih daerah tugas mereka di daerah terpencil dibandingkan dengan daerah perkotaan penting untuk melihat faktor-faktor berikut antara lain kebutuhan masyarakat, bantuan keuangan, ukuran komunitas, kembali ke kampung halaman, dan partisipasi program pelatihan daerah terpencil (P < 0.05). Kesimpulan : perekrutan dan retensi berkaitan dengan latar belakang daerah terpencil dan diminatinya kota kecil. Bantuan pinjaman dan program pelatihan daerah terpencil memperlihatkan dampak yang baik untuk mendukung perekrutan. Upaya Retensi harus fokus pada insentif finansial, peluang profesional, dan daya tarik daerah terpencil. 4.
Giuliano Russo et al. (2012) dengan judul “What influences national and foreign physicians’ geographic distribution? An analysis of medical doctors’ residence location in Portugal”. Sebuah studi cross sectional yang bertujuan untuk mengetahui gambaran populasi dan mengkaji pola residensial dokter dan karakteristik kota. Data diambil dari Konsil Kedokteran Portugal dan The National Institute of Statistics yang terdiri dari karakteristik populasi kota, standar hidup, dan jaringan layanan kesehatan. Dengan pendekatan statistik deskriptif, chi-square tests, negative binomial and model regresi logistik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa populasi, kemampuan daya beli masyarakat, pendapatan per kapita perawat dan Municipality Development Index (MDI) yang merupakan karakteristik kota berhubungan secara bermakna terhadap lokasi dokter.
10