BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang Pertumbuhan penduduk relatif tinggi, ini merupakan beban dalam pembangunan nasional. Tingginya angka kelahiran erat kaitannya dengan usia pertama kali menikah. Salah satu upaya menurunkan laju pertumbuhan penduduk adalah melalui peningkatan usia pernikahan (Rafidah, 2009). Pernikahan dalam usia dini ini berimplikasi pada kekhawatiran usia aman kehamilan bagi istri juga pendampingan orang tua kepada anak-anak. Anak-anak belum selesai pendidikan atau lulus, orangtua sudah tua renta, bahkan sudah meninggal (Al-ghifari, 2004). Pernikahan dini yaitu suatu instituisi agung untuk mengikat dua insan lawan jenis yang masuh remaja dalam satu ikatan keluarga. Remaja itu sendiri adalah anak yang ada pada masa peralihan antara masa anakanak ke dewasa, dimana anak-anak mengalami perubahan-perubahan cepat disegala bidang. Mereka bukan lagi anak-anak, baik bentuk badan, sikap dan cara berfikir, serta bertindak, namun bukan juga orang dewasa yang telah matang (Muhammad, 2005). Menurut Prof. Dr. Sarlito Wiraman Sarwono, mengartikan pernikahan dini adalah sebuah nama yang lahir dari komitmen moral dan keilmuan yang sangat kuat sebagai sebuah solusi alternative. Banyak orang tua mendorong pernikahan putri mereka sementara mereka masih anak-anak dengan harapan bahwa pernikahan yang akan menguntungkan mereka baik secara finansial dan sosial, sementara juga mengurangi beban keuangan pada keluarga (Al-ghifari, 2004). Aturan mengenai usia nikah itu juga ditegaskan kembali dalam PP No 9 tahun 75 dan Instruksi Presiden No 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Pernikahan menyebutkan bahwa batas minimal usia pernikahan untuk perempuan adalah 16 tahun dan laki-laki 19 tahun. Lalu juga ada pasal lain yang
1
2
menyebutkan bahwa pernikahan di bawah usia 21 hanya bisa dilangsungkan dengan persyaratan tambahan. Aturan mengenai usia nikah itu juga ditegaskan kembali dalam PP No 9 tahun 75 dan Instruksi Presiden No 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Meskipun batas umur pernikahan telah ditetapkan dalam pasal 7 ayat (1) UU No. I tahun 74, yaitu pernikahan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudak mencapai umur 16 tahun. Namun dalam prakteknya masih banyak kita jumpai pernikahan pada usia muda atau di bawah umur, padahal pernikahan yang sukses membutuhkan kedewasaan tanggung jawab secara fisik
maupun mental, untuk bisa
mewujudkan harapan yang ideal dalam kehidupan berumah tangga. Fenomena nikah usia dini ( early marriage ) masih sering djumpai pada masyarakat Timur Tengah dan Asia Selatan dan pada beberapa kelompok masyarakat di Sub- Sahara Afrika. Di Asia Selatan terdapat 9,7 juta anak perempuan 48% menikah umur di bawah 18 tahun. Afrika sebesar 42% dan amerika latin sebesar 29%. Di Negara maju seperti Amerika Serikat pada tahun 2002 pernikahan usia dini hanya 2,5% yang terjadi pada kelompok umur 15-19 tahun. Di Indonesia sendiri sekitar 30% (Rafidah, 2009). Dampak pernikahan dini pada kesehatan reproduksi wanita dapat menyebabkan gangguan pada kesehatan yang akan menyebabkan dampak ibu dan janin. Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan salah satu indikator untuk melihat derajat kesehatan perempuan. Angka kematian ibu juga merupakan salah satu target yang telah ditentukan dalam tujuan pembangunan millenium yaitu tujuan ke 5 meningkatkan kesehatan ibu dimana target yang akan dicapai sampai tahun 2015 adalah menurunkan 102 kematian/100.000 kelahiran hidup resiko jumlah kematian ibu. Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007 AKI Indonesia sebesar 228 per 100.000 Kelahiran Hidup, angka tersebut masih tertinggi di Asia (Wijaya, 2010).
3
Menurut data SDKI tahun 2007 (SDKI 2007), angka kematian Neonatal di Indonesia sebesar 19 kematian/1000 kelahiran hidup, angka kematian Bayi sebesar 34 kematian/1000 kelahiran hidup dan angka kematian Balita sebesar 44 kematian/1000 kelahiran hidup (Jauhary, 2010). Departemen Kesehatan menargetkan AKI pada tahun 2015 menjadi 102 orang per tahun. Untuk mewujudkan hal ini, Depkes sedang menggalakkan program Making Pregnancy Saver (MPS) dengan program antara lain Program Perencanaan persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K). Angka kematian ibu (AKI) di Provinsi Jawa Tengah tahun 2009, mencapai 114 kasus per 100 ribu kelahiran hidup. Angka rata-rata ini sedikit lebih rendah dibanding tahun 2008 yang mencapai 114,4 kasus. Dalam level nasional AKI di provinsi Jawa Tengah ini relatif lebih rendah, yang mencapai angka 228 kasus, tetapi lebih tinggi dibandingkan dengan capaian Millenium Developtment Goals (MDGs) dalam kisaran angka 102 kasus per 100 ribu KH. Pemerintah Provinsi Jateng sendiri akan berusaha menurunkan AKI. Sampai 2015 harus mampu mencapai angka yang lebih rendah atau setidaknya sama dengan angka 102 kasus per 100 ribu kelahiran hidup (KH) (Anonymous, 2010). Seiring dengan perkembangan zaman, terjadi pula peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian pesat. Ironinya, pengetahuan lama yang mendasar seperti menyusui justru kadang terlupakan. Padahal kehilangan pengetahuan tentang menyusui berarti kehilangan besar, karena menyusui adalah suatu pengetahuan yang selama berjuta – juta tahun mempunyai peranan penting dalam mempertahankan kehidupan manusia. Bagi ibu hal ini berarti kehilangan kepercayaan diri untuk dapat memberikan perawatan terbaik pada bayinya dan bagi bayi berarti bukan saja kehilangan sumber makanan yang vital, tetapi juga kehilangan cara perawatan yang optimal (Roesli, 2005).
4
Air Susu ibu (ASI) sebagai makanan alamiah adalah makanan yang terbaik yang dapat diberikan oleh seorang ibu terhadap anaknya yang baru dilahirkanya. Komposisinya sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangan bayi yang berubah sesuai dengan kebutuhan bayi pada setiap saat, ASI juga mengandung zat pelindung yang dapat menghindari bayi dari berbagai penyakit infeksi. Pemberian ASI juga mempunyai pengaruh emosional yang luar biasa yang mempengaruhi hubungan batin ibu dan anak serta perkembangan jiwa si anak (Suradi, 2004). Air Susu Ibu (ASI) eksklusif dalam hal menurunkan mortalitas bayi, menurunkan morbiditas bayi, mengoptimalkan partumbuhan bayi, membantu perkembangan kecerdasan anak, dan membantu memperpanjang jarak kehamilan bagi ibu (Sandra & Ahmad, 2010). Banyaknya mitos mengenai ASI sering mempengaruhi pengetahuan ibu. Salah satunya adalah mitos mengenai kualitas ASI yang menyatakan bahwa gangguan pada indung telur, kerja berat dapat menurunkan suplai air susu, dan seringnya ibu berolahraga akan mengubah rasa ASI sehingga kualitas ASI yang dihasilkan tidak baik (Varney, 2007). Menyusui akan menjamin bayi tetap sehat dan memulai kehidupanya dengan cara yang paling sehat. Menyusui sebenarnya tidak saja memberikan kesempatan pada bayi untuk tumbuh menjadi manusia yang sehat secara fisik, tetapi juga lebih cerdas, mempunyai emosional yang lebih stabil, perkembangan spiritual yang positif, serta perkembangan social yang lebih baik (Roesli, 2005). Sebenarnya, aktifitas menyusui dan menyusu merupakan aktivitas yang kompleks bagi ibu dan bayi. Prosesnya bisa saja mengalami hambatan. Diantaranya para ibu yang merasa ASI nya kurang menduduki peringkat utama atau yang terbanyak. Penyebabnya ternyata lebih bersifat psikologis (emosional faktor). Yakni, ibu merasa produksi ASI kurang, padahal sebenarnya bisa mencukupi kebutuhan bayi. Banyak pula ibu yang kurang paham mengenai penatalaksanaan laktasi. Padahal penjelasan informasi tentang manfaat menyusui dan penatalaksanaanya seharusnya
5
dimulai sejak masa kehamilan (usia kandungan 32 minggu/antenatal preparation), lalu pada masa bayi lahir sampai berusia 2 tahun. Termasuk cara mengatasi kesulitan menyusui (Rosa, 2010). Pernyataan ini dukung dengan adanya Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2002, hanya 3,7% bayi yang memperoleh ASI pada hari pertama sedangkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional dalam Depkes 2007, cakupan ASI eksklusif di Indonesia pada tahun 2006 hanya 21,2% dan pada tahun 2007 mengalami penurunan hingga 7% dan di Jawa Tengah tahun 2007 cakupan jumlah ASI eksklusif mencapai 32,93%. Cakupan pemberian ASI eksklusif pada bayi sampai 6 bulan turun dari 28,6% pada tahun 2007 menjadi 24,3% pada tahun 2008 dan naik lagi menjadi 34,3% pada tahun 2009. Berdasarkan data susenas 2009, Cakupan pemberian ASI eksklusif bayi 0 – 6 bulan di provinsi Jawa Tengah sebesar 52,2% (Dinas Kesehatan, 2009), dan 2009 sebesar 30%, 2010 sebesar 65,6% dari jumlah bayi 13.883 dan jumlah bayi yang tidak diberi ASI eksklusif sebesar 34,4% . Hal ini masih jauh dari standar yang ditetapkan yaitu sebesar 80% (Depkes RI, 2007). Di kabupaten Temanggung sendiri cakupan jumlah ASI mencapai 75% di tahun 2010 ( depkes kabupaten Temanggung). Di kecamatan Ngadirejo cakupan jumlah ASI mencapai 65%. Dan di Desa Gondang Winangun cakupan jumlah ASI sebanyak 50%. Laktasi merupakan bagian terpadu dari proses reproduksi yang memberikan makanan bayi secara ideal dan alamiah serta merupakan dasar biologik dan psikologik yang dibutuhkan untuk pertumbuhan. Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan yang ideal bagi pertumbuhan neonates (Nugroho, 2011 ). Laktasi adalah keseluruhan proses menyusui,mulai dari ASI di produksi sampai bayi manghisap dan menelan (Prasetyono, 2009). Laktasi merupakan suatu seni yang harus di pelajari kembali tanpa diperlukan alat-alat khusus dan biaya yang mahal, yang diperlukan adalah kesabaran, waktu, pengetahuan tentang menyusui dan dukungan dari berbagai pihak khususnya suami (Roesli, 2005).
6
Beberapa faktor dalam diri ibu yang ikut mempengaruhi laktasi selain keadaan emosi, keadaan payudara, juga pengalaman atau sikap ibu terhadap penyusuan. Disebutkan bahwa pengalaman masa kanak-kanak pengetahuan tentang ASI, nasehat penyuluhan, bacaan, dan nilai yang berlaku dimasyarakat akan membentuk sikap ibu yang positif terhadap masalah menyusui. Adanya kecenderungan ibu tidak memberikan ASI pada bayinya menurut Mosley (1984) dipengarui oleh tingkat pengetahuan ibu dalam merawat anaknya dengan tingkat pengetahuan yang rendah dapat menimbulkan keterbatasan dalam berperilaku hidup sehat. Banyaknya bayi
yang tidak mendapat ASI kemungkinan
disebabkan oleh karakteristik ibu tersebut diantaranya umur ibu yang terlalu muda sehingga tidak mengerti akan kebutuhan bayi, pendidikan yang tidak memadai, pertama kali melahirkan sehingga tidak tahu pentingnya ASI, pekerjaan mementingkan keindahan tubuh pasca persalinan atau juga bisa disebabkan oleh kurangnya pengetahuan ibu disebabkan tidak mendapatkan informasi dari pihak kesehatan, keluarga dan masyarakat. Faktor lain yang memperkuat ibu untuk tidak menyusui dan memberikan susu formula adalah pemakaian pil KB, gengsi supaya kelihatan lebih modern dan tidak kalah penting adalah pengaruh iklan (Soetjiningsih, 2003).
B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka dapat dirumuskan masalah yaitu “ Adakah hubungan karakteristik dan pengetahuan ibu dengan praktek menyusui pada ibu dengan pernikahan dini”.
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum
7
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan karakteristik dan pengetahuan dengan praktek menyusui pada ibu dengan pernikahan dini 2. Tujuan khusus Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah: a.
Mengidentifikasi karakteristik (umur, pendidikan, pekerjaan, pendapatan ) ibu dengan pernikahan dini.
b.
Mengidentifikasi pengetahuan ibu menyusui dengan pernikahan dini.
c.
Mengidentifikasi praktik menyusui pada ibu dengan pernikahan dini.
d.
Mengidentifikasi umur pernikahan ibu.
e.
Menganalisis hubungan karakteristik umur ibu dengan praktik menyususi
f.
Menganalisis hubungan pendidikan ibu dengan praktik menyusui
g.
Menganalisis hubungan pekerjaan ibu dengan praktik menyusui
h.
Menganalisis hubungan pendapatan ibu dengan praktik menyusui
i.
Menganalisis hubungan pengetahuan dengan praktik menyusui pada ibu dengan pernikahan dini
D. Manfaat Penelitian 1. Bagi perawat atau tenaga kesehatan lainnya Hasil penelitian ini dapat dipakai oleh tenaga keperawatan maupun tenaga kesehatan lainnya dalam upaya peningkatan informasi karakteristik dan pengetahuan ibu dengan praktik menyusui pada ibu dengan pernikahan dini sehingga dapat digunakan data dasar dalam mengatasi masalah laktasi (manajemen laktasi) untuk melakukan penelitian selanjutnya.
2. Bagi Instansi
8
Dapat menambah ilmu pengetahuan tentang praktik pemberian ASI serta
sebagai
program
pengembangan
kurikulum
keperawatan
maternitas di lingkungan keluarga dan komunitas. 3. Bagi peneliti Penelitian ini sangat bermanfaat selama dalam proses belajar karena akan banyak menambah cakrawala pandang peneliti menjadi luas, disamping untuk mengetahui perpaduan antara teori pendidikan dalam maternitas dengan praktek yang ada dilapangan.