BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai negara yang mengadopsi nilai-nilai liberal, Perancis merupakan salah satu negara di Eropa yang menjamin kebebasan terhadap rakyatnya termasuk dalam hal memilih keyakinan atau agama. Kebebasan ini diberikan sepenuhnya kepada masyarakat tanpa ada campur tangan dari negara atau pemerintah. Kebebasan ini dipertegas dengan adanya jaminan berupa undangundang khusus yang sekaligus menunjukan bahwa Perancis merupakan negara sekuler yang menerima berbagai agama yang ada di dalamnya. Undang-undang ini mengandung sebuah konsep yang disebut Laicite, di mana konsep ini kurang lebihnya menjelaskan bagaimana Perancis sebagai negara yang sekuler, di mana berarti adanya pemisahan antara negara dan agama dan kedua belah pihak tidak akan mencampuri urusan masing-masing.1 Laicite telah sejak lama berlaku di Perancis, pada awalnya undang-undang ini dibentuk sebagai penegasan sikap dari Perancis sebagai negara sekuler yang memiliki aturan khusus berbeda dengan negara sekuler yang lain.
Dengan adanya undang-undang ini, masyarakat Perancis yang terdiri dari berbagai etnis termasuk para pendatang dapat dengan bebas menganut dan mengekspresikan nilai-nilai keagamaannya. Namun dalam beberapa tahun terakhir, Perancis seperti kehilangan nilai-nilai sekularitas yang selama ini dijunjung tinggi oleh pemerintahnya. Dalam beberapa kasus, justru pemerintah Perancis dianggap tidak mengaplikasikan nilai-nilai di dalam Laicite yang telah sejak dulu dibentuk. Contohnya terdapat pada kebijakan pelarangan penggunaan aksesoris yang merupakan simbol agama seperti kalung salib bagi umat Kristen dan jilbab bagi umat Islam di dalam sekolah maupun universitas pemerintah.2 Kebijakan ini dianggap tidak sesuai dengan nilai 1
Normandy Vision, The Concept of Laicite in France, (online), 2007, http://www.normandyvision.org/article12030701.php, diakses pada 10 Januari 2013 2
French Embassy in London, Bill on the application of the principle of secularity (laïcité) in State schools, (online), 3 Februari 2004, http://www.ambafrance-uk.org/Bill-on-the-application-of-the, diakses pada 10 Januari 2013
sekuler yang dianut Perancis mengingat pemakaian simbol agama ini tidak bertujuan apapun melainkan sebagai pembeda di masyarakat dan sifat yang menunjukan kebanggaan atas agama masing-masing. Namun pemerintah Perancis menganggap pemakaian simbol-simbol yang berhubungan dengan agama ke dalam sekolah hanya akan menimbulkan perilaku eksklusif dari sekelompok agama dan menghilangkan nilai-nilai ‘equality’ yang menjadi motto dari Perancis.
Kebijakan ini tidak dapat dengan mudah dikatakan sebagai undang-undang yang keliru, karena bagi pemerintah undang-undang ini dianggap penting dalam menjaga nilai-nilai liberal Perancis yang sangat menghargai perbedaan. Namun bagi sebagian pihak terutama umat Muslim di Perancis, undang-undang ini tidak boleh dikeluarkan, karena bagi mereka menggunakan jilbab bukan sekedar penggunaan simbol agama namun merupakan sebuah kewajiban yang harus dikerjakan. Menurut mereka undang-undang ini merugikan mereka sebagai umat muslim di mana setiap perempuan wajib untuk menutup auratnya dengan menggunakan jilbab.
Kontroversi akan kebijakan undang-undang ini dengan dampak yang dihasilkannya masih menimbulkan pro dan kontra hingga saat ini. Pemerintah Perancis pada masa kepemimpinan Sarkozy justru mengeluarkan sebuah kebijakan baru yang berhubungan dengan agama, yaitu melarang penggunaan burqa bagi wanita muslim.3 Kebijakan yang dirancang dalam sebuah undang-undang ini kembali menumbulkan perdebatan di antara pemerintah dan masyarakat khususnya masyarakat muslim sebagai objek dari kebijakan tersebut. Sarkozy menganggap penggunaan burqa bukan merupakan bentuk dari penggunaan simbol atau kewajiban agama namun lebih kepada pengekangan terhadap wanita di mana wanita dilarang untuk memperlihatkan anggota tubuhnya. Dalam pidatonya pada tanggal 22 Juni 2009, Presiden Nicholas Sarkozy menyatakan, “We cannot accept to have in our country women who are prisoners behind netting, cut off from all social life, deprived of identity. That is not the idea that the French republic has of
3
Reuters, Sarkozy says Burqa has no place in France, (online), 22 Juni 2009, http://www.reuters.com/article/2009/06/22/us-france-sarkozy-burqas-idUSTRE55L2YV20090622, diakses pada 10 Januari 2013
women's dignity. The burqa is not a religious sign, it's a sign of subservience, a sign of debasement. I want to say it solemnly," he said. "It will not be welcome on the territory of the French Republic."4
Di lain pihak, umat muslim Perancis menolak kebijakan ini karena mereka menganggap bahwa burqa merupakan salah satu pakaian yang biasa digunakan oleh wanita muslimah sebagai identitas dan pelindung. Umat muslim Perancis menolak kebijakan ini untuk diberlakukan karena selama ini mereka tidak pernah mempermasalahkan umat agama lain yang menggunakan simbolsimbol agamanya. Respon penolakan terhadap kebijakan ini juga tidak hanya muncul dari masyarakat Perancis namun juga dari luar Perancis. Kelompok muslim dari Inggris ikut memberikan respon negatif terhadap kebijakan yang dikeluarkan Sarkozy tersebut. 5
Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah Perancis ini dapat dikatakan sangat bertolak belakang dengan citra negara selama ini dibangun oleh Perancis yaitu negara yang sekuler. Kebijakan ini pun cukup kontroversial mengingat di negara lain di Eropa seperti Jerman atau Inggris, pemerintah kedua negara tersebut tidak mengeluarkan undang-undang atau kebijakan yang memberikan larangan kepada suatu pemeluk agama tertentu untuk menggunakan simbolsimbol keagamaan mereka. Terlebih lagi dengan dikeluarkannya kebijakan baru oleh Sarkozy, Perancis kini dikenal sebagai negara yang tidak ramah terhadap umat muslim. Padahal saat ini masyarakat muslim di Perancis tidak lagi didominasi oleh masyarakat pendatangan namun masyarakat asli dari keluarga muslim yang lahir di Perancis. Kebijakan ini dapat dikatakan menjadi kebijakan yang mendiskriminasi masyarakat muslim dan dapat semakin menjauhkan hubungan pemerintah dengan masyarakat muslim yang saat ini jumlahnya semakin meningkat. Kebijakan ini pula tidak sesuai dengan tujuan dari negara Perancis yang tercantun dalam konstitusi yaitu ‘Kebebasan, Persamaian, Persaudaraan.’
4
BBC News, Sarkozy speaks out against Burqa, (online), 22 Juni 2009, http://news.bbc.co.uk/2/hi/8112821.stm, diakses pada 10 Januari 2013 5
The Telegraph, Muslim Leaders Condemn Sarkozy over Burqa Ban, (online), 24 Juni 2009, http://www.telegraph.co.uk/news/religion/5616629/Muslim-leaders-condemn-Sarkozy-over-burqa-ban.html, diakses 10 Januari 2013
Sebagai tempat tinggal bagi kurang lebih 6 juta masyarakat muslim, Pemerintah Perancis seharusnya mampu mengakomodir kebutuhan masyarakat muslim, namun kenyataan yang terjadi adalah selama ini masyarakat muslim justru seringkali mendapatkan perlakuan diskriminatif baik dari masyarakat maupun pemerintah. Dengan jumlah yang semakin meningkat, masyarakat muslim saat ini belum juga berhasil mendapatkan perlakuan yang sama dengan masyarakat Perancis lainnya dan masih sering terjadi alienisasi.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan di atas, tulisan ini mengajukan pertanyaan Mengapa Nicolas Sarkozy mengeluarkan kebijakan larangan penggunaan burqa yang bertentangan dengan konsep Laicite?
C. Landasan Konseptual Untuk menjawab pertanyaan di atas, tulisan ini akan menggunakan dua konsep yang juga akan digunakan dalam menganalisis, yaitu Konstitusi Perancis 4 Oktober 1958 dan teori Rational Choice.
1. Konstitusi Perancis 4 Oktober 1958
Di dalam artikel pertama Konstitusi Perancis 4 Oktober 1958 disebutkan,
France shall be an indivisible, secular, democratic and social Republic. It shall ensure the equality of all citizens before the law, without distinction of origin, race or religion. It shall respect all beliefs. It shall be organised on a decentralised basis. 6
Artikel ini telah menjelaskan bahwa Perancis merupakan negara sekuler yang akan memberikan dan menjamin kebebasan warga negaranya termasuk dalam kebebasan agama. Ini
6
The French National Assembly, Constitution of October 4 1958, (online), http://www.assembleenationale.fr/english/8ab.asp, diakses pada 17 Januari 2013
berarti pemerintah Perancis tidak akan mencampuri urusan warga negara yang berhubungan dengan agama. Dengan kata lain, pemerintah Perancis memberikan batasan yang berbeda antara agama dan negara, di mana kedua belah pihak tidak akan mempengaruhi satu sama lain sebagaimana hal itu juga telah tercantum dalam konstitusi 9 Desember 1905.7 Lebih lanjut lagi, Pemerintah Perancis tidak akan memihak kepada agama manapun. Dengan tertulisnya artikel ini di dalam konstitusi Perancis, hal ini menjelaskan bahwa Pemerintah Perancis dengan tegas telah menyatakan bahwa urusan agama merupakan urusan individual. Hal ini ditujukan agar perbedaan agama tidak menjadi halangan bagi tercapainya tujuan negara yang menginginkan adanya persamaan dan kebebasan bagi semua masyarakatnya. Tidak ada agama yang dieksklusifkan meskipun saat ini mayoritas warga negara Perancis adalah pemeluk Kristiani. Dan agama lain tidak lantas menjadi minoritas. Sekularisme menjadi hal yang fundamental bagi Perancis, dan sekularisme yang diterapkan Perancis berbeda dengan sekularisme dari negara lain karena di Perancis, sekularisme yang diterapkan lebih bermaksut ke sebuah keadaan atau posisi netral dari negara yang menerapkan pemisahan total antara agama dan negara. Dengan merujuk dari artikel ini, sebuah kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Perancis yang berhubungan dengan agama, dapat lebih mudah untuk dikategorikan apakah kebijakan tersebut telah sesuai dengan konsep sekularisme atau tidak.
2. Rational Choice Theory
Teori ini sering dikatakan merupakan teori yang sangat dekat dengan ilmu ekonomi meskipun saat ini teori ini pun sering digunakan di dalam ilmu sosial termasuk ilmu hubungan internasional. Secara singkat, teori ini menjelaskan mengenai prilaku rasional dari seorang aktor yang berfokus pada tujuan yang ingin dicapai. Dikatakan rational adalah karena teori ini mengharapkan hasil yang besar dengan usaha atau pengorbanan yang seminim mungkin. Di dalam teori ini dijelaskan bahwa setiap aktor akan dihadapkan pada beberapa pilihan dalam menentukan sebuah kebijakan, dan setiap aktor akan memilih kebijakan yang akan 7
French Ministry of Foreign Affairs, La France a la loupe, (online), Mei 2007, http://www.ambafrancenp.org/IMG/pdf/secularism.pdf, diakses pada 10 Januari 2013
memberikan lebih banyak keuntungan dibanding kerugian. Begitupun dalam contoh negara sebagai aktor, negara akan mengambil pilihan kebijakan yang paling rasional baik terhadap negara lain dalam hubungan luar negeri, juga dalam hubungan luar negeri. Pilihan ini bisa didasari oleh beberapa faktor seperti sejarah, ekonomi, sosial maupun politik. Elster mengatakan,
"To explain why a person in a given situation behaves in one way rather than in another, we can see his action as the result of two successive filtering processes. The first has the effect of limiting the set of abstractly possible actions to the feasible set, i.e. the set of actions that satisfy simultaneously a number of physical, technical, economic and politico-legal constraints. The second has the effect of singling out one member of the feasible set as the action which is to be carried out”8
Dengan penjelasan ini lebih lanjutnya lagi dapat dijelaskan bahwa di dalam rational choice theory, keputusan yang diambil oleh suatu institusi atau negara dapat dilihat atau dianalisis dari individu yang ada di balik pengambilan keputusan tersebut. Kebijakan tersebut dapat merupakan sebuah kebijakan yang berdasar dari preferensi seseorang atau sekelompok individu yang lalu diaplikasikan ke dalam institusi atau negara.
3. Ideologi Politik Kanan Perancis
Perancis merupakan negara yang menganut sistem multi partai. Namun secara garis besar, peta politik Perancis dapat dikategorikan ke dalam dua kelompok besar yaitu partai atau kelompok politik beraliran kiri (gauche) dan kanan (droite). Partai-partai yang beraliran kiri berisikan partai-partai yang menganut dan mengadopsi nilai-nilai sosialisme dan demokrasi sosial.9 Sedangkan partai-partai yang ada di aliran kanan lebih bersifat konservatif, liberal dan kadang berisikan kelompok-kelompok kanan agama seperti partai Popular Republican 8
D, Little, Jon Elster Rational Choice Theory, (online), Edward Elgar Publishing, 1992, http://wwwpersonal.umd.umich.edu/~delittle/ELSTER3.htm, diakses pada 17 Januari 2013 9
Ghaisani, N.R, Partai Politik di Perancis, (online), 2013, http://prezi.com/dgz27mxhrvjf/partai-politik-di-perancis/ , diakses 11 Aprill 2013
Movement yang beraliran Christian Democratic. Ideologi Konservatif yang kebanyakan dimiliki oleh kelompok kanan kurang lebihnya merupakan ideologi yang berusaha mempertahankan sistem dan tatanan sosial yang sudah ada dan tidak menghendaki perubahan yang radikal.10 Kelompok-kelompok konservatif akan berusaha mempertahankan tradisi dari sebuah negara untuk tidak hilang atau pudar seiring dengan hadirnya tradisi-tradisi baru yang berkembang atau dibawa oleh para pendatang. Ideologi ini pula yang menjadi salah satu dasar dari kebijakankebijakan yang dikeluarkan oleh partai-partai dari kelompok kanan.
Berdasarkan ideologi yang dianut oleh kelompok kanan Perancis, hingga saat ini partaipartai dari kelompok kanan terkenal dengan kebijakan mereka yang vokal mengenai kebijakan anti imigran. Contoh kebijakan yang mencerminkan ideologi kanan sangat terlihat pada masa pemerintahan Jacque Chirac dan Nicholas Sarkozy di mana keduanya mengeluarkan kebijakan yang dapat dikatakan bersifat diskriminatif terhadap kelompok-kelompok tertentu.
4. Konsep Majoritarianisme
Konsep ini menyatakan bahwa kelompok mayoritas dari suatu populasi memiliki keinginan untuk mendominasi dan menganggap kelompoknya sebagai pengambil keputusan dari populasi tersebut. Konsekuensinya, pemikiran majoritarianism dalam suatu populasi akan mengakibatkan munculnya majority rule, yaitu proses pengambilan keputusan dalam suatu pemerintahan yang dipengaruhi oleh keinginan kaum mayoritas dan melupakan kepentingan kaum minoritas. Dalam kasus Perancis, majority rule sering terjadi dalam pengambilan sebuah kebijakan yang berhubungan dengan keadaan sosial atau masyarakat. 11 Rasa nasionalisme yang ditanamkan oleh pemerintah Perancis terhadap masyaraktnya membuat proses integrasi lebih sulit terjadi sehingga dalam pengambilan keputusan yang menyangkut warga negara, majority rule akan sangat terlihat di mana kebijakan tersebut didominasi oleh suara-suara kaum mayoritas. Hal ini juga disebutkan oleh Eric Kaufmann yaitu konsep dominant ethnicity menjadikan keadaan di dalam sebuah negara yang memiliki banyak masyarakat dengan ras atau budaya yang 10
Ibid
11
E, P. Kauffman. Rethinking Ethnicity, Routledge, New York, p. 106-107
berbeda, nation building seringkali akan dilakukan oleh etnis yang dominan guna mendapatkan keuntungan bagi mereka dan meminggirkan hak-hak minoritas.12 Hal ini terlihat pula dalam pengambilan suara menyangkut kebijakan anti burqa di Perancis, di mana voting yang dilakukan dimenangkan oleh suara mayoritas anggota parlemen yang berasal dari partai kanan. Arend Lijpart dalam bukunya juga menyebutkan, bahwa sebuah kabinet di dalam pemerintahan yang didominasi oleh suatu partai tertentu, akan memiliki kekuatan untuk mengeluarkan sebuah ‘majority rule’13 di mana kebijakan yang mereka usulkan pasti akan mendapatkan dukungan hampir 100% dari setiap anggotanya dan kebijakan itu, mau tidak mau akan diterapkan di dalam masyarakat.
D. Hipotesis
Kebijakan Nicholas Sarkozy terhadap masyarakat muslim dengan mengeluarkan larangan penggunaan burqa menjadi kebijakan yang mengundang banyak kontroversi. Tidak hanya menjadi kebijakan yang dinilai diskriminatif, kebijakan ini juga dikatakan tidak sesuai dengan konstitusi yang sejak dulu telah digunakan oleh Perancis. Di dalam konstitusi tersebut, disebutkan bahwa Perancis merupakan negara yang sekuler, dan menjunjung tinggi cita-cita negara yaitu mencapai kebebasan dan kesetaraan. Dengan konsep sekuler yang dimiliki Perancis hal ini juga berarti pemerintah tidak akan mencampuri urusan warga negaranya dalam hak-hak beragama termasuk bagaimana mengeskpresikan nilai-nilai keagamaanya.
Namun pada tahun 2009, Presiden Perancis Nicolas Sarkozy mengeluarkan kebijakan larangan penggunaan burqa bagi wanita muslim setelah sebelumnya pada tahun 2004, Presiden Jacque Chirac telah mengeluarkan kebijakan pelarangan penggunaan simbol-simbol keagamaan di sekolah dan universitas. Kebijakan ini tentu bertentangan dengan apa yang selama ini tertuang di dalam konstitusi perancis. Meskipun begitu, konstitusi Perancis tetap meloloskan kebijakan Sarkozy tersebut, hingga kini wanita muslim dilarang menggunakan burqa, padahal bagi sebagian wanita muslim burqa merupakan identitas yang selama ini melekat dengan mereka. 12
E, P. Kauffman. Rethinking Ethnicity, Routledge, New York, p. 102
13
A, Lijpart. Thinking about Democracry. Routledge, New York, 2008, pp. 114-115
Dengan berpijak pada landasan konseptual yang digunakan, penulis mengajukan hipotesis bahwa alasan Sarkozy mengeluarkan kebijakan tersebut adalah karena dua alasan, yang pertama adalah ideologi konservatif yang dianut oleh Sarkozy. Sebagai salah satu aktor politik dari partai kanan Perancis, Sarkozy merasa ideologi yang selama ini ia gunakan harus ditanamkan di dalam kebijakan-kebijakannya. Dengan mengeluarkan kebijakan tersebut, Sarkozy merasa telah menjadi perwakilan yang menyuarakan ide-ide dari partai kanan Perancis. Dan alasan terakhir adalah sifat islamophobia yang dimiliki Sarkozy, karena selama masa pemerintahannya Sarkozy dapat dikatakan bersifat sangat tidak ramah terhadap masyarakat muslim terutama para imigran, karena selain mengeluarkan kebijakan larangan penggunaan burqa, Sarkozy juga menyatakan penolakan terhadap diberikannya label halal bagi dagingdaging yang dijual di supermarket sebagai tanda bahwa daging tersebut dapat dikonsumsi oleh umat muslim juga kampanye Sarkozy yang mengatakan terlalu banyak imigran di Perancis namun hanya merujuk kepada imigran Muslim.