BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Diare adalah penyebab kematian utama kedua pada anak-anak di bawah usia 5 tahun (balita). World Health Organization (WHO) memperkirakan sebesar 20% kematian anak di dunia disebabkan oleh diare (WHO, 2011a). Jumlah kematian karena diare sebanyak 1,5 juta setiap tahun. Delapan puluh persen kematian akibat diare terjadi pada kelompok umur di bawah dua tahun (WHO, 2009a). Delapan puluh persen kematian anak karena diare terjadi di wilayah Afrika dan Asia (WHO, 2011b). Jumlah kasus diare di dunia sebanyak 2 milyar per tahun. Kasus terbanyak terjadi pada kelompok umur kurang dari 2 tahun. Di negara-negara berkembang, anak-anak di bawah usia 3 tahun (batita) rata-rata mengalami 3 kali episode diare setiap tahun (WHO, 2009a). Di negara-negara miskin rata-rata episode diare 4 kali per tahun dimana tiap episode dapat mengancam jiwa (life-threatening) (WHO, 2009b). Diare merupakan penyakit yang dapat dicegah dan diobati namun diare yang berlangsung dalam durasi panjang dan terjadi dehidrasi dapat menimbulkan kematian. Diare merupakan life-threatening khususnya pada anak-anak dengan malnutrisi dan atau imunitas rendah (WHO, 2009a). Pada anak dengan masalah kurang gizi, diare terjadi lebih sering dan lebih lama. Semakin buruk status gizi, diare dapat menjadi semakin berat (Suharyono, 1991). Hubungan antara diare dan malnutrisi dapat berlangsung dua arah karena diare juga merupakan penyebab utama malnutrisi pada balita (WHO, 2009a). Di Indonesia diare masih menjadi masalah kesehatan utama. Selain karena angka kesakitan yang tinggi, diare juga masih sering menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB) dengan mortalitas dan morbiditas yang besar (Departemen Kesehatan [Depkes], 2008). Angka kematian (Case Fatality Rate [CFR]) pada KLB diare tahun 2010 adalah 1,74%. Bila dibandingkan dengan CFR tahun 2009, tidak terdapat perubahan yang signifikan karena nilai CFR tahun tersebut konstan. 1
2
Berdasarkan hasil survei subdit diare angka kesakitan diare semua umur tahun 2010 sebesar 411/1.000 penduduk (Kementerian Kesehatan [Kemenkes], 2010).
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Tabel 1. Sepuluh Besar Penyakit Rawat Inap di Rumah Sakit Tahun 2010 Golongan Sebab Sakit Kasus Sembuh Meninggal Diare dan gastroenteritis oleh penyebab infeksi tertentu 71.889 1.289 Demam Berdarah Dengue (DBD) 59.115 325 Demam tifoid dan paratifoid 41.081 274 Penyulit kehamilan dan persalinan lain 40.636 276 Dispepsia 24.716 166 Cedera 21.733 605 Hipertensi esensial (primer) 19.874 955 Cedera Intrakranial 19.381 1.025 Infeksi saluran napas bagian atas akut lain 17.918 589 Pneumonia 17.311 1.315 Sumber: Profil Kesehatan Indonesia, Kemenkes, 2010
Dari tabel 1 dapat disimpulkan bahwa pada tahun 2010 diare menduduki peringkat pertama kunjungan rawat inap di rumah sakit dengan jumlah kasus 71.889. Dengan jumlah kematian 1.289 kasus (CFR=1,79%), diare merupakan penyebab kematian ke-3 dalam kelompok penyakit menular. Di poli rawat jalan, diare juga menempati posisi ke-4 jumlah kunjungan terbanyak dengan 105.279 kasus baru dan 141.556 total kunjungan. Populasi berisiko tinggi terhadap serangan diare akut adalah anak balita. Sebesar 55% kasus terjadi pada golongan usia balita (Kemenkes, 2011a). Angka kesakitan diare balita dalam kurun waktu 10 tahun terakhir terus berfluktuasi (Kemenkes, 2011c). Beban masalah diare pada balita tidak hanya pada tingginya angka morbiditas tetapi juga besarnya angka kematian. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 menyebutkan bahwa proporsi diare sebagai penyebab kematian nomor 1 pada bayi usia <12 bulan (31,4%) dan usia 1-4 tahun (24%).
3
Sumber: Riskesdas, 2007
Gambar 1. Penyebab Kematian Bayi Usia 29 hari-11 Bulan Penyebab diare yang paling sering ditemukan di masyarakat adalah infeksi terutama oleh virus (Kemenkes, 2011a dan WHO, 2011b). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Indonesian Rotavirus Surveillance Network (IRSN) dan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Litbangkes) Departemen Kesehatan menunjukkan bahwa Rotavirus dan Adenovirus merupakan penyebab infeksi utama (70%) sedangkan infeksi bakteri hanya sebesar 8,4%. Infeksi Rotavirus mengakibatkan kerusakan vili usus yang berakibat menurunnya produksi enzim laktase sehingga terjadi malabsorpsi laktosa (Kemenkes, 2011a). Terhadap infeksi saluran pencernaan, usia balita terutama bayi memiliki tingkat kepekaan (stage of susceptibility) yang lebih tinggi daripada dewasa (WHO, 2011b). Sistem kekebalan tubuh (imunitas) dan organ-organ pada bayi belum berkembang sempurna. Hingga usia 3 bulan, lambung bayi hanya dapat mencerna gula dalam susu yang disebut laktosa (Arisman, 2007). Dalam rangka
meningkatkan kualitas kesehatan dan gizi anak,
WHO/UNICEF dalam Global Strategy for Infant and Young Child Feeding (IYCF) merekomendasikan kepada para ibu untuk memberikan Air Susu Ibu (ASI) saja hinggabayi berusia 6 bulan yang disebut sebagai ASI eksklusif (UNICEF, 2011). Bayi yang diberi ASI eksklusif selama 6 bulan menunjukkan
4
jumlah kesakitan gastrointestinal yang lebih rendah dibandingkan bayi tidak ASI eksklusif, meskipun keduanya menunjukkan kecepatan pertumbuhan yang hampir sama (Horta et al., 2007). ASI eksklusif dapat menurunkan kejadian diare pada anak hingga 40% (Kramer et al., 2001). Hasil penelitian Lopez Alarcon et al.(1997) juga telah membuktikan efek protektif ASI eksklusif terhadap penyakit infeksi. Insidens, prevalens, dan durasi kejadian diare dan ISPA lebih rendah pada bayi dengan ASI eksklusif daripada bayi dengan susu formula. Sejalan dengan penelitian di atas, sebuah studi prospektif juga membuktikan 53% kasus rawat inap akibat diare pada bayiusia <8 bulan tereduksi dengan pemberian ASI eksklusif (Quigley et al., 2007). ASI disebut sebagai “Baby’s First Immunization”(Arora, 2011 dan American Academy of Pediatrics, 2008). Dalam protein ASI tersimpan berbagai faktor immune yang memiliki peranan sebagai anti infeksi, anti inflamasi, immunomodulatory effects, bifidus factors, dan makrofag (Morrow dan Rangel, 2004). Pemberian ASI secara eksklusif dan kontinyu dapat memberikan imunitas pasif bagi bayi (Sastromihardjo, 1985). Di dalam ASI juga terdapat epidermal growth factor yang membantu pematangan intestinal epithelium. Oleh karena itu bayi-bayi yang mendapat ASI secara penuh jarang terjangkit penyakit infeksi terutama diare dan ISPA (Gibney et al., 2009). Selain itu, ASI mengandung lemak dan laktosa yang tinggi dan rendah mineral sehingga memudahkan pencernaandan penyerapan oleh lambung dan usus bayi (Sastromihardjo, 1985). ASI menyediakan energi dan protein yang cukup untuk kebutuhan bayi sampai usia 6 bulan. Pada 3-4 bulan pertama laktasi terjadi perubahan konsentrasi nutrientdan faktor immune yang sangat cepat. Kadar protein pada bulan pertama adalah 11 g/L yang akan menurun menjadi 8 g/L setelah bulan ke-3(Butte et al., 2002). Telah banyak penelitian yang menyatakan manfaat dari ASI eksklusif namun tidak diikuti dengan kesadaran masyarakat untuk mensukseskan program tersebut. Terbukti dari cakupan ASI eksklusif nasional tahun 2010 belum memenuhi target Standar Pelayanan Minimal (SPM) dalam Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) Nomor 828 Tahun 2008 (61,3%). Propinsi Jawa Tengah
5
merupakan daerah dengan cakupan ASI eksklusif terendah ke-2 (52,2%) (Kemenkes RI, 2010). Secara global, cakupan ASI eksklusif pun masih sangat rendah (WHO, 2011c). Riskesdas (2010) menunjukkan bahwa pemberian ASI eksklusif akan menurun selaras dengan pertambahan usia. Pada usia 0-1 bulan, 39,8% bayi masih berstatus ASI eksklusif namun pada usia 5 bulan menurun menjadi 15,3%. Hal ini sejalan dengan penelitian Lopez-Alarcon et al. (1997) yang menunjukkan bahwa persentase pemberian ASI eksklusif menurun secara progresif, hingga usia 3 bulan persentase ASI eksklusif sebesar 63% kemudian menurun menjadi 25% pada bulan ke-6. Terlalu dini memberikan Makanan Pendamping (MP) ASI berisiko mempercepat kontak dengan agen mikrobiologis penyebab diare (Kemenkes, 2011b). Ditambah dengan rendahnya cakupan ASI eksklusif, risiko diare pada bayi dan balita semakin besar. Risiko tertinggi terjadi pada bayi yang mendapat susu formula (Quigley et al., 2006). Kabupaten Klaten merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Jawa Tengah dengan angka kesakitan dan kematiandiare yang cukup tinggi. Dalam 2 tahun terakhir, di Kabupaten Klaten masih sering terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) diare. Berdasarkan laporan Sistem Surveilans Terpadu (SST) Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan Kabupaten Klaten, diare menduduki peringkat pertama jumlah kunjungan kasus baru rawat jalan maupun rawat inap tahun 2011. Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir Incidence Rate (IR) diare di Kabupaten Klaten terus mengalami peningkatan (gambar 2). Laporan Seksi Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) Bidang Kesehatan Masyarakat (Kesmas) juga menunjukkan bahwa diare adalah penyebab kematian kedua pada bayi (15%) dan balita (23%).
6
Sumber: Laporan SST, Bidang P2P, Dinas Kesehatan Kab. Klaten, 2007-2011
Gambar 2. Angka Kesakitan (Incidence Rate %) Diare di Kabupaten Klaten Tahun 2007-2011
Sumber: Laporan SST,Bidang P2P, Dinas Kesehatan Kab. Klaten, 2011
Gambar 3. Angka Kesakitan (Incidence Rate %) Diare Menurut Kelompok Umur di Kabupaten Klaten Tahun 2011 Gambar 3 menunjukkan bahwa angka kesakitan diare di Kabupaten Klaten tertinggi pada umur <1 tahun (18%) padahal hasil survei Riskesdas (2007) menunjukkan prevalensi 16,5% untuk golongan umur yang sama. Secara umum, angka kesakitan diare balita di Kabupaten Klaten lebih tinggi dari rata-rata
7
nasional. Pada golongan umur 1-4 tahun, angka kesakitan nasional hanya 16,7% sedangkan Kabupaten Klaten 17,1%. Pada tahun 2011 cakupan ASI eksklusif di Kabupaten Klaten masih belum mencapai target SPM Bidang Kesehatan Kabupaten/Kota. Tahun 2011, hasil survei yang dilakukan oleh Seksi Gizi menunjukkan sebanyak 21% bayi usia <6 bulan telah mengkonsumsi makanan tambahan selain ASI dalam 24 jam sebelum interview. Cakupan pemberian ASI eksklusif di Kabupaten Klaten juga mengalami penurunan yang progresif seiring pertambahan umur. Dari data tahun 2010, cakupan ASI eksklusif E1, Juli, sebesar 12,54% yang menurun di akhir tahun menjadi 7,45% pada E6 (Gambar 4).
Sumber: Laporan Seksi Gizi, Bidang Kesmas, Dinas Kesehatan Kab. Klaten, 2011
Gambar 4. Cakupan ASI Eksklusif di Kabupaten Klaten Bulan Juli-Desember Tahun 2010 Peningkatan partisipasi wanita dalam angkatan kerja dan kemudahan sarana komunikasi/periklanan berhubungan dengan kecenderungan penurunan durasi menyusui (Siregar, 2004). Melalui studi prospektif, Chuang et al. (2010) telah membuktikan hubungan antara faktor ibu kembali bekerja dengan durasi ASI eksklusif. Sejalan dengan penelitian tersebut, penelitian-penelitian lain menunjukkan, terdapat hubungan antara lama cuti melahirkan dengan durasi ASI eksklusif (Harley et al., 2007; Chatterji dan Frick, 2005). Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1976, kebijakan cuti bersalin Pegawai Negeri Sipil
8
(PNS) dialokasikan selama 3 bulan untuk anak pertama sampai ke-3. Hal ini diadopsi juga oleh perusahaan swasta (Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 1 Tahun 1985 tentang Kesepakatan Kerja Bersama). Oleh karena itu usia 3 bulan adalah fase rawan terputusnya ASI eksklusif.Data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Klaten (2010) menunjukkan bahwa struktur ekonomi tertinggi di Kabupaten Klaten bersumber dari sektor perdagangan, hotel dan restoran (25,64%) serta manufacturing industry (20,52%). Sektor-sektor tersebut paling banyak menyerap tenaga kerja baik pria maupun wanita. Sejalan dengan pertambahan umur, kemampuan motorik dan kecerdasan emosional bayi juga ikut berkembang. Tahap awal perkembangan tersebut terjadi pada usia 3 bulan. Widyastuti dan Widyani (2007) menyebutkan perkembangan motorik mulai usia 3 bulan memungkinkan bayi menjangkau dan meraih benda sedangkan perkembangan kecerdasan emosional dibuktikan dengan peningkatan kemampuan berpikir. Pada fase ini bayi sering bermimpi sedang makan. Bayi usia 3-6 bulan lebih berisiko terkena diare karena pada usia tersebut bayi sudah dapat bermain dengan mainannya. WHO (2009c) menyebutkan bahwa diare Rotavirus juga dapat ditularkan melalui kontak dengan mainan yang terkontaminasi. Hal ini diperparah dengan tingkat kerawanan putusnya ASI eksklusif meningkat pada usia tersebut (Lopez-Alarcon et al., 1997). Tingkat imunitas dari ASI mature pada usia 3 bulan juga mengalami penurunan (Butte et al., 2002). Rahmanifar et al. (1996) juga menyatakan bahwa bayi akan mengalami peningkatan kejadian penyakit infeksi pada usia 3-6 bulan. Penelitian Patel et.al. (2011) menguatkan argumentasi bahwa durasi kejadian diare pada usia <6 bulan berpengaruh secara signifikan terhadap durasi kesakitan diare pada umur selanjutnya. Berdasarkan jenis asupan makanan, pola menyusui bayi pada usia 6 bulan pertama dikategorikan menjadi eksklusif jika bayi hanya diberikan ASI sebagai asupan makanan sehari-hari dan tidak eksklusif jika bayi sudah dikenalkan dengan makanan/minuman berbasis air (predominan) atau makanan/minuman buatan (parsial). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh pola menyusui, yaitu eksklusif dan tidak eksklusif (predominan dan parsial) terhadap kejadian dan durasi diare pada bayi usia 3-6 bulan di Kabupaten Klaten tahun 2012.
9
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, rumusan masalah penelitian ini adalah: 1. Apakah bayi dengan pola menyusui tidak eksklusif lebih berisiko mengalami diare pada usia 3-6 bulan dibandingkan bayi yang mendapatkan ASI eksklusif? 2. Apakah terdapat perbedaan durasi kejadian diare antara bayi dengan pola menyusui tidak eksklusif dibandingkan bayi yang mendapatkan ASI eksklusif?
C. Tujuan 1. Tujuan Umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah mengetahui pengaruh pola menyusui terhadap kejadian diare dan durasinya pada bayi usia 3-6 bulan di Kabupaten Klaten 2. Tujuan Khusus Tujuan khusus dari penelitian ini adalah: a. Mengidentifikasi karakteristik responden menurut karakteristik keluarga (umur ibu, tingkat pendidikan ibu, status pekerjaan ibu, dan tingkat penghasilan keluarga), karakteristik anak (jenis kelamin, berat badan lahir, status gizi, jumlah balita lain yang tinggal serumah, status inisiasi menyusui dini [IMD], pemberian susu formula dan pola menyusui), karakteristik lingkungan (penggunaan air sumur dan kepemilikan jamban sehat keluarga) b. Menganalisis pengaruh pola menyusui terhadap kejadian diare pada bayi usia 3-6 bulan c. Menganalisis perbedaan durasi kejadian diare pada bayi dengan pola menyusui tidak eksklusif dibandingkan dengan eksklusif
10
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak ditinjau dari segi praktis dan ilmiah. 1. Manfaat Praktis a. Penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi sebagai bahan masukan bagi pengelola program P2P dan KIA di puskesmas se-Kabupaten Klaten dalam meningkatkan kualitas kesehatan anak terutama bayi, khususnya terhadap upaya pencegahan terjadinya diare diusia dini b. Sebagai bahan masukan bagi pengelola program Gizi dalam upaya peningkatan cakupan ASI eksklusif c. Sebagai bahan masukan bagi pengelola program P2P dan KIA dalam penyebarluasan informasi tentang faktor-faktor risiko kejadian diare terutama pada bayi dalam rangka peningkatan kualitas hidup anak. d. Sebagai bahan masukan bagi orang tua khususnya para ibu tentang adanya risiko kejadian diare pada anak apabila tidak mendapatkan ASI eksklusif hingga 6 bulan penuh sehingga diharapkan dapat meningkatkan pengawasan dalam pola pengasuhan dan pemberian makanan terutama pada bayi dengan status ibu bekerja. 2. Manfaat ilmiah Penelitian
ini
dapat
menambah
kepustakaan
bagi
bidang
ilmu
epidemiologi yang berkaitan dengan kasus diare.
E. Keaslian Penelitian Berikut merupakan persamaan dan perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sejenis: 1. Duitjs et al. (2010) Prolong and Exclusive Breastfeeding Reduces the Risk of Infectious Disease in Infancy Penelitian ini menggunakan desain cohort prospective dengan variabel tergantung adalah kejadian penyakit infeksi, yaitu diare (gastrointestinal infection), Upper Respiratory Tract Infection (URTI), Lower Respiratory Tract Infection (LRTI) pada usia 0-6 bulan dan 7-12 bulan. Variabel bebas
11
berupa durasi ASI eksklusif (tidak pernah, <4 bulan, 4-6 bulan, ≥6 bulan), demografis ibu (umur, pendidikan, status merokok), demografis anak (jenis kelamin, umur, BB lahir, jumlah saudara kandung). Subyek penelitian adalah bayi baru lahir yang diikuti hingga usia 12 bulan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara statistik pemberian ASI eksklusif dengan durasi minimal 4 bulan merupakan faktor protektif kejadian diare (aOR=0,41; 95% CI: 0,26-0,64), URTI (aOR=0,65; 95% CI: 0,51-0,83), dan LRTI (aOR=0,50; 95% CI: 0,32-0,79) hingga bayi berusia 6 bulan dan merupakan faktor protektif LRTI (aOR=0,46; 95% CI: 0,31-0,69) pada bayi yang berusia 7-12 bulan. Persamaan dengan penelitian di atas adalah pada variabel tergantung kejadian diare, variabel bebas status ASI eksklusif,, demografis ibu (umur dan pendidikan). Perbedaannya pada subyek penelitian, tempat dan waktu penelitian serta beberapa variabel bebas lain yang diteliti. 2. Plenge-Bonig
et.al.
(2010)
Breastfeeding
Protects
Against
Acute
Gastroenteritis due to Rotavirus in Infants Penelitian ini merupakan penelitian nasted case-control. Subyek penelitian ini adalah bayi usia 0 yang di-follow up hingga 12 bulan. Variabel penelitian ini adalah variabel tergantung berupa kejadian diare karena rotavirus (confirm) dan variabel bebas berupa pemberian ASI, umur, jenis kelamin, jumlah anggota keluarga, jumlah saudara kandung, pengasuh, suku bangsa, musim pada waktu sakit, dan perawatan. Definisi operasional pemberian ASI adalah pemberian ASI pada awal kelahiran sampai saat diare. Hasil penelitian menunjukkan pemberian ASI merupakan faktor protektif kejadian diare karena Rotavirus (OR=0,53; 95% CI: 0,36-0,76). Efek protektif tersebut lebih besar pada kelompok umur 0-6 bulan (OR=0,33; 95% CI: 0,19-0,55) bila dibandingkan umur 7-12 bulan. Persamaan dengan penelitian di atas adalah pada variabel tergantung kejadian diare, variabel bebas status ASI eksklusif, jumlah saudara kandung. Perbedaan terletak pada cara diagnosa kasus, rancangan penelitian, subyek penelitian, serta beberapa variabel bebas yang diteliti.
12
3. Herawati (2009) Pengaruh pemberian makanan bayi terhadap kejadian diare sampai dengan usia 6 bulan di Kabupaten Lombok Timur Provinsi NTB Penelitian ini menggunakan desain retrospective cohort. Sampel penelitian adalah bayi usia 1 bulan yang ditelusuri ke depan melalui pencatatan status ASI eksklusifnya sampai 6 bulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara statistik ASI parsial dan sumber air tidak sehat perpengaruh terhadap kejadian diare pada bayi sampai dengan usia 6 bulan. Persamaan dengan penelitian di atas adalah pada variabel tergantung kejadian diare dan variabel bebas status pemberian makanan pada bayi (ASI eksklusif atau makanan lain). Perbedaan terletak pada rancangan penelitian, subyek penelitian, serta beberapa variabel bebas yang diteliti. 4. Ehlayel et al. (2009) Protective effect of breastfeeding on diarrhea among children in a rapidly growing newly developed society Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional survey. Pemilihan sampel dilakukan dengan multistage sampling. Subyek penelitian ini adalah anak balita usia 1-5 tahun. Variabel dependen penelitian ini adalah episode diare pada anak usia 1-5 tahun. Variabel independen adalah sosiodemografi (umur anak, jenis kelamin, paritas, umur kehamilan, tingkat pendidikan ibu, pekerjaan ibu, tingkat pendapatan, tipe tempat tinggal), dan pola pemberian makanan (Exclusive Breastfeeding, Partial Breastfeeding, susu formula). Hasil dari penelitian ini adalah proporsi ASI eksklusif=59,3%, ASI parsial=28,3%, penggunaan susu formula=12,4%. Jika dibandingkan dengan kelompok ASI eksklusif, risiko diare lebih besar 2,18 kali pada kelompok ASI parsial dengan durasi eksklusif yang pendek(95% CI: 1,51-3,08; p<0,001) dan 2,68 kali lebih besar pada kelompok susu formula (95% CI: 1,52-4,38; p<0,001). Persamaan dengan penelitian di atas adalah pada variabel tergantung kejadian diare, variabel bebas status ASI eksklusif. Perbedaan terletak pada rancangan penelitian, subyek penelitian, serta beberapa variabel bebas yang diteliti.
13
5. Mihrshahi et al(2008) Association Between Infant Feeding Patterns and Diarrhoeal and Respiratory Illness: A Cohort Study in Chittagong, Bangladesh Rancangan penelitian ini adalah cohort dengan subyek penelitian bayi baru lahir. Variabel yang diteliti adalah kejadian diare dan ARI hingga bayi usia 6 bulan sebagai variabel tergantung. Adapun variabel bebasnya adalah pola pemberian makanan pada bayi (eksklusif, predominant, dan partial), jumlah anggota keluarga, umur ibu, paritas, Antenatal Care (ANC), pendidikan ibu, pendidikan ayah, berat badan (BB) dan tinggi badan (TB) pada usia 4 hari, jenis kelamin bayi, dan Inisiasi Menyusui Dini (IMD). Penelitian ini menunjukkan bahwa bayi yang tidak mendapat ASI eksklusif berisiko 2,5 kali lebih besar mengalami diare (95% CI: 1,10-5,69; p = 0,03) dan 2,31 kali mengalami Acute Respiratory Tract Infection (ARI) (95% CI: 1,33-4.00; p<0,01). Tidak ada perbedaan prevalensi diare antara kelompok ASI eksklusif dan predominant. Prevalens diare terbesar pada kelompok ASI parsial (19,2% [95% CI 10,4-27,9]; p = 0,01). Persamaan dengan penelitian di atas adalah pada variabel tergantung kejadian diare, variabel bebas status ASI eksklusif serta rancangan penelitian. Perbedaan terletak pada subyek penelitian, serta beberapa variabel bebas yang diteliti. 6. Mihrshahi et. al. (2007) Prevalence of Exclusive Breastfeeding in Bangladesh and Its Association with Diarrhoea and Acute Respiratory Infection: Results of the Multiple Indicator Cluster Survey 2003 Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional. Subyek penelitian adalah bayi usia 0-3 bulan. Pemilihan sampel berdasarkan metode Multiple Indicator Cluster Survey. Variabel dependen penelitian ini adalah kejadian diare dan ISPA sedangkan variabel independen adalah pemberian ASI eksklusif pada bayi usia 0-3 bulan. Variabel independen lain adalah umur anak, jenis kelamin, tingkat pendidikan ibu, jumlah saudara kandung, strata tempat tinggal, jenis kepemilikan tempat tinggal, sumber air minum, dan tempat pembuangan feses. Hasil penelitian ini adalah prevalens diare dan
14
ISPA adalah 14,3% dan 31,2%. ASI eksklusif secara statistik berhubungan dengan kejadian diare dan ISPA dengan nilai OR Adjusted diare=0.69 (95% CI: 0,49-0,98; p=0,039) dan OR Adjusted ISPA=0,69 (95% CI: 0,54-0,88; p=0,003). Persamaan dengan penelitian di atas adalah pada variabel tergantung kejadian diare, variabel bebas status ASI eksklusif, umur dan pendidikan ibu. Perbedaan terletak pada subyek penelitian, serta beberapa variabel bebas yang diteliti. 7. Quigley et al. (2007) Breastfeeding and Hospitalization for Diarrheal and Respiratory Infection in the United Kingdom Millennium Cohort Study Rancangan penelitian adalah cohort prospective (longitudinal study). Subyek penelitian adalah bayi usia 0 yang diikuti hingga mencapai usia 8 bulan. Variabel yang diteliti adalah variabel tergantung berupa kejadian diare dan infeksi saluran pernapasan yang dirawat di rumah sakit (opname) sampai bayi berusia 8 bulan. Adapun variabel bebas yang diteliti berupa pola pemberian makan, karakteristik perinatal dan bayi, karakteristik ibu dan karakteristik rumah tangga. Dari hasil perhitungan population attributable fractions menunjukkan bahwa ASI eksklusif dapat melindungi bayi dari kejadian diare yang menyebabkan rawat inap di rumah sakit pada 8 bulan pertama kehidupan. Dengan pemberian ASI eksklusif 53% kasus diare yang dirawat di rumah sakit dapat diturunkan. ASI parsial dapat melindungi 31% kasus diare yang dirawat di rumah sakit. Sebesar 27% kasus LRTI yang dirawat dirawat di rumah sakit dapat dilindungi dengan ASI eksklusif dan 25% dengan ASI parsial. Persamaan dengan penelitian di atas adalah pada variabel tergantung kejadian diare, variabel bebas status ASI eksklusif dan desain penelitian. Perbedaan terletak pada definisi operasional variabel tergantung, analisis data, subyek penelitian, serta beberapa variabel bebas yang diteliti.
15
8. Quigley et al. (2006) How Protective is Breast Feeding Against Diarrhoeal Disease in infants in 1990s England? A Case-Control Study Penelitian ini menggunakan rancangan case-control dengan matching umur dan jenis kelamin. Subyek penelitiannya adalah bayi usia 0-12 bulan. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pemberian ASI secara signifikan berhubungan dengan lebih rendahnya kejadian diare. Kejadian diare terbesar terjadi pada kelompok bayi dengan susu formula. Ada hubungan antara botol susu yang tidak steril dengan kejadian diare. Efek protektif ASI tidak akan bertahan dalam 2 bulan setelah perhentian pemberian ASI. Persamaan dengan penelitian di atas adalah pada variabel tergantung kejadian diare, variabel bebas status ASI eksklusif dan cara mendiagnosis kasus. Perbedaan terletak pada rancangan penelitian, subyek penelitian, serta beberapa variabel bebas yang diteliti. 9. Kramer et al. (2003) Infant growth and health outcomes associated with 3 compared with 6 months of exclusive breastfeeding Penelitian ini menggunakan rancangan cohort study dengan sampel adalah bayi baru lahir dan diikuti sampai 12 bulan. Variabel tergantung yang diteliti adalah pertumbuhan bayi, kejadian penyakit infeksi, yaitu infeksi pada saluran pencernaan dan pernapasan. Variabel bebas berupa durasi pemberian ASI eksklusif (3 bulan dan ≥6 bulan), umur ibu, pendidikan ibu, status ibu merokok, jumlah anak yang tinggal serumah, BB saat lahir, PB saat lahir, dan lingkar kepala saat lahir. Hasil penelitian menunjukkan ASI eksklusif hingga ≥6 bulan merupakan faktor proteksi diare pada bayi hingga usia 1 tahun pertama bila dibandingkan ASI eksklusif hanya 3 bulan. Bayi dengan durasi ASI eksklusif 3 bulan secara signifikans mengalami pertambahan berat badan yang lebih besar dibandingkan bayi dengan ASI eksklusif penuh (≥6 bulan) akan tetapi bayi dengan ASI eksklusif hingga ≥6 bulan mengalami pertambahan panjang badan dan lingkar kepala yang lebih besar. Persamaan dengan penelitian di atas adalah pada variabel tergantung kejadian diare, variabel bebas status ASI eksklusif dan cara mendiagnosis kasus. Perbedaan terletak pada subyek penelitian, serta beberapa variabel
16
bebas yang diteliti dan adanya variabel terikat lain, yaotu kejadian infeksi pada saluran pernapasan. 10. Lopez-Alarcon, et al. (1997) Breast-Feeding Lowers the Frequency and Duration of Acute Respiratory Infection and Diarrhea in Infants under Six Months of Age Penelitian ini menggunakan desain cohort prospective. Subyek penelitian adalah bayi usia 0 bulan yang diikuti hingga usia 6 bulan. Variabel tergantungnya adalah frekuensi dan durasi kejadian ARI dan diare. Variabel bebas
berupa
pola
pemberian
makan
(eksklusif,
formula,
dan
parsial/campuran), umur dan pendidikan ibu, BB lahir, jumlah saudara kandung, kepadatan rumah, penggunaan air ledeng, SPAL, dan kondisi lantai rumah. Hasil penelitian ini adalah insidens dan prevalensi ISPA secara signifikan berhubungan dengan durasi ISPA. Bayi dengan ASI eksklusif penuh memiliki episode ISPA lebih rendah daripada bayi dengan ASI parsial (episode per-individu: 5,1±3,5 vs 6,4±3,6 hari). Persamaan dengan penelitian di atas adalah pada variabel tergantung kejadian diare, variabel bebas status ASI eksklusif, rancangan penelitian dan cara mendiagnosis kasus. Perbedaan subyek penelitian, beberapa variabel bebas yang diteliti dan cara analisis data.