BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sampai saat ini, jumlah keluarga yang melakukan pemasungan terhadap anggota keluarganya sendiri yang menderita gangguan jiwa masih banyak terdapat diberbagai wilayah di Indonesia, khususnya di Bali. "Masih banyak warga yang sembunyikan anggota keluarganya yang mengidap gangguan jiwa, kita terus terang kesulitan juga mencarinya karena ada yang disembunyikan oleh keluarganya dengan alasan malu," jelas Wakil Direktur Pelayanan RSJ Bangli, Nyoman Sukarta, di Bangli (23/2/2013). Sukarta menyayangkan kondisi tersebut, apalagi ada warga merawat anggota keluarganya yang mengalami gangguan jiwa dengan cara dipasung. Berdasarkan data RSJ Bangli, jumlah warga yang masih dipasung saat ini mencapai 300 orang lebih. Jumlah ini tersebar di 57 kecamatan di Bali (http://www.beritabali.com, akses 6 April 2013). Meskipun gangguan jiwa tersebut tidak dianggap sebagai gangguan yang menyebabkan kematian secara langsung, namun beratnya gangguan tersebut dalam arti ketidakmampuan secara invaliditas baik secara individu maupun kelompok akan menghambat pembangunan karena mereka tidak produktif dan tidak efisien (Setyonegoro, 1992 dalam Hawari, 2007) Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) kementerian kesehatan pada tahun 2007 menunjukkan, penderita gangguan jiwa berat di Indonesia mencapai 0,46 persen atau sekitar 1 juta orang. Prevalensi tertinggi di DKI Jakarta (2,03 persen), Aceh (1,9 persen), dan Sumatera Barat (1,6 persen). Selain itu diketahui bahwa 11,6% penduduk Indonesia usia di atas 15 tahun mengalami masalah gangguan kesehatan jiwa. Prevalensi nasional gangguan jiwa ansietas dan depresi sebesar 11,6% populasi (24.708.000 orang) dan prevalensi nasional gangguan jiwa berat sebesar 0,46% (1.065.000 orang). Sedangkan, untuk di Bali setidaknya sekitar 20% dari penduduk Bali berpotensi terkena depresi, terbukti jumlah kunjungan ke Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Bangli berkisar 20-70 orang per hari. Direktur Umum RSJ Bangli 1
Made Sugiharta Yasa mengatakan dari semua jumlah persentase tersebut sekitar 10% tergolong masuk dalam kategori perawatan berat atau mengidap schizophrenia. Dari data kunjungan pasien ke RSJ Bangli, Sugiharta menyimpulkan setiap 1-3 mil terdapat warga yang mengidap penyakit jiwa berat (http://www.bali-bisnis.com, akses 6 April 2013). Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah Provinsi Bali mengadopsi jenis pelayanan kesehatan jiwa dari berbagai Negara maju di dunia, yaitu Community Base. Hal ini tentu saja diawali oleh proses Hospital Base yang selama ini dirasa kurang efektif untuk mengatasi masalah gangguan jiwa di Bali. Sampai saat ini tidak ada pendapat persuasive yang menyatakan bahwa pendekatan pada pasien jiwa hanya melalui hospital-only approach. Namun, tidak terdapat pula bukti ilmiah yang menyatakan pelayanan komunitas (community services) bisa berdiri sendiri menangani individu dengan gangguan jiwa secara menyeluruh. Malahan, banyak studi dari opini-opini professional dan hasil penelitian yang menyatakan keberadaan balanced care antara hospital base dan community base. Balanced care secara esensial merupakan community-based, namun
rumah sakit juga memiliki peran
penting di dalamnya. Ini artinya bahwa pelayanan kesehatan mental diselenggarakan pada pengaturan komunitas normal yang paling dekat dengan masyarakat (contoh : Puskesmas), dan rumah sakit melakukan rawat inap sesingkat mungkin, segera diatur dan dipergunakan hanya jika diperlukan. Hal ini sangat penting untuk dikoordinasikan untuk mendorong berbagai macam penanganan kesehatan jiwa, entah itu dari pihak pemerintah, non-pemerintah atau perusahaan pribadi (stake holder), dan untuk memastikan
pertemuan
antara
keduanya
berjalan
sesuai
fungsinya
(http://www.euro.who.int, akses 30 Maret 2013). Dari segi cost–effectiveness, penelitian yang dilakukan oleh orang diluar institusi beserta Tim Komunitas Perawatan Kesehatan Jiwa (Community Mental Health Care/ CMHC) telah mendemonstrasikan bahwa kualitas perawatan community-based adalah berhubungan dengan harga pelayanan itu sendiri (expenditure). Pelayanan kesehatan jiwa community-
2
based umumnya memiliki harga yang relative sama dengan pelayanan hospital-based (http://www.euro.who.int, akses 30 Maret 2013). B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana definisi dari hospital-based dan community-based? 2. Apa perbedaan dari hospital-based dan community-based? 3. Bagaimanakah efektifitas hospital-based dan community-based dalam menangani masalah kejiwaan? 4. Bagaimana peran perawat dalam perubahan orientasi kesehatan jiwa dari hospital-based menjadi community-based? 5. Bagaimana perkembangan perubahan orientasi kesehatan jiwa dari hospital-based menjadi community-based? C. Tujuan Penulisan Umum
: penulis mampu memahami konsep perubahan orientasi kesehatan jiwa dari hospital-based menjadi community-based
Khusus
:
1. Menjelaskan definisi dari hospital-based dan community-based? 2. Menjelaskan perbedaan dari hospital-based dan community-based? 3. Menjelaskan mengenai efektifitas hospital-based dan communitybased dalam menangani masalah kejiwaan? 4. Mengidentifikasi peran perawat dalam perubahan orientasi kesehatan jiwa dari hospital-based menjadi community-based? 5. Menjelaskan perkembangan perubahan orientasi kesehatan jiwa dari hospital-based menjadi community-based? D. Metode Penulisan 1. Metode Pengumpulan Data Dalam karya tulis ini, penulis menggunakan metode kajian pustaka (Library Research) dimana data-data yang diperlukan dalam penyusunan diperoleh melalui sumber-sumber tertulis berupa buku-buku serta mesin pencari informasi dalam internet yang berkaitan dengan pokok 3
permasalahan yang diajukan dan mendukung pembahasan sehingga validitasnya dapat dipertanggungjawabkan serta metode observasi lapangan. 2. Jenis Data Data yang dipergunakan adalah data sekunder, baik berupa data kuantitatif maupun kualitatif yang diambil dari literatur-literatur yang berkaitan dengan pokok bahasan, sehingga penulis tidak langsung berhadapan dengan subjek serta objek penelitian melainkan meringkas suatu sumber dengan tidak menggandakan keseluruhan isi buku tapi menyelipkan beberapa tanggapan penulis. 3. Sifat Tulisan Adapun penulisan karya tulis ini bersifat deskriptif analitik. Penulisan ini menggambarkan menggambarkan adanya kebutuhan masyarakat akan perawatan yang seimbang sebagai kombinasi baru di semua jenis pelayanan kesehatan mental baik pengaturan dari rumah sakit, non-rumah sakit seperti perawatan perumahan jangka panjang (modern community care) dan layanan rawat inap akut, yang sering terdapat di unit rumah sakit umum (modern hospital-based care). Dalam perawatan yang seimbang, fokusnya adalah pada pelayanan yang diberikan dalam masyarakat normal, dekat dengan penduduk yang dilayani sebanyak mungkin, dan dimana penerimaan ke rumah sakit dapat diatur segera mungkin, tetapi hanya jika diperlukan. 4. Prosedur Pengumpulan Data Tahapan pengolahan data meliputi pengumpulan referensi-referensi, pemilahan data-data yang diperlukan dalam pembahasan; pengelompokan data, penyaringan data-data yang diperoleh secara mendetail menjadi bagian-bagian yang dapat dikuasai dengan mengklasifikasikannya berdasarkan kepentingan pembahasan; evaluasi data, dan terakhir pengambilan kesimpulan.
4
BAB II PEMBAHASAN A. Konsep Teoritis 1. Pelayanan Hospital Base dan Community Base a. Hospital Base Rumah sakit jiwa merupakan pelayanan spesialistik kesehatan jiwa yang difokuskan pada klien gangguan jiwa yang tidak berhasil di rawat di keluarga/puskesmas/ RSU. Pasien yang telah selesai di rawat di RSJ dirujuk lagi ke puskesmas. Penanggung jawab pelayanan kesehatan jiwa masyarakat di puskesmas bertanggung jawab terhadap lanjutan asuhan di keluarga. 1) Definisi Hospital Base adalah pelayanan keperawatan jiwa yang berfokus pada pelayanan di rumah sakit. Proses hospitalisasi dapat menimbulkan trauma atau dukungan, bergantung pada institusi, sikap keluarga dan teman, respons staf, dan jenis penerimaan masuk rumah sakit (Gail W. Stuart, 2007). Berdasarkan yang penulis kutip dari Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pelayanan Medik Tahun 2009 melalui SK Menteri Kesehatan RI, jenis-jenis pelayanan yang umum terdapat di rumah sakit jiwa (hospital base) diantaranya : • Pelayanan Admistrasi dan Manajemen • Pelayanan Medis • Pelayanan Gawat Darurat Psikiatrik • Pelayanan Elektromedik • Pelayanan Psikiatri Intensif • Pelayanan Keperawatan • Pelayanan Psikologi • Pelayanan Rehabilitasi Psikososial 5
• Pelayanan Farmasi • Pelayanan Laboratorium • Pelayanan Gizi • Rekam Medis dan Manajemen Informasi Kesehatan • Pelayanan Kesehatan Kebakaran dan Kewaspadaan Bencana • Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit Jiwa • Pemeliharaan Sarana • Pelayanan Lain • Perpustakaan 2) Terapi pada Hospital Base Macam-macam terapi yang umumnya disediakan di RSJ yang penulis kutip dari www.psychologymania.com (akses 6 April 2013), yaitu : • Psikofarmakologi Penanganan penderita gangguan jiwa dengan cara ini adalah dengan memberikan terapi obat-obatan yang akan ditujukan pada gangguan fungsi neuro-transmitter sehingga gejala-gejala klinis tadi dapat dihilangkan. Terapi obat diberikan dalam jangka waktu relatif lama, berbulan bahkan bertahun. • Psikoterapi Terapi kejiwaan yang harus diberikan apabila penderita telah diberikan terapi psikofarmaka dan telah mencapai tahapan di mana kemampuan menilai realitas sudah kembali pulih dan pemahaman diri sudah baik. Psikoterapi ini bermacam-macam bentuknya antara lain psikoterapi suportif dimaksudkan untuk memberikan dorongan, semangat dan motivasi agar penderita tidak merasa putus asa dan semangat juangnya. Psikoterapi Re-eduktif dimaksudkan untuk memberikan pendidikan ulang yang maksudnya memperbaiki kesalahan pendidikan di waktu lalu, psikoterapi rekonstruktif dimaksudkan 6
untuk memperbaiki kembali kepribadian yang telah mengalami keretakan menjadi kepribadian utuh seperti semula sebelum sakit, psikologi kognitif, dimaksudkan untuk memulihkan kembali fungsi kognitif (daya pikir dan daya ingat) rasional sehingga penderita mampu membedakan nilai-nilai moral etika. Psikoterapi perilaku dimaksudkan untuk memulihkan gangguan perilaku yang terganggu menjadi perilaku yang mampu menyesuaikan diri, psikoterapi keluarga dimaksudkan untuk memulihkan penderita dan keluarganya (Maramis, 1990) • Terapi Psikososial Dengan terapi ini dimaksudkan penderita agar mampu kembali beradaptasi dengan lingkungan sosialnya dan mampu merawat diri, mampu mandiri tidak tergantung pada orang lain sehingga tidak menjadi beban keluarga. Penderita selama menjalani terapi psikososial ini hendaknya masih tetap mengkonsumsi obat psikofarmaka (Hawari, 2007). • Terapi Psikoreligius Terapi keagamaan ini berupa kegiatan ritual keagamaan seperti sembahyang, berdoa, mamanjatkan puji-pujian kepada Tuhan, ceramah keagamaan, kajian kitab suci. Menurut Ramachandran dalam Yosep (2007), telah mengatakan serangkaian penenelitian terhadap pasien pasca epilepsi sebagian besar mengungkapkan pengalaman spiritualnya sehingga semua yang dirasa menjadi sirna dan menemukan kebenaran tertinggi yang tidak dialami pikiran biasa merasa berdekatan dengan cahaya illahi. • Rehabilitasi Program
rehabilitasi
penting
dilakukan
sebagi
persiapan
penempatan kembali kekeluarga dan masyarakat. Program ini biasanya dilakukan di lembaga (institusi) rehabilitasi misalnya di suatu rumah sakit jiwa. Dalam program rehabilitasi dilakukan berbagai kegiatan antara lain; dengan terapi kelompok yang bertujuan membebaskan penderita dari stress dan dapat 7
membantu agar dapat mengerti jelas sebab dari kesukaran dan membantu terbentuknya mekanisme pembelaan yang lebih baik dan dapt diterima oleh keluarga dan masyarakat, menjalankan ibadah keagamaan bersama, kegiatan kesenian, terapi fisik berupa olah raga, keterampilan, berbagai macam kursus, bercocok tanam, rekreasi (Maramis, 1990). Pada umumnya program rehabilitasi ini berlangsung antara 3-6 bulan. Secara berkala dilakukan evaluasi paling sedikit dua kali yaitu evaluasi sebelum penderita mengikuti program rehabilitasi dan evaluasi pada saat si penderita akan dikembalikan ke keluarga dan ke masyarakat (Hawari, 2007). Selain itu peran keluarga juga penting, keluarga adalah orang-orang yang sangat dekat dengan pasien dan dianggap paling banyak tahu kondisi pasien serta dianggap paling banyak memberi pengaruh pada pasien. Sehingga keluarga sangat penting artinya dalam perawatan dan penyembuhan pasien. (Yosep, 2007). 3) Pelayanan di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali beralamat di Jalan Kusuma Yudha No. 29 Kabupaten Bangli. Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali yang sebelumnya lebih di kenal RSJP Bangli merupakan pusat rujukan pelayanan kesehatan jiwa di Bali. Pertama kali berdiri pada tahun 1933 sebagai tempat perawatan orang sakit jiwa yang di prakarsai oleh dr. K.Loedin (Pemerintah Kolonial Belanda) kemudian pada tahun 1978 di tetapkan sebagai Rumah Sakit Jiwa Pusat (RSJP) kelas A melalui SK Menkes No. 135/78. Pada tahun 2006, lulus akreditasi dengan status penuh tingkat lanjut yang meliputi 12 standar pelayanan rumah sakit dan pada tahun berikutnya telah mendapatkan standar ISO 9001:2000. Pada tahun 2008 melalui Perda Prov. Bali No.2 tahun 2008 menjadi Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali.
8
Visi dari Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali Ini adalah RSJ Provinsi Bali menjadi pilihan utama masyarakat di bidang pelayanan Kesehatan Jiwa, menuju Bali Mandara sedangkan misi dari Rumah sakit ini adalah merubah paradigma dari hanya pelayanan untuk orang sakit menjadi pelayanan Kesehatan Jiwa yang komprehensif dan terjangkau oleh masyarakat serta mengupayakan pelayanan profesional yang berorientasi kepada kepuasan konsumen. Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali berdiri diatas areal seluas 77.850,00 m2 meliputi gedung rawat jalan, bangsal rawat inap, gedung rehabilitasi, gedung perkantoran, gedung olahraga, wantilan, dan beberapa gedung penunjang lainnya. Untuk fasilitas pelayanan rawat jalan meliputi poliklinik jiwa, poliklinik psikologi, poliklinik gigi, rehabilitasi mental, dan fisiotherapi. Untuk pelayanan rawat inap terdiri atas rawat inap PICU (Psychiatric Intensive Care Unit) rawat inap laki-laki dan perempuan, rawat inap khusus Napza serta rawat inap Psikogeriatri memiliki kapasitas total 340 tempat tidur yang meliputi kelas utama, kelas 1, kelas II dan kelas III. Fasilitas penunjang meliputi laboratorium, farmasi, dan juga elektromedik seperti Rontgent, Brain Mapping, Stress Monitor,USG (Ultra Sonografi), EEG (Electrocardiograpy), dan ECT (Electro Compulsive Theraphy). Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali saat ini memiliki 2 orang Psikiater dibantu 19 orang dokter umum dimana 8 orang diantaranya sedang mengikuti pendidikan spesialistik di bidang kedokteran Jiwa, penyakit dalam dan neurologi. Dokter gigi 2 orang, psikolog 4 orang, paramedic perawat 174 orang, paramedic non perawat 14 orang dan tenaga non medis 112 orang sedangkan jumlah pasien di rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali Khususnya di poliklinik jiwa adalah 616 orang pada bulan desember tahun 2011. Direktur RS Jiwa Provinsi Bali dr. Made Sugiharta Jasa, SP.K.J. (K) didampingi Kepala Biro Humas Setda Provinsi Bali I Ketut Teneng SP, di Press Room Biro Humas Setda Provinsi Bali, 9
Denpasar, Selasa tanggal 17 April 2012 yang penulis kutip dari beritabali.com (akses 6 April 2013) menyebutkan, “Biaya perawatan pasien gangguan jiwa di RSJ Bangli sebenarnya terjangkau, bahkan perawatan di kelas tertentu gratis karena sudah ditanggung Pemerintah Provinsi Bali. Sedangkan kaum gelandangan memakai Jamkesmas. 95 persen biaya perawatan pasien gangguan jiwa dengan Jamkesmas, JKBM, dan Askes. Dibiayai oleh pihak ketiga, hanya 5 persen pasien yang bayar biaya perawatan sendiri. Untuk perawatan kelas 3 itu gratis dengan JKBM (jaminan kesehatan provinsi Bali). Sementara untuk gelandangan pakai Jamkesmas," ujarnya. RSJ Bangli yang saat ini sedang direnovasi menyediakan 310 tempat tidur untuk perawatan pasien. Saat ini RSJ Bangli sudah menampung 308 orang pasien. Sebelum direnovasi, RSJ Bangli memiliki fasilitas 340 tempat tidur mulai tempat tidur kelas 1 hingga kelas 3. Untuk perawatan VIP, sewa kamarnya saja Rp 300 ribu per hari,
belum
termasuk
obat
dan
tindakan
medis
(http://www.beritabali.com, akses 6 April 2013). Peranan dokter di pelayanan primer merupakan bagian krusial dari jejaring pelayanan kesehatan ini. Pasien dengan gangguan jiwa memerlukan rujukan dan perawatan lanjutan, rehabilitasi dan resosialisasi, serta pelayanan yang dilakukan oleh sebuah tim terpadu multidisiplin, yang terdiri atas psikiater, psikolog, pekerja sosial, dokter umum (dengan minat khusus Psikiatri), perawat jiwa (psychiatric nurse), dan ahli terapi okupasi (occupational therapist). Dari berbagai penelitian, terdapat salah satu aspek yang paling dekat dengan pemberdayaan RS, yaitu pemberdayaan keluarga (family focused treatment) yang meliputi tiga aspek, yaitu psikoedukasi, problem solving, dan conflict resolution (http://health.okezone.com, akses 6 April 2013). 4) Efektifitas Hospital Base dalam Menangani Masalah Kejiwaan
10
Adapun karakteristik pasien jiwa yang harus dihospitalisasi adalah jika individu termasuk membahayakan dirinya sendiri atau orang lain, menderita gangguan jiwa dan membutuhkan pengobatan yang intensif, atau tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya seperti makan dan tempat tinggal. a. Kelemahan Hospital Base Fokus perawatan hospital base mengacu pada perawatan di rumah sakit dibandingkan dengan kepedulian masyarakat. Pasien dalam rumah sakit jiwa diisolasi dari komunitas mereka, dibatasi dalam banyak aspek otonomi dasar, sehingga dapat melemahkan jaringan sosial, dan sebagainya. b. Keunggulan Hospital Base Jelas bahwa di banyak Negara, orang yang menderita gangguan jiwa memiliki cacat besar dalam hal pekerjaan, misalnya hingga 95% orang dengan skizofrenia yang menganggur di negara maju. Bukti efektifitas hospital base menunjukkan bahwa sebagian besar program rehabilitasi memiliki pengaruh positif pada kegiatan workrelated, tetapi mungkin sedikit berhasil dalam memungkinkan pasien untuk mendapatkan dan mempertahankan pekerjaan. Selain itu rehabilitasi juga dapat menghasilkan manfaat pada hasil klinis seperti
kepatuhan
pengobatan,
pengurangan
gejala
dan
kekambuhan. Di Rumah Sakit, kebanyakan kasus dapat diobati secara efektif. Dengan pengobatan yang tepat maka gejala dapat dikendalikan dengan efektif. Pada 70% kasus depresi, skizofrenia dan epilepsi, dan dengan pengobatan yang terus menerus dapat menurunkan angka kekambuhan. b. Community Base 1) Definisi Community base care merupakan perawatan dan dukungan yang diberikan oleh perawat Puskesmas kepada pengguna layanan 11
kesehatan jiwa atau orang yang rentan terhadap gangguan jiwa di masyarakat (tidak sedang di rumah sakit). Community base merupakan salah satu pendekatan pelayanan keperawatan kepada pasien yang dilakukan di rumahnya oleh perawat Puskesmas dibantu keluarganya. Community base dapat diberikan kepada mereka yang memerlukan komitmen rawat jalan, komitmen pencegahan, dan pemulangan dari rumah sakit karena suatu kondisi (Gail W. Stuart, 2007). Alasan utama pentingnya keluarga dalam perawatan jiwa adalah: • Keluarga merupakan lingkup yang paling banyak berhubungan dengan penderita. • Keluarga dianggap paling mengetahui kondisi penderita. • Gangguan jiwa yang timbul pada pasien mungkin disebabkan adanya cara asuh yang kurang sesuai bagi penderita. • Penderita yang mengalami gangguan jiwa nantinya akan kembali kedalam masyarakat; khususnya dalam lingkungan keluarga. • Keluarga merupakan pemberi perawatan utama dalam mencapai pemenuhan kebutuhan dasar dan mengoptimalkan ketenangan jiwa bagi penderita. • Gangguan jiwa mungkin memerlukan terapi yang cukup lama, sehingga pengertian dan kerjasama keluarga sangat penting artinya dalam pengobatan. 2) Tujuan Pelayanan Kesehatan Jiwa Komunitas • Meningkatkan
kesehatan
jiwa,
mempertahankan
dan
meningkatkan kemampuan klien dalam memelihara kesehatan jiwa. • Perawat dapat mengaplikasikan konsep kesehatan jiwa dan komunitas dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat sehingga anggota masyarakt sehat jiwa dan yang mengalami gangguan jiwa dapat dipertahankan di lingkungan masyarakat serta tidak perlu dirujuk segera ke RS. 12
3) Prinsip-Prinsip Keperawatan Jiwa Komunitas Pelayanan Keperawatan yang komprehensif dan difokuskan pada : • Pencegahan primer pada anggota masyarakat yang sehat. • Pencegahan sekunder pada anggota masyarakat yang mengalami masalah psikososial & gangguan jiwa. • Pencegahan tersier pada klien gangguan jiwa dengan proses pemulihan • Pelayanan keperawatan yang holistic yang difokuskan pada aspek bio-psiko-sosio-kultural & spiritual • Pelayanan kesehatan jiwa melalui pelayanan kesehatan dasar • Semua pemberi pelayanan kesehatan yang ada di masyarakat yaitu praktik pribadi dokter, bidan, perawat psikolok dan semua sarana pelayanan kesehatan (puskesmas dan balai pengobatan) • Pelatihan yang perlu dilakukan adalah : konseling, deteksi dini dan pengobatan segera, keperawatan jiwa dasar. 4) Tim Pelayanan Kesehatan Jiwa Komunitas : • Tim kesehatan terdiri atas : psikiater, psikolog klinik dan perawat jiwa • Tim berkedudukan di tingkat Dinas Kesehatan kabupaten / kota • Tim
bertanggung
jawab
terhadap program
pelayanan
kesehatan jiwa di daerah pelayanan kesehatan kabupaten / kota • Tim bergerak secara periodik ke tiap puskesmas untuk konsultasi, surveisi, monitoring dan evaluasi Pada saat tim mengunjungi puskesmas, maka penanggung jawab pelayanan kesehatan jiwa & komunitas di puskesmas akan mengkonsultasikan
kasus-kasus
yang
tidak
berhasil
atau
melaporkan hasil dan kemajuan pelayanan yang telah dilakukan 5) Jenis-jenis Layanan Kesehatan Jiwa di Puskesmas • Balai latihan kerja (BLK). • Half Way House, merupakan sistem latihan dengan keluarga hidup bersama pasien, namun tetap di lingkungan RS dan 13
diawasi. Selanjutnya, pasien bisa tinggal di rumah dengan supervisi dari pekerja sosial dan rumah sakit. Sistem ini sudah diterapkan di Jepang dan belum ada diterapkan di Indonesia. • Klinik krisis • Hot line service • Sistem Pendukung 6) Pelayanan di RSJ Bangli Berdasarkan berita yang penulis dapat dari beritabali.com (akses 6 April 2013), selain di RSJ perawatan pasien gangguan jiwa juga dilakukan di puskesmas. Saat ini terdapat 32 puskesmas di seluruh Bali yang melayani perawatan pasien gangguan jiwa. Puskesmas adalah suatu kesatuan organisasi kesehatan fungsional yang merupakan pusat perkembangan kesehatan masyarakat yang juga membina peran serta masyarakat di samping memberikan pelayanan secara menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat di wilayah kerjanya dalam bentuk kegiatan pokok. (Depkes RI, 1991). Upaya kesehatan jiwa yang di lakukan di puskesmas adalah usaha kesehatan jiwa yang di laksanakan di tingkat puskesmas secara khusus atau terintergrasi dengan kegiatan pokok puskesmas lainnya, yang di laksanakan dengan tenaga kesehatan puskesmas dengan dukungan peran serta masyarakat baik di dalam gedung maupun di luar gedung puskesmas yang di tunjukan individu, keluarga, masyarakat dan terutama di ajukan pada masyarakat berpenghasilan rendah, khususnyan kelompok rawan tanpa mengabaikan kelompok lainnya, dengan menggunakan teknologi tepat guna yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masyarkat setempat. Dalam hal ini puskesmas diharapkan : a.
Menangani gangguan jiwa baik yang akut maupun kronik yang dapat terjadi pada setiap manusia maupunkelompok masyarakat hinnga dapat menurunkan angka kesakitan pasien gangguan jiwa
b.
Menangani ganguan jiwa dari setiap kelompok umur dari mulai anak, remaja, dewasa dan usia lanjut dengan memanfaatkan azas-azas kesehatan jiwa 14
c.
Menilai lebih sensitive dan waspada terhadap kemungkinan terlibatnya emosional pada keluhan- keluhan atau gejala yang di tunjukan pasien sewaktu berobat
d.
Memberikan penyuluhan hingga masyarakat dapat memanfaatkan azas dasar kasehatan jiwa dalam hidupnya Berikut merupakan data yang penulis dapat dari RSJ Bangli mengenai
jadwal kunjungan ke Puskesmas seluruh Bali yang dilakukan oleh Tim kesehatan jiwa komunitas RSJ provinsi Bali. JADWAL PELAKSANAAN KEGIATAN PELAYANAN KESEHATAN JIWA MASYARAKAT RUMAH SAKIT JIWA PROVINSI BALI KEGIATAN
: PELAYANAN KESEHATAN JIWA DI PUSKESMAS KABUPATEN
TAHUN
: 2013
NO .
PUSKESMAS
Bulan Tanggal
JAN
FEB
MRT
APR
MEI
JUN
JU L
AGS
SEPT
OKT
NOV
DES
1
Mendoyo Jembrana
7
4
4
1
6
3
1
12
2
7
4
2
2
Tampaksiring I Gianyar
7
4
4
1
6
3
1
12
2
7
4
2
3
Tejakula I Buleleng
8
5
5
2
7
4
2
13
3
1
12
3
4
Pekutatan Jembrana
8
5
5
2
7
4
2
13
3
1
12
3
5
Selat Karangasem
2
6
6
3
1
5
3
15
3
1
12
4
6
Bebandem Karangasem
30
27
20
24
29
26
31
28
25
30
27
18
7
Tegallalang II Gianyar
3
7
7
4
2
13
4
1
5
2
7
5
8
Dawan II Klungkung
3
7
7
4
2
13
11
1
5
3
7
4
9
Abiansemal III Badung
4
7
8
4
2
13
11
15
12
3
14
5
10
Kali Akah Jembrana
14
11
18
22
27
10
8
19
9
8
11
9
11
Selemadeg Barat I Tabanan
29
26
19
23
28
25
23
27
24
29
19
17
12
Abiansemal I Badung
15
12
19
9
14
11
9
20
10
8
19
10
13
Kubutambahan I Buleleng
2
6
6
3
1
5
2
15
4
2
6
4
14
Marga Tabanan
9
13
6
10
8
12
10
21
11
9
13
11
15
Sukawati Gianyar
17
14
14
18
16
20
18
22
26
17
21
12
16
Mengwi I Badung
17
14
14
11
16
20
18
22
19
17
21
19
17
Kediri I Tabanan
21
18
25
15
20
17
15
19
23
28
18
16
18
Karangasem I Karangasem
21
18
25
29
27
17
22
26
23
28
25
16
19
Kubu I Karangasem
15
19
19
16
21
18
16
27
17
29
26
17
20
Penebel Tabanan
22
26
20
16
21
18
16
20
17
29
26
17
21
Banjarangkan II Klungkung
23
20
22
17
22
19
17
28
18
16
20
18
22
Busungbiu I Buleleng
23
20
21
17
15
19
17
21
18
30
20
18
23
Kerambitan I Tabanan
31
28
21
25
23
27
25
29
26
31
28
12
24
Seririt I Buleleng
3
14
7
11
16
20
4
1
5
3
7
5
15
25
Petang II Badung
28
25
22
22
20
24
22
26
20
28
25
9
26
Tegallalang I Gianyar
22
21
21
23
22
24
9
2
12
10
14
16
27
Baturiti I Tabanan
14
11
18
8
13
10
8
19
16
8
11
9
28
Sawan I Buleleng
9
13
20
10
8
12
10
21
11
9
12
11
29
Pupuan Tabanan
30
27
25
24
29
26
31
28
25
30
27
9
30
Blahbatuh II Gianyar
14
11
18
8
13
11
15
20
16
16
18
16
31
Klungkung II Klungkung
28
25
22
15
15
10
8
2
9
4
11
20
32
Payangan I Gianyar
7
4
4
1
6
3
1
12
2
7
4
2
7) Efektifitas Community Base Care dalam Menangani Masalah Kejiwaan Adapun karakteristik
pasien yang mendapatkan perawatan
community base adalah pasien dengan gangguan jiwa yang melakukan rawat jalan, komitmen pencegahan pada seseorang diyakini memerlukan terapi untuk mencegah kekambuhan, dan pemulangan dari rumah sakit karena suatu kondisi. a. Kelemahan Community Base Pusat-pusat kesehatan komunitas jiwa sering tidak mampu menyediakan layanan akibat bertambahnya jumlah klien. Tunawisma menjadi masalah bagi penderita penyakit mental kronik persisten yang mengalami kekurangan sumber daya keluarga dan dukungan sosial yang adekuat. Selain itu belum terlatihnya
perawat
puskesmas
(kurangnya
SDM
yang
berkualitas) menyebabkan jalannya program community base menjadi kurang efektif. b. Keuntungan Community Base
Pasien yang mengalami gangguan jiwa sesungguhnya dapat hidup dengan optimal manakala lingkungan terutama keluarga mampu berperan dengan baik dalam memberikan perawatan pasca perawatan di rumah sakit. Dan untuk mengoptimalkan peran keluarga dan masyarakat inilah, community base diaplikasikan.
16
Merujuk hasil riset yang dilakukan di DKI Jakarta tentang model ini, ada beberapa kesimpulan yang didapatkan dari penerapan community base yaitu : 1) Pasien
yang
menerima
intervensi
community
base,
kemampuannya meningkat secara bermakna 2) Pasien yang menerima intervensi community base, waktu produktifnya meningkat secara bermakna sebesar 1 jam 36 menit 3) Pasien yang mendapat intervensi community base dengan kualitas hidup tinggi jumlahnya lebih banyak secara bermakna dibandingkan pasien yang tidak menerima intervensi. Kemandirian dan waktu produktif pasien berhubungan secara signifikan terhadap kualitas hidup pasien 4) Kemampuan kognitif keluarga yang mendapat intervensi community base, meningkat secara bermakna 5) Kemampuan psikomotor keluarga yang mendapat intervensi community base, meningkat secara bermakna 6) Kepuasan tinggi dalam merawat lebih banyak pada keluarga yang mendapat intervensi community base 7) Beban keluarga dalam merawat menurun pada keluarga yang mendapat intervensi community base Layanan di Rumah Sakit (RS) hanya untuk fase akut, setelah itu pasien dikembalikan kepada masyarakat dan mendapat layanan berbasis komunitas. Layanan berbasis komunitas bisa dengan membuat layanan day care, peer group, dan bengkel kerja. Hal ini harus dilakukan secara sinergi dan terpadu yang didukung/ disupervisi oleh RS dan pekerja sosial. Pada pelayanan day care, pasien dilatih untuk melakukan perawatan diri, pengendalian emosi, social training,dan manajemen stres. Setelah itu, pasien dilatih untuk bisa produktif dengan ikut bengkel kerja. Namun, bengkel kerja harus dikelola secara baik dengan cara menunjuk case manager (manajer kasus) 17
yang akan menentukan kapasitas pekerjaan pasien sesuai dengan kondisi masing-masing. Sejumlah latihan keterampilan hendaknya dapat dimulai dari RS. Kalau dalam fase akut, pasien dirawat di RS, ini bertujuan untuk memisahkan pasien sementara waktu dengan komunitas mereka. Dengan layanan komunitas, pasien dilatih untuk mampu kembali berintegrasi dengan masyarakat. Di samping itu, penting dipikirkan suatu sistem kesehatan dengan insurance based untuk layanan berbasis komunitas ini. Dengan adanya layanan berbasis komunitas,biaya perawatan bisa turun. Demikian pula hari-hari produktif pasien dan keluarga yang hilang karena harus merawat pasien dapat dikurangi. Namun, di Indonesia, pelayanan ini belum dilaksanakan walaupun slogan tentang pentingnya pelayanan berbasis komunitas sudah ada sejak lama.Ini sudah berhasil di pelayanan posyandu untuk bayi dan balita. Contoh negara yang sudah melakukan pelayanan berbasis komunitas adalah di India. Kalau di luar negeri, lembaga swadaya masyarakat (LSM) ikut berkiprah. Contohnya di Australia, Beyond Blue (http://health.okezone.com, akses 6 April 2013) 2. Perbedaan Hospital Base Dengan Community Base Perbedaan antara Hospital Base dengan Community Base adalah a. Community Base : 1) Upaya kesehatan jiwa yang dilakukan lebih mengutamakan upaya-upaya preventif, promotif dan rehabilitative yang proaktif. 2) Pelayanan keperawatan jiwa berfokus pada pelayanan masyarakat 3) Perawatan dilakukan di rumah pasien (home care) dan dikontrol secara berkala oleh perawat yang telah dilatih CMHC (Community Mental Health Care) 4) Pasien dan keluarganya perlu dilibatkan pada perencanaan tindakan dalam pemberian pelayanan kesehatan jiwa. 5) Community base dapat diberikan kepada mereka yang memerlukan komitmen rawat jalan pada pasien jiwa, komitmen pencegahan pada seseorang diyakini memerlukan terapi untuk mencegah kekambuhan, dan pemulangan dari rumah sakit karena suatu kondisi. 18
b. Hospital Base : 1) Upaya kesehatan jiwa yang dilakukan berupa upaya kuratif dan rehabilitative 2) Fokus perawatan hospital base mengacu pada perawatan yang dilakukan di rumah sakit dibandingkan dengan kepedulian masyarakat 3) Pelayanan di rumah sakit cenderung bersifat pasif yaitu menunggu masyarakat yang datang ke rumah sakit. 4) Pelayanan berbasis rumah sakit tidak dapat menjangkau masyarakat yang sehat dan yang berisiko sehingga masyarakat menjadi rentan terhadap masalah/gangguan kesehatan jiwa. 5) Individu yang harus dirawat jika termasuk membahayakan dirinya sendiri atau orang lain, menderita gangguan jiwa dan membutuhkan pengobatan yang intensif, atau tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya seperti makan dan tempat tinggal. 3. Peran Perawat Dalam Perubahan Orientasi Kesehatan Jiwa Dari Hospital Base Menjadi Comunity Base a. Kompetensi Perawat di Rumah Sakit Jiwa Peran perawat Rumah sakit jiwa adalah menilai kebutuhan kesehatan mental, mengembangkan diagnosis, intervensi, melaksanakan, dan mengevaluasi asuhan keperawatan. Intervensi ini berfokus pada kesehatan jiwa klien termasuk membantu klien dengan aktivitas perawatan diri, administrasi dan pemantauan rejimen pengobatan. Peran perawat dalam penatalaksanaan obat di Rumah Sakit Jiwa adalah : 1) Mengumpulkan data sebelum pengobatan Dalam pelaksanaan peran ini perawat di dukung oleh latar belakang pengetahuan biologis dan perilaku. Data yang perlu dikumpulkan antara lainriwayat penyakit diagnosa medis riwayat engobatan hasil laboratorium jenis obat yang akan digunakan dan perawat perlu mengetahui program terapi lain bagi pasien. Pengumpulan data ini digunakan agar asuhan 19
keperawatan yang diberikan bersifat menyeluruh dan merupakan satu kesatuan. 2) Mengkoordinasikan obat dengan terapi modalitas Pemilihan terapi yang tepat sesuai dengan program pengobatan pasien akan memberikan hasil yang lebih baik. 3) Pendidikan Kesehatan Pasien di rumah sakit jiwa sangat membutuhkan pendidikan kesehatan tentang obat yang diperolehnya karena pasien sering tidak mau minum obat yang dianggap tidak ada manfaatnya. Contoh pada klien curiga yang menganggap obat sebagai racun. Selain itu pendidikan kesehatan juga diperlukan keluarga karena adanya anggapan jika pasien sudah ulang kerumah maka tidak perlu lagi minum obat padahal hal ini menyebabkan risiko kanker kambuh dan dirawat kembali. 4) Memonitor efek samping obat Selain efek yang diharapkan, perawat juga harus memonitor efek samping obat dan reaksi-reaksi lain yang kurang baik setelah minum obat. b. Kompetensi Perawat Komunitas Jiwa Pada community base care perawat dapat berperan dalam memberikan dukungan kepada klien serta sistem yang mendukung klien untuk mencapai tujuan dan usaha untuk berubah. Perawat jiwa community (Puskesmas) bertugas mendata pasien gangguan jiwa yang ada di masyarakat, kemudian mendatangi rumah-rumah atau dengan istilah home visit. Ini dilakukan agar kita lebih mengenal kondisi pasien dan untuk menetukan terapi yang tepat yang akan diberikan. Adapun kompetensi yang harus dimiliki oleh perawat kesehatan jiwa komunitas adalah 1. Pengkajian biopsikososial yang peka terhadap budaya. 2. Merancang dan implementasi rencana tindakan untuk klien dan keluarga. 3. Peran serta dalam pengelolaan kasus: mengorganisasikan, mengkaji, negosiasi, koordinasi pelayanan bagi individu dan keluarga.
20
4. Memberikan pedoman pelayanan bagi individu, keluarga, kelompok, untuk menggunakan sumber yang tersedia di komunitas kesehatan mental, termasuk pelayanan terkait, teknologi dan sistem sosial yang paling tepat. 5. Meningkatkan dan memelihara kesehatanmental serta mengatasi pengaruh penyakit mental melalui penyuluhan dan konseling. 6. Memberikan askep pada penyakit fisik yang mengalami masalah psikologis dan penyakit jiwa dengan masalah fisik. 7. Mengelola dan mengkoordinasi sistem pelayanan yang mengintegrasikan kebutuhan klien, keluarga, staf, dan pembuat kebijakan. Peran dan Fungsi Perawat Kesehatan Jiwa dan Komunitas 1. Pemberi asuhan keperawatan secara langsung (practitioner) Perawat memberikan asuhan keperawatan kepada pasien untuk membantu pasien
mengembangkan
kemampuan
menyelesaikan
masalah
dan
meningkatkan fungsi kehidupannya. menilai disfungsi, terapi aktivitas bagi pasien gangguan jiwa mandiri, rehabilitasi bagi pasien gangguan jiwa mandiri serta membentuk desa siaga sehat jiwa. Adapun empat ciri pembentuk desa siaga sehat jiwa: a. Suatu masyarakat yang di dalamnya tak ada seorang manusia pun yang diperalat oleh orang lain. Oleh karena itu seharusnya tidak ada yang diperalat/ memperalat diri sendiri, dimana manusia itu menjadi pusat dari semua aktivitas ekonomi maupun politik yang diturunkan pada tujuan perkembangan diri manusia. b. Mendorong aktivitas produktif setiap warganya dalam pekerjaannya, merangsang perkembangan akal budi dan lebih jauh lagi, mampu membuat manusia untuk mengungkapkan kebutuhan batinnya berupa seni dan perilaku normatif kolektif. c. Masyarakat terhindar dari sifat rakus, eksploitatif, pemilikan berlebihan, narsisme, tidak mendapatkan kesempatan meraup keuntungan material tanpa batas. d. Kondisi masyarakat yang memungkinkan orang bertindak dalam dimensidimensi yang dapat dipimpin dan diobservasi. Partisipasi aktif dan 21
bertanggung jawab dalam kehidupan masyarakat. Untuk mewujudkan struktur masyarakat sehat, kuncinya: Setiap orang harus meningkatkan kualitas hidup yang dapat menjamin terciptanya kondisi sehat yang sesungguhnya. Mandiri dan tidak bergantung pada orang lain merupakan orientasi paradigma kesehatan jiwa 2. Pendidik (educator) Perawat memberikan penyuluhan/ pendidikan kesehatan jiwa kepada individu dan keluarga untuk mengembangkan kemampuan menyelesaikan masalah dan mengembangkan kemampuan keluarga dalam melakukan 5 tugas kesehatan keluarga (Freeman, 1981), diantaranya: a. Mengenal gangguan perkembangan kesehatan setiap anggota keluarga b. Mengambil keputusan untuk melakukan tindakan yang tepat c. Memberikan perawatan kepada anggota keluarganya yang sakit, dan yang
tidak dapat membantu dirinya sendiri karena cacat atau usianya yang terlalu muda d. Mempertahankan suasana di rumah yang menguntungkan kesehatan dan perkembangan kepribadian anggota keluarga e. Mempertahankan hubungan timbal balik antara keluarga dan lembagalembaga kesehatan, yang menunjukkan pemanfaatan dengan baik fasilitasfasilitas kesehatan yang ada. Alasan perawat melibatkan keluarga dalam pemberian pendidikan kesehatan jiwa karena keluarga merupakan tempat individu pertama memulai hubungan interpersonal dengan lingkungan serta keluarga merupakan suatu sistem yang utuh dan tidak terpisahkan sehingga jika ada satu yang terganggu maka yang lain ikut terganggu. Pendidikan kesehatan ini ditujukan pula untuk mencegah atau menguraikan dampak gangguan jiwa bagi klien. Program pendidikan yang dapat dilakukan adalah: a. Ketrampilan khusus : ADL, perilaku adaptif, aturan minum obat, identifikasi gejala kambuh serta pemecahan masalah.
22
b. Keterampilan umum : komunikasi efektif (adanya keterbukaan, empati, dukungan, rasa positif, serta kesetaraan), ekspresi emosi yang konstruktif, relaksasi, pengelolaan stress (stress management). 3. Koordinator (coordinator) Melakukan koordinasi dalam kegiatan : a. Penemuan kasus b. Rujukan Integrasi kesehatan jiwa di Puskesmas sebaiknya mempunyai hubungan langsung dengan rumah sakit. Perawat komuniti (Puskesmas) sebaiknya mengetahui perkembangan klien di rumah sakit dan berperan serta dalam membuat rencana pulang. B. Trend and Issue in Mental Health 1. Perkembangan pelayanan kesehatan jiwa di Indonesia Community Mental Health Nursing pertama kali dikembangkan di Aceh tahun 2005 dan berhasil menyediakan pelayanan kesehatan jiwa di seluruh puskesmas (274 PKM) dan merawat sekitar 14 ribu pasien gangguan jiwa yang terdeteksi dan 200 pasien yang dipasung dimasyarakat. Model ini kemudian direplikasi di DKI Jakarta yang memiliki prevalensi cukup tinggi di Indonesia. Model ini sesungguhnya ingin menunjukan kepada masyarakat bahwa persoalan Kesehatan Jiwa bukan hanya persoalan yang menjadi tanggung jawab rumah sakit jiwa saja, tapi juga peran dinas kesehatan di tingkat kabupaten beserta jajarannya (Puskesmas) dan masyarakat dapat turut berpartisipasi dalam mendukung pelayanan kesehatan jiwa yang paripurna. Pemerintah telah memberikan pelatihan pelayanan kesehatan jiwa kepada dokter dan tenaga kesehatan yang bertugas di Puskesmas untuk meningkatkan kapasitas sarana pelayanan kesehatan dasar tersebut dalam menangani masalah kesehatan jiwa. Jadi, sebenarnya Puskesmas bisa memberikan pelayanan kesehatan jiwa namun hal ini belum diketahui seluruh kalangan masyarakat.
23
Saat ini puskesmas-puskesmas yang ada di wilayah perkotaan ratarata (sekitar 900 Puskesmas) sudah memiliki unit pelayanan kesehatan jiwa dan aktif memberikan pelayanan di dalam maupun luar gedung. drg Suyatmi, MM, Kasubdit Bina Kesehatan Jiwa di Non Fasilitas Pelayanan kesehatan Kemenkes RI, dalam acara workshop 'Pertemuan Peningkatan Peran Media Massa Tentang Kesehatan Jiwa' di Hotel Grand Seriti, Bandung, Jumat (9/9/2011) menargetkan tahun 2011, 45 persen dari seluruh Puskesmas sudah memiliki unit pelayanan kesehatan jiwa. Namun hingga saat ini belum ada inventarisasi menyeluruh mengenai itu. Khusus untuk Jakarta dan daerah Aceh, semua Puskesmas sudah memiliki pelayanan untuk kesehatan jiwa bahkan pada tahun 2011 Pemda Aceh sudah menyatakan Aceh bebas pasung. Di Indonesia, ada tiga Puskesmas yang menjadikan kesehatan jiwa sebagai program prioritas yakni Puskesmas di Kabupaten Bireun (Aceh), Sindang Barang (Bogor), dan Tebet (Jakarta Selatan). Di Provinsi Bali, penulis mengambil 1 sampel RSJ Provinsi Bali dan beberapa sample Puskesmas yaitu Puskesmas I Tabanan, Puskesmas Denpasar Selatan II,
Puskesmas Kintamani I serta Puskesmas II
Klungkung. Dari hasil wawancara, pada Puskesmas I Tabanan sejalan dengan paradigma sehat yang dicanangkan Departemen Kesehatan, sejak tahun 2010 Puskesmas telah menjalankan pelayanan kesehatan jiwa berbasis komunitas. Bidangnya adalah penyakit gangguan jiwa menjadi satu dengan penyakit saraf. Ini dijalankan oleh hanya seorang perawat dengan latar belakang pendidikan ahli madya kebidanan dan belum mendapatkan pelatihan khusus mengenai kesehatan jiwa. Tugasnya adalah melakukan pendataan mengenai masyarakat yang mengalami gangguan jiwa dengan koordinasi dari kepala dinas kota setempat, kemudian melakukan kunjungan rumah atau home care untuk melakukan penyuluhan keluarga serta hanya melakukan terapi dalam pemberian obat. Kesadaran keluarga untuk membawa pasien berobat ke Puskesmas masih rendah dikarenakan masih adanya stigma yang buruk mengenai gangguan jiwa. Keadaan ini 24
juga menyebabkan sulitnya pendataan. Adapun jenis pasien gangguan jiwa yang paling banyak berobat ke Puskesmas I Tabanan adalah Epilepsi dan didapatkan hanya satu dengan diagnosis Skizoprenia yang pada akhirnya di rujuk ke RSJ Provinsi Bangli. Pembagian obat-obatan gratis bagi pasien gangguan jiwa telah dapat dilakukan di Puskesmas I Tabanan. Jadi, di Puskesmas I Tabanan telah melakukan pelayanan community base namun belum efektif. Puskesmas Denpasar Selatan II juga telah menjalankan pelayanan kesehatan jiwa berbasis komunitas. Program ini dijalankan oleh dua orang ahli madya keperawatan yang belum mendapatkan pelatihan khusus mengenai kesehatan jiwa dan masih mendapatkan pengawasan dari dokter umum. Kegiatan yang biasanya dilakukan adalah melakukan kunjungan rumah untuk memberikan pendidikan kesehatan mengenai pentingnya memperhatikan ADL pasien kepada keluarga, memberikan asuhan keperawatan kepada keluarga pasien dengan gangguan jiwa, serta melakukan terapi dalam pemberian obat. Jenis pasien yang paling sering dijumpai yaitu pasien dengan Schizoprenia. Puskesmas Densel II juga memberikan obat gratis untuk pasien yang memiliki Jamkesmas, beberapa obat yang disediakan seperti Trihexyfenidil, Chlorpromazine dan Haloperidol. Pada Puskesmas I Abang Karangasem diperoleh data bahwa Puskesmas I Abang Karangasem belum ada program khusus yang dilakukan untuk menangani masalah gangguan jiwa dikomunitas, namun telah terjadi kerjasama lintas sector antara Puskesmas dan RSJ Provinsi Bangli dalam hal seminar, pembekalan maupun hanya sekedar kunjungan. Pelayanan kesehatan yang di selenggarakan oleh rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali adalah untuk mewujudkan pelayanan kesehatan jiwa masyarakat secara paripurna, yang meliputi usaha preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitasi dengan sasaran meningkatnya cakupan pelayanan kesehatan jiwa masyarakat.
25
2. Perkembangan perubahan orientasi kesehatan jiwa dari hospital base menjadi community base a. Perkembangan dari Hospital Base Menurut penelitian WHO beban akibat penyakit gangguan jiwa yang diukur dengan hari-hari produktif yang hilang (DALY / Dissability Adjusted Life Years ) disebabkan oleh masalah kesehatan jiw a tahun tahun 2000 sebesar 12,3 % . Berdasarkan Survey Kesehatan Mental Rumah Tangga (SKMRT) tahun 1995 yang dilakukan oleh Balitbang Depkes menunjukkan bahwa prevalensi gangguan jiwa adalah sebesar 264 per 1000 anggota rumah tangga. Secara garis besar ada 4 jenis gangguan jiwa berat yang banyak terjadi di masyarakat Indonesia. 1. Depresi berat (major depression) 2. Gangguan bipolar (bipolar disorder) 3. Schizophrenia 4. Schizoaffective disorder
Renstra Kemenkes 2010-2014 menjelaskan bahwa visi pembangunan kesehatan Indonesia antara lain menggerakkan dan memberdayakan masyarakat untuk hidup sehat, meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan yang berkualitas, meningkatkan surveyor, monitoring dan informasi kesehatan serta meningkatkan pemberdayaan masyarakat. Kesehatan jiwa merupakan salah satu arah dari visi kesehatan tersebut. Masalah kesehatan jiwa terutama gangguan jiwa secara tidak langsung dapat menurunkan produktifitas, apalagi jika onset gangguan jiwa dimulai pada usia produktif . Untuk mengantisipasi hal tersebut, maka perlu pelayanan kesehatan jiwa yang komprehensif, holistic, dan paripurna. Kegiatan dapat dilakukan dengan menggerakkan dan memberdayakan seluruh potensi yang ada di masyarakat, baik warga masyarakat sendiri, tokoh masyarakat, dan profesi kesehatan. Perawat sebagai salah satu tenaga kesehatan yang ada di Rumah Sakit Jiwa diharapkan mampu memberikan pelayanan keperawatan secara 26
komprehensif, holistic, kontinyu dan paripurna kepada pasien yang mengalami masalah psikososial dan gangguan jiwa di wilayah kerjanya. Menurut data yang ada di Badan Pembina Kesehatan Jiwa masyarakat Propinsi Bali tahun 2006 diperkirakan jumlah penderita Skizoprenia di Propinsi Bali sebanyak 5.147 orang atau 0,15 % penduduk Bali, sedangkan data di Badan Pelayanan khusus Rumah Sakit Jiwa Propinsi Bali di Bangli tahun 2006 menyebutkan bahwa dari 2702 orang yang dirawat inap sebanyak 2602 orang atau 96,3 % didiagnosa Skizoprenia. Hasil survei pendahuluan peneliti di BPK RSJ Propinsi Bali di Bangli pada klien yang masuk rumah sakit dirawat inap dengan tingkah laku menarik diri pada bulan Mei 2007 cukup banyak, dari 246 klien yang dirawat didapatkan 15,2% dirawat dengan gangguan proses pikir, 26,8 % dirawat dengan gangguan persepsi sensori, 23,9 % dengan tingkah laku menarik diri, 10,9 % dengan gangguan konsep diri 8,5 % dengan tingkah laku kekerasan, 11,2 % dengan dimensia, 4,1% dengan gangguan alam perasaan, 2,2 % dengan ketergantungan obat (Rekam Medik, 2007) angka klien dengan tingkah laku menarik diri cukup tinggi, hal ini tentunya perlu mendapatkan perhatian serta penanganan yang serius bagi semua pihak yang terkait khususnya para perawat yang ada di BPK Rumah Sakit Jiwa Propinsi Bali di Bangli sehingga klien mendapatkan pelayanan yang berkualitas dan segera kembali kepada keluarga dengan kondisi yang sesuai tata nilai masyarakat. Rumah Sakit Jiwa Propinsi Bali di Bangli selama ini lebih menekankan pada medikasi antipsikotik berupa pemberian obat-obat psikofarmaka dalam perbaikan klinis. Walaupun medikasi antipsikotik adalah inti dari pengobatan Skizofrenia, penelitian telah menemukan bahwa intervensi psikososial dapat memperkuat perbaikan klinis. Modalitas psikososial harus diintegrasikan secara cermat ke dalam regimen terapi obat. Sebagian besar klien Skizofrenia mendapat manfaat dari pemakaian kombinasi tersebut (Kaplan dan Sadock,1994;723) Jenis pelayanan di Rumah Sakit Jiwa Bangli, Bali : 27
•
Instalasi Rawat Darurat Gangguan Jiwa 24 Jam
•
Poliklinik Jiwa, melayani umum untuk segala keluhan yang berhubungan dengan gangguan jiwa.
•
Poliklinik gigi, melayani umum untuk segala keluhan yang berhubungan dengan kesehatan gigi dan mulut.
•
Poliklinik Fisioterapi, melayani umum untuk segala keluhan yang berhubungan dengan keluhan fisik.
•
Poliklinik Psikometri (Psikolog), konsultasi anak.
•
Pelayanan Rawat Inap yang dilengkapi dengan 12 bangsal (340 tt)
•
Pelayanan Rehabilitasi Narkoba yang dilengkapi 19 tt perawatan NAPZA
Sementara itu, demi menyiasati ketakutan keluarga akan berulangnya fase akut pasien di rumah, maka bisa diterapkan sistem half-way house, yaitu suatu sistem latihan dengan keluarga hidup bersama pasien, namun tetap di lingkungan RS dan diawasi. Selanjutnya, pasien bisa tinggal di rumah dengan supervisi dari pekerja sosial dan rumah sakit. Sistem ini sudah diterapkan di Jepang dan belum ada diterapkan di Indonesia. b. Perkembangan dari Community Base Sebagai penjelasan terhadap istilah ‘perawatan komunitas yang efektif’ pada umumnya sebagian besar para pekerja yang bergelut di bidang kesehatan jiwa, termasuk para perawat di rumah sakit mempunyai pikiran bahwa perawatan bermula di RS. Padahal sebetulnya pasien itu memulai sakitnya di rumah atau di tempat lain semacam rumah. Sebagian besar orang berpikir penanganan pasien jiwa yang paling tepat adalah menempatkannya di rumah sakit jiwa, namun sebetulnya perawatan di rumahlah yang paling mendekati nilai holistic. Untuk menolong seseorang dengan gangguan jiwa, yang paling penting dilakukan adalah melihat dan memahami orang tersebut, seperti apa
kondisinya,
sehingga
kemudian
akan
dapat
diketahui
apa
sesungguhnya yang dibutuhkannya.
28
Jadi, ketika ada orang yang datang untuk dirawat, orang tersebut membutuhkan pertolongan untuk kembali ke rumahnya, sehingga sesungguhnya perawatan untuk orang tersebut harus diberikan di rumahnya. Dalam community
care ini
ada
beberapa
tahap
perawatan,
yaitu primary care, crisis care, dan continuing care. Dalam primary care, terdapat soal memperhatikan kondisi pasien, di mana dia mesti dirawat, bagaimana cara merawat. Kemudian dalam crisis care diputuskan soal perlukah pasien dirawat di rumah sakit, karena sesungguhnya telah diyakini bahwa perawatan terbaik dapat diberikan di rumah. Kemudian dalam continuing care, adalah persoalan evaluasi pasien yang telah dirawat, bagaimana cara perawatan lanjutannya, mengenai kesembuhan dan kemungkinan kambuh. Continuing care ini sangat penting untuk mengamati perkembangan pasien jiwa. Primary care ini membutuhkan banyak dukungan dari puskesmas dan komunitas. Masalah utama yang sering muncul dalam soal perawatan gangguan
kesehatan
jiwa
di
rumah
sakit
adalah:
pertama,
kurangnya follow-up yang memadai. Banyak direktur RSJ yang tidak pernah memperhatikan data seperti jumlah pasien yang telah keluar dan jumlah yang kembali ke RSJ, serta kemungkinan kembalinya pasien ke RSJ. Semula di RS kurangnya kualitas penanganan terhadap pasien alasannya karena kurangnya staff di RS, kurangnya perlengkapan, keluarga yang kurang perhatian, dan mungkin dokternya yang kurang ahli. Dengan berbagai keluhan seperti itu jalan keluar yang harus dilakukan adalah mengeluarkan seluruh pasien yang ada dari rumah sakit. Dan untuk ini harus dibuat satu sistem yang efektif, sehingga kemudian pasien tidak akan kembali ke rumah sakit setelah dikembalikan ke rumah. Diawali dengan cara mengelompokkan pasien, karena tidak setiap pasien membutuhkan perawatan secara penuh. Dengan mengelompokkan pasien, akan diketahui perawatan seperti apa yang dibutuhkan setiap pasien.
29
Ada tiga level pengelompokan pasien. Level ketiga untuk pasien yang paling mudah dirawat karena didiagnosa paling stabil untuk jangka waktu tertentu. Level kedua untuk yang membutuhkan konsultasi intensif. Sementara level pertama untuk pasien yang memiliki kemungkinan kembali ke rumah sakit setelah dinyatakan sembuh dan tidak memiliki orang-orang terdekat untuk merawatnya. Dengan
pendekatan Assertive
Community
Treatment (ACT),
dinyatakan bahwa kemajuan yang diperoleh pasien lebih baik melalui pendekatan ini. Dalam ACT yang dibutuhkan adalah tim, yang meskipun tidak banyak jumlahnya namun masing-masing anggota tim memiliki tanggung jawab dan mau menjalankannya. Di rumah sakit yang dilakukan adalah mendiagnosa dan menentukan pengobatan medis yang dibutuhkan oleh pasien. Selanjutnya, pasien dirawat di rumah dan yang perlu rumah sakit lakukan adalah memastikan keberlanjutan perawatan, memberi bantuan secara praktis, membantu menangani dampak sampingannya, membantu menumbuhkan keterampilan komunitas dalam menangani. Pada umumnya, pengobatan medis yang dijalani pasien hanya diperlukan untuk waktu dua tahun, selanjutnya pengobatan medis pasien dapat diserahkan kepada Puskesmas. Dalam pendekatan ACT ini yang menonjol adalah soal pelayanan yang proaktif terhadap pasien. Tim perawat harus selalu mengadakan asesmen dalam pelayanan proaktifnya, sehingga kebutuhan perawatan terhadap pasien akan selalu disesuaikan dengan hasil asesmen yang dilakukan. Yang termasuk ke dalam keputusan perawatan terhadap pasien ini adalah pengobatan medis yang diterima pasien, dukungan yang bisa didapat pasien, keikutsertaan komunitas yang dapat diperoleh pasien, kondisi ekonomi keluarga pasien, dan bagaimana cara bekerja dengan keluarga yang merawat pasien. Hingga saat ini menurut data pasien yang parah jumlahnya berkurang
hingga
60%
di
Malaysia
melalui
pendekatan
ACT.
Sesungguhnya, secara medis, obat-obatan yang digunakan tidak berbeda 30
dengan obat-obatan yang biasa diberikan di negara lain. Yang berbeda adalah cara perawatannya. Dari segi jumlah staff RSJ juga tidak bertambah, bahkan kenyataannya malah berkurang. Karena, terapi lebih banyak tidak dilakukan di RS, sehingga banyak staff yang ditransfer untuk bekerja di luar RS. RSJ juga membina para terapis yang dipekerjakan untuk merawat di rumah, dikutip dari pidato Dr. Abdul Kadir Abu Bakar dari Malaysia yang berjudul “Effective Community Treat” yang disampaikan dalam The 1st Seminar Lecture Series & Round Table Discussion “THE DEMAND ON SOCIAL LEARNING”, sebuah acara yang diselenggarakan oleh Jejaring Komunikasi Kesehatan Jiwa Indonesia (JEJAK Jiwa). Acara ini antara lain terdiri atas Kuliah Umum yang membahas persoalan kesehatan jiwa lintas negara. Bersamaan dengan acara ini juga telah diluncurkan Indonesian Journal of Mental Health, “ATARAXIS” di Jakarta pada tanggal 26 Oktober 2007 yang di tulis oleh Juneman (Social Psychologist dari UI) Di beberapa negara maju seperti negara-negara di Amerika utara dan Eropa, telah banyak muncul beberapa kelompok mantan pasien gangguan jiwa, yang menyebut diri mereka sebagai
Consumer
(maksudnya adalah pengguna dari jasa pelayanan kesehatan jiwa yang disediakan oleh rumah sakit). Mereka bahkan telah mencangkan sebuah gerakan (consumer movement) yang ingin memperbaiki kondisi pasien dan mantan pasien gangguan jiwa. Hal ini diikuti oleh gerakan keluarga mereka yang juga ingin memperbaiki bagaimana pemahaman dan penerimaan masyarakat terhadap pasien gangguan jiwa (Anthony, 1993). Para mantan pasien tersebut belakangan ini membentuk sebuah gerakan yang disebut sebagai gerakan konsumen (consumer-survivor movement). (Istilah “konsumen” digunakan untuk mendeskripsikan mereka yang menderita gangguan mental; ini digunakan karena, sebagai “konsumen” atas berbagai pelayanan kesehatan dan sosial, mereka harus dilibatkan dalam pengembangan dan manajemen pelayanan-pelayanan tersebut, sekaligus juga penelitian-penelitian mengenainya).
31
Gerakan konsumen (consumer movement) yang ada saat ini dimulai pada tahun 1970-an ketika sekelompok kecil mantan pasien, membentuk organisasi di seluruh Amerika Serikat. Beberapa kelompok konsumen yang tercatat antara lain Survivors Speak Out, the National Self-Harm Network, the Hearing Voices Network, Mad Pride, dan Mad Women. Kelompok-kelompok ini terinspirasi oleh gerakan kebebasan kaum kulit hitam, gerakan liberalisasi gay, dan liberalisasi perempuan, sehingga mereka juga ingin membebaskan para penderita gangguan mental. Kemunculan berbagai macam kelompok pengguna secara luas telah menjadi salah satu perkembangan yang paling penting dalam pelayanan kesehatan mental selama 15 tahun terakhir (Anthony, 1993). Ada beberapa agenda yang dilakukan oleh kelompok gerakan konsumen ini. Mereka berusaha menghilangkan stigma dengan mengubah pendapat publik mengenai gangguan mental. Hal paling praktis yang mereka lakukan adalah dengan mengubah istilah medis pasien menjadi sebuah istilah baru yaitu konsumen. Schiff (2004) yang juga merupakan salah satu anggota kelompok tersebut mendeskripsikan bagaimana istilah “consumer” ini muncul. Pada tahun 1970-an ketika orang-orang yang merupakan mantan pasien mulai berkumpul bersama dan berbagi pengalaman mereka, mereka menyebut diri mereka sebagai experiencepatient (pasien berpengalaman) atau or “former patients (mantan pasien). Beberapa
menggunakan
psychiatric
inmate
untuk
memperjelas
ketidakpuasan mereka atas cara penanganan yang mereka peroleh dari para tenaga medis profesional. Di California istilah netral client (klien) lebih disenangi. Pada 1980-an istilah consumer digunakan oleh tenaga medis profesional dan kelompok keluarga, untuk menghindari pelabelan dan stigma. Istilah “survivor” digunakan oleh konsumen berdasarkan pada fakta bahwa konsumen telah selamat dari penanganan psikiatris yang dipaksakan dan menganggap diri mereka telah mengalami pemulihan (recovery). Di Inggris istilah service user (pengguna layanan) digunakan di kalangan profesi kesehatan mental sebagai kebalikan dari service provider (penyedia layanan). 32
Dalam gerakan pemberdayaan, konsumen ternyata tidak sendirian. Mereka juga didukung oleh anggota keluarga mereka. Ini mengingat bahwa dampak gangguan jiwa tidak hanya dialami oleh penderita saja, tetapi juga anggota keluarga mereka. Beban psikis dan sosial ekonomis keluarga sangat besar. Salah satu diantaranya adalah stigma terhadap keluarga. Oleh karena itu sejumlah anggota keluarga dari para penderita gangguan jiwa mendirikan the National Alliance for Mentally Ill (NAMI). Dalam perkembangan selanjutnya singkatan NAMI diberi kepanjangan sebagai The National Alliance on Mental Ilness (NAMI). Organisasi ini bertujuan untuk membantu diri mereka sendiri dan anggota keluarga mereka yang mengalami gangguan mental (http://www.nami.org/) Program yang dilaksanakan antara lain memberikan public education and information. Termasuk di sini adalah membantu konsumen dan keluarganya untuk mendapatkan pengetahuan dan ketrampilan untuk hidup dengan gangguan jiwa. Mereka juga menyelenggarakan support group yang dilaksanakan family-to-family dan peer-to-peer. Program yang lain adalah awareness and stigma di mana mereka melakukan talk show dan rally untuk mengalang dana dan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang gangguan jiwa. Mereka juga memberikan respon tentang stigma yang kurang benar tentang gangguan jiwa dengan menulis di berbagai media masa. Sekaligus juga berusaha meningkatkan pemahaman masyarakat sehingga masyarakat dapat menghargai dan menerima orang yang mengalami gangguan jiwa. Selain itu NAMI juga mempunyai program yang diberi nama State and Federal Support, dimana mereka melakukan berba Dalam hal ini NAMI memang telah memperoleh reputasi sebagai sebuah gerakan yang mempunyai kemampuan lobi yang kuat dan efektif di Kongress Amerika berkaitan dengan kebijakan tentang kesehatan mental agar mereka dapat menghilangkan diskriminasi bagi mantan pasien. NAMI secara aktif juga bekerja untuk memodifikasi pengetahuan profesional dan teori-teori ilmiah mengenai gangguan mental. Mereka sangat mendorong dilaksanakannya berbagai penelitian dan perubahan system pelayanan kesehatan mental yang lebih komprehensif. 33
Di Indonesia sejauh ini belum ada sebuah organisasi atau kelompok mantan pasien gangguan jiwa atau keluarganya. Namun indikasi mengarah ke sana sudah mulai tampak. Misalnya telah muncul beberapa buku yang memberikan gambaran tentang pengalaman menjadi pasien gangguan jiwa. Salah satu diantaranya adalah buku yang berjudul Ratu Adil: Memoar Seorang Schizophrenia yang ditulis oleh Isvandiary (2004). Buku ini mirip dengan beberapa artikel atau buku yang ditulis oleh para konsumen di Amerika yang menggambarkan pengalaman-pengalaman ketika mnjadi pasien gangguan jiwa. Bedanya adalah bahwa tulisan para konsumen di Amerika pada umumnya bertujuan untuk merubah atau memperbaiki system kesehatan jiwa, tetapi buku Isvandiary ini lebih banyak merupakan dokumentasi dari pengalaman pribadi penulis yang pernah mendapat diagnosa sebagai penderita schizophrenia. Mantan penderita schizophrenia yang lain yang menulis beberapa buku adalah Bachril Hidayat Lubis yang menulis buku Trilogi Gilakah Aku?. Buku pertama berjudul Aku Sadar Aku Gila (Lubis, 2007). Buku ini menggambarkan proses kesembuhan penulis dari gangguan skizofrenik paranoid yang dideritanya. Beberapa RSJ telah menerapkan kegiatan family gathering dimana keluarga diberi psikoedukasi mengenai gangguan jiwa, penyebab dan terapinya. Dalam kesempatan ini keluarga juga mendapatkan kesempatan untuk berbagi pengalaman. Bahkan di Indonesia telah muncul sebuah organisasi yang diberi nama Yayasan Skizofrenia Indonesia (YSI) yang berdiri
sejak
tahun
2000
(http://yayasan-skizofrenia.grouply.com/).
Dengan moto 'Wadah untuk Memberdayakan dan Berkomunikasi Penderita Skizofrenia dengan Masyarakat' 4. Komunitas Kesehatan Jiwa di Indonesia Komunitas Sehat Jiwa (KSJ) yang berdiri tahun 31 Oktober 2009, berupaya untuk ikut aktif dalam memberi dukungan bagi ODMK dan keluarganya. Dua hal utama yang menjadi action KSJ dalam membantu meningkatkan derajat kesehatan jiwa masyarakat yakni kunjungan pasien dan keluarga dan bantuan layanan dan sumber daya pengobatan. Kegiatan 34
Kunjungan Pasien dan Keluarga (Home Visit) ditujukan untuk membantu memberikan edukasi kesehatan jiwa, membimbing pasien dalam meminum obat secara benar berdasarkan resep dokter, dan membantu pasien
dalam
berlatih
aktifitas
sehar-hari
(komunitassehatjiwa.blogspot.com, akses 6 April 2010).
35
BAB III PENUTUP Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, penulis dapat menarik kesimpulan dan memberikan saran-saran yang dijabarkan sebagai berikut : A. Kesimpulan a. Asuhan keperawatan berbasis komunitas (Community Base Care) merupakan salah satu pendekatan pelayanan keperawatan kepada pasien yang dilakukan di puskesmas dan/atau di rumahnya (home visit) oleh perawat Puskesmas dibantu keluarganya. Fokus pelayanan keperawatan jiwa berbasis komunitas (community based care) memberikan penekanan pada upaya preventif, promotif dan rehabilitative. Merujuk hasil riset yang dilakukan di DKI Jakarta tentang community base dapat disimpulkan cukup efektif dalam menangani masalah gangguan jiwa, sedangkan bukti efektifitas di Provinsi Aceh, pada tahun 2011 Pemda Aceh sudah menyatakan Aceh bebas pasung. b. Dalam pelayanan kesehatan jiwa komunitas, perawat mempunyai peran sebagai pemberi asuhan keperawatan secara langsung (practitioner), educator, serta berperan dalam penemuan kasus dan melakukan rujukan. c. Ada tiga Puskesmas di Indonesia yang menjadikan kesehatan jiwa sebagai program prioritas yakni Puskesmas di Kabupaten Bireun (Aceh), Sindang Barang (Bogor), dan Tebet (Jakarta Selatan) yang fasilitas pelayanan kesehatan jiwanya mendapat bantuan dari unit pelayanan lain yaitu dari pemerintah, swasta, atau sukarela serta penatalaksanaan gangguan jiwa yang sudah terstruktur dengan baik. Sedangkan, dari beberapa sample Puskesmas di Bali, sudah ada 32 Puskesmas yang menerapkan pelayanan Community Base
36
B. Saran a. Bagi Perawat Seluruh perawat agar meningkatkan pemahamannya terhadap berbagai trend dan isu keperawatan jiwa di Indonesia sehingga dapat dikembangkan dalam tatanan layanan keperawatan. b. Bagi Penyedia Layanan Puskesmas sebagai sarana pelayanan kesehatan jiwa ditingkat dasar perlu dipersiapkan dengan melatih tenaga perawat agar mampu memberikan pelayanan gangguan jiwa berbasis komunitas di wilayah kerjanya masingmasing. c. Bagi keluarga Keluarga hendaknya selalu terlibat dalam kegiatan apapun yang menyangkut kepentingan anggota keluarga, baik yang menderita penyakit maupun yang ingin meningkatkan kesehatan, karena keluarga merupakan komunitas yang paling dekat dengan individu itu sendiri. d. Bagi Masyarakat Masyarakat hendaknya memaksimalkan peran puskesmas sebagai unit pelayanan pertama dan terdekat dalam melakukan pengobatan bagi pasien yang mengalami gangguan jiwa. Serta keluarga hendaknya mengetahui perannya serta ikut berpartisipasi dalam pengobatan pasien.
37