BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Kabupaten Pati merupakan salah satu kota di Provinsi Jawa Tengah, terletak pada ujung utara Pulau Jawa atau biasa disebut berada di jalur pantura (pantai utara). Kota Pati memiliki slogan “Pati Bumi Mina Tani”. Masyarakat Pati banyak yang bekerja sebagai petani, pembudidaya ikan maupun nelayan. Kota Pati terbagi kedalam beberapa kecamatan salah satunya Juwana. Kecamatan Juwana dikenal dengan hasil tangkapan ikan lautnya. Penduduk sekitar Juwana banyak yang menggantungkan hidupnya dari hasil melaut. Nelayan biasa menjual hasil tangkapan ikannya di TPI (Tempat Pelelangan Ikan). TPI memegang peranan penting dalam membantu pemasaran hasil perikanan, yaitu mempercepat penjualan ikan dan melindungi mereka dari permainan harga yang mungkin saja dilakukan oleh pedagang. TPI juga bisa membantu mengarahkan kehidupan nelayan dengan wajib membayar simpanan (saving) untuk tiap penjualan, hanya saja hal ini tergantung bagaimana kebijakan TPI untuk mengarahkannya agar simpanan tersebut bermanfaat lagi bagi nelayan. Banyak sedikitnya hasil lelang tergantung dengan banyaknya hasil tangkapan saat melaut. Hasil tangkapan nelayan saat melaut juga tergantung dengan cuaca disekitar daerah pantai utara. Selain itu, mereka juga mempunyai kepercayaan dengan diadakan upacara “adat larungan” (sedekah laut) juga dapat mempengaruhi besarnya hasil tangkapan ikan, kelancaran serta keselamatan saat melaut. Upacara adat adalah suatu upacara tradisional yang dilakukan secara turuntemurun yang berlaku di suatu daerah. Upacara pada dasarnya merupakan bentuk perilaku masyarakat yang menunjukkan kesadaran terhadap masa lalunya. Masyarakat menjelaskan tentang masa lalunya melalui upacara. Melalui upacara, kita dapat melacak tentang asal usul baik itu tempat, tokoh, sesuatu benda, kejadian alam, dan lain-lain. Selain melalui mitologi dan legenda, cara yang dapat dilakukan untuk mengenal kesadaran sejarah pada masyarakat yang belum mengenal tulisan yaitu melalui upacara.
1
Adat Larungan adalah tradisi tahunan yang dilaksanakan sepekan setelah Hari Raya Idul Fitri sebagai perwujudan rasa syukur dan permohonan keselamatan warga nelayan saat akan melaut lagi, yaitu dengan melarung sesaji kemuara laut. Sebelumnya sesaji itu diarak bersama warga keliling di desa nelayan Bajomulyo dan Bendar Kecamatan Juwana. Kemudian sebelum pemberangkatan sesaji kelaut dilaksanakan upacara di Pelabuhan Unit II Juwana yang biasanya dihadiri oleh Bupati Pati beserta jajaranya yang melibatkan masyarakat sekitar. Adat Larungan selama ini telah mempunyai peran penting dalam kehidupan masyarakat nelayan di Juwana dan aktifitas penangkapan ikan merupakan pekerjaan penting masyarakat di sekitar Juwana, sehingga perlu dikaji secara mendalam terkait adat larungan dan keterkaitannya dengan faktor-faktor yang mempengaruhi hasil tangkapan ikan nelayan di Desa Bendar Kecamatan Juwana Kabupaten Pati.
B. Rumusan Masalah Dari latar belakang yang disusun, maka rumusan masalah yang akan diangkat di dalam penelitian ini adalah : 1. Apakah nelayan yang ikut larungan dan tidak ikut larungan hasil tangkapan ikannya berbeda? 2. Apakah ada pengaruh faktor internal dan eksternal (pengalaman, umur, motivasi, keaktifan ikut penyuluhan, sarana/peralatan menangkap ikan, dan lamanya waktu melaut) masyarakat nelayan terhadap hasil tangkapan ikan?
C. Tujuan Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan penelitian ini adalah : 1. Mengetahui perbedaan hasil tangkapan ikan nelayan yang ikut larungan dan tidak ikut larungan. 2. Mengetahui pengaruh faktor internal dan eksternal masyarakat nelayan terhadap hasil tangkapan ikan.
2
D. Manfaat Penelitian 1. Sebagai syarat untuk mendapatkan gelar sarjana. 2. Dapat digunakan sebagai sumber informasi. 3. Memberikan suatu informasi baru tentang kearifan lokal (local wisdom) di daerah Pati. 4. Dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk penelitian selanjutnya.
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA , KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
A. Tinjauan Pustaka Dalam penelitian ini, peneliti akan mencari jawaban hubungan antara adat larungan dengan hasil tangkapan ikan nelayan. Untuk memperkuat penelitian ditampilkan beberapa teori yang menyangkut dengan topik. Penjelasan teori terkait topik yaitu tradisi, adat larungan, nelayan, lingkungan sosial ekonomi masyarakat, pengaruh kebudayaan, motivasi dan penyuluhan (penyuluhan perikanan) akan diuraikan sebagai berikut:
1. Tradisi Masyarakat Tradisi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti adat kebiasaan turun temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam masyarakat, penilaian atau anggapan bahwa cara-cara yang telah ada merupakan yang paling baik dan benar. Sedangkan pengertian tradisi seperti yang ditulis oleh Aljabiri dalam Riefqi (2012) yaitu sesuatu yang hadir dan menyertai kekinian kita yang berasal dari masa lalu kita atau orang lain baik masa lalu jauh maupun dekat. Definisi tradisi sebagai “sesuatu yang hadir, dan menyertai kekinian kita” maka mengangkat dan menyibukkan diri dengan tradisi adalah masalah yang absah dan bisa dibenarkan, karena hal tersebut merupakan bagian esensial dari kebutuhan manusia itu sendiri untuk mengkaji dirinya dan mengembangkannya. Selain itu, budaya lahir terlebih dahulu sebelum tradisi itu tercipta, setelah terbentuk budaya selanjutnya akan dianut oleh sekelompok orang dan diwariskan kepada keturunannya. Budaya yang diwarisakan secara turun temurun itu akan menjadi sebuah tradisi. Tradisi juga dapat diartikan dalam budaya secara khusus atau perlambangan dari budaya itu sendiri, misalnya: budaya lebaran (bulan Syawal) pada saat Idul Fitri, pada hari ketujuh lebaran terdapat tradisi yang rutin dilaksanakan masyarakat pesisir pantai utara di kecamatan Juwana yaitu larungan. Jadi, disini tradisi menjadi identitas dari suatu budaya. Manusia menciptakan kebudayaan, selanjutnya ia menjadi pelaku kebudayaan itu sendiri. Fenomena budaya ada dimana-mana, tumbuh melalui makhluk yang
4
berbahasa. Fenomena ini berkembang ketika manusia memberi struktur kepada biotopnya. Tidak sedikit akibat yang dimunculkan oleh biotope ketika manusia memperlakukan lingkungannya (biotop) menurut persepsi yang berbeda. Dari gejala ini timbul bermacam usaha manusia untuk mempertahankan budayanya. Keinginan untuk mempertahankan ini dapat dilihat baik dari sudut pandang manusia selaku individu maupun melalui perilaku komunitas. Tidak jarang terjadi keguncangan (turbulence) ketika unit perilaku itu melakukan relasi dengan unit perilaku lain yang dilatarbelakangi oleh system berpikir, budaya, dan nilai yang berbeda satu sama lain (Yusuf, 1991). Jawa merupakan kelompok etnik terbesar di Asia Tenggara. Etnik ini berjumlah kurang lebih empat puluh persen dari dua ratus juta penduduk indonesia. Tradisi Jawa adalah tradisi yang amat kaya dan dihimpun dari kesusasteraan yang merentang selama ribuan tahun mulai dari sumber-sumber kuno Sansekerta hingga kisah-kisah babad dan legenda kerajaan-kerajaan kuno, seperti pararaton dan negarakertagama, dan juga sejarah mataram yang terekam dalam babad tanah jawi. Jawanisme atau kejawen bukanlah suatu kategori religious, namun lebih menunjuk pada sebuah etika dan sebuah gaya hidup yang diilhami oleh pemikiran jawa. Dalam masyarakat Jawa kebanyakan masih terdapat unsur-unsur animism dan dinamisme yang menyatu dalam sebuah kepercayaan. Banyak dari mereka menghormati slametan sebagai mekanisme integrasi sosial yang penting, atau sangat memuliakan leluhur mereka (Mulder, 2001). Tradisi dan tindakan orang Jawa selalu berpegang kepada dua hal. Pertama, kepada filsafat hidupnya yang religious dan mistis. Kedua, pada etika hidup yang menjunjung tinggi moral dan derajat hidup. Pandangan hidup yang selalu menghubungkan segala sesuatu dengan Tuhan yang serba rohaniah, mistis dan magis, dengan menghormati nenek moyang, leluhur serta kekuatan yang tidak tampak oleh indra manusia. Oleh karena itu, orang jawa memakai simbol-simbol kesatuan, kekuatan dan keluhuran. Mitos dan magi berasal dari zaman prasejarah, dimana orang-orang jawa masih menganut paham mitologi, animism dan dinamisme. Mitos dan magi tetap lekat dalam pribadi-pribadi jawa walaupun ajaran-ajaran religi atau agama yang murni telah diterima selama berabad-abad lamanya. Ilmu
5
pengetahuan dan filsafat modern dari barat pun tidak dapat merubah kebudayaan Jawa tradisional (Herusatoto, 2001).
2. Adat Larungan Larungan merupakan adat yang dilakukan oleh para nelayan yaitu ritual melepas sesaji ke laut sebagai ungkapan rasa syukur atas limpahan hasil laut sebagai sumber penghidupan para nelayan (Anonim, 2013). Ritual tahunan yang bernama sedekah laut (larungan) masih kental hidup di lingkungan mayarakat pesisir. Sedekah laut dinyatakan sebagai tanda syukur atas hasil dari bumi (perikanan) yang telah dimanfaatkan bagi umat manusia. Sedekah laut adalah warisan budaya nenek moyang dan dengan alasan melestarikan budaya nenek moyang, maka ritual tahunan sedekah laut tidak pernah lenyap oleh keramaian zaman. Ritual ini adalah warisan leluhur. Upacara sedekah laut dipimpin oleh tokoh setempat yang mengetahui betul seluk beluk ritual sedekah laut. Acara dibuka dengan dengan do'a, kemudian makan bersama selanjutnya adalah acara larungan (sedekah laut ) yakni melarung (menghanyutkan) sesaji yang berupa makanan, kepala kerbau/kambing, ayam, dan beberapa macam bunga yang dibawa perahu kecil (jenis cukrik) atau ditempatkan pada sebuah perahu mini, kemudian dilepaskan di laut bebas. Sedekah laut dilaksanakan dengan bentuk kepanitiaan yang anggotanya berupa nelayan dari beberapa daerah disekitar pesisir. Setiap nelayan dipungut biaya yang berbeda-beda sesuai dengan kepemilikan perahunya. Jika nelayan tersebut memiliki perahu kecil, dia dipungut biaya (iuran) sebesar Rp 20.000, pemilik perahu berukuran sedang dipungut biaya sebesar Rp 300.000, dan bagi pemilik perahu besar dipungut biaya sebesar Rp 500.000 . Iuran ini wajib di keluarkan apabila tidak maka akan mendapatkan sanksi yaitu berupa sanksi sosial seperti dikucilkan dari anggota nelayan. Tujuan dari iuran ini adalah untuk menumbuhkan rasa kebersamaan dan kepemilikan serta gotong royong untuk melestarikan warisan nenek moyang. Sebagai sebuah budaya (khususnya orang Jawa) tentu saja Islam tidak akan menolak jika tidak menyimpang dari kaidah-kaidah keimanan, tidak berbau syirik dan berlebihan serta bersifat pemborosan. Islam sendiri telah memberikan pengajaran yang baik tentang tata cara bersyukur, berdo'a dan jalan atau cara mendekatkan diri kepada Tuhan.
6
3. Manusia dan Perkembangannya Manusia menurut Ahmadi (1991) merupakan makhluk-makhluk hidup yang lebih sempurna bila dibandingkan dengan makhluk-makhluk hidup lainnya. Akibat dari unsur kehidupan yang ada pada manusia, manusia berkembang dan mengalami perubahan-perubahan, baik perubahan-perubahan dalam segi fisiologik maupun perubahan-perubahan dalam segi psikologik. Faktor-faktor yang menentukan dalam perkembangan manusia ternyata terdapat bermacam-macam pendapat dari para ahli, sehingga pendapat-pendapat itu menimbulkan bermacam-macam teori, antara lain: 1. Teori Nativisme Teori ini menyatakan bahwa perkembangan manusia itu akan ditentukan oleh faktor-faktor nativus, yaitu faktor-faktor keturunan yang merupakan faktor-faktor yang dibawa oleh individu pada waktu dilahirkan. 2. Teori Empirisme Teori ini menyatakan bahwa perkembangan seseorang individu akan ditentukan oleh
empirinya
atau
pengalaman-pengalamannya
yang
diperoleh
selama
perkembangan individu, dala pengertian pengalaman termasuk juga pendidikan yang diterima oleh individu yang bersangkutan. 3. Teori Konvergensi Teori ini merupakan teori gabungan (konvergen) dari kedua teori nativisme dan empirisme, yaitu teori yang dikemukakan oleh William Stern. Menurut William baik pembawaan maupun pengalaman atau lingkungan mempunyai peranan yang penting di dalam perkembangan individu. Perkembangan individu ditentukan baik oleh faktor yang dibawa sejak lahir maupun faktor lingkungan (termasuk pengalaman dan pendidikan).
4. Masyarakat Nelayan Komponen sistem manusia dalam perikanan laut secara sederhana dapat dikelompokkan menjadi nelayan, rumah tangga dan komunitasnya, pengolah (pascapanen) dan pedagang (pemasaran), serta lingkungan sosial ekonomi. Komponen-komponen tersebut saling berinteraksi dalam mempengaruhi pola pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya ikan.
7
Nelayan memiliki peran penting dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat pesisir. Mereka pergi melaut di malam hari ketika angin darat berhembus ke laut dan kembali ke darat pada pagi hari sekitar pukul 08.00-09.00 WIB dengan membawa hasil ikan tangkapannya. Ikan-ikan tersebut setelah sampai di dermaga akan di angkut oleh kuli ikan menuju TPI (Tempat Pelelangan Ikan). Para pelelang sudah siap untuk melakukan pelelangan, siapa yang menawarkan harga tertinggi maka dia yang akan mendapatkan hak milik dari ikan hasil tangkapan nelayan. Harga tangkapan ikan nelayan tergantung dari jenis ikan yang di dapat. Dengan adanya nelayan dapat membantu memenuhi dan mencukupi kebutuhan untuk para konsumen. Nelayan (Widodo, 2006) dapat didefiniskan sebagai orang atau komunitas orang yang secara keseluruhan atau sebagaian dari hidupnya tergantung dari kegiatan menangkap ikan. Beberapa kelompok nelayan memiliki beberapa perbedaan dalam karakteristik sosial dan kependudukan. Perbedaan tersebut dapat dilihat pada kelompok umur, pendidikan, status sosial, dan kepercayaan. Dalam perilaku produksi, secara psikologis nelayan juga memiliki beberapa keragaman yang salah satunya dipengaruhi oleh satu virus yang oleh McClelland (TT) disebut sebagai virus n-Arc (need for achievement). Charles (2001) membagi kelompok nelayan dalam empat kelompok, yaitu: 1. Nelayan subsisten (subsistence fishers), yaitu nelayan yang menangkap ikan hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri. 2. Nelayan asli (native/indigenous/aboriginal fishers), yaitu nelayan yang sedikit banyak memiliki karakter yangsama dengan kelompok pertama, namun memiliki juga hak untuk melakukan aktivitas secara komersial walaupun dalam skala yang sangat kecil. 3. Nelayan rekreasi (recreational/sport fishers), yaitu orang-orang yang secara prinsip melakukan kegiatan penangkapan hanya sekadar untuk kesenangan atau berolah raga. 4. Nelayan komersil (commercial fishers), yaitu mereka yang menangkap ikan untuk tujuan komersil atau dipasarkan baik untuk pasar domestik maupun pasar ekspor. Kelompok nelayan ini dibagi dua, yaitu nelayan skala kecil dan skala besar.
8
Dari empat pengelompokan tersebut sudah sangat sulit menemukan dua kelompok yang pertama. Sementara, kelompok ketiga walaupun di beberapa negara maju berbagai kegiatannya telah terdokumentasi dengan baik namun di beberapa negara berkembang seperti Indonesia misalnya, sangat sulit ditemukan. Di samping pengelompokan tersebut, terdapat beberapa terminologi yang sering digunakan untuk menggambarkan kelompok nelayan, seperti nelayan penuh untuk mereka yang menggantungkan keseluruhan hidupnya dari menangkap ikan; nelayan sambilan untuk mereka yang hanya sebagian dari hidupnya tergantung dari menangkap ikan (lainnya dari aktivitas seperti pertanian, buruh, dan tukang); juragan untuk mereka yang memiliki sumberdaya ekonomi untuk usaha periakanan seperti kapal dan alat tangkap; dan Anak Buah Kapal (ABK/pandega) untuk mereka yang mengalokasikan waktunya dan memperoleh pendapatan dari hasil mengoperasikan alat tangkap ikan, seperti kapal milik juragan. Di samping pembagian di atas, kita juga menemukan beberapa pembagian lainnya seperti daya jangkau armada perikanan dan juga lokasi penangkapan ikan. Dapat kita sebutkan misalnya nelayan pantai atau biasa disebut: a. Perikanan pantai untuk usaha perikanan skala kecil dengan armada yang didominasi oleh perahu tanpa motor atau kapal motor tempel. b. Perikanan lepas pantai untuk perikanan dengan kapasitas perahu rata-rata 30 GT. c. Perikanan samudera untuk kapal-kapal ukuran besar misalnya 100 GT dengan target perikanan tunggal seperi tuna. Dalam beberapa aspek kedua kelompok nelayan komersil memiliki beberapa perbedaan karakteristik yang signifikan. Perhatian lebih besar dipusatkan pada perikanan skala kecil dibandingkan perikanan sakal besar. Hal ini sekurangkurangnya disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut (Johanes, 2006): 1) Perikanan skala kecil umumnya memilki ketergantungan yang sangat tinggi pada sumberdaya perikanan sebagai sumber mata pencaharian utama dan usaha ini hampir seluruhnya berbasis di daerah pantai. Dengan karakter seperti ini pengelolaan perikanan menjadi faktor kuncinuntutk menjamin keberlanjutan sumberdaya dan usaha pemanfaatannya.
9
2) Nelayan dalam kelompok ini merupakan nelayan yang memiliki keterbatasan akses terhadap pekerjaan lain dan kadang mereka umumnya adalah masyarakat
dengan
tingkat
penghasilan
yang
rendah.
Kelangkaan
sumberdaya ikan akan langsung berimplikasi terhadap kehidupan sehari-hari masyarakat ini. 3) Perikanan skala ini juga memiliki sumberdaya teknologi seperti kapal dan alat tangkap yang umumnya terbatas baik dari segi jumlah maupun kapasitas. Sehingga untuk mengembangkan usaha perikanan dan memperluas daerah penangkapan ke laut lepas sangat sulit dilakukan. 4) Secara tradisional perikanan skala kecil umumnya berada di luar pusat kekuasaan baik politik maupun ekonomi. Sehingga nelayan kelompok ini sering memiliki posisi tawar (bargaining position) yang sangat lemah. Bailey (1998) menggambarkan dengan baik kelemahan posisi tawar para nelayan skala ini dalam kasus introduksi alat tangkap produktif seperti pukat cincin (purse seine) dan pukat udang (trawl), serta kegiatan budidaya tambak di Indonesia. 5) Perikanan skala kecil sangat rentan terhadap pengaruh faktor eksternal dan membutuhkan berbagai upaya perlindungan. Dengan karakter perikanan skala kecil seperti yang diuraikan di atas berbagai upaya pengelolaan sering sangat sulit disusun dan dilakukan serta memerlukan inovasi dalam pendekatannya, seperti melalui pendekatan partisipatif, komanajemen, dan lain-lain.
5. Lingkungan Sosial Ekonomi Aspek manusia baik nelayan dan komunitasnya, para pengolah dan industri pengolahan, industri alat tangkap, seperti halnya sumberdaya ikan dalam sistem perikanan laut yang memiliki ekosistem, sangat ditentukan oleh lingkungan sosial ekonomi. Lingkungan sosial ekonomi dalam hal ini meliputi beberapa aspek seperti demografi (umur, jenis kelamin, pola migrasi, dsb), sosial budaya (sejarah, tradisi, hubungan bermasyarakat), ekonomi (mikro dan makroekonomi), dan kelembagaan (kelompok nelayan, kebijakan, pengambilan keputusan dan kepemimpinan). Sebagai ilustrasi untuk menggambarkan pola hubungan dan interaksi faktor tersebut terhadap
10
perikanan, berikut akan diuraikan secara singkat satu contoh kasus perikanan di Jawa (Johanes, 2006): “Daerah pesisir dalam perspektif sejarah politik negara merupakan daerah sentral kekuasaan pemerintah dan kerajaan terkenal terutama di pesisir utara Jawa. Pada dekade kedua abad XIX diketahui lebih dari separuh penduduk di Jawa bermukim di sepanjang pantai utara dari Banten hingga Probolinggo. Boomgraad (1991). Seorang sejarawan Belanda, seperti yang dikutip oleh Masyhuri (1996) mencatat bahwa sektor perikanan telah berkembang di desa-desa pantai di Jawa pada abad XVIII dan XIX, seperti ditunjukkan oleh berkembangnya industry perkapalan penangkapan ikan. Keberhasilan masyarakat pesisir saat itu menurut Baiquni (1996) tercapai karena tersediannya sumberdaya alam, kemampuan masyarakat local dalam menguasai teknologi, khususnya teknologi perkapalan, majunya hubungan antar wilayah dalam mempermudah pertukaran dan perdagangan, serta besarnya dukungan kelembagaan. Pasang surut perikanan pesisir utara sangat ditentukan oleh faktor ekologi, masyarakat, modal, pemasaran, teknologi dan termasuk juga berbagai perangkat kebijakan pendukung lainnya. Perhatian yang lebih besar pada industri perikanan skala besar menyebabkan terjadinya dualisme pembangunan perikanan. Dualisme industri perikanan menurut catatan Bailey (1988) sangat nyata pada kasus introduksi pukat harimau yang menghasilkan tragedi sumberdaya miliki bersama. Berbeda dengan pesisir utara, kegiatan perikanan di pesisir selatan Jawa tidak cukup berkembang baik kecuali di beberapa wialyah seperti Cilacap (Zuhdi, 2002). Whitten, dkk (1999) dan Lombard (2000) melihat hal tersebut salah satunya diakibatkan oleh sistem kepercayaan masyarakat. Laut selatan dipandang berada di bawah kekuasaan seorang ratu yang sangat berkuasa, Ratu Kidul, istri ghaib dan pelindung penguasa-penguasa Mataram (yang sekarang diwakili oleh para bangsawan keturunan Sultan Solo dan Yogyakarta). Sekali setahun mereka memberikan sesembahan, sehingga berbagai aktivitas di pesisir selatan Jawa masih tetap dipengaruhi oleh kehadiran Ratu Kidul. Bagi nelayan yang setiap hari mempertaruhkan nyawa di pantai selatan Jawa, sang Ratu harus disenangkan hatinya. Namun demikian dalam beberapa dekade terakhir usaha perikanan mulai berkembang dengan baik.” Dari uraian singkat diatas, saya juga menemukan hal sama yang dilakukan oleh masyarakat sekitar pesisir pantai utara tepatnya di Kecamatan Juwana Kabupaten Pati. Setiap tahunnya mereka juga melakukan seperti yang dilakukan oleh masyarakat pesisir pantai selatan yaitu melakukan ritual larungan (sedekah laut). Tradisi
tersebut
dilakukan
pada
hari
11
ke
tujuh
bulan
Syawal
dengan
mempersembahkan kepala kerbau, kembang tujuh rupa, kemenyan, dan sejenisnya. Barang-barang tersebut ditaruh di dalam satu wadah. Sebelum sesaji tersebut ditenggelamkan ke dalam laut, sesaji diarak keliling di daerah-daerah tempat tinggal nelayan (Bajomulyo dan Bendar). Sistem kepercayaan masyarakat Juwana yang seperti itu masih dilakukan sampai sekarang. Mereka menganggap sebagai perwujudan rasa syukur dan permohonan keselamatan warga nelayan saat akan melaut lagi, yaitu dengan melarung sesaji kemuara laut. Sistem perikanan tersusun oleh beberapa komponen yang memiliki berbagai bentuk interaksi yang kompleks. Sekurang-kurangnya system perikanan tersusun oleh tiga komponen yaitu sumberdaya ikan, habitat atau lingkungan, dan manusia. Serupa dengan tersebut, Charles (2001) menggambarkan sistem perikanan dalam bentuk yang lebih detail yang tidak hanya melingkupi tiga komponen besar di atas tetapi juga sistem pengelolaannya serta berbagai faktor eksternal. Ketiga subsistem tersebut tersusun oleh semua komponen yang dinamis seperti gambar 2.1.
Gambar 2.1. Komponen Perikanan dengan Tiga Subsistem (Sumber: Charles, 2001) Dalam kajian sumberdaya ikan, dinamika sumberdaya selain dipengaruhi oleh parameter populasi seperti pertumbuhan, rekrutmen dan mortalitas, juga sangat ditentukan oleh faktor lingkungan dan faktor eksternal lainnya seperti perubahan iklim. Keragaman habitat perikanan juga memberikan keragaman dalam potensi
12
sumberdaya ikan dan strategi untuk pengembangan perikanan. Habitat utama perikanan ada tiga, yaitu daerah pantai (continental self), upwelling (proses dimana masa air didorong ke arah atas dari kedalaman 100 sampai 200 m yang terjadi disepanjang pantai barat semua benua), dan samudra (open ocean). Pusat-pusat perikanan saat ini, seperti halnya Indonesia, masih terbatas di wilayah pantai sehingga eksploitasi sumberdaya di wilayah ini cenderung mengarah kepemanfaatan secara berlebihan dan meninggalkan berbagai bentuk konflik. Sementara, pengembangan perikanan tangkap ke arah samudra, walaupun dapat menghasilkan ikan dengan nilai ekonomi tinggi (sumbangan ekonomi yang tinggi bagi nelayan dan devisa negara), memerlukan perhitungan-perhitungan ekonomi dan sumberdaya yang tepat untuk menghindari berbagai bentuk kerugian akibat karakter sumberdaya alam yang tidak seproduktif dua daerah lainnya. Dari aspek manusia, sistem perikanan lebih rumit lagi karena dinamika dari subsistem ini selain menyangkut aspek yang lebih banyak baik psikologi, antropologi, sosial, dan ekonomi, juga menyangkut aspek kelembagaan dan politik. Sehingga dalam pengelolaan perikanan, subsistem manusia cenderung menjadi penentu berhasil atau tidaknya berbagai rencana pengelolaan perikanan. Dalam kajian perikanan, komponen manusia meliputi nelayan, pasca panen dan pemasaran, serta berbagai faktor sosial ekonomi perikanan. Pengetahuan yang tepat tentang sumberdaya ikan dan kemampuan yang memadai dari sumberdaya manusia sangat menentukan keberhasilan pengelolaan perikanan. Dalam menyusun berbagai skenario pengelolaan dan pengembangan perikanan, tentunya perlu didukung oleh dasar-dasar ilmiah yang memadai, baik yang terkait dengan sumberdaya ikan maupun manusia. Keterbatasan pengetahuan tentang sumberdaya ikan, apalagi di daerah tropik dengan karakter multispecies dan pemanfaatan multigear (beberapa alat tangkap) menuntut sikap yang lebih hati-hati dalam mengambil kebijakan pengelolaan dan pengembangan perikanan laut.
13
6. Motivasi Ada beberapa teori dalam motivasi yaitu meliputi : 1. Teori motivasi sistem klasifikasi Setiap orang memiliki ketertarikan untuk menata tujuan atau pencapaian mereka, untuk memprediksikan tindakan/perilaku dengan beberapa ketepatan, seorang manajer harus mengetahui sesuatu mengenai pencapaian yang diinginkan oleh para pengawalnya dan juga mengenai tindakan-tindakan yang dilakukan mereka dalam usaha mencapai keinginannya. 2. Teori Maslow Maslow mengembangkan teori tentang bagaimana semua motivasi saling berkaitan. Ia menyebut teorinya sebagai “hirarki kebutuhan”. Kebutuhan ini mempunyai tingkat yang berbeda-beda. Ketika satu tingkat kebutuhan terpenuhi atau mendominasi, orang tidak lagi mendapat motivasi dari kebutuhan tersebut. Menurut Maslow (1993), motivasi meliputi beberapa tingkatan yaitu : a. Kebutuhan-kebutuhan fisiologis ( Faali), kebutuhan yang dasariah, misalnya rasa lapar, haus, tempat berteduh, seks, tidur, oksigen, dan kebutuhan jasmani lainnya. b. Kebutuhan akan keselamatan, mencakup antara lain keselamatan dan perlindungan terhadap kerugian fisik dan emosional. c. Kebutuhan akan rasa memiliki dan rasa cinta, mencakup kebutuhan akan rasa memiliki dan dimiliki, kasih sayang, diterima-baik, dan persahabatan. d. Kebutuhan akan harga diri, mencakup faktor penghormatan internal seperti harga diri, otonomi, dan prestasi; serta faktor eksternal seperti status, pengakuan, dan perhatian. e. Kebutuhan akan perwujudan diri, mencakup hasrat untuk makin menjadi diri sepenuh kemampuannya sendiri, menjadi apa saja menurut kemampuannya. 3. Teori Alderfer ( ERG) Aldelfer (1997) sepakat dengan Maslow (1997) bahwa kebutuhan seseorang disusun berdasarkan
hirarki. Tetapi, hirarki kebutuhannya diusulkan hanya
mencakup tiga kategori kebutuhan. Teori Alderfer dikenal dengan akronim “ERG” . Akronim “ERG” dalam teori Alderfer merupakan huruf-huruf pertama dari tiga istilah yaitu :
14
a.
E = Existence (kebutuhan akan eksistensi, dipengaruhi oleh faktor makanan, air, upah, dan kondisi kerja)
b. R = Relatedness (kebutuhan untuk berhubungan dengan pihak lain, seperti hubungan antar perorangan) c. G = Growth (kebutuhan akan pertumbuhan, seperti tingkat kreativitas individu) Jika makna tiga istilah tersebut didalami akan tampak dua hal penting. Pertama, secara konseptual terdapat persamaan antara teori atau model yang dikembangkan oleh Maslow (1997) dan Alderfer (1997). Karena “Existence” dapat dikatakan identik dengan hierarki pertama dan kedua dalam teori Maslow; “ Relatedness” senada dengan hierarki kebutuhan ketiga dan keempat menurut konsep Maslow (1997) dan “Growth” mengandung makna sama dengan “self actualization” menurut Maslow. Kedua, teori Alderfer (1997) menekankan bahwa berbagai jenis kebutuhan manusia itu diusahakan pemuasannya secara serentak. Apabila teori Alderfer disimak lebih lanjut akan tampak bahwa : 1) Makin tidak terpenuhinya suatu kebutuhan tertentu, makin besar pula keinginan untuk memuaskannya; 2) Kuatnya keinginan memuaskan kebutuhan yang “lebih tinggi” semakin besar apabila kebutuhan yang lebih rendah telah dipuaskan; 3) Sebaliknya, semakin sulit memuaskan kebutuhan yang tingkatnya lebih tinggi, semakin besar keinginan untuk memuasakan kebutuhan yang lebih mendasar. 4.
Teori Mc Clelland Mc Clelland (1997) mengatakan bahwa kebanyakan orang memiliki kombinasi
karakteristik tersebut, akibatnya akan mempengaruhi perilaku karyawan dalam bekerja atau mengelola organisasi. Karakteristik dan sikap motivasi prestasi ala Mc Clelland: a.
Pencapaian adalah lebih penting daripada materi.
b.
Mencapai tujuan atau tugas memberikan kepuasan pribadi yang lebih besar daripada menerima pujian atau pengakuan.
c.
Umpan balik sangat penting, karena merupakan ukuran sukses (umpan balik yang diandalkan, kuantitatif dan faktual).
15
Dari beberapa teori motivasi di atas dapat dilihat bahwa motivasi dapat memberikan pengaruh terhadap efektivitas kerja seseorang, begitu pula dalam penelitian ini akan diketahui apakah motivasi dapat mempengaruhi tingkat efektivitas kerja penyuluh pertanian lapangan di Kabupaten Sleman.
5. Pokok-pokok Pengertian Tentang Penyuluhan Pertanian Rumusan tentang pengertian penyuluhanpertanian menurut UU No. 16 Tahun 2006 dalam Mardikanto (2009) yaitu proses pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku uasaha agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan, dan sumberdaya lainnya sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan, dan kesejahteraannya, serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup. Dalam bukunya Mardikanto (2009) dijelaskan pengertian penyuluhan sebagai berikut: 1. Penyuluhan sebagai proses penyebarluasan informasi Yaitu penyebarluasan informasi tentang pengetahuan, teknologi dan seni yang dihasilkan oleh perguruan tinggi ke dalam praktik atau kegiatan praktis. 2. Penyuluhan sebagai proses penerangan/pemberian penjelasan Sebagai proses penerangan, kegiatan penyuluhan tidak saja terbatas pada memberikan penerangan, tetapi juga menjelaskan mengenai segala informasi yang ingin disampaikan kepada kelompok sasaran yang akan menerima manfaat penyuluhan (beneficiaries), sehingga mereka benar-benar memahaminya seperi yang dimaksudkan oleh penyuluh atau juru penerangnya. 3. Penyuluhan sebagai proses perubahan perilaku Dalam perkembangannya, pengertian tentang penyuluhan tidak sekedar diartikan sebagai kegiatan penerangan yang bersifat searah (one way) dan pasif. Tetapi, penyuluhan adalah proses aktif yang memerlukan interaksi antara penyuluh dan yang disuluh agar terbangun proses perubahan perilaku (behaviour) yang merupakan perwujudan dari: pengetahuan, sikap, dan keterampilan seseorang yang dapat diamati oleh orang/pihak lain, baik secara langsung (berupa: ucapan, tindakan, bahasa tubuh, dan lain-lain) maupun tidak langsung (melalui kinerja dan atau hasil kerjanya).
16
4. Penyuluhan sebagai proses belajar Penyuluhan sebagai proses pendididkan atau proses belajar diartikan bahwa kegiatan penyebarluasan informasi dan penjelasan yang diberikan dapat merangsang terjadinya proses perubahan perilaku yang dilakukan melalui proses pendidikan atau kegiatan belajar. Artinya, perubahan perilaku yang terjadi/dilakukan oleh sasaran tersebut berlangsung melalui proses belajar. 5. Penyuluhan sebagai proses perubahan sosial SDC (1995) menyatakan bahwa penyuluhan tidak sekedar merupakan proses perubahan perilaku pada diri seseorang tetapi merupakan proses perubahan social yang mencakup banyak aspek termasuk politik dan ekonomi yang dalam jangka panjang secara bertahap mampu diandalkan menciptakan pilihan-pilihan baru untuk memperbaiki kehidupan masyarakatnya. Yang dimaksud dengan perubahan sosial di sini adalah tidak saja perubahan (perilaku) yang berlangsung pada diri seseorang tetapi juga perubahan-perubahan hubungan antar individu dalam masyarakat termasuk struktur, nilai-nilai, dan pranata sosialnya seperti: demokratisasi, transparansi, supremasi hokum, dan lain-lain. 6. Penyuluhan sebagai proses rekayasa sosial Sejalan dengan pemahaman tentang penyuluhan sebagai proses perubahan sosial yang dikemukakan di atas, penyuluhan juga sering disebut sebagai proses rekayasa sosial (social engineering) atau segala upaya yang dilakukan untuk menyiapkan sumberdaya manusia agar mereka tahu, mau dan mampu melaksanakan peran sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya dalam sistem sosialnya masing-masing. Karena kegiatan rekayasa sosial dilakukan oleh “pihak luar”, maka rekayasa sosial bertujuan untuk terwujudnya proses perubahan sosial demi terciptaya kondisi sosial yang diinginkan oleh pihak luar (perekayasa). Pemahaman seperti itu tidak salah, tetapi tidak dapat sepenuhnya dapat diterima. Sebab, rekayasa sosial yang pada dasarnya dimaksudkan
untuk
memperbaiki
kehidupan
dan
kesejahteraan
kelompok
sasarannya, seringkali dapat berakibat negatif, manakala hanya mengacu kepada kepentingan perekayasa, sementara masyarakat dijadikan korban pemenuhan kehendak perekayasa.
17
7. Penyuluhan sebagai proses pemasaran sosial Yang dimaksud dengan pemasaran sosial adalah penerapan konsep dan atau teori-teori pemasaran dalam proses perubahan sosial. Berbeda dengan rekayasa sosial yang lebih berkonotasi untuk “membentuk” (to do to) atau menjadikan masyarakat menjadi sesuatu yang “baru” sesuai yang dikehendaki oleh perekayasa, proses pemasaran sosial dimaksudkan untuk “menawarkan” (to do for) sesuatu kepada masyarakat. Jika dalam rekayasa sosial proses pengambilan keputusan sepenuhnya berada di tangan perekayasa, pengambilan keputusan dalam pemasaran sosial sepenuhnya berada di tangan masyarakat itu sendiri. 8. Penyuluhan sebagai proses pemberdayaan masyarakat Margono Slamet (2000) menegaskan bahwa inti dari kegiatan penyuluhan adalah untuk memberdayakan masyarakat. Memberdayakan berarti memberi daya kepada yang tidak berdaya dan atau mengembangkan daya yang sudah dimiliki menjadi sesuatu yang lebih bermanfaat bagi masyarakat yang bersangkutan. Dalam konsep pemberdayaan tersebut terkandung pemahaman bahwa pemberdayaan tersebut diarahkan terwujudnya masyarakat madani (yang beradab) dan mandiri dalam pengertian dapat mengambil keputusan (yang terbaik) bagi kesejagteraannya sendiri. Pemberdayaan masyarakat dimaksudkan untuk memperkuat kemampuan (capacity strenghtening) masyarakat, agar mereka dapat berpartisipasi secara aktif dalam keseluruhan proses pembangunan terutama pembangunan yang ditawarkan oleh penguasa dan atau pihak luar yang lain. 9. Penyuluhan sebagai proses penguatan kapasitas Yang dimaksud dengan penguatan kapasitas di sini adalah penguatan kemampuan yang dimiliki oleh setiap individu (dalam masyarakat), kelembagaan, maupun hubungan atau jejaring antar individu, kelompok organisasi sosial, serta pihak lain di luar sistem masyarakatnya sampai di aras global. Kemampuan atau kapasitas masyarakat, diartikan sebagai daya atau kekuatan yang dimiliki oleh setiap individu dan masyarakatnya untuk memobilisasi dan memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki secara lebih efektif (berhasil guna) dan efisien (berdaya guna) secara berkelanjutan. Dalam hubungan ini kekuatan atau daya yang dimiliki setiap individu dan masyarakat bukan dalam arti pasif tetapi bersifat aktif yaitu terus menerus
18
dikembangkan/dikuatkan untuk “memproduksi” atau menghasilkan sesuatu yang lebih bermanfaat. 10. Penyuluhan sebagai proses komunikasi pembangunan Sebagai proses komunikasi pembangunan, penyuluhan tidak sekedar upaya untuk menyampaikan pesan-pesan pembangunan, tetapi yang lebih penting dari itu adalah untuk menumbuh kembangkan pastisipasi masyarakat dalam pembangunan. Di dalam pengertian “menumbuh kembangkan” terkandung upaya-upaya untuk: a. Menyadarkan masyarakat agar mau berpartisipasi secara suka rela bukan karena paksaan atau ancaman-ancaman. b. Meningkatkan
kemampuan
masyarakat
agar
mampu
(fisik, mental,
intelegensia, ekonomis dan non-ekonomis). c. Menunjukkan adanya kesempatan yang diberikan kepada asyarakat untuk berpartisipasi. Sedang yang dimaksud dengan “partisipasi” tidak hanya terbatas pada kesediaan untuk berkorban, tetapi berpartisipasi dalam keseluruhan proses pembangunan, perencanaan kegiatan, pelaksanaan kegiatan, pemantauan dan evaluasi, dan pemanfaatan hasil-hasil pembangunan.
6. Pengaruh Kebudayaan Kebudayaan dimana kita hidup dan dibesarkan mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan sikap kita. Proses kebudayaan terbentuk dari penyaluran cara berfikir, perasaan, dan tindakan yang merupakan ciri tertentu kehidupan social manusia (Radclieffe-Brown, et.al). Apabila kita hidup dalam budaya yang mempunyai norma longgar bagi pergaulan heteroseksual, sangat mungkin kita akan mempunyai sikap yang mendukung terhadap masalah kebebasan pergaulan heteroseksual. Apabila kita hidup dalam budaya sosial yang sangat mengutamakan kehidupan berkelompok, maka sangat mungkin kita akan mempunyai sikap negatif terhadap kehidupan individualism yang mengutamakan kepentingan perorangan. Seoarang ahli Psikologi Burrhus Frederic Skinner sangat menekankan pengaruh lingkungan
(termasuk
kebudayaan)
dalam
membentuk
pribadi
seseorang.
Kepribadian, katanya tidak lain daripada pola perilaku yang konsisten yang menggambarkan sejarah reinforcement yang kita alami (Hergenha, 1982). Kita
19
memiliki pola sikap dan perilaku tertentu dikarenakan kita mendapat reinforcement (penguatan, ganjaran) dari masyarakat untuk sikap dan perilaku tersebut, bukan untuk sikap dan perilaku yang lain. Tanpa kita sadari, kebudayaan telah menanamkan garis pengarah sikap kita terhadap berbagai masalah. Kebudayaan telah mewarnai sikap anggota masyarakatnya, karena kebudayaan pulalah yang memberi corak pengalaman individu-individu yang menjadi anggota kelompok masyarakat asuhannya.
7. Faktor Pembawaan dan Lingkungan Menurut Ahmadi (1991) faktor endogen adalah faktor atau sifat yang dibawa oleh individu sejak dalam kandungan hingga kelahiran. Jadi faktor endogen merupakan faktor keturunan atau faktor pembawaan. Faktor eksogen ialah faktor yang datang dari luar diri individu yaitu berupa pengalaman-pengalaman, alam sekitar, pendidikan dan sebagainya. Peranan lingkungan cukup besar dalam perkembangan individu. Lingkungan secara garis besar dibedakan menjadi: 1. Lingkungan fisik, yaitu lingkungan yang berupa alam. Misalnya keadaan tanah, keadaan musim dan sebagainya. Lingkungan alam yang berbeda akan memberikan pengaruh yang berbeda pula kepada individu. 2. Lingkungan sosial, yaitu berupa lingkungan masyarakat, dimana dalam lingkungan masyarakat ini ada interaksi individu satu dengan lainnya. Keadaan masyarakatpun akan memberikan pengaruh tertentu terhadap perkembangan individu. Lingkungan sosial dibedakan: a. Lingkungan sosial primer, yaitu lingkungan sosial dimana terdapat hubungan yang erat antara anggota satu dengan anggota lain, anggota satu saling kenal mengenal dengan baik dengan anggota lain. Oleh karena di antara anggota telah ada hubungan yang erat, maka sudah tentu pengaruh dari lingkungan sosial ini akan lebih mendalam bila dibandingkan dengan lingkungan sosial yang hubungannya tidak erat. b. Lingkungan
sosial
sekunder,
yaitu
lingkungan
sosial
yang
berhubungan anggota satu dengan anggota lainnya agak longgar. Pada umumnya anggota satu dengan anggota lain kurang atau tidak saling kenal mengenal. Karena itu pengaruh lingkungan sosial sekunder akan
20
kurang mendalam bila dibandingkan dengan pengaruh lingkungan sosial primer. Hubungan individu dengan lingkungannya ternyata tidak hanya berjalan sebelah, dalam arti hubungan antara individu dengan lingkungannya terdapat hubungan yang saling timbale-balik, yaitu lingkungan dapat mempengaruhi individu, tetapi sebaliknya individu juga dapat mempengaruhi lingkungan. Bagaimana sikap individu terhadap lingkungan dapat dikemukakan sebagai berikut: 1) Individu menolak atau menantang lingkungan. Dalam keadaan ini lingkungan tidak sesuai dengan yang ada dalam diri individu. Dalam keadaaan yang tidak sesuai ini individu dapat memberikan bentuk atau perubahan lingkungan seperti yang dikehendaki oleh individu yang bersangkutan. Dalam kehidupan bermasyarakat kadang-kadang orang tidak cocok dengan normanorma dalam masyarakat. Orang dapat berusaha untuk dapat mengubah norma yang tidak baik itu menjadi norma yang baik. Jadi individu secara aktif membeikan pengaruh terhadap lingkungannya. 2) Individu menerima lingkungan Dalam hal ini keadaan sesuai atau sejalan dengan yang ada dalam diri individu. Dengan demikian individu akan menerima lingkungan itu. 3) Individu bersikap netral Dalam hal ini individu tidak menerima tetapi juga tidak menolak. Individu dalam keadaan “status quo” terhadap lingkungan.
8. Perlindungan Terhadap Masyarakat Adat Maraknya perbincangan yang berkaitan dengan kearifan lokal dalam menciptakan pembangunan berkelanjutan (sustainability development), dari obrolan akademisi hingga obrolan politik, dikarenakan tingginya tingkat kesadaran individuindividu masyarakat dunia terhadap pentingnya pembangunan yang menjaga kelestarian dan perlindungan lingkungan. Selain tiu, kearifan lokal yang dikembangkan oleh masyarakat asli (indigenous people) atau masyarakat adat, dianggap mampu menjembatani antara tuntutan pembangunan dengan tetap menciptakan kondisi lingkungan yang sehat (Siswandi, 2003).
21
Adanya kepercayaan masyarakat dunia terhadap efektivitas dan efisiensi peran lokal dalam menciptakan keserasian antara kegiatan pembagunan (ekonomi) dengan keberlangsungan lingkungan (ekologi), terakomodasi dalam Agenda 21 dan Konvensi Keanekaragaman Hayati (Convention on Biological Diversity) di Rio De Janeiro tahun 1992, yaitu pada principle 22 yang menyatakan: “Indigenious people and their communities, and other local communities, have a vital role in environmental management and development because of their knowledge and traditional practices. States should recognize and duly support their identity, culture and interests and enable their effective participation in the achievement of sustainable development”. Peran masyarakat adat secara umum telah diatur dalam UU No. 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup yang isinya bahwa “Pemerintah menetapkan kebijakan nasional tentang pengelolaan lingkungan hidup dan penataan ruang dengan tetap mempertahankan nilai-nilai agama, adat istiadat, dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat”.
9. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tangkapan Ikan Menurut Pane (2007) dalam anonim (2012), faktor-faktor yang mempengaruhi produksi ikan yaitu: 1. Kondisi kenelayanan atau usaha penangkapan ikan 2. Kondisi armada (unit penangkapan) 3. Kondisi alam perairan 4. Kemampuan pengelolaan operasi penangkapan (nelayan dan pengusaha atau perusahaan) Menurut Mubyarto (1989) dalam anonim (2011) faktor yang mempengaruhi produksi ikan yaitu karena adanya faktor-faktor alamiah. Menurut Widodo dan Syukri (2005) dalam anonim (2011) faktor yang mempengaruhi produksi ikan antara lain: a. Faktor Alam b. Faktor sarana produksi (kapal, mesin kapal, alat tangkap) c. Faktor tenaga kerja d. Faktor modal
22
e. Faktor teknologi f. Faktor Menejemen Dari beberapa yang diungkapkan teori diatas, peneliti mencantumkan faktor sarana produksi, karena sarana merupakan sesuatu yang harus dimiliki oleh nelayan, tanpa adanya sarana nelayan tidak bisa pergi melaut dan menangkap ikan diperairan laut. Selain itu peneliti juga menambahkan faktor yang kemungkinan dapat mempengaruhi produksi ikan yaitu pengalaman, motivasi, keaktifan nelayan mengikuti penyuluhan perikanan, umur nelayan, dan lamanya waktu melaut.
B. Kerangka Pemikiran Tradisi larungan yang biasanya dilakukan pada hari ketujuh pada bulan Syawal. Mereka melaksankan upacara ini sebagai rasa syukur dan memohon keselamatan saat melaut. Adanya acara ini dapat menjadikan nelayan semakin termotivasi untuk mendapatkan hasil ikan yang lebih banyak dari yang sebelumnya. Peristiwa ini sudah dilakukan turun-temurun dari orang-orang terdahulu, dan sampai saat ini masih dilestarikan. Kehidupan masyarakat pesisir pantai utara di Kecamatan Juwana mayoritas bekerja sebagai nelayan. Nelayan berangkat melaut pada malam hari dan sampai ke darat pada pagi hari. Hasil laut berupa ikan yang akan dilelang di TPI (Tempat Pelelangan Ikan) untuk ditukarkan dengan uang. Banyak sedikitnya tangkapan ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya faktor eksternal yaitu berupa sarana/peralatan yang dipakai untuk menangkap ikan dan lamanya waktu nelayan melaut. Waktu disini mempunyai makna lama waktu nelayan melaut bukan lamanya seseorang bekerja sebagai nelayan. Selain itu juga dipengaruhi oleh faktor internal yaitu pengalaman, umur, jumlah anggota keluarga, motivasi, dan keaktifan ikut penyuluhan. Pengalaman lamanya nelayan melaut dapat mempengaruhi banyak sedikitnya hasil tangkapan ikan karena semakin berpengalaman maka seorang nelayan dapat mengetahui tempat-tempat bersarangnya ikan dan mengetahui cara yang tepat untuk menangkap ikan. Umur nelayan dapat mempengaruhi produktifitas kerja nelayan. Kebanyakan orang muda mempunyai energi lebih banyak jika dibandingkan dengan orang yang lebih tua, sehingga dapat mempengaruhi banyak sedikitnya hasil
23
tangkapan ikan. Kepala keluarga masyarakat pesisir banyak yang bekerja sebagai nelayan yang menggantungkan hidupnya dari hasil laut untuk menghidupi keluarga. Jumlah anggota keluarga menjadi tanggungan sehari-hari yang harus ditanggung oleh kepala keluarga, sehingga semakin banyak jumlah keluarga maka ikan yang ditangkap harus besar pula agar uang yang didapatkan setelah ikan tersebut dilelang dapat mencukupi kebutuhan keluarga. Motivasi dalam bekerja juga dapat berperan untuk mewujudkan apa yang diinginkan nelayan, yaitu semakin besar dorongan atau semangat kerja nelayan maka semakin banyak hasil tangkapan ikan. Informasi tentang perikanan dan kelautan merupakan hal penting yang harus diketahui nelayan. Informasi tersebut dapat membantu nelayan dalam melakukan aktifitas di laut untuk menangkap ikan, semakin aktif ikut penyuluhan maka informasi yang dimiliki nelayan semakin banyak sehingga hasil tangkapan ikannya meningkat. Dari uraian di atas diperjelas dalam gambar 2.2.
Ikut larungan dan tidak ikut larungan
Faktor internal:
Hasil tangkapan ikan
Faktor eksternal:
-
Umur
-
-
Pengalaman
an menangkap
-
Motivasi
ikan
-
Keaktifan
-
mengikuti
Sarana/peralat
Lamanya waktu melaut
penyuluhan Keterangan: : pengaruh
Gambar 2.2. Skema Kerangka Pemikiran Penelitian
24
C. Hipotesis 1. Diduga ada perbedaan hasil tangkapan ikan antara nelayan yang ikut larungan dan yang tidak ikut larungan. 2. Diduga faktor umur, pengalaman, kepercayaan, motivasi, keaktifan mengikuti penyuluhan, sarana/peralatan menangkap ikan dan lamanya waktu melaut dapat mempengaruhi hasil tangkapan ikan nelayan. Secara rinci, hipotesis kedua dapat dijabarkan sebagai berikut: a. Umur Diduga semakin produktif umur nelayan maka semakin tinggi hasil tangkapan ikannya. b. Pengalaman Diduga semakin lama pengalaman nelayan maka semakin tinggi hasil tangkap ikannya. c. Motivasi Diduga semakin tinggi motivasi nelayan maka semakin tinggi hasil tangkapan ikannya. d. Keaktifan mengikuti penyuluhan Diduga semakin aktif mengikuti penyuluhan maka semakin tinggi hasil tangkapan ikannya. e. Sarana/peralatan menangkap ikan Diduga semakin lengkap sarana/peralatan menangkap ikan maka semakin tinggi hasil tangkapan ikannya. f. Lamanya waktu melaut Diduga semakin lama waktu nelayan melaut maka semakin tinggi hasil tangkapan ikannya.
25