BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Peristiwa gempa bumi teknotik kuat mengguncang Daerah Istimewa Yogyakarta dan sekitarnya pada hari Sabtu tanggal 27 Mei 2006 pada pukul 05.53 selama kurang lebih 57 detik. Lokasi gempa menurut Badan Geologi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia berada pada koordinat 8,007º LS dan 110,286º BT pada kedalaman 17,1 km. Sedangkan menurut Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) perkiraan pusat gempa berada di sekitar 37,2 km sebelah selatan kota Yogyakarta (8,00º Lintang Selatan – 110,31 Bujur Timur), pada kedalaman 33 kilometer, seperti terlihat pada Gambar 1 berikut ini:
1
Gambar 1 Episentrum gempa bumi 27 Mei 2006 (Sumber: https://rovicky.files.wordpress.com/2006/10/gempa-jogja-1.jpg).
BMG mencatat kekuatan gempa tersebut mencapai 6,2 Mw atau setara dengan 5,9 skala Richter. Lain halnya dengan United State of Geological Survey (USGS) memberikan koordinat 7,977º LS dan 110,318º BT pada kedalaman 35 km dengan kekuatan 6,3 SR. Hasil yang berbeda-beda ini dikarenakan metode dan peralatan yang digunakan berbeda-beda. Gempa tersebut menghancurkan Daerah Istimewa Yogyakarta, bahkan goncangan yang merusak tersebut juga mencapai Klaten, Temanggung, Magelang, Purworejo, Kebumen, Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar, dan Wonogiri di Provinsi Jawa Tengah. Kabupaten Bantul dan Kabupaten Klaten menjadi daerah terparah dengan skala kerusakan VII – MRI (Modified Mercally Intensiy), dua kabupaten yang masuk dalam sepuluh kabupaten terpadat penduduknya di Indonesia. Tim Teknis Nasional (2007) melaporkan akibat Gempa tersebut tercatat 5.760 jiwa meninggal dunia. Korban yang mengalami luka berat sebanyak 29.277 orang, dan luka ringan 7.862 orang. Diantaranya, ada sebanyak 287 orang menderita trauma patah tulang belakang dan 148 orang terpaksa harus diamputasi bagian tubuhnya. Selain itu 152 orang mengalami guncangan jiwa, mulai dari yang ringan sampai stres akut. Rumah yang rusak berat dan roboh di DIY sebanyak 206.504 rumah dan 99.730 rumah di provinsi Jawa Tengah dengan total kerusakan dan kerugian senilai 15,3 triliun rupiah. Kerusakan dan kerugian di sektor-sektor yang lain seperti sektor sosial, sektor produktif, infra struktur, dan yang lainnya mencapai 13,8 triliun rupiah. Peristiwa bencana gempa bumi ini memang menimbulkan kerusakan dan kerugian yang tidak kecil. Data mengenai jumlah rumah yang rusak dapat dilihat pada Tabel 1 berikut
2
Tabel 1. Rekapitulasi Kerusakan Bangunan Rumah Penduduk di Propinsi DIY dan Jawa Tengah Propinsi DIY Kerusakan Rumah Penduduk No
Kabupaten Rata Tanah
Rusak Berat
Rusak Ringan
1
Bantul
71,683
70,796
66,512
2
Sleman
5,243
16,003
33,233
3
Yogyakarta
7,161
14,535
21,192
4
Kulon Progo
4,527
5,178
8,501
5
Gunung Kidul
7,746
10,670
27,130
Jumlah
96,360
117,182
156,568
Propinsi Jawa Tengah 1
Kab. Klaten
29,988
62,979
98,552
2
Kab. Magelang
199
507
658
3
Kab. Boyolali
307
696
708
4
Kab. Sukoharjo
51
1,808
2,476
5
Kab. Wonogiri
17
12
74
6
Kab. Purworejo
10
214
103,248
30,572
66,216
103,248
Jumlah
Propinsi DIY dan Jateng No
Kerusakan Rumah Penduduk
Kabupaten
3
1
DIY dan Klaten
Rata Tanah
Rusak Berat
Rusak Ringan
126,932
183,399
259,816
Sumber: Media Center Gempa Bumi Yogyakarta
Selain mengakibatkan rausan ribu rumah rusak dan roboh, gempa juga mengakibatkan rusaknya sarana dan prasarana umum. Rusaknya puluhan pasar, ratusan sekolah, tempat ibadah, bangunan perkantoran, dan sarana usaha membuat skala kerugian memang sangat tinggi. Dari 2.630 unit banginan sekolah yang ada di Yogyakarta dan Jawa Tengah, jumlah kerusakan dan kerugian mencapai Rp 1,74 Triliun. Sementara pada sektor kesehatan, jumlah kerusakan diperkirakan mencapai Rp 1,5 Triliun, dan kerugian mencapai Rp 21 Miliar di kedua propinsi. Gempa ini mengakibatkan kehencuran 17 rumah sakit swasta dan rusaknya 41 klinik swasta di kota Yogyakarta. Sedangkan untuk Puskesmas dari total 117 di propinsi Yogyakarta, 45 hancur, 22 rusak parah, dan 16 rusak ringan. Sementara di Jawa Tengah 2 Puskesmas di Klaten hancur, 7 rusak berat, dan 7 lainnya rusak ringan. Dalam sektor pertanian, kerusakan terdapat pada struktur irigasi dan sistem pertanian itu sendiri. Perkiraan jumlah kerusakan dan kerugian mencapau Rp 9.025 Triliun.1 Korban bencana membutuhkan penanganan segera untuk memulihkan kondisinya baik secara fisik maupun mental. Penanganan korban bencana perlu memperhatikan dan mengenali kebutuhan para korban (terutama korban wanita) dengan menggunakan analisis gender, sehingga respon tanggap darurat demi menyelamatkan dan melindungi nyawa harus didasarkan pada penghormatan terhadap hak asasi manusia. Kebanyakan korban dari bencana gempa bumi ini adalah perempuan, anak-anak dan lansia, dimana mereka ini tergolong sebagai kelompok yang paling rentan menjadi korban dan merekalah yang paling menderita pada situasi tanggap darurat paska bencana.
1
Buku Utama Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah Pasca Bencana Gempa Bumi di Propinsi DIY dan Propinsi Jawa Tengah, Bappenas, Bab III, Juli, 2006.
4
Tabel 2. Data Korban meninggal, Luka Berat-Ringan di Propinsi DIY, dan sebagian Jawa Tengah Propinsi DIY Jumlah Korban NO
Kabupaten Meninggal
Luka-Luka
1
Bantul
4,141
12,026
2
Sleman
232
3789
3
Yogyakarta
204
318
4
Gunung Kidul
81
1086
5
Kulon Progo
22
2678
4,680
19,897
Jumlah
Propinsi Jawa Tengah 1
Kab. Klaten
1045
18,127
2
Kab. Magelang
10
24
3
Kab. Boyolali
4
300
4
Kab. Sukoharjo
3
67
5
Kab. Wonogiri
-
4
6
Kab. Purworejo
1
4
1,063
18,526
Jumlah
Propinsi DIY dan Jateng 1
DIY dan Klaten
5,743
Sumber: Media Center Gempa DIY
5
38,423
Dari tabel tersebut tampak bahwa pendataan korban belum menunjukkan secara terpisah korban laki-laki dan perempuan yang merupakan kerja tangga darurat paling awal. Hal ini juga akan berdampak pada penanganan bencana tersebut. Bencana berdampak berbeda-beda bagi perempuan dan laki-laki. Dampak bencana bukan hanya fisik, sosial, ekonomi, dan psikologis, tetapi juga perubahan peran gender laki-laki dan perempuan. Suami yang kehilangan istri harus mengambil alih peran domestik, istri yang kehilangan suami harus menjadi kepala keluarga baru. Dalam situasi bencana, beban kerja domestik sering meningkat terutama untuk mencari batuan dan mengurus anak, orang tua, atau bahkan diri mereka sendiri. Berbagai pihak dari bermacam-macam latar belakang tergerak untuk membantu meringankan penderitaan para korban gempa. Mulai dari bantuan berupa tenaga untuk membersihkan puing dan reruntuhan, bahan makanan, obat-obatan, pakaian, tenda pengungsian, perumahan sementara, perumahan permanen, dsb. Namun seringkali distribusi bantuan dan pemulihan ekonomi hanya menyasar pada laki-laki yang umumnya dianggap kepala keluarga. Bahwasanya kebutuhan pokok dari para pengungsi tidak hanya soal makanan, obat-obatan, dan tempat berlindung saja. Laki-laki dan perempuan memiliki prioritas kebutuhan dan pendekatan yang berbeda dalam pemulihan situasi darurat meskipun laki-laki dan perempuan sama-sama mengalami kerentanan namun dalam situasi bencana seperti ini perempuanlah yang memiliki tingkat kerentanan paling besar, terutama dari kalangan miskin, lanjut usia, dari kelompok minoritas sosial dan suku minoritas.2 Para korban dari kalangan perempuan ini memiliki kebutuhan lain yang juga harus dipenuhi karena tidak kalah pentingnya, yakni pakaian dalam, air bersih, pembalut untuk wanita, perlengkapan bayi dan juga tempat bernaung yang tidak bercampur dengan lakilaki, atau dengan kata lain mereka membutuhkan tempat yang lebih terjaga keamanannya dari bahaya pelecehan seksual. Titin Murtakhamah, ‘Pentingnya Pegarusutamaan Gender Dalam Program Pengurangan Risiko Bencana’, WELFARE: Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial, Vol. 2, No. 1, Juni 2013, p. 38. 2
6
Laki-laki dan perempuan dapat memainkan peran yang saling melengkapi dalam masa pemulihan pasca bencana: laki-laki umumnya melakukan rekonstruksi fisik, sementara perempuan berkontribusi untuk memperluas dukungan psiko-sosial dan diversifikasi mata pencaharian. Kesadaran dan pengetahuan perempuan sangat penting untuk manajemen risiko yang efektif dalam mempersiapkan rumah tangga, meyimpan stok makanan dan mempertahankan jaringan sosial untuk penyebaran informasi, pendidikan anakanak dan masyarakat. Permasalahan mata pencaharian dan akses terhadap tempat tinggal, air dan fasilitas sanitasi serta penyuluhan psikologi biasanya diberikan oleh perempuan. Sedangkan laki-laki memberikan prioritas yang lebih tinggi untuk pembangunan infrastruktur dalam skala besar. Dalam kerja kemanusiaan, perempuan terlibat secara kuat untuk pencarian bantuan kemanusiaan serta distribusi barang dan pelayanan tanggap bencana. Meski juga harus diakui bentuk partisipasi dan kerelawanan perempuan menjadi lebih berat ketika harus berhadapan dengan norma pembagian kerja berbasis seks dan gender.3 Banyaknya bencana yang terjadi akhir-akhir ini menimbulkan refleksi akan keterkaitan antara gender dan bencana. Sebagaimana diketahui, segala hal dalam aspek kehidupan bermasyarakat tidak terlepas dari pembagian peran sosial antara laki-laki dan perempuan dan relasi antara keduanya. Demikian pula halnya dalam konteks kebencanaan. Dampak dari bencana tidaklah netral gender dan oleh karenanya akibat yang ditimbulkan pun sangat dipengaruhi oleh peran dan fungsi sosial dari laki-laki dan perempuan dalam suatu komunitas. Dalam upaya menjelaskan masalah keterlibatan perempuan dalam penanganan bencana yang pelaksanaannya masih bias terhadap gender, khususnya di Indonesia, hal ini banyak dipengaruhi oleh stigma masyarakat yang menilai perempuan tidak mampu untuk melakukan pekerjaan yang selama ini identik dengan pekerjaan laki-laki. Hal ini disebabkan kurangnya akses dan 3
Bencana Dan Kerelawanan Perempuan : Studi Kasus Penanganan Bencana di Kabupaten Bantul, DIY, dalam http://www.academia.edu/2382201/Perempuan_dan_Kerelawanan_dalam_Bencana, diakses 22 Desember 2014.
7
kebijakan terhadap program penanganan bencana yang sensitif gender. Selama ini sistem penanggulangan bencana tidak menganalisis peran-peran gender yang timpang di masyarakat yang pada kenyataannya sangat mempengaruhi sistem penurunan resiko. Sistem penanggulangan bencana yang peka gender akan
lebih
menguntungkan
karena
akan
memasukkan
kebijakan
penanggulangan yang peka gender. Juga dalam merancang program penanggulangan bencana, mereka akan lebih baik. Perspektif itu akan diawali dengan kepekaan dalam membentuk sistem database yang terpilah, kebijakan yang jelas, program penanggulangan yang responsive gender. Perempuan akan memperoleh akses, kesempatan, keterlibatan, dan manfaat yang sama dengan laki-laki dalam penanggulangan bencana kapan dan di manapun berada. Layanan yang peka gender juga akan tersedia ketika bencana terjadi. Dalam pasca bencana, perempuan pun memerlukan peluang dan akses untuk pulih dari bencana. Pengarusutamaan gender dalam pengurangan resiko bencana mulai diimplementasikan pada dekade terakhir. The World Conference on Disaster Reduction (2005) menghasilkan “The Hyogo Framework (THF) yang diratifikasi oleh 168 negara menegaskan soal Disaster Risk Reduction (DRR) berbasis gender. THF menyebutkan bahwa perspektif gender harus diintegrasikan pada semua kebijakan, rencana, dan proses pengambilan keputusan dari manajemen resiko bencana. Termasuk di dalamnya terdapat penilaian resiko, peringatan dini, manajemen informasi, dan pendidikan serta pelatihan.4 Selain itu juga, melibatkan perempuan dalam upaya penanggulan bencana berarti mendorong perempuan agar memiliki posisi kunci dalam manajemen, kepemimpinan dan juga dalam pengambilan keputusan program penanganan bencana. Selain itu Indonesia telah meratifikasi Committee on The Elimination of Discrimination Againts Woman (CEDAW) melalui UU No 7 Tahun 1984 tentang pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk
4
Pengurangan Risiko Bencana Gempa Berbasis Gender, dalam http://eprints.unika.ac.id/4415/1/pengurangan_resiko_2013.pdf, diakses tanggal 16 Desember 2014.
8
Diskriminasi Terhadap Perempuan5 merupakan suatu instrumen standar internasional yang diadopsi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menerapkan secara universal prinsip-prinsip persamaan hak antara perempuan dan laki-laki.6
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian diatas bahwa pada penanganan bencana seharusnya tidak bias gender, tulisan ini akan berusaha menjawab pertanyaan: Apa hubungan antara persepsi gender masyarakat Indonesia dengan praktek penanganan bencana: apakah praktek bias gender tercermin dalam tindakan tersebut?
C. Kerangka Konseptual 1. Gender dalam Bencana Gender merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan karakteristik laki-laki dan perempuan yang dibentuk oleh konstruksi sosial yang bernuansa psikologis, sosiologis, dan budaya.7 Istilah gender berbeda dengan sex, dimana gender secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosial budaya. Sedangkan sex digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi. Perbedaan antara sex dan gender lebih lanjut dapat dilihat pada Gambar 2 berikut ini:
5
Pernyataan Media tentang Peringatan 29 Tahun Ratifikasi CEDAW, dalam http://www.komnasperempuan.or.id/2013/07/pernyataan-media-tentang-peringatan-29-tahunratifikasi-cedaw/, diakses tanggal 13 Desember 2014. 6 http://www.cedaw-seasia.org/docs/indonesia/CEDAW_teks_Bahasa.pdf CEDAW mulai diadopsi oleh PBB pada tahun 1979 dan mulai berlaku pada 3 Desember 1981. Lebih dari sembilan puluh persen negara-negara anggota PBB merupakan negara peserta konvensi. 7 Elfi Muawanah, Pendidikan Gender dan Hak Asasi Manusia, Yogyakarta: Teras, 2009. Hlm. 7.
9
GENDER
SEKS (Jenis Kelamin)
Perbedaan peran, fungsi, dan tanggungjawab antara laki-laki dan perempuan sebagai hasil konstruksi sosial
Perbedaan organ biologis antara laki-laki dengan perempuan. Khususnya pada bagian reproduksi
Ciptaan Tuhan Bersifat kodrati Tidak dapat berubah Tidak dapat ditukar Berlaku kapanpun dan dimanapun
Buatan manusia Tidak bersifat kodrat Dapat berubah Dapat dipertukarkan Tergantung waktu dan budaya setempat
Gambar 2 Perbedaan antara gender dengan sex. Terdapat banyak pendapat dari banyak ahli mengenai konsep dan definisi gender itu sendiri. Gender adalah suatu sifa yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun struktural.8 World Health Organization (WHO) mengartikan gender gender adalah perbedaan status dan peran antara perempuan dan laki-laki yang dibentuk oleh masyarakat sesuai dengan nilai budaya yang berlaku dalam periode waktu tertentu. Sedangkan Women’s Studies Encyclopedia menjelaskan bahwa gender adalah suatu konsep struktural, berupaya membuat perbedaan dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.9 Elaine Enarson dalam bukunya yang berjudul “Gender Equality, Work, and Disaster Reduction: Making The Connection” menjelaskan bahwa resiko terhadap bencana terdistribusikan secara berbeda di dalam 8
Mansour Fakih. 1996. Analisis Gender & Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal 8. 9 Mufidah. 2003. Paradigma Gender. Malang: Bayumedia Publishing. Hal 3.
10
masyarakat. Menurutnya, sebagai sebuah konsep yang kompleks, kerentanan dipengaruhi oleh banyak faktor. Salah satunya adalah perbedaan akses dan kontrol terhadap sumber daya yang dibutuhkan baik untuk bertahan hidup maupun menjalani masa penyembuhan setelah bencana. Enarson juga memaparkan bagaimana perempuan bekerja secara tidak dibayar dan seringkali secara sosial tidak diperhitungkan. Kesukarelawanan perempuan dalam penanganan bencana sangat multiwajah. Padahal menurut Enarson, perempuan lebih termotivasi
dalam
melakukan
tindakan
pencegahan
bencana
dibandingkan dengan laki-laki. Perempuan bukan hanya merawat kesehatan anggota keluarganya, namun juga secara lebih luas memperhatikan kesehatan masyarakat secara lebih luas. Kerja penanganan bencana juga mengikutsertakan perempuan dalam pencarian bantuan kemanusiaan. Sangat berbeda dengan gambaran yang dihadirkan oleh media mengenai perempuan sebagai aktor yang pasif dan tidak mampu melakukan pekerjaan kemanusiaan. Dalam kerja kemanusiaan, perempuan terlibat secara kuat untuk pencarian bantuan kermanusiaan serta distribusi barang dan pelayanan tanggap bencana. Namun bentuk partisipasi dan kerelawanan perempuan menjadi lebih berat ketika harus berhadapan dengan norma pembagian kerja berbasis seks dan gender.10 Pandangan yang menempatkan perempuan sebagai entitas yang tidak berdaya justru meminggirkan perempuan dalam kerja-kerja penanganan bencana. Pandangan ini juga mengakibatkan adanya keraguan terhadap potensi dan peranan perempuan dalam penanganan kebencanaan. Berdasarkan pendekatan Hoffman tersebut seharusnya perempuan juga dipandang dan diperlakukan sebagai aktor yang memiliki kemampuan. Kerja sukarela yang dilakukan perempuan merupakan bukti keberdayaan perempuan. Kerja-kerja kerelawanan mereka Enarson, Women’s Voluntary Work Expands: Gender Equality, Work, And Disaster Reduction: Making The Connections. 10
11
menjadi semakin penting dalam proses rekonstruksi yang panjang. Ketika itu kepentingan ekonomi laki-laki dan perempuan seringkali bertabrakan. Belajar dari pengalaman kerelawanan perempuan di Bantul, Yogyakarta, kerelawanan perempuan merupakan bagian dari proses pemerdayaan perempuan untuk melakukan kerja-kerj tak berupah pada masa sebelum bencana, namun kerelawanan perempuan selalu memiliki makna positif bagi masyarakat pada masa sebelum bencana maupun setelah bencana. Sedangkan bagi perempuan sendiri kerelawanannya merupakan usahanya untuk meningkatkan kapasitas perempuan serta untuk meningkatkan solidaritas komunitas dalam rangka mendukung proses rekonstruksi yang lebih berkeadilan gender.11 2. Mitigasi Bencana Dalam upaya mengurangi atau menangani dampak akibat bencana, termasuk gempa bumi, perlu adanya upaya pengurangan risiko bencana atau yang lebih dikenal mitigasi bencana. Mitigasi bencana dimaknai sebagai bentuk kegiatan untuk meminimalkan jatuhnya korban jiwa dan hilang atau rusaknya aset serta harta benda, baik melalui upaya mitigasi bencana (pencegahan, peningkatan kesiapsiagaan) ataupun upaya mengurangi kerentanan (fisik, material, sosial kelembagaan, perilaku/sikap).12 Mitigasi bencana yang merupakan
bagian dari
manajemen penanganan bencana, menjadi salah satu tugas pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam rangka pemberian rasa aman dan perlindungan dari ancaman bencana yang mungkin dapat terjadi.13
Enarson, Women’s Voluntary Work Expands: Gender Equality, Work, And Disaster Reduction: Making The Connections. 12 V. Irawan, “Pengurangan Resiko Bencana”, makalah pada diskusi Orientasi Pengurangan Resiko Bencana, Proyek ERA-UNDP, Yogyakarta 12 Juni 2007, hlm. 5. 13 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 tahun 2006 tentang Pedoman Umum Mitigasi Bencana). 11
12
3. Bencana Indonesia merupakan negara yang terletak pada daerah perbatasan beberapa lempeng, yaitu lempeng Eurasia, lempeng Australia, dan lempeng Pasifik. Hal ini menyebabkan Indonesia memiliki cukup banyak gunung gunung berapi yang aktif. Bencana14 (disaster) merupakan fenomena yang terjadi ketika ancaman alamiah maupun non-alamiah bertemu dengan masyarakat yang rentan yang mempunyai kemampuan rendah atau tidak mempunyai kemampuan untuk menanggapi
ancaman
itu.
Gabungan
keduanya
menyebabkan
terganggunya kehidupan masyarakat seperti kehancuran rumah, kerusakan harta benda serta korban jiwa. Skema antara bahaya atau ancaman dan kapasitas dalam menghadapi bahaya ditunjukkan pada Gambar 3 berikut ini:
Gambar 3 Bencana terjadi apabila bahaya atau ancaman lebih besar daripada kapasitas masyarakat dalam mengahadapinya.
14
Bencana secara sederhana didefinisikan sebagai suatu gangguan serius terhadap keberfungsian suatu masyarakat sehingga menyebabkan kerugian yang meluas pada kehidupan manusia dari segi materi, ekonomi atau lingkungan dan yang melampaui kemampuan masyarakat tersebut untuk mengatasi dengan menggunakan sumberdaya-sumberdaya mereka sendiri.
13
Terjadi kerancuan pengertian antara ancaman dan bencana. Ancaman datau bahaya adalah kejadian-kejadian, gejala atau kegiatan manusia yang berpotensi untuk menimbulkan kematian, luka-luka, kerusakan harta benda, gangguan sosial ekonomi atau kerusakan lingkungan. Ancaman dapat encakup kondisi-kondisi laten yang bisa mewakili ancama dimasa depan dan dapat disebabkan oleh alam atau yang diakibatkan oleh proses-proses yang dilakukan manusia (kerusakan lingkungan dan bahaya teknologi). Ancaman menjadi bencana apabila masyarakat rentan atau memiliki kapasitas lebih rendah dari tingkat bahaya tersebut, atau bahkan menjadi salah satu sumber ancaman tersebut.15 Dalam situasi bencana tercipta kondisi chaotic dan kepanikan. Masyarakat harus beradaptasi dengan ritme alam dan sosial yang berubah. Fokus pada penyelamatan diri dan keluarga mengakibatkan masyarakat sulit terorganisir. Di sisi lain, negara juga harus beradaptasi dengan ritme birokrasi darurat bencana. Proses untuk beradaptasi dengan kondisi bencana ini mengakibatkan kebingungan bagi masyarakat dan negara, karena bagaimanapun negara yang harus bertanggungjawab atas masyarakatnya. Hoffman (1999;2002) menegaskan pandangan mengenai bencana ditinjau dari sudut pandang ekonomi politik. Menurut Hoffman (1) bencana dapat dihindari dan kejadian alam tidak harus berubah menjadi bencana kalau dampaknya bisa diatasi dengan baik; (2) manusia tidak dilihat sebagai korban yang tidak tertolong tetapi sebagai aktor yang mampu dengan tingkatannya masing-masing memecahkan dan menghadapi kejadian alam atau bahkan menghindarinya. Dalam hal ini sumber yang dimiliki penduduk berperan penting dalam pemulihan; (3) isu keadilan menjadi penting. Kelompok kaya jarang menderita separah yang dialami kelompok miskin dalam setiap bencana, walaupun 15
Jurnal United Nations Development Programme and Government of Indonesia (UNDP): Panduan Pengurangan Risiko Bencana
14
bencana tetaplah merupakan penderitaan umum dengan tingkat keparahannya masing-masing.16 Salah satu aspek penting dalam kajian tentang bencana adalah kajian tentang kerentanan. Perspektif kerentanan memandang bahwa situasi yang ditimbulkan dari bencana tidak hanya berasal dari bencana itu sendiri, seperti gempa, badai, dan angin topan, tapi merupakan kombinasi dari 3 faktor yaitu:17 a. Bencana itu sendiri (gempa bumi, topan, badai, tsunami) b. Kondisi fisik dan karakter dari lingkungan yang terbentuk. Contohnya banyak struktur bangunan dan infrastruktur yang tidak tanggap terhadap dampak fisik dari bencana. c. Kerentanan populasi, merupakan konstruk yang kompleks yang menyangkut beberapa faktor seperti ketersediaan sumber daya (seperti pendapatan dan kesejahteraan), ras, etnis, gender, umur, pengetahuan tentang cara-cara penyelamatan dalam bencana, dan faktor yang terkait dengan modal sosial dan budaya. Keterlibatan dalam aktivitas dan ruang sosial akan membantu menyediakan informasi dan bantuan yang bermanfaat. Pengetahuan juga membuat anggota komunitas mampu berinteraksi secara baik dengan institusi sosial yang ada. Kerentanan populasi juga bisa meningkat karena langkah-langkah yang diambil oleh pemerintah dan institusi lain yang gagal dalam melindungi populasi.
16
Hoffman, 1999;2002, dalam Irwan Abdullah, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Anthropologi Universitas Gajah Mada “Dialektika Nature, Kultur Dan Struktur: Analisis Konteks, Proses dan Ranah Dalam Konstruksi Bencana”, Halaman 13. 17 Lihat analisis yang melihat kontribusi ketiga actor ini dalam Tierney, K (2007), “Recent Sociological Contributions to Vulnerability Science”, Department of Sociology and Institute of Behavioral Science,Natural Hazards Center, University of Colorado. Dalam paper yang sama, Tierney mengutip beberapariset yang mengkaji banyak aspek dan contoh dari kerentanan dalam berbagai kondisi, misalnyaperbedaan kerentanan berbasis ras, yaitu antara yang berkulit putih dan hitam sebagaimana diajukan oleh Robert Bullard.
15
4. Feminisme Perkembangan feminisme sejalan dengan dinamika hidup yang terjadi dalam masyarakat secara luas. Kesadaran itu muncul akibat adanya semacam gesekan yang selama ini selalu menomorduakan perempuan dibanding laki-laki, sehingga
yang terjadi adalah
ketidakadilan dan ketidaksetaraan terhadap perempuan. Anehnya hal ini bukan semata-mata karena adanya faktor kodrat yang memang dimiliki perempuan, namun karena adanya penilaian sosial dan budaya yang selama ini membingkai kaum perempuan untuk menempati ruang tersebut. Penentuan jenis kelamin yanng dimiliki oleh manusia, baik jenis perempuan maupun jenis laki-laki sebenarnya merupakan takdir yang harus diterima oleh setiap manusia, karena hal itu adalah mutak pemberian Tuhan, bersifat kodrati, dan alami, oleh sebab itu menjadi perempuan maupun laki-laki adalah sesuatu yang tidak bisa diubah dan dibantah. Sedangkan penilaian terhadap kenyataan atau kondisi perempuan dan laki-laki yang ada dalam masyarakat adalah sepenuhnya konstruksi sosial dan budaya, inilah yang kemudian dinamakan dengan gender. Perbedaan antara jenis kelamin atau seks dengan gender sangat jelas. Seks mempunyai pengertian sebagai sebuah sifat atau pembagian dua jenis kelamin manusia secara umum pada masing-masing manusia dan hal itu telah ditentukan secara biologis. Contohnya: perempuan memiliki vagina, memiliki alat reproduksi seperti rahim, saluran untuk melahirkan, memiliki payudara untuk menyusui, dan lain sebagainya. Sedangkan pada laki-laki mempunyai penis, dapat menghasilkan sperma dan lain sebagainya. Ketentuan yang dimiliki perempuan dan laki-laki diatas adalah ketentuan yang bersifat biologis dan mesti melekat pada masing-masing jenis kelamin atau seks seseorang. Sedangkan pada persoalan gender adalah sifat yang melekat pada diri perempuan dan laki-laki karena 16
konstruksi sosial dan kultural yang dialaminya selagi ia bersinggungan dengan kehidupannya dan bukan merupakan ketentuan dari Tuhan.18 Pemetaan yang bersifat gender atau adanya konstruksi sosial dan budaya inilah yang menempatkan perbedaan antara perempuan dan lakilaki yang pada gilirannya memunculkan feminisme. Hakikatnya, feminisme lahir sebagai suatu refleksi filosofis dalam ranah mencari jalan keluar yang terbaik, bijaksana, penuh rasa kemanusiaan, dan memperhatikan keadilan kaum perempuan dalam kehidupannya.19 Perjalanan feminisme sebagai sebuah wadah dalam menampung setiap aspirasi yang memperjuangkan hak-hak perempuan dalam kehidupannya terbagi menjadi beberapa aliran, secara umum aliran tersebut antara lain: 1. Feminisme Liberal Aliran ini mempunyai penegasan bahwa sebenarnya antara perempuan dan laki-laki adalah sama, memiliki hak yang sama dan memiliki kedudukan yang sama, hanya saja mereka (kaum perempuan) telah terpinggirkan selama ini dari kedudukan yang semestinya. Feminisme Liberal memberikan landasan teoritis akan kesamaan dalam hal potensi rasionalitas perempuan yang selama ini belum terjamah. Namun berhubung perempuan ditempatkan pada posisi bergantung pada laki-laki dan kiprahnya ditentukan dalam sektor domestik (rumah tangga), maka yang lebih dominan dalam tubuh perempuan adalah aspek emosional dibanding aspek rasional. Bila perempuan tidak bergantung pada laki-laki dan tidak berkiprah di sektor domestik, maka ia akan menjadi makhluk rasional seperti laki-laki.20
18
DR. Mansour Fakih, Analisis Gender & Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1996. Hlm. 99. 19 Dwi Edi Wibowo, ‘Peran Ganda Perempuan dan Kesetaraan Gender’, E-Journal Stain Pekalongan (daring), < http://e-journal.stainpekalongan.ac.id/index.php/Muwazah/article/download/6/6 >, diakses 27 November 2015. 20 Ibid.
17
Berdasarkan dimilikinya kesempatan dan hak yang sama antara laki-laki dan perempuan inilah, persoalan mengenai mengapa perempuan berada pada posisi terbelakang dan tertinggal, kaum feminis liberal melihatnya sebagai kesalahan perempuan itu sendiri. Jika sistem sudah memberikan kesempatan yang sama terhadap lakilaki dan perempuan, dan perempuan tidak mampu bersaing maka yang perlu disalahkan adalah kaum perempuan itu sendiri.21 Usulan dari kaum feminis liberal untuk memecahkan masalah ini adalah dengan cara menyiapkan perempuan agar dapat bersaing dalam suatu dunia yang penuh dengan persaingan bebas. 2. Feminisme Radikal Aliran ini mempunyai asumsi bahwa harus ada paradigma baru dalam menyoroti sekian banyak persoalan yang berhubungan dengan hak-hak perempuan. Mereka (para feminis radikal) yakin bahwa apabila tidak ada paradigma baru, atau hukum-hukum baru terhadap perempuan, maka perempuan selamanya akan senantiasa berada dalam posisi tidak adil, tidak setara, maupun selalu diselewengkan oleh laki-laki. Kaum feminisme radikal ingin menemukan suatu pemahaman baru, apa artinya menjadi yang semestinya, dan suatu cara yang sama sekali baru untuk hidup bagi perempuan di dalam dunia ini.22 Dikatakan radikal karena analisis dari teori ini mengenai penindasan terhadap perempuan bersumber dari laki-laki dan segala ideologi patriarkinya. Dengan kata lain menurut teori ini kaum lakilaki
secara
biologis
maupun
politis
adalah
bagian
dari
permasalahan.23 Menurut penganut feminis radikal, patriarki adalah
21
DR. Mansour Fakih, Analisis Gender & Transformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 82. 22 Veronica Adelin Kumurur, ‘Peran Perempuan Dan Paradigma Pembagian Kerja Dalam Keluarga’, Repository Unsrat (daring), < repo.unsrat.ac.id/144/13/12_-_BAB_3.pdf>, diakses tanggal 27 November 2015. 23 Mansour Fakih, Analisis Gender & Transformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 85
18
dasar dari ideologi penindasan yang merupakan sistem hirarki seksual dimana laki-laki memiliki kekuasaan superior dan privilege dimana kekuasaan tersebut menjadi dominasi bagi laki-laki untuk melakukan penindasan terhadap perempuan. Lembaga keluarga dan sistem patriarki menjadi dua institusi yang harus dihancurkan, karena keluarga dianggap sebagai institusi yang melegitimasi dominasi laki-laki sehingga wanita ditindas.24 3. Feminisme Marxis Aliran ini mempunyai pandangan bahwa sekian banyak ketertindasan yang dialami perempuan selama ini bukan bersumber dari dalam diri perempuan sendiri, namun bersumber dari sistem kapitalisme yang selama ini mengakar kuat di dalamnya, baik hal tersebut muncul dalam struktur sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Menurut mereka (para feminis marxis) tidak mungkin kaum perempuan akan memperoleh kesempatan yang sama seperti kaum laki-laki, akan memiliki kedudukan yang sama dengan kaum lakilaki apabila mereka (kaum perempuan) masih tetap hidup dalam masyarakat yang berkelas.25 Argumentasi pertama dari kaum marxis, ketidaksetaraan ini didasarkan pada persoalan ketidakadilan dalam pembagian kerja dan status kepemilikan. Sistem kapitalisme pembagian kerja didasarkan pada perbedaan seks, hal ini yang menjadi dasar penyebab ketidakadilan gender. Hal ini membuat masyarakat kapitalis memiliki konvensi yang terbelah antara lingkungan rumah dan tempat kerja. Dengan datangnya industrialisasi dan kapitalisme, produksi berpindah dari rumah ke tempat kerja. Dunia rumah atau domestik menjadi tempat beraktualisasi kaum perempuan, dan tempat kerja publik menjadi tempat beraktualisasi laki-laki.
24 25
Kadarusman, Agama, Relasi Gender & Feminisme (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005), hlm. 31 Ibid.
19
Sehingga pada akhirnya perempuan menggantungkan masa depannya kepada laki-laki. Argumentasi yang kedua menyatakan bahwa kapitalisme menganggap perempuan sebagai hak milik pribadi bagi laki-laki dan institusi keluarga.26 Sehingga perempuan-perempuan yang bekerja diluar rumah dimungkinkan mendapatkan upah yang tidak sesuai dengan hasil kerja mereka. Dikatakan pula perempuan dianggap bermanfaat bagi sistem kapitalisme dalam reproduksi buruh murah. Masuknya buruh perempuan dianggap menguntungkan bagi sistem kapitalis karena seringkali upah buruh perempuan lebih rendah daripada buruh laki-laki sehingga membantu pihak kapitalis melakukan akumulasi kapital lebih cepat. Dan juga dengan masuknya buruh perempuan dianggap menguntungkan bagi sitem kapitalis karena dianggap sebagai proses penciptaan buruh cadangan yang tidak terbatas. Menurut mereka, banyaknya buruh cadangan ini dapat memperkuat posisi tawar menawar kapitalis di hadapan buruh dan sekaligus mengancam solidaritas kaum buruh dan akhirnya kembali lagi pada percepatan akumulasi kapital bagi kapitalis. Munculnya feminisme dianggap sebagai musuh terbesar kapitalisme sejak komunisme dianggap runtuh.27 4. Feminisme Sosialis Aliran ini menitikberatkan pada proses penyadaran akan posisi perempuan yang tertindas secara terfokus. Menurut mereka (para feminis sosialis), nuansa kapitalisme tidak serta merta menjadi momok tunggal dari lahirnya keterbelakangan dan ketidakadilan yang terjadi pada perempuan, karena pada dasarnya setiap perempuan telah tertindas dari kelas apapun. Oleh sebab itu perlu adanya semacam penyadaran yang fokus dan menyeluruh untuk 26
Kadarusman, Agama, Relasi Gender & Feminisme (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005), hlm. 30. 27 Mansour Fakih, Analisis Gender & Transformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 88.
20
menghantam
unsur-unsur
yang
menyebabkan
ketertindasan
terhadap perempuan tersebut secara serempak dan terstruktur. Timbulnya kesadaran akan hal ini dapat membuat kaum perempuan bangkit emosinya, dan secara kelompok diharapkan untuk mengadakan konflik langsung dengan kelompok yang sebelumnya mendominasi, yakni dalam hal ini adalah kaum laki-laki, sehingga demikian sistem patriarki (sistem yang mengunggulkan pihak lakilaki dibanding perempuan) yang selama ini menghambat ruang gerak perempuan akan runtuh dengan sendirinya. 28 Bagi penganut paham feminisme sosialis, ketidaksetaraan terhadap perempuan bukanlah akibat dari perbedaan biologis lakilaki dan perempuan, tetapi lebih kepada penilaian dan anggapan, atau konstruksi sosial yang selama ini melekat. Oleh karena itu yang menjadi fokus perjuangan dari feminisme sosialis adalah mengubah konstruksi visi dan ideologi masyarakat serta struktur dan sistem yang tidak adil yang dibangun atas bias gender.29
D. Literatur Review Tulisan Titin Murtakhamah mengatakan bahwa gender adalah bentukan manusia, bukan kodrat yang artinya dapat berubah setiap saat. Laki-laki memiliki penis dan perempuan memiliki vagina adalah kodrat. Tetapi memasak, berburu, mencuci, membersihkan rumah, mengambil kayu, ikut dalam rapat dan pertemuan bukanlah kodrat. Pada pekerjaan-pekerjaan ini baik laki-laki maupun perempuan dapat melakukannya. Laki-laki dapat mencuci, mengambil air, memasak, sebaliknya perempuan pun dapat beternak dan ikut dalam pertemuanpertemuan. Untuk peran-peran yang diciptakan manusia, tidak ada batasan kodrati. Gender juga sebuah alat analisis yang dapat digunakan untuk membedah kasus untuk memahami lebih dalam hubungan sebab akibat yang menghasilkan kenyataan. Analisis gender menganalisis hubungan-hubungan 28 29
Ilyas, 1997: 21 Ibid. Hlm.92
21
kuasa dan peran antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan manusia. Melalui analisis gender kita dapat menelaah ketidakadilan antara perempuan dan laki-laki yang disebabkan oleh bangunan peradaban dan kebudayaan manusia. Dalam tulisannya ini Titin Murtakhamah mengintegrasikan antara gender dengan program pengurangan risiko bencana diantaranya adalah dengan cara berpikir besar, mendapatkan fakta, bekerja bersama dengan perempuan, menentang stereotype, melakukan pendekatan HAM, serta menghormati dan mengembangka kapasitas perempuan.30 Pada kasus gempa bumi yang terjadi di Yogyakarta pada tahun 2006, salah satu daerah yang terkena dampak bencana adalah Bantul. Disini peran perempuan terlihat sangat menonjol, sehingga membuktikan bahwa perempuan juga memiliki kemampuan untuk berada pada kondisi kerelawanan dalam bencana. Mereka merumuskan kebutuhan spesifik perempuan dalam pengungsian. Selain itu mereka juga mengusulkan bahwa perlu dibentuk poskoposko kecil di setiap RT untuk memudahkan masyarakat dalam mengakses bantuan. Tiap-tiap posko itu memiliki syarat harus melibatkan perempuan, sehingga kebutuhan bagi perempuan dapat terakomodir dengan baik. Dikatakan oleh Titin Murtakhamah, bagi perempuan untuk terlibat dalam aksi-aksi pengelolaan bencana bukanlah pekerjaan yang mudah karena berbagai kerentanan dan hambatan yang dihadapi oleh perempuan itu sendiri. Namun dalam kondisi tertentu kehadiran perempuan dapat menjadi pelopor. Mereka yang mengerti bahwa kebutuhan mendasar bagi para pengungsi tidak hanya melulu air, makanan, dan kesehatan. Namun karena dalam pengungsian itu tidak hanya ada laki-laki, tapi ada juga perempuan, maka kebutuhan mendasar seperti pakaian dalam dan pembalut yang biasanya tidak ada dalam paket-paket bantuan menjadi hal yang tidak bisa dilupakan begitu saja. Selain pakaian dalam dan pembalut, kebutuhan mendasar lain bagi perempuan yang terkadang tidak terpikirkan adalah pakaian yang sesuai dengan nilai budaya setempat, rancang bangunan sanitasi yang menghargai privasi, 30
T. Murtakhamah, Pengarusutamaan Gender Dalam Program Pengurangan Risiko Bencana, Jurnal Welfare Ilmu Kesejahteraan Sosial, Vol.2, No.1, Juni 2013.
22
ketersediaan air dan fasilitas MCK yang cukup, pelayanan bagi ibu hamil dan tempat bagi ibu menyusui, perlindungan dan rasa aman dari ancaman kekerasan seksual dan perdagangan perempuan, serta layanan konseling atau konsultasi. Tanpa keterlibatan relawan perempuan, hal-hal yang dapat dikatakan mendasar seperti ini terlupakan begitu saja. Selain menjadi pelopor dalam hal penyediaan tempat yang aman dan memadai bagi pengungsi perempuan, relawan perempuan terlibat sebagai guru/pengajar anak-anak dalam program psikososial, survey tentang kesehatan keluarga pasca gempa dan terlibat untuk melakukan pendataan berdasar jenis kelamin. Mereka juga menjadi mitra penting setiap kampanye kebersihan lingkungan, mengorganisasikan orang-orang agar sadar akan pentingnya kesehatan. Para perempuan inilah yang kemudian banyak bekerja di lapangan, menjadi penerjemah berbagai program pemerintah dan lembaga-lembaga kemanusiaan. Hal ini membuktikan bahwa peran perempuan dalam pengelolaan bencana sangat besar, tidak hanya sebatas pada pekerjaan di belakang layar atau bahkan hanya di dapur saja. Perempuan terbukti dapat menjadi pelopor dan tampil di depan.
E. Hipotesis Dengan melihat permasalahan yang telah diuraikan serta data dan konsep yang membantu analisa maka kesimpulan sementara yang melatarbelakangi terjadinya bias gender dalam menajemen resiko bencana di Indonesia adalah kuatnya stigma masyarakat yang selama ini. Dikatakan bahwa stigma tersebut kuat karena selama ini terpola bahwa ruang lingkup kerja perempuan hanya sebatas di rumah dan tidak seharusnya melakukan pekerjaan diluar pekerjaan rumah. Budaya patriarki yang menyebabkan posisi laki-laki selalu dianggap lebih unggul dari perempuan. Hal itu mengakibatkan perempuan selalu dipandang sebelah mata dan diragukan kemampuannya.
23
F. Metode Penelitian Dalam melakukan penelitian Bias Gender Dalam Manajemen Resiko Bencana Di Indonesia (Studi Kasus: Penanganan Gempa Bumi di Yogyakarta Pada Tahun 2006), peneliti menggunakan teknik pengumpulan bahan berdasarkan data-data sekunder (data yang telah dikumpulkan dan mungkin telah dianalisis oleh orang lain), yaitu studi pustaka dari buku-buku, media massa, situs internet, jurnal, dan majalah. Data-data yang ada ini kemudian diolah untuk menjawab rumusan masalah sekaligus membuktikan hipotesa yang telah penulis susun sebelumnya, dan selanjutnya digunakan dalam pengambilan kesimpulan.
G. Sistematika Penulisan Penelitian ini akan dibagi menjadi empat bagian yaitu Bab I berisi pendahuluan dimana akan menjelaskan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, kerangka teori, literatur review, hipotesis, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II, penulis akan membahas mengenai pengaruh kehidupan beragama dan budaya kapitalisme dengan perilaku yang sensitif gender. Bab III, penulis akan membahas mengenai apakah terjadi bias gender dalam praktek penanganan bencana gempa bumi tahun 2006. Bab IV, kesimpulan.
24