BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hipertensi merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius karena merupakan faktor risiko utama untuk penyakit kardiovaskuler, penyakit ginjal kronis, penurunan kognitif dan kematian dini. Secara global, kematian akibat penyakit kardiovaskuler adalah 17 juta jiwa pertahun dimana jumlah ini hampir mendekati sepertiga dari total kematian. Dari seluruh kematian akibat penyakit kardiovaskuler, kematian dengan komplikasi penyakit hipertensi terhitung 9,4 juta jiwa (WHO, 2013). Pada tahun 2007 penyakit hipertensi merupakan faktor penyebab kematian peringkat ke 3 di Thailand (Sookaneknun et al., 2010).Penyakit hipertensi dapat menyerang siapa saja dari berbagai kelompok umur dan kelompok sosial-ekonomi. Pada tahun 2008 sekitar 40% orang dewasa dengan usia kurang lebih 25 tahun telah didiagnosis menderita hipertensi (WHO, 2013). Berdasarkan laporan Riskesdas 2013 prevalensi hipertensi di Indonesia adalah 25,8%. Angka tersebut sangat tinggi jika dibandingkan dengan prevalensi penyakit kronis tidak menular lainnya seperti diabetes dengan prevalensi 2,1% dan hipertiroid dengan prevalensi 0,4% (Riskesdas 2013). Hipertensi juga termasuk dalam peringkat 10 besar penyakit tidak menular pada pasien rawat inap di rumah sakit Indonesia pada tahun 2009 dan 2010, dan menduduki peringkat tertinggi yaitu sebesar 4,19%pada tahun 2009 dan 4,39% pada tahun 2010 (Kemenkes RI, 2011). Hipertensi juga termasuk dalam peringkat 10 besar kematian akibat penyakit tidak menular pada pasien rawat inap di rumah sakit, pada tahun 2010 persentase penyakit hipertensi adalah 6,69% seperti terlihat pada gambar sebagai berikut :
1
2
Gambar 1.Peringkat 10 besar penyakit tidak menular penyebab kematian pasien rawat inap di rumah sakit Indonesia tahun 2009 dan 2010 Berdasarkan data dari pusat data dan informasi Kementerian Kesehatan tahun 2011 hipertensi merupakan masalah kesehatan yang dapat menyerang berbagai kelompok umur, dimanaa hipertensi termasuk dalam 10 besar penyakit rawat jalan pada kelompok umur 15-49 tahun dan menduduki peringkat tertinggi pada kelompok umur >50 tahun pada pemberi pelayanan kesehatan (PPK) tingkat lanjutan (Kemenkes RI, 2011). Pada kasus tingkat kefatalan yang menyebabkan kematian atau case fatality rate (CFR) untuk penyakit tidak menular, hipertensi termasuk dalam 10 peringkat terbesar dimana angka kasus kematian hipertensi menunjukkan peningkatan dari tahun 2009 yaitu sebesar 3% dan tahun 2010 menjadi 3,5% seperti pada gambar 2.
3
Gambar 2.Case fatality rate penyakit tidak menular pasien rawat inap di Rumah Sakit Indonesia tahun 2009 dan 2010 Yogyakarta menduduki peringkat kelima untuk penyakit hipertensi di Indonesia, dimana hipertensi menduduki peringkat ke 3 pada distribusi 10 besar penyakit pada puskesmas mulai Januari sampai Desember 2012, dan menduduki peringkat ke 5 pada distribusi penyakit rawat jalan serta peringkat ke 2 pada distribusi 10 besar penyakit rawat inap di rumah sakit pada tahun 2011 (Dinas Kesehatan Provinsi DIY, 2012). Mengingat hipertensi merupakan faktor resiko utama untuk penyakit kardiovaskuler maka perlu dilakukan
pencegahan dan
pengendalian yang membutuhkan campur tangan pekerja kesehatan,komunitas riset akademis,masyarakat sipil, sektor swasta, keluarga dan individu (WHO, 2013). Adapun upaya pemerintah untuk mengelola penyakit hipertensi adalah dengan gatekeeperconcept yaitu semua pelayanan di penyedia pelayanan kesehatan lain harus mendapatkan persetujuan dari dokter pelayanan primer sebelum pelayanan itu diberikan kecuali untuk kasus gawat darurat (Kongstvedt, 2009). Gatekeeper concept digunakan oleh badan penyelenggara jaminan sosial (BPJS) Kesehatan sebagai pengelola Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sebagai konsep dasar pada pelayanan kesehatan primer dalam rangka kendali mutu kendali biaya.Gatekeeper concept dapat terlaksana dengan baik apabila memiliki sistem rujukan yang baik.
4
Untuk mensukseskan pelaksanaan jaminan kesehatan nasional melalui pengendalian mutu dan pengendalian biaya, maka diberlakukan sistem rujukan berjenjang sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) No. 001 tahun 2012 tentang sistem pelayanan kesehatan perorangan. Sistem rujukan yang dimaksud dalam hal ini adalah penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang mengatur pelimpahan tugas dan tanggung jawab pelayanan kesehatan secara timbal balik baik secara vertikal maupun horizontal, dimana fasilitas kesehatan primer merupakan gate keeper yang berperan sebagai pemberi pelayanan kesehatan dasar dan berfungsi optimal sesuai standar kompetensinya dalam memberikan pelayanan kesehatan sesuai standar pelayanan medik (BPJS, 2013). Namun salah satu permasalahan pada sistem rujukan selama ini adalah belum adanya pedoman rujukan dan pembagian wewenang yang jelas serta batasan yang terperinci tentang kasus atau kondisi pasien yang bisa dirujuk dan dirujuk balik yang menyebabkan pelayanan pasien belum berjalan dengan baik. Hal ini berdasarkan dengan hasil penelitian Susiyanti(2009) yang menunjukkan bahwa tidak adanya pedoman untuk merujuk pasien merupakan faktor penghambat dalam penatalaksanaan sistem rujukan. Tidak adanya kriteria khusus bagi dokter layanan primer untuk merujuk pasien, merupakan penyebab keputusan untuk merujuk masih bervariasi sesuai toleransi dokter layanan primer, misalnya untuk mendapat nasihat dari praktisi lain atau karena permintaan pasien (Forrest et al., 2002). Maka untuk memutuskan merujuk pasien diperlukan sebuah pedoman rujukan (Mehrotra et al., 2011).Pedoman merupakan alat untuk mengatasi masalah antara kualitas dan biaya kesehatan. Pedoman harus disebarkan dan diperkenalkan kepada dokter layanan primer agar bisa digunakan (Hill dan Wong, 2000). Menurut Sola et al. (2014), penggunaan pedoman dalam pengelolaan penyakit dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain persepsi dokter. Sebagian dokter memiliki persepsi yang baik terhadap perlunya pedoman klinis sebagai standar praktik kedokteran dan membuat sebuah keputusan dalam pelayanan kedokteran. Namun sebagian dokter memiliki persepsi yang berbeda, bahwa
5
pedoman klinis dianggap sebagai suatu hambatan karena tidak bisa diterapkan kepada semua pasien. Daerah Khusus Ibukota Jakarta telah menyusun pedoman rujukan penyakit hipertensi, pedoman rujukan ini disusun berdasarkan PMK No 5 tahun 2014 tentang panduan praktek klinis bagi dokter di fasilitas pelayanan kesehatan primer yang dikombinasikan dengan indikasi rujukan. Pedoman rujukan ini diharapkan nantinya dapat digunakan sebagai acuan oleh fasilitas pelayanan kesehatan primer. Menurut Robbins ( 2007) perilaku seseorang didasarkan pada persepsi bukan kenyataan, apabila persepsi seseorang negatif terhadap sesuatu maka menimbulkan sikap yang negatif pula terhadap pekerjaan atau organisasinya. Untuk mengetahui apakah pedoman rujukan tersebut dapat direkomendasikan untuk digunakan oleh dokter layanan primer di Kota Yogyakarta, maka perlu diketahui bagaimana persepsi dokter layanan primer terhadap pedoman rujukan penyakit hipertensi tersebut. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian dari latar belakang diatas maka dapat dirumuskan masalah penelitian "Bagaimana persepsi dokter layanan primer terhadap pedoman rujukan penyakit hipertensi di Daerah Istimewa Yogyakarta".
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Untuk mendeskripsikan persepsi dokter layanan primer terhadap pedoman rujukan penyakit hipertensi. 2. Tujuan Khusus a Untuk mendeskripsikan pengetahuan dokter layanan primer terhadap pedoman rujukan penyakit hipertensi b Untuk mendeskripsikan sikap dokter layanan primer terhadap pedoman rujukan penyakit hipertensi c Untuk mendeskripsikan pengalaman dokter yang menjadi pertimbangan bagi dokter dalam merujuk pasien hipertensi
6
d Untuk mendeskripsikan harapan dokter layanan primer terhadap pedoman rujukan penyakit hipertensi D. Manfaat Penelitian 1.
Manfaat ilmiah Bagi peneliti selanjutnya dapat dilakukan uji coba untuk pedoman rujukan dan rujuk balik pasien hipertensi, dan dapat digunakan sebagai sumber informasi bagi peneliti berikutnya dalam mengembangkan penelitian ini.
2.
Manfaat bagi Pemerintah Daerah Menyempurnaan kebijakan manajerial dalam melakukan evaluasi kegiatan pelayanan serta mengoptimalkan kualitas pelayanan bagi peserta BPJS
3.
Manfaat bagi puskesmas dan rumah sakit Menjadi masukan bagi para dokter di puskesmas dan rumah sakit dalam melakukan rujukan dan rujukan balik penyakit hipertensi E. Keaslian Penelitian Beberapa penelitian yang pernah melakukan penelitian yang serupa
dengan penelitian ini, adalah sebagai berikut : 1.
Susianti (2009), yang meneliti tentang Evaluasi rujukan pasien pensiunan pertamina dengan penyakit jantung koroner, hipertensi, dam diabetes mellitus di pertamedika centre, jenis penelitian analitik action research dengan pendekatan kualitatif. Penelitian dilaksanakan di PMC dengan menggunakan data primer dari wawancara 26 dokter. Dimana belum adanya pedoman rujukan pasien yang dipakai pada pelaksanaan rujukan pasien di PMC. Hasil penelitian ini adalah faktor-faktor yang mempengaruhi rujukan di PMC yaitu keinginan dokter spesialis, keinginan pasien, faktor penyakit pasien, perlu diagnosa lebih lanjut, perlu pemeriksaan penunjang, keterbatasan kemampuan dokter, keterbatasan alat, keterbatasan obat, advis spesialis dan pasien perlu perawatan lebih lanjut. Perbedaannya dengan penelitian ini adalah penelitian ini meneliti tentang persepsi dokter layanan primer terhadap pedoman rujukan penyakit hipertensi di Kota Yogyakarta, jenis penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif.
7
2.
Zuhrawardi (2007), yang meneliti tentang Analisis pelaksanaan rujukan pada palayanan rawat jalan tingkat pertama pada peserta wajib PT. Askes di Kota Banda Aceh, menggunakan rancangan penelitian deskriptif ini adalah metode penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan situationanalysis study. Informan dalam penelitian ini ada 12 orang yaitu kepala PT Askes, 3 orang kepala puskesmas, 3 orang stafpuskesmas dan 5 orang pasien peserta wajib PT. Askes. Hasil penelitian menunjukan bahwa 75% rujukan tingkat pertama karena keinginan pasien bukan karena indikasi medis, para dokter puskesmas telah mengetahui tentang kapitasi, perlengkapan dan obat yang ada dipuskesmas telah memadai atau sangat baik.Perbedaannya dengan penelitian ini adalah penelitian ini meneliti tentang persepsi dokter layanan primer terhadap pedoman rujukan penyakit hipertensi di Kota Yogyakarta, jenis penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif.
3.
Wulandari (2012), yang meneliti tentang faktor faktor yang mempengaruhi rujukan balik pasien penderita DM tipe 2 peserta Askes Sosial dari Rumah Sakit ke Dokter Keluarga di Kabupaten Kudus, menggunakan rancangan penelitiandeskriptif wawancara
kualitatif,
mendalam,
dengan
observasi
dan
teknik
pengumpulan
diskusi
kelompok
data
terarah.
Wawancara mendalam dilakukan terhadap 8 dokter spesialis penyakit dalam di 3 RS di Kabupaten Kudus yang bekerjasama dengan PT Askes (Persero) Cabang Kudus dan 2 orang dokter keluarga.bahwa pelaksanaan rujukan balik dipengaruhi oleh beban kerja di RS,persepsi terhadap kompetensi dokter keluarga, kurangnya komunikasi dan koordinasi antara dokter spesialis penyakit dalam dengan dokter keluarga serta adanya tuntutan pasien dan masih adanya pasien yang selalu berorientasi pada pelayanan spesialis.Perbedaannya dengan penelitian ini adalah penelitian ini meneliti tentang persepsi dokter layanan primer terhadap pedoman rujukan penyakit hipertensi di Kota Yogyakarta, jenis penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif.