BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang Banyak orangtua menganggap kekerasan pada anak adalah hal yang wajar. Mereka beranggapan kekerasan adalah bagian dari mendisiplinkan anak. Mereka lupa bahwa orangtua adalah orang yang paling bertanggung jawab dalam mengupayakan kesejahteraan, perlindungan, peningkatan kelangsungan hidup, dan mengoptimalkan tumbuh kembang anaknya (Mukhtarlutfi , 2008). Selama proses tumbuh kembang, orang tua perlu menyikapi dengan baik proses belajar pada anak. Selama proses belajar, anak akan sering melakukan kesalahan, namun orangtua sering kali menyikapi proses belajar yang salah ini dengan kekerasan. Bagi orangtua, tindakan anak yang melanggar perlu dikontrol dan dihukum sebagai bentuk pengasuhan dan mendisiplinkan pada anak (Soetjiningsih, 1995). Hukuman tersebut tidak harus dalam bentuk kekerasan dengan merujuk pada tindakan agresi dan pelanggaran (penyiksaan, pemerkosaan, pemukulan, dan lain-lain). Hukuman dalam bentuk kekerasan anak akan lebih bersifat sebagai bentuk penganiayaan fisik dengan terdapatnya tanda atau luka pada tubuh anak. Kekerasan terhadap anak jika dilakukan di dalam rumah tangga yang dilakukan oleh orang tua, maka disebut kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Tindak kekerasan rumah tangga yang termasuk di dalam tindakan kekerasan rumah tangga adalah memberikan penderitaan baik secara fisik maupun mental di luar batas-batas tertentu terhadap orang lain yang berada di dalam satu rumah; seperti terhadap pasangan hidup, anak, atau orang tua dan tindak kekerasan tersebut dilakukan di dalam rumah (Soetjiningsih, 1995). Kekerasan terjadi ketika seseorang menggunakan kekuatan, kekuasaan, dan posisinya untuk menyakiti orang lain dengan sengaja, bukan karena kebetulan. Kekerasan juga meliputi ancaman, dan tindakan yang bisa
1
2
mengakibatkan luka dan kerugian. Luka yang diakibatkan bisa berupa luka fisik, perasaan, pikiran, yang merugikan kesehatan dan mental. Kekerasan pada anak adalah segala bentuk tindakan yang melukai dan merugikan fisik, mental, dan seksual termasuk hinaan meliputi: penelantaran dan perlakuan buruk, eksploitasi termasuk eksploitasi seksual, serta trafficking/ jual-beli anak (Andez, 2006). Akhir-akhir ini, kekerasan pada anak terus meningkat. Permulaan tahun 2010 ini masyarakat dikejutkan dengan rentetan kekerasan pada anak. Di Depok Jawa Barat seorang guru ngaji menyiksa santrinya dengan air keras, di Jakarta seorang homoseks bernama Babe menyodomi dan membunuh tiga anak jalanan dengan cara mutilasi. Masih ada lagi di Tangerang seorang ibu tega membekap bayinya hingga tewas dan di Semarang juga terjadi kasus penculikan bayi yang sampai sekarang juga belum terungkap (Ason, 2010). Kekerasan pada anak nampaknya terus terjadi dan sulit untuk dikendalikan. Terdapat kecenderungan ketika ada permasalahan yang berhubungan dengan anak, maka dipergunakan cara-cara kekerasan untuk menyelesaikannya. angka kekerasan pada anak di Indonesia pun cenderung mengalami peningkatan (Ason, 2010). Data World Vision Indonesia menemukan angka 1891 kasus kekerasan selama tahun 2009, padahal pada tahun 2008 hanya 1600 kasus. Kompilasi dari sembilan surat kabar nasional menemukan data 670 kekerasan pada anak selama tahun 2009, sementara tahun 2008 sebanyak 555 kasus. Pengaduan ke KPAI selama tahun 2008 ada 580 kasus dan tahun 2009 ada 595 kasus (Ason, 2010). Kasus kekerasan terhadap anak terdiri dari 96 kasus kekerasan fisik, 248 kasus pelecehan seksual, 314 kasus kekerasan psikis, dan 20 kasus penelantaran. Angka-angka ini merupakan fenomena gunung es, yang faktanya di lapangan jauh lebih besar. Jumlah tersebut, menurut Rustriningsih Wakil Gubernur Jawa Tengah, separuh lebih dari apa yang terjadi di tahun 2009. Hal itu didasarkan laporan Pelayanan Terpadu dari 35 kabupaten/kota di Jateng, telah terjadi 2.512 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.
3
Terdiri dari 1.239 kasus KDRT, 903 kasus pemerkosaan, dan 67 kasus trafficking (Anwar Fatoni,2010). Dampak dari kekerasan tersebut adalah adanya akibat langsung pada diri sang anak. bila seorang anak mengalami kekerasan secara fisik, dampak langsung yang akan dialaminya diantaranya dapat mengakibatkan kematian, patah tulang atau luka-luka, dan pertumbuhan fisiknya pun berbeda dengan teman sebayanya. Sedangkan dampak jangka panjang yang dapat dialami anak
yang
mendapat
kekerasan
adalah
akan
munculnya
perasaan
malu/menyalahkan diri sendiri, cemas atau depresi, kehilangan minat untuk bersekolah, stres pasca-trauma seperti terus-menerus memikirkan peristiwa traumatis yang dialaminya, dan dapat pula tumbuh sebagai anak yang mengisolasi diri sendiri dari lingkungan di sekitarnya (Soetjiningsih, 1995). Ibu sebagai orang yang paling dekat dengan anak, secara tidak sadar seringkali melakukan berbagai jenis kekerasan pada anak sebagai upaya agar anak lebih patuh terhadap dirinya. Berdasarkan data dari Komnas Perlindungan Anak tahun 2010 menyebutkan bahwa pelaku kekerasan pada anak dilakukan oleh ibu. Adanya tekanan ekonomi atau permasalahan lain yang dialami oleh ibu, maka anak yang akan menjadi pelampiasan dan menjadi korban (Okezone, 2010). Hasil survey pendahuluan melalui wawancara dengan 5 orang ibu di Desa Tambakromo, 4 diantaranya menyatakan sering memberikan hukuman kepada anak karena anak yang rewel atau nakal. Hal ini dimaksudkan agar anak menjadi jera dan tidak bertambah nakal. Namun demikian ibu-ibu ini tidak melakukan hukuman dengan sepenuh hati, tapi lebih sebagai bentuk pendisiplinan dan tetap menyayangi anaknya. Berdasarkan fenomena di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Studi fenomenologi tentang persepsi ibu terhadap kekerasan pada anak di Desa Tambakromo”.
4
B. Rumusan masalah Selama proses belajar, anak sering kali melakukan kesalahan. Anak sering bertindak bandel, susah menurut serta susah diatur. Menyikapi hal tersebut orangtua sering kali memberikan hukuman dalam bentuk kekerasan untuk menimbulkan efek jera pada anak. Namun perlu diketahui bahwa tindakan kekerasan pada anak bukanlah satu-satunya solusi untuk membuat anak menjadi lebih penurut, bahkan anak yang sering mendapat tindakan kekerasan anak sering kali menjadi lebih agresif. Berdasarkan paparan tersebut di atas, maka masalah penelitian ini adalah “Bagaimana studi fenomenologis tentang persepsi ibu terhadap kekerasan pada anak di Desa Tambakromo Kecamatan Tambakromo Kabupaten Pati”.
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum Mengetahui gambaran fenomena tentang persepsi ibu terhadap kekerasan pada anak di Desa Tambakromo. 2. Tujuan khusus a. Mengetahui pengertian kekerasan pada anak b. Mengetahui alasan ibu melakukan kekerasan pada anaknya. c. Mengetahui faktor pendorong terjadinya kekerasan pada anak. d. Mengetahui dampak dari kekerasan tersebut. e. Mengetahui upaya mengurangi perilaku kekerasan pada anak.
D. Manfaat penelitian 1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap khasanah keilmuan, khususnya di bidang ilmu keperawatan yang terkait dengan masalah kekerasan pada anak.
5
2. Manfaat praktis a. Ibu Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi gambaran tentang dampak terjadinya kekerasan pada anak sehingga dapat menerapkan pola asuh yang tepat kepada anak. b. Orang tua. Peneliti ini diharapkan supaya orang tua, mampu memberikan kasih sayang penuh terhadap anaknya, dengan tidak menggunakan kekerasan, sehingga anak dapat tumbuh dengan baik, baik fisik maupun psikologisnya. c. Pelayanan kesehatan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada bidang pelayanan kesehatan mengenai gambaran tentang persepsi ibu terhadap kekerasan pada anak. d. Peneliti. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu dan pengetahuan bagi
peneliti
sehingga
mampu
mendiskripsikan
hubungan
lingkungan/rumah dengan kekerasan pada anak.
E. Bidang ilmu Penelitian ini termasuk dalam bidang ilmu keperawatan yang difokuskan dalam bidang ilmu keperawatan anak.
F. Orisinalitas penelitian Pengarang Retnosari Wulan
Tahun 2009
Judul Hubungan antara pengalaman kekerasan pada anak dengan kecerdasan emosi pada anak SLB bagian E Bhina Putera Surakarta
Sampel Sampel adalah anak SLB Bhina Putera Surakarta berusia 13-18 tahun dengan jumlah 40 anak
Hasil Terdapat hubungan negatife yang signfikan antara kekerasan pada anak dengan kecerdasan emosi dengan nilai r sebesar -0,429
6
Ekowarni
2009
Hubungan persepsi tentang kekerasan dengan konsep diri di etnik Sabu dan Rote Kota Kupang
Sampel penelitian adalah anak yang tinggal di etnik Sabu dan lingkungan Rote Kupang dengan jumlah 150 anak
(p=0,006). Hasil menunjukkan persepsi anak pola asuh otoriter memberi pengaruh yang signifikan secara bersama-sama dengan nilai F = 5,311 (p=0,006)