BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pada dasarnya, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lahir sebagai bentuk respon dari sebuah kondisi atau permasalahan yang terjadi dalam masyarakat, dimana hal ini dilakukan secara sukarela untuk menumbuhkan kesadaran dan kemandirian yang pada akhirnya bertujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat. LSM bergerak dalam bidang kegiatan tertentu yang ditetapkan dan dipilih oleh lembaga itu sendiri. Kemunculan LSM pada bidang HIV/AIDS dikarenakan adanya kepedulian terhadap masalah HIV/AIDS yang terjadi saat ini. HIV/AIDS, sebuah isu internasional yang masih menjadi permasalahan di setiap negara, dimana kematian menjadi ancaman akhir dari penderitanya. Di Indonesia, pertama kali ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) ditemukan pada tahun 1987 di Bali. Seiring berjalan waktu, kasus ODHA semakin meningkat setiap tahunnya. Jumlah kasus ODHA menurut Kementerian Kesehatan Indonesia sampai bulan September 2014 mencapai 206.084 penderita. Setiap tahun selalu ditemukan kasus baru penderita HIV/AIDS di Indonesia, dimana hal ini tentu saja mempercepat laju pertambahan jumlah penderita HIV/AIDS dan angka kematian ODHA. Indonesia Partnership Fund For HIV and AIDS menjelaskan bahwa, prevalensi HIV/AIDS di Indonesia mencapai 0,16% dari populasi penduduk. Hal ini menjadikan Indonesia termasuk dalam negara epidemik HIV/AIDS dan salah satu negara dengan resiko pertumbuhan HIV/AIDS tercepat di Asia. Pada tahun 2015 diperkirakan jumlah ODHA akan mencapai 1 juta penderita dengan kematian 350 ribu di tahun yang sama. Penanggulangan HIV/AIDS menjadi hal penting yang harus dilakukan dalam menghadapi masalah ini. Tidak hanya pemerintah saja yang bergerak namun kelompok masyarakat juga memiliki andil besar dalam menanggulangi HIV/AIDS. Strategi Penanggulangan HIV/AIDS mengungkapkan bahwa sejak tahun 2002, jumlah LSM yang memiliki kepedulian terhadap HIV/AIDS mengalami peningkatan dan tumbuh
hampir diseluruh provinsi di Indonesia. Sampai tahun 2015, berdasarkan data Komisi Penanggulangan AIDS Indonesia terdapat 391 LSM atau organisasi terkait bidang HIV/AIDS yang tersebar di 30 provinsi. LSM memiliki peranan yang penting untuk memberikan edukasi mengenai HIV/AIDS kepada masyarakat. Selain itu, LSM juga berperan dalam pendampingan terhadap pasien HIV/AIDS, bertugas sebagai “jembatan” untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dengan penyedia layanan. Memang dalam menangani masalah HIV/AIDS, setiap LSM memiliki kegiatan atau programnya masing-masing. LSM umumnya berkegiatan dibidang konseling, KIE (Komunikasi, Informasi, Edukasi), pendidikan, pelatihan, pengobatan, pendampingan, dan perawatan. Pada permasalahan HIV/AIDS, LSM merupakan ujung tombak dalam penjangkauan populasi kunci1 sebagai pengakses layanan (Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, 2003: 24). Waria termasuk dalam populasi kunci dari kelompok masyarakat yang rawan terjangkit HIV/AIDS. Yayasan Riset AIDS Amerika, AMFAR menyimpulkan bahwa laki-laki yang melakukan hubungan seks dengan laki-laki memiliki resiko 19 kali lebih besar tertular HIV dibandingkan masyarakat umum (Rezal,dkk, 2012: 9). Hawari (2010) dalam bukunya Faktor Penyebab HIV/AIDS mengungkapkan beberapa penyebab waria mudah terserang HIV adalah migrasi dan mobilitas yang tinggi, seringnya waria berpindah lokalisasi, stigma dan dikriminasi, ekploitasi dan kekerasan, dan akses terbatas terhadap pelayanan kesehatan bagi kaum waria. Hal ini juga dikarenakan aktivitas keseharian yang melekat pada diri mereka, dimana waria cenderung bekerja sebagai pekerja seks dan sering berganti pasangan seks, melakukan hubungan seks secara anal dan oral.
1
Populasi kunci adalah (1) Orang-orang berisiko tertular atau rawan tertular karena perilaku seksual berisiko yang tidak terlindung, bertukar alat suntik tidak steril;(2) Orang-orang yang rentan adalah orang yang karena pekerjaan, lingkungannya rentan terhadap penularan HIV, seperti buruh migran, pengungsi, dan kalangan muda berisiko; dan (3) ODHA adalah orang yang sudah terinfeksi HIV (Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, 2010: xii)
Dalam penelitian Ignatius (2011) memaparkan fakta bahwa, hubungan seksual tidak aman oleh kaum waria di Yogyakarta, dilakukan dengan berbeda pasangan mulai dari 2 hingga 140 pasangan yang berbeda. Fakta ini dapat disimpulkan satu orang waria dalam sekali waktu yang sama dapat memiliki pasangan lebih dari satu. Kerentanan
waria
terkena
HIV/AIDS
karena
rendahnya
kesadaran
menggunakan alat kontrasepsi ketika berhubungan seksual. Walaupun pada sebagian waria sudah tampak kesadaran menggunakan kondom saat berhubungan seks, namun ada beragam alasan bagi mereka untuk sewaktu-waktu tidak menggunakan alat kontrasepsi tersebut. Penolakan pelanggan untuk menggunakan jasa mereka ketika menggunakan kondom saat berhubungan seks menjadi salah satu alasan bagi waria yang sebagian besar bekerja sebagai penjaja seks untuk “pasrah” mengabaikan penggunaan kondom. Selain itu, diketahui masih banyak ditemui kondom yang baru dipakai tidak terikat, dimana menjelaskan penggunaan kondom pada waria masih belum tepat. Yang sangat menyedihkan adalah keengganan waria menggunakan kondom disebabkan karena ketidakpedulian tentang status HIV dan efeknya kepada orang lain. Bahkan terdapat pada beberapa waria yang telah positif HIV, sengaja tidak menggunakan kondom untuk menularkan penyakit ini kepada pasangan seksnya. Paparan ini membuktikan bahwa, penggunakan kondom dikalangan waria masih minim (LSM Kebaya, 2014). Dalam menghadapi masalah ini, pihak pemerintah yang seharusnya memiliki peranan yang besar justru dirasa masih kurang memberikan perhatian terhadap masalah waria (Vinolia Wakijo, Pimpinan LSM Kebaya, Wawancara 2015). Komisi Penanggulangan AIDS D.I Yogyakarta pun dalam upaya menghadapi AIDS hanya bertindak sebagai pihak koordinator dan fasilitator bagi LSM ataupun organisasi peduli HIV/AIDS. Tidak ada upaya ataupun program khusus yang dilakukan untuk menanggulangi HIV/AIDS pada kaum waria. LSM-lah yang memiliki dan menjalankan program untuk menanggulangi HIV/AIDS pada populasi kunci, termasuk waria (Iriyani, Pengelola Program KPA D.I Yogyakarta, Wawancara 2015).
Tidak hanya pemerintah saja, masyarakat umum pun dirasa kurang memberikan perhatian terhadap masalah yang dihadapi oleh waria. Bahkan masyarakat cenderung bersikap kasar pada kaum waria karena dianggap menyimpang dari nilai dan norma sosial yang ada. Persamaan hak yang masih sangat kurang bagi mereka adalah penyebab jarangnya pembelaan dan kepedulian pada masalah yang dihadapi oleh kaum waria, khususnya isu HIV/AIDS yang mendapatkan stigma negatif di Indonesia (Vinolia Wakijo, Pimpinan LSM Kebaya, Wawancara 2015). LSM Kebaya (Keluarga Besar Waria Yogyakarta) menjadi salah satu dari tiga lembaga swadaya masyarakat yang peduli terhadap masalah kaum waria. Vinolia Wakijo atau lebih dikenal dengan Mami Vin adalah seorang waria, melihat keadaan teman-teman waria dan kurangnya perhatian masyarakat umum menjadi alasan utama baginya untuk mendirikan sebuah LSM yang berfokus terhadap masalah HIV/AIDS di D.I Yogyakarta. LSM tersebut bergerak untuk menanggulangi masalah HIV/AIDS dikalangan waria. LSM Kebaya lahir pada tanggal 18 Desember 2006 yang dibantu oleh UNAIDS-Badan PBB yang bekerja dibidang penanggulangan HIV/AIDS. LSM ini telah melakukan kerjasama dengan tiga lembaga global yang berfokus pada permasalahan HIV/AIDS, yakni UNAIDS (United Nations Programme on HIV/AIDS), Hivos Foundation, dan Global Fund. Di D.I Yogyakarta sendiri, ODHA masih mengalami pertambahan, dimana pada tahun 2012 terdapat 1.941 penderita, tahun 2013 sebanyak 2.422 penderita, dan di tahun 2014 sebanyak 2.933 ODHA. Data KPA D.I Yogyakarta juga mengungkapkan bahwa, laki-laki adalah pengidap penyakit HIV/AIDS terbanyak dalam tahun 2012, 2013, dan 2014, dengan jumlah penderita yang mengalami peningkatan di setiap tahunnya, yaitu 1231, 1559, dan 1920 di tahun 2014. (Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi D.I Yogyakarta, 2014) Dalam data kasus HIV/AIDS, waria termasuk dalam golongan jenis kelamin laki-laki dan jumlah waria menurut database LSM Kebaya tahun 2014 sedikitnya terdapat 412 waria di D.I Yogyakarta.
Tindakan preventif atau pencegahan adalah solusi terbaik untuk mengurangi laju pertambahan jumlah ODHA. Dalam upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS dikalangan waria, komunikasi merupakan salah satu upaya dasar yang penting dilakukan untuk menyampaikan pesan yang diinginkan kepada waria sebagai sasaran khalayak. Kampanye menjadi proses kegiatan komunikasi yang dilakukan LSM Kebaya dalam menanggulangi HIV/AIDS. Selama 8 tahun LSM Kebaya telah melakukan beragam program kampanye untuk mencegah HIV/AIDS, dan menjadi satu-satunya LSM yang menyasar waria dalam penanggulangan HIV/AIDS. Latar belakang dari Mami Vinolia sebagai pimpinan LSM Kebaya sejak tahun 1993 memperjuangkan hak-hak waria dan membantu kebutuhan waria yang terinfeksi HIV/AIDS, juga merupakan faktor pendorong dari eksistensinya peran LSM Kebaya.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, maka yang menjadi rumusan masalah dari penelitian ini adalah: Bagaimana
manajemen
Kampanye
Pencegahan
dan
Penanggulangan
HIV/AIDS oleh LSM Kebaya di kalangan waria D.I Yogyakarta?
C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mendeskripsikan manajemen kampanye LSM dalam penyampaian pesan kepada khalayaknya, khususnya kaum waria. 2. Untuk
mengetahui
pengelolaan
kampanye
tentang
pencegahan
dan
penanggulangan HIV/AIDS yang dilakukan oleh LSM dengan waria sebagai sasaran khalayaknya.
D. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai bahan pembelajaran atau referensi bagi pihak yang memerlukan informasi mengenai pengelolaan kampanye LSM untuk menyampaikan sebuah pesan, khususnya pencegahan dan penanggulangan HIV/ AIDS kepada kaum waria.
E. Kerangka Teori a. Kampanye Masyarakat umum sering berpikir bahwa yang disebut kampanye adalah kegiatan para calon legislatif ataupun presiden ketika sedang mencari dukungan atau kampanye disama artikan dengan pawai di jalan. Padahal nyatanya kampanye tidaklah sesederhana itu. Kampanye seringkali dilakukan untuk memengaruhi dan menciptakan perubahan pola pikir atau perilaku seseorang mengenai suatu hal, dimana untuk mencapai keberhasilan dalam kampanye dibutuhkan perencanaan dan manajemen yang efektif. Kampanye merupakan suatu proses kegiatan komunikasi individu atau kelompok yang dilakukan secara terlembaga dan bertujuan untuk menciptakan efek atau dampak tertentu, dimana hal ini menjadikan kampanye termasuk dalam metode komunikasi persuasif karena berkaitan dengan upaya memengaruhi sasaran khalayaknya. Menurut Rogers dan Storey, kampanye adalah serangkaian tindakan komunikasi yang terencana dengan tujuan untuk menciptakan efek tertentu pada sejumlah besar khalayak yang dilakukan secara berkelanjutan dalam kurun waktu tertentu. Berdasarkan pengertian tersebut, maka ada 4 hal yang harus ada dalam kampanye komunikasi, yaitu (1) tindakan kampanye yang ditujukan untuk menciptakan efek atau dampak tertentu (2) jumlah khalayak sasaran yang besar (3) biasanya dipusatkan dalam kurun waktu tertentu dan (4) melalui serangkaian tindakan komunikasi yang terorganisasi (Venus, 2012: 7). Setiap kegiatan pasti memiliki tujuan untuk dicapai, demikian dengan sebuah kampanye. Tujuan memengaruhi efektif dan tidaknya sebuah
kampanye. Sehingga, tujuan yang jelas dan spesifik menjadi keharusan yang dimiliki oleh kampanye. Gregory (2004: 78) dalam bukunya Perencanaan dan Manajemen Kampanye Public Relations menyatakan terdapat 3 tujuan kampanye. Pertama, kesadaran (awareness)-tujuan kognitif, membuat publik sasaran berpikir tentang suatu hal dan mencoba memperkenalkan suatu tingkat pemahaman tertentu. Kedua, sikap dan opini (attitudes and opinion)-tujuan afektif, membuat publik sasaran membentuk suatu sikap atau opini tertentu tentang suatu objek. Ketiga, perilaku (behavior)-tujuan konatif, membuat publik sasaran bertindak sesuai dengan yang diinginkan. Hal ini sesuai dengan pemikiran Pfau dan Parrot (1993, dalam Venus 2012: 10) yang menyebutkan tujuan kampanye selalu berkaitan dengan aspek pengetahuan, sikap, dan perilaku. Pemikiran ini semakin diperkuat dengan istilah 3A yang dimiliki oleh Ostergaard (2002, dalam Venus 2012: 10) untuk menjelaskan aspek kampanye, yakni awareness, attitude, dan action. Tujuan dari sebuah kampanye dipengaruhi dengan motivasi yang melatarbelakangi sebuah kampanye dijalankan. Sehingga dapat dikatakan bahwa motivasi memiliki keterkaitan dengan tujuan, dimana bertolak dari keterkaitan tersebut Charles U. Larson membagi jenis kampanye kedalam 3 kategori. Pertama, product-oriented campaigns adalah sebuah kampanye dengan motivasi memeroleh keuntungan finansial. Kedua, candidate-oriented campaigns, kampanye yang dimotivasi oleh hasrat meraih kekuasaan politik dengan tujuan memenangkan dukungan masyarakat. Ketiga, ideologically or cause oriented campaigns, kampanye ini dilakukan dengan motivasi menangani masalah-masalah sosial melalui perubahan sikap dan perilaku publik yang terikat (Venus, 2012: 11). Selanjutnya model kampanye menjadi alat yang digunakan untuk memudahkan dalam menganalisis fenomena atau realitas yang terjadi dalam proses kegiatan sebuah kampanye.
Beberapa model kampanye yang diuraikan oleh para ahli adalah model komponensial kampanye, model kampanye ostergaard, the five functional stages development model, the communicative functions model, model kampanye Nowak dan Warneryd, dan the diffusion of innovations model (Venus, 2012: 12-13). Model komponensial kampanye adalah model yang mengambil komponen-komponen pokok yang terdapat dalam suatu proses pengiriman dan penerimaan pesan-pesan kampanye. Model kampanye Ostergaard dihasilkan dari pengalaman praktik di lapangan, dimana identifikasi masalah menjadi langkah awal dari setiap kampanye yang layak. The five functional stages development model, model kampanye yang berfokus pada tahapan kegiatan kampanye, bukan pada proses pertukaran pesan antara campaigner dan campaignee. The communicative function model adalah model kampanye yang dikontruksikan dari lingkungan politik. Model kampanye Nowak dan Warneryd menjelaskan bahwa proses kampanye dimulai dari tujuan yang hendak dicapai dan diakhiri dengan efek yang diinginkan, dimana hal tersebut dilakukan secara sistematif dan bersifat normatif untuk meningkatkan efektivitas kampanye. Elemen yang saling berhubungan adalah hal yang harus diperhatikan pada model kampanye ini. The Diffusion of Innovation Model umumnya diterapkan dalam kampanye periklanan dan kampanye yang berorientasi pada perubahan sosial (Venus, 2012: 13-25). Seperti pendapat Rogers dan Storey yang telah dijelaskan diatas bahwa kampanye sebagai kegiatan komunikasi yang terorganisir. Johnson-Cartee dan Copeland juga memiliki pendapat yang sama, dimana menyebutkan kampanye sebagai an organized behavior, yang harus direncanakan dan diterapkan secara sistematis dan berhati-hati. Berdasarkan pengertian ini, dapat disimpulkan dalam kegiatan kampanye membutuhkan sentuhan manajemen yang harus dijalankan. Manajemen kampanye sendiri adalah proses pengelolaan kegiatan kampanye secara efektif dan efisien dengan memanfaatkan seluruh sumber
daya yang ada guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Manajemen kampanye terdiri dari 3 tahapan sentral, yakni: perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Tiga tahapan diatas, bila dijelaskan dengan dua pemikiran dari Gregory (2004) dan Venus (2012), maka tahapan-tahapan dari kampanye akan meliputi: i.
Perencanaan Perencanaan menjadi alat bantu yang penting untuk bekerja secara efektif dan minimnya informasi akan menjadi hambatan untuk melakukan
perencanaan
yang
matang.
Walaupun
demikian,
perencanaan tidak bertujuan untuk mengikat gerak-gerik organisasi. Perencanaan hanya bersifat membantu untuk fokus dalam mencapai tujuan yang ditetapkan. Perencanaan dalam kampanye terdiri dari beberapa tahapan berikut ini: 1. Analisis masalah Dasar dalam menyusun perencanaan kampanye adalah analisis masalah. Permasalahan yang sebenarnya dihadapi oleh sasaran kegiatan komunikasi dapat ditemukan setelah melakukan analisis yang benar terlebih dahulu. Identifikasi masalah akan menjadi jelas bila dilakukan secara terstruktur, dimana terdapat 2 teknik dalam menganalisis masalah, yakni SWOT ((Strenght, Weaknesses, Opportunity, and Threats) dan PEST (Political, Economic, Social, and Technology), Analisis SWOT diterapkan dengan mengelompokan faktorfaktor yang ada, yakni dua elemen pertama strenght dan oportunities dikelompokan sebagai pertimbangan-pertimbangan politik yang mendukung terlaksananya program kampanye, sedangkan weaknesses dan threats dikelompokkan pada kondisikondisi negatif yang harus dihadapi kampanye.
Analisis PEST membagi lingkungan dalam empat area yang secara keseluruhan hampir memengaruhi sebuah kampanye, yakni (1)Politik
mencakup
tentang
peraturan
pemerintah
yang
berhubungan dengan program dan pesan kampanye; (2)Ekonomi berkaitan dnegan kondisi nilai tukar mata uang, inflasi, keadaan ekonomi dunia, serta harga dari sumber daya; (3)Sosial meliputi gaya hidup, tingkat pendidikan, pola hidup, perilaku sosial, dan perkembangan populasi; dan (4)Teknologi berhubungan dengan berbagai perubahan teknologi yang berkaitan dengan program kampanye. Data-data yang dibutuhkan untuk teknik analisis diatas dapat diambil dari beberapa informasi media, focus group discussions, wawancara langsung, angket dan wawancara kelompok. 2. Tujuan Tujuan utama dari kampanye adalah memengaruhi sikap dan perilaku publik atau khalayak. Tiga tujuan kampanye adalah kesadaran (awareness), sikap dan opini (attitudes and opinion), dan perilaku (behavior). Pertama, kesadaran, membuat publik sasaran berpikir tentang suatu hal dan mencoba memperkenalkan suatu tingkat pemahaman tertentu. Kedua, sikap dan opini, membuat publik sasaran untuk membentuk suatu sikap atau opini tertentu tentang suatu objek. Ketiga, perilaku, membuat publik sasaran untuk bertindak sesuai dengan yang diinginkan. Delapan aturan kunci penetapan tujuan kampanye, yaitu sejalan dengan tujuan organisasi, menetapkan tujuan kampanye bukan tujuan organisasi, susun dengan tepat dan spesifik, menetapkan tujuan yang memungkinkan untuk dicapai, buatlah tujuan yang dapat diukur, pertimbangkan skala waktu, pertimbangkan anggaran, susun tujuan berdasarkan skala prioritas.
3. Publik (Khalayak) Publik atau khalayak merupakan sasaran atau orang dari pesan yang disampaikan oleh komunikator, dimana khalayak yang akan menerima dan mengintepretasikan pesan tersebut. Khalayak memiliki kecenderungan bersifat aktif sehingga dapat memengaruhi tercapainya tujuan komunikasi. Dengan mengidentifikasi publik yang ingin disasar, maka kita akan menjadi mudah untuk mengetahui apa yang harus dikatakan dan cara yang tepat untuk menyampaikan sebuah pesan. James Grunig (dalam Gregory: 2004), membagi publik atau khalayak dalam empat jenis, yakni (1)nonpublik adalah kelompok yang tidak terpengaruh dan memengaruhi kampanye; (2)latent public dalah kelompok yang menghadapi masalah yang berkaitan dengan isu kampanye tetapi tidak menyadari; (3)aware public adalah kelompok yang menyadari bahwa permasalahan itu ada; (4)kelompok yang mau bertindak sehubungan dengan permasalahan dari isu kampanye. 4. Pesan Pesan kampanye menjadi sarana yang akan membawa sasaran mengikuti apa yang diinginkan dari program kampanye, yang pada akhirnya akan sampai pada pencapaian tujuan kampanye. Sehingga agar kampanye dapat berhasil, pesan harus disusun berdasarkan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya (Venus, 2012: 150). Arifin (1994) menjelaskan ada dua aspek dalam penyampaian pesan:
1. Metode Pelaksanaannya a) Canalizing, memahami dan meneliti pengaruh kelompok terhadap individu dan khalayak.
b) Redudancy/repetition, mengulang-ulang pesan yang disampaikan
dengan
harapan
khalayak
lebih
memerhatikan dan mengingat pesan. 2. Bentuk Isinya: a) Informatif,
memengaruhi
khalayak
dengan
cara
khalayak
dengan
cara
memberikan penerangan. b) Persuasif,
memengaruhi
membujuk. c) Edukatif,
memengaruhi
khalayak
dalam
bentuk
pendapat, fakta, dan pengalaman. d) Koersif, memengaruhi khalayak dengan cara memaksa dan intimidasi. 5. Strategi Strategi adalah pendekatan keseluruhan untuk suatu program atau kampanye. Tahap ini menjadi faktor pengkoordinasi, prinsip yang menjadi penuntun, ide utama, dan pemikiran dibalik program taktis. Strategi merupakan fondasi program taktis (Gregory, 2004: 98-99). 6. Taktik Taktik merupakan program atau kegiatan yang akan dilakukan atau digunakan, dimana hal ini disusun setelah menetapkan strategi kampanye. 7. Skala waktu Batas waktu atau deadline dari taktik yang dilakukan dalam kampanye merupakan skala waktu. Teknik yang dapat digunakan untuk perencanaan waktu adalah Critical Path Analysis (CPA) atau analisis jalur kritis, dimana menganalisis semua komponen pelaksanaan yang terdapat dalam sebuah program secara mendetail yang ditulis dalam satu garis mulai dari hari kehari sampai kehari
pelaksanaan. CPA baik untuk menjelaskan satu per satu program kampanye. Namun, kita juga dapat menyusun timeline kampanye dengan menulis program secara per tahun, per semester, atau per bulan. 8. Sumber daya Tiga sumber daya kampanye adalah sumber daya yang digunakan jasanya dalam mendukung kampanye harus dihitung besarnya kemampuan dan usaha yang dikeluarkan, operasional berkaitan dengan dana kampanye yang harus efektif dan efisien, dan peralatan pada saat kampanye berlangsung. 9. Merencanakan evaluasi Evaluasi ditahap perencanaan dilakukan untuk mengetahui efektivitas dari tahapan-tahapan perencanaan yang kita lakukan sebelumnya. 10. Merencanakan review Tahap ini berlaku untuk program dengan jangka waktu yang panjang. Hal ini dilakukan dengan meninjau perkembangan program setiap tahunnya.
ii.
Implementasi Pelaksanaan dari seluruh perencanaan kampanye yang telah dirancangkan sebelumnya, walaupun pada dasarnya tidak selalu apa yang telah dirancangkan akan dapat seluruhnya sama dengan pelaksanaannya dilapangan. Pelaksanaan kampanye dimulai ketika menerapkan tahapan perencanaan. Beberapa hal yang harus dilakukan dalam tahap pelaksanaan adalah 1. Realisasi unsur-unsur kampanye
Tahap ini terdiri dari 4 unsur. Pertama, perekrutan dan pelatihan personel kampanye adalah penentuan dari calon anggota yang akan terlibat dalam pelaksanaan kampanye, dimana akan ditetapkan sebagai sukarelawan atau staf professional yang akan mendapat bayaran. Tahapan ini memperhatikan aspek motivasi, komitmen, kemampuan bekerjasama, dan pengalaman calon anggota. Kedua, mengonstruksi pesan dimana pesan yang disusun seharusnya memperhatikan kesederhanaan, kedekatan dengan situasi khalayak sasaran, kejelasan, keringkasan, kebaruan, kosistensi, kesopanan, dan kesesuaian dengan objek kampanye. Ketiga,
penetapan
penyampai
kampanye
dengan
memperhatikan kesesuaiana antara tokoh dan objek kampanye, media yang digunakan, dan kredibilitas penyampai kampanye dimata khalayak. Keempat, menyeleksi saluran kampanye (media) dengan mempertimbangkan jangkauan media, tipe dan ukuran besarnya jumlah khalayak, biaya, waktu, dan tujuan. Selain itu dapat juga memperhatikan
karakteristik
khalayak
secara
demografis,
psikografis, geografis, serta melihat pola penggunaan media dari khalayak kampanye. 2. Menguji coba rencana kampanye Uji coba rencana kampanye akan menentukan apakan rencana kampanye akan memberikan hasil yang diharapkan atau tidak. Melalui tahap ini, kita dapat memeroleh respon awal sebagian khalayak sasaran terhadap pesan-pesan kampanye. Walaupun demikian uji coba rencana kampanye tidak dilakukan pada semua aspek dalam tahapan perencanaan (Venus, 2012: 204-205). 3. Pemantauan pelaksanaan
Tindakan kampanye bukanlah tindakan yang kaku dan parsial tetapi bersifat adaptif, antisipatif, integratif, dan berorientasi pada pemecahan
masalah.
melaksanakan
Pemantauan
pertemuan
staf
dapat
untuk
dilakukan
memeroleh
dengan feedback,
pengamatan operasional kampanye, membuat progress report, dan melakukan sesi wawancara (Venus, 2012:205- 207). 4. Pembuatan laporan kemajuan Unsur ini menjadi unsur terakhir dalam tahap pelaksanaan dari manajemen kampanye. Laporan kemajuan memuat berbagai data dan fakta dari berbagai hal yang telah dilakukan selama masa kampanye (Venus, 2012: 207-208).
iii.
Evaluasi Evaluasi adalah pengukuran terhadap keberhasilan sebuah organisasi dalam menyebarkan pesan-pesan yang direncanakan kepada publik yang ditargetkan, melalui kegiatan komunikasi yang spesifik untuk mencapai suatu hubungan yang telah ditetapkan. Evaluasi menjadi satu-satunya jalan untuk mengetahui keberhasilan, kegagalan, dan pencapaian dari tujuan sebuah strategi atau kegiatan yang telah dilakukan (Putra,2008: 8.4). Empat level atau tingkatan dari evaluasi kampanye yang dikategorikan oleh Ostegaard adalah tingkatan kampanye (campaign level), tingkatan sikap (attitude level), tingkatan perilaku (behavior level), tingkatan masalah (problem level) (Venus, 2012: 213). Selain itu, jenis evaluasi dapat dibagi menjadi 4 yaitu: (1) Evaluasi Fomatik, untuk mengukur kekuatan dan kelemahaan bahan, serta strategi kampanye sebelum atau selama pelaksaan kampanye; (2) Evaluasi Proses untuk mengukur efek dan hasil langsung kampanye dan untuk meneliti prlaksanaan kampanye serta sejauh mana keberhasilan
kegiaatan; (3) Evaluasi Efek untuk mengukur efek dan perubahan yang timbul dari kampanye dengan menilai hasil pada populasi sasaran atau komunitas yang terjadi sebagai akibat dari strategi dan kegiatan kampanye; (4) Evaluasi Dampak untuk mengukur perubahaan pada tingkat komunitas atau hasil jangka lama yang tercapai sebagai akibat efek keseluruhan kampanye pada perilaku individu (Venus, 2012: viiiix).
b. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Kemunculan LSM di Indonesia terjadi pada awal abad ke-20, dimana saat itu LSM hadir sebagai bentuk kebangkitan dari kesadaran masyarakat akan masalah kemiskinan dan ketidakadilan sosial yang terjadi. LSM semakin mengalami perkembangan pada tahun 1980-an ketika masyarakat menyadari pentingnya partisipasi mereka dalam pembangunan sosial ekonomi negara. Awalnya LSM dikenal dengan sebutan Ornop (Organisasi Non Pemerintah yang diadopsi secara langsung dari terjemahan Internasional, yaitu Non-Governmental Organization atau NGO. Masyarakat menganggap bahwa, LSM adalah suatu lembaga swadaya yang bekerja untuk pembangunan masyarakat kecil yang tertindas, miskin, dan terpinggirkan. Padahal sering didapati masyarakat tidak dapat mengidentifikasi sebuah gerakan atau kegiatan yang berasal dari LSM atau bukan. Kata “swadaya” dalam istilah LSM terkadang juga dirasa tidak sesuai dengan realitias, dimana umumnya LSM sangat bergantung pada bantuan dari luar. Sedangkan pemerintah sering beranggapan LSM sebagai organisasi yang selalau beroposisi dengan pemerintah. Namun pada perkembangannya banyak LSM menjadi mitra pemerintah (SMERU, 2000: i). Menurut Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 1990 Tentang Pembinaan Lembaga Swadaya Masyarakat, LSM adalah organisasi/lembaga yang dibentuk oleh anggota masyarakat Warga Negara Republik Indonesia
secara sukarela atas kehendak sendiri dan berminat serta bergerak dibidang kegiatan tertentu yang ditetapkan oleh organisasi/lembaga sebagai wujud partisipasi masyarakat dalam upaya meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat, yang menitikberatkan kepada pengabdian secara swadaya. Roem
Topatimasang-seorang
aktivis
senior
di
Indonesia-
mengemukakan bahwa dilihat dari sudut orientasi, LSM di Indonesia dapat dibagi dalam 5 kelompok paradigma, yaitu paradigma kesejahteraan, paradigma modernisasi, paradigma reformasi, paradigma liberal, dan paradigma transformasi (Budiardjo, 2008: 390). LSM penganut paradigma kesejahteraan adalah mereka yang berpendapat bahwa kekuatan yang berada diluar kendali manusia-seperti nasib atau takdir dan bencana alam-sebagai penyebab dari kemiskinan dan keterbelakangan manusia. Tujuan LSM seperti ini yakni, menolong mengurangi penderitaan kaum yang mereka bela melalui kegiatan berbentuk derma, sedekah, atau santunan. LSM ini cenderung bersifat toleran dan mempertahankan status quo dan selalu berusaha membantu pemerintah, menghindari konflik, dan pandangan politik konservatif (Budiardjo, 2008: 390). LSM penganut paradigma modernisasi memandang keterbelakangan ataupun kemiskinan disebabkan oleh rendahnya pendidikan, penghasilan, keterampilan, dan juga kesehatan, khususnya gizi. Sehingga tujuan kegiatan mereka adalah untuk memperbanyak prasarana atau meningkatkan pendapatan. LSM ini cenderung memiliki tertib administratif, formal, dan masih bersifat birokrasi namun mengarah pada modernisasi. Pandangan politik bersifat konservatif, melakukan perubahan secara fungsional, dan mendukung pemerintah (Budiardjo, 2008: 390). LSM penganut paradigma reformasi berkeyakinan bahwa sumber dari masalah-masalah sosial adalah lemahnya pendidikan, korupsi, mismanajemen,
dan inefisiensi. Kegiatan LSM ini berfokus pada memperbanyak tenaga professional, perbaikan peraturan, dan perundang-undangan, perbelakuan sanksi yang berat terhadap pelanggar hukum. Sehingga tujuan mereka adalah untuk memperkuat pengawasan, memperbaiki manajemen pelayanan umum, dan meningkatkan disiplin hukum. Pandangan LSM ini masih menganut pendekatan fungsional dan cenderung menghindari konflik. (Budiardjo, 2008: 390-391). LSM
dengan paradigma liberal
berpandangan
bahwa segala
keterbelakangan disebabkan oleh adanya penindasan, eksploitasi, dan pembodohan rakyat. Kegiatan LSM seperti ini adalah pendidikan politik populer, pencetakan kader gerakan, mobilisasi aksi, atau kampanye pembentukan opini publik. Mereka bersifat populis, militan kerja tim, berdisiplin ketat, radikal, menuntut otonomi mutlak berada ditangan rakyat. Tujuannya adalah menginginkan perubahan yang bersifat structural (Budiardjo, 2008: 391). LSM
pemeluk
paradigma
transformasi
menganggap
sumber
keterbelakangan dan kemiskinan adalah ketidakadilan tatanan sosial, ekonomi, dan politik. Bertujuan menciptakan tatanan baru yang lebih adil. Kegiatan yang dilakukan umumnya adalah penyadaran politik, pengorganisasian rakyat, mobilisasi aksi, dan membangun jaringan advokasi. Sifat mereka hampir sama dengan LSM liberal, mereka juga tidak segan untuk berkonflik (Budiardjo, 2008: 391). Memang terdapat perbedaan antara LSM yang satu dengan yang lain, tetapi pada dasarnya setiap LSM memiliki kesamaan, yakni sebuah organisasi non-profit yang bertujuan untuk membantu sesama masyararakat, menciptakan perubahan sosial yang lebih baik dari hari ini dan kemarin, dan memiliki otonomi untuk mengatur organisasinya sendiri.
c. Waria sebagai Sebuah Identitas
Fenomena waria seringkali disebut dengan gejala abnormalitas seksual yang pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari unsur-unsur kehidupan dan pengalaman seseorang. Keadaan abnormalitas seseorang, apapun bentuknya, tidak dapat dipisahkan dari proses perkembangan manusia: sejak berada dalam kandungan, lahir, dan dibesarkan dalam kehidupan dunia (Nadia, 2005: 197). Koeswinarno (2004) mengartikan waria atau wanita tapi pria adalah istilah bagi laki-laki yang terperangkap pada tubuh wanita, sehingga mereka akan berbusana dan bertingkahlaku layaknya wanita. Kehadiran seorang waria sebagai sebuah kepribadian dapat terjadi karena dua proses, yakni secara individual dan sosial. Secara individual, waria lahir disebabkan adanya dorongan yang kuat dalam pribadi seseorang mengenai fisik yang tidak sesuai dengan kondisi psikis. Sehingga mereka akan berperilaku jauh berbeda dari laki-laki normal tetapi tidak juga sebagai perempuan normal. Hal ini bukan karena persoalan perilaku yang tidak wajar, namun merupakan dorongan seksual dan membutuhkan penyaluran (Kartono, 1989, dalam Koeswinarno 2004: 3). Sebuah identitas terbentuk tidak hanya secara individual tetapi juga secara sosial, yakni ketika perilaku seseorang dipresentasikan secara sosial. Maksudnya adalah saat laki-laki berperilaku seperti perempuan, maka umumnya masyarakat akan menyebut dia banci, walaupun sebenarnya dunia banci tidak sesederhana itu (Koeswinarno, 2004: 5). Seseorang dikatakan waria ketika, ia adanya keinginan yang kuat untuk mempresentasikan diri sebagai perempuan, dimana hal ini diikuti dengan tindakan manifestasi yang nyata dalam perubahan dirinya sehari-hari, misalnya hal yang paling sederhana adalah penggunaan lipstick, rok, dan atribut perempuan lainnya. Menjadi waria bukanlah hanya sebatas bertindak selayaknya perempuan tetapi juga bermakna keinginan untuk menjadi bagian dari ruang sosial yang dipandang sama, seperti masyarakat memandang perempuan dan laki-laki pada umumnya.
Identitas waria atau fenomena waria sampai saat ini masih menimbulkan konflik dimasyarakat. Hal tersebut tidak hanya terjadi karena perilaku seksual mereka yang menyimpang, namun juga perilaku waria yang telah dikontruksikan secara negatif oleh masyarakat, cenderung memberikan kondisi tidak nyaman untuk menerima keberadaan waria disekitar mereka. Citra pelacur yang melekat dalam dunia waria, perilaku “laki-laki dengan dandanan perempuan” menjadi bagian penting bagaimana seorang waria dikonstruksikan oleh masyarakat sebagai perilaku menyimpang, dimana perilaku penyimpangan kaum waria melahirkan praktik relasi seksual sejenis yang belum sepenuhnya dapat diterima sebagaimana relasi heteroseksual (Koeswinarno, 2004: 148). Waria memiliki kehidupan yang berbeda dengan homoseksual. Kaum Homoseksual umumnya tidak mengalami hambatan sosial yang berarti dalam pergaulan dan perilaku karena mereka tidak mengalami krisis identitas Hal ini dapat terlihat dari cukup banyaknya kaum homoseksual yang menempati posisi penting diberbagai profesi. Sulitnya mengidentifikasi kaum homoseksual yang dalam
lingkungan
masyarakat
“berbusana”
seperti
laki-laki
normal
menyebabkan mereka leluasa untuk bergaul dan berperilaku. Berbeda dengan kaum waria, disamping menghadapi berbagai tekanan sosial, posisi mereka dalam struktur masyarakat juga kurang mendapatkan tempat (Koeswinarno, 2004: 6). Paparan diatas dapat disimpulkan bahwa perbedaan waria dengan kaum homoseksual yang sama-sama tertarik pada hubungan seksual kepada sesama laki-laki adalah kaum waria dalam kesehariannya melakukan peranan sosial sebagai perempuan, sedangkan kaum homoseksual secara fisik maupun psikis berperilaku “sesuai” dengan jenis kelamin mereka. Waria dalam konteks psikologis
termasuk sebagai
penderita
transeksual. Mereka sering disebut sebagai kaum yang terjebak dalam identitas jenis kelamin yang terganggu. Mereka lahir dengan memiliki alat kelamin laki-
laki secara sempurna, tetapi dalam proses berikutnya ada keinginan untuk menolak bahwa dirinya seorang laki-laki. Hal ini dipengaruhi oleh faktor psikis, dimana mereka merasa letak alat kelaminnya bukan pada tempatnya dan bahkan jijik terhadap kelamin mereka sendiri. Keinginan untuk menjadi perempuan pada waria tidak terletak pada cara berpakaian saja tetapi juga pada sikap, perilaku, dan penampilannya. Keinginan tersebut relatif melekat dan berlangsung dengan sangat hebat (Nadia, 2005: 38-39). Pada waria transesksual masih dibagi dalam beberapa subtipe: 1. Transeksual aseksual, seorang transeksual yang tidak berhasrat atau tidak memiliki gairah seksual yang kuat. 2. Transeksual homoseksual, seorang transeksual yang memiliki kecenderungan tertarik pada jenis kelamin yang sama sebelum ia sampai ketahap transeksual murni. 3. Transeksual heteroseksual, seorang transeksual yang pernah menjalani kehidupan heteroseksual yang pernah menjalani kehidupan heteroseksual sebelumnya, misalnya pernah menikah. 4. Transferteit, seorang transeksual yang tidak tertarik untuk melakukan pergantian kelamin tetapi berdandan seperti perempuan (Nadia, 2005: 40).
Bagan 1. Manajemen Kampanye
F. Metodologi Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian dengan pendekatan kualitatif, dimana mengemukakan pemahaman mengenai bagaimana sebuah realitas komunikasi terjadi. Sifat khas dari penelitian kualitatif terletak pada penekanan lingkungan alamiah yang berarti data diperoleh ditempat dimana penelitian ini akan dilakukan. Selain itu, penelitian kualitatif juga bersifat induktif, fleksibel, didapatkan dari pengalaman langsung, memiliki kedalaman, dan adanya partisipasi aktif dari partisipan dan penafsirannya (Raco, 2010: 56). Selanjutnya penelitian ini akan menggunakan metode studi kasus. Hal ini berangkat dari pendapat Yin yang menganggap bahwa studi kasus menjadi metode yang paling tepat digunakan untuk memahami sebuah fenomena sosial. (Yin, 2009: 2). Yin juga menjelaskankan bahwa, studi kasus adalah metode yang tepat untuk penelitian
dengan tipe pertanyaan “how” dan “why”. Hal tersebut sesuai dengan pertanyaan yang dibahas dalam rumusan masalah penelitian ini. Tipe penelitian studi kasus ini adalah deskriptif yang digunakan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan fenomena yang terjadi secara nyata pada objek yang diteliti. Dalam studi kasus ini, peneliti menggunakan desain studi kasus tunggal. Penggunaan desain studi ini memungkinkan peneliti untuk mengeksplorasi secara mendalam, namun tetap bersifat spesifik mengenai topik permasalahan yang dibahas dalam penelitian (Daymon, Holloway, 2008: 166).
1. Objek penelitian Objek dari penelitian ini adalah Kampanye Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS oleh LSM Kebaya di kalangan waria D.I Yogyakarta. Kampanye Pencegahan dan Penanggulangan HIV AIDS ini menarik untuk dibahas dinilai dari: Pertama, khalayak sasaran utama kampanye,
yakni
waria,
dimana
menjadi
satu-satunya
kampanye
penanggulangan HIV/AIDS di D.I Yogyakarta yang menyasar waria dan telah berjalan selama 8 tahun.
2. Lokasi penelitian Penelitian ini akan dilakukan di LSM Kebaya- Keluarga Besar Waria Yogyakarta-yang beralamat di Jl. Gowongan Lor No. 148 Rt. 11/02, Yogyakarta. LSM ini dipimpin oleh Vinolia Wakijo dan telah bergerak selama 8 tahun untuk isu HIV/AIDS. LSM Kebaya menjadi satu-satunya organisasi waria yang dibantu oleh UNAIDS dalam mendirikan lembaganya dan telah telah melakukan kerjasama dengan dua lembaga global yang fokus terhadap permasalahan HIV/AIDS, yakni Hivos Foundation dan Global Fund.
3. Teknik pengumpulan data a. In-depth interview Peneliti menggunakan teknik pengumpulan data In-depth interview atau wawancara mendalam terhadap pihak LSM yang memiliki wewenang untuk menjawab pertanyaan yang akan diajukan. Wawancara dilakukan secara langsung atau tatap muka. Sehingga hasil wawancara memiliki nilai kredibilitas atas fakta yang dapat dipertanggungjawabkan. Wawancara tidak hanya dilakukan dalam sekali waktu, namun peneliti melakukan wawancara secara berulang untuk mendapatkan data yang mendalam. Untuk mendapatkan data mengenai kampanye LSM Kebaya, maka informan yang akan diwawancara adalah: 1. Vinolia Wakijo (Pendiri sekaligus pimpinan LSM Kebaya). 2. Rully Mallay (Pengelola program dari LSM Kebaya). 3. Novi (Koordinator lapangan LSM Kebaya). Dalam melakukan penelitian, tidak dapat dipungkiri peneliti menambah informan untuk menguji keabsahan data dari informan sebelumnya.
b. Observasi Ada dua jenis observasi yang dilakukan untuk penelitian ini, dengan tujuan mengamati hal-hal yang berhubungan dengan masalah yang menjadi fokus penelitian. i. Observasi langsung non-partisipan Teknik pengumpulan data ini dilakukan dengan mengamati aktivitas LSM yang berkaitan dengan penyusunan kampanye mereka, misalnya kegiatan rapat perencanaan kampanye, kinerja tim, pelaksanaan kegiatan kampanye, dan evaluasi. Melalui observasi langsung ini peneliti dapat menilai efektivitas
kampanye
yang
dilakukan
LSM
Kebaya
pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS dikalangan waria D.I Yogyakarta. ii. Observasi dokumen Peneliti memelajari dokumen-dokumen yang diberikan oleh LSM Kebaya dan dokumen yang didapatkan peneliti melalui internet, sebagai dasar dan bahan untuk meneliti permasalahan ini. Dokumen yang diobservasi adalah notulensi rapat, foto dan dokumen program-program Kampanye Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS yang dilakukan oleh LSM Kebaya.
4. Analisis Data Triangulasi merupakan teknik pemeriksaan keabsahan data yang akan digunakan untuk menguji konsitensi dan inkonsistensi data dalam penelitian. Menurut Patton jenis teknik triangulasi, yaitu triangulasi data atau triangulasi sumber, triangulasi metode, triangulasi teori, dan triangulasi peneliti. (Pawito, 2007: 99) Penelian ini akan menggunakan teknik triangulasi data atau triangulasi sumber. Jenis triangulasi ini menunjuk pada upaya peneliti untuk mengakses sumber-sumber yang lebih bervariasi guna memeroleh data berkenan dengan persoalan yang sama. Hal ini dilakukan dengan mengaplikasikan 3 teknik pengumpulan data, yakni wawancara mendalam, observasi non-partisipan, dan observasi dokumen. Sehingga muncul setidaknya 3 jenis data yang berbeda, dimana hasil data wawancara bersifat deskriptif dan eksplanatif, observasi partisipan dan observasi dokumen menunjukan data yang lebih bersifat deskriptif. Setelah itu, peneliti mereduksi data dengan melakukan pencocokan atau cross-check data, melihat tendensi-tendensi utama yang paling sering muncul, melakukan observasi dengan tujuan melihat fakta yang terjadi secara langsung
dilapangan mengenai objek penelitian, dan tentu saja membandingkan data dengan melakukan wawancara singkat dengan peserta yang mengikuti Kampanye Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS. Analisispun menjadi langkah selanjutnya yang dilakukan, dimana analisis menggunakan seperangkat teori yang telah dipaparkan yang kemudian dicocokan atau dibandingkan dengan hasil data yang ditemukan dilapangan. Setelah memaparkan hasil analisis dan jawaban dari masalah yang diangkat, maka ditarik kesimpulan yang merupakan tahap akhir dari penelitian ini.
Bagan 2. Manajemen Kampanye