BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Prevalensi diabetes melitus di dunia pada tahun 2013 mencapai 382 juta jiwa dan diperkirakan akan meningkat pada tahun 2035 dengan angka 592 juta jiwa atau kenaikan sebanyak 55%. Dari jumlah tersebut mayoritas berada pada usia 40 hingga 59 tahun dan 80% nya tinggal di negara berpendapatan rendah atau menengah ke bawah (International Diabetes Federation, 2013). Badan Pusat Statistik Indonesia (2003) memperkirakan, jumlah penduduk Indonesia yang berusia di atas 20 tahun sebanyak 133 juta jiwa dengan prevalensi pasien diabetes pada daerah urban sebesar 14,7% dan daerah rural sebesar 7,2%, pada tahun 2035 terdapat pasien diabetes sebesar 8,2 juta di daerah urban dan 5,5 juta di daerah rural. Indonesia menempati urutan ketujuh peringkat jumlah pasien diabetes melitus di dunia pada tahun 2013 (International Diabetes Federation, 2013). Prevalensi DM di Yogyakarta merupakan prevalensi tertinggi dibandingkan dengan prevalensi kota lain di Indonesia dengan prosentase 2,6% (Riskesdas, 2013). Tingkat pendapatan penduduk Daerah Istimewa Yogyakarta dibandingkan dengan provinsi lain berada pada peringkat 12 dari bawah dan merupakan provinsi dengan pendapatan penduduk terendah di Pulau Jawa (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, 2011). DI Yogyakarta terdiri atas 4 kabupaten dan 1 Kota. Berdasarkan profil pembangunan provinsi DI Yogyakarta, dari keempat kabupaten di DI Yogyakarta urutan daerah dengan pendapatan penduduk terendah adalah Kulonprogo, Gunung Kidul, Bantul, Sleman dan Kota Yogyakarta, dengan persentase masing-masing 23,62%; 23,03%; 17,28%; 10,61%; dan 9,62% (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2013). Kulonprogo sebagai kabupaten dengan pendapatan terendah di DI Yogyakarta memiliki 10 besar penyakit terbanyak salah satunya adalah diabetes melitus pada peringkat keenam dengan jumlah pasien sebesar 13.438 orang
1
2
(Diabetes melitus non-dependen insulin) atau yang biasa disebut dengan DM tipe 2 (Dinas Kesehatan Kabupaten Kulonprogo, 2014). Diabetes melitus tidak selalu identik dengan kondisi ekonomi menengah ke atas, Kulonprogo memiliki rata-rata pendapatan penduduk sebesar Rp.225.059,- per kepala keluarga per bulannya (Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, 2012). Beban kesakitan yang ditimbulkan akibat diabetes cukup banyak. Secara umum ketidakpatuhan pasien pada terapi penyakit tidak menular misalnya : diabetes, hipertensi, asma, kanker, dsb), gangguan mental, penyakit infeksi HIV / AIDS dan tuberkulosis, dapat memberikan efek negatif yang sangat besar karena prosentase kasus penyakit tersebut diatas diseluruh dunia mencapai 54% dari seluruh penyakit pada tahun 2001. Angka tersebut diperkirakan akan meningkat menjadi lebih dari 65% pada tahun 2020 (Asti, 2006). Tingkat kepatuhan berobat rutin DM pun bervariasi, beberapa variabel yang mempengaruhi tingkat kepatuhan adalah: 1) Variabel demografi, seperti: usia, jenis kelamin, status sosioekonomi, dan pendidikan; 2) Variabel penyakit seperti keparahan penyakit dan hilangnya gejala akibat terapi; 3) Variabel program terapeutik seperti kompleksitas program dan efek samping yang tidak menyenangkan; 4) Variabel psikososial seperti intelegensia, sikap terhadap tenaga kesehatan, penerimaan, atau penyangkalan terhadap penyakit, keyakinan agama atau budaya dan biaya finansial dan lainnya yang termasuk kepatuhan dalam mengikuti terapi. Secara umum dapat dikatakan bahwa penyebab ketidakpatuhan dalam berobat diabetes melitus karena faktor sosial ekonomi rendah, pemantauan gula darah yang tidak rutin, informasi yang tidak memadai dari layanan kesehatan, penanganan diabetes hanya ketika nampak gejalanya hingga kurangnya dukungan dari keluarga (Sankar, Lipska, Mini, Sarma, & Thankappan, 2015). Sebuah penelitian deskriptif di Surabaya mengenai tingkat kepatuhan dalam pengobatan diabetes, menunjukkan bahwa kepatuhan dilaporkan cukup rendah yaitu patuh 37,1%, kurang patuh 51,4% dan tidak patuh 11,4 % dari total 35 pasien. Tingkat kepatuhan dinilai dari praktek pasien dalam menjalani pengobatan diabetes melitus berupa kerutinan pasien dalam menelan obat dan pergi kontrol ke
3
layanan kesehatan, sesuai dengan anjuran yang diberikan oleh dokter (Hafiz, 2011). Kepatuhan berobat berhubungan dengan akibat yang ditimbulkan jika tidak patuh dalam berobat. Salah satunya dalam hal biaya pengobatan, biaya terapi total diabetes melitus setiap pasien Rp.208.500,- per bulan, nilai terbesar adalah Rp. 754.000,- per bulan. Biaya tertinggi adalah biaya obat (59,5 %), diikuti biaya untuk mengatasi komplikasi (44,62 %) (Andayani, 2006). Semua penduduk Kulonprogo telah mempunyai jaminan pemeliharaan kesehatan baik itu Askes, Jamsostek, Jamkesmas, Jamkesos Provinsi DI Yogyakarta, Jamkesda Kulonprogo dan asuransi lainnya (Dinas Kesehatan Kabupaten Kulonprogo, 2014). Meskipun pembiayaan kesehatan baik untuk berobat maupun perawatan telah ditanggung oleh jaminan kesehatan yang ada di Kulonprogo namun biaya lainnya yang dikeluarkan secara langsung tidak masuk dalam jaminan kesehatan, misalnya saja biaya transportasi. Sarana transportasi di Kabupaten Kulonprogo memiliki jumlah paling kecil dibandingkan dengan daerah administratif lainnya, padahal luas daerah Kulonprogo terluas kedua diantara daerah lainnya (Badan Pengelolaan Keuangan Daerah Provinsi DI Yogyakarta & Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada, 2007). Topografi Kulonprogo mencakup dataran rendah, tinggi dan perbukitan. Sebesar 17,58% pada ketinggian <7 meter dpl; 15,20% pada ketinggian 8-25 meter dpl; 22,84% pada ketinggian 26-100 meter dpl; 33% pada ketinggian 101-500 meter dpl dan 11,37% pada ketinggian >500 meter dpl. Berdasarkan kemiringannya distribusi wilayah Kulonprogo 40,11% pada kemiringan <2˚; 18,7% (3˚-15˚); 22,46% (16˚-40˚) dan 18,73% (>40˚) (Badan Pusat Statistik Kabupaten Kulonprogo, 2013). Dalam era Jaminan Kesehatan Nasional pasien diberikan tempat tertentu sebagai layanan rutin kesehatannya yang menitikberatkan pada pelayanan primer (Puskesmas). Pembangunan puskesmas sendiri memiliki beberapa syarat pendirian salah satunya dibangun minimal 1 Puskesmas dalam setiap kecamatan. Selain itu letak Puskesmas harus memiliki aksesibilitas terhadap jalur transportasi (Kementerian Kesehatan, 2014). Peserta jaminan kesehatan wajib berobat di Puskesmas yang berada dalam kecamatan tempat tinggalnya (Tim Nasional
4
Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, 2014). Penelitian ini mengambil tempat di Puskesmas Kokap I dan Kokap 2 karena Kecamatan Kokap termasuk salah satu kecamatan dengan pendapatan penduduk terendah di Kabupaten Kulonprogo (Media Center, 2012a). Diabetes melitus sebagai penyakit kronis yang memiliki dampak yang besar bagi kesehatan secara luas. Oleh karena itu pencegahan terhadap diabetes melitus dan penjagaan kondisi kesehatan pasien lewat kepatuhan berobat menjadi penting. Kondisi pasien yang terjaga akan dapat memperpanjang kondisi sehat pasien. Kepatuhan berobat akan coba dihubungkan dengan tempat tinggal pasien dengan sistem informasi geografis. Nurhayati dalam Setyawan (2014) menyatakan bahwa Sistem Informasi Geografis (SIG) sangat memberikan manfaat dalam bidang kesehatan diantaranya adalah untuk mempelajari hubungan antara lokasi, lingkungan dan kejadian penyakit oleh karena kemampuannya dalam mengelola dan menganalisis serta menampilkan data spasial. SIG juga dapat menghasilkan analisa data epidemiologi dengan baik, menggambarkan trend kejadian suatu penyakit, menggambarkan ketergantungan dan saling keterkaitan antara berbagai faktor penyebab timbulnya penyakit pada suatu wilayah. Disamping itu, dengan SIG dapat dilakukan pemetaan terhadap sumber daya kesehatan masyarakat, penyakit-penyakit tertentu dan permasalahan kesehatan lainnya yang berhubungan dengan lingkungan, infrastruktur, demografi dan sosial.
B. Perumusan Masalah Jumlah kasus diabetes melitus di DI Yogyakarta menduduki peringkat keenam dari sepuluh besar penyakit (Dinas Kesehatan Kabupaten Kulonprogo, 2014), sementara tingkat pendapatan penduduk Daerah Istimewa Yogyakarta dibandingkan dengan provinsi lain berada pada peringkat 12 dari bawah dan merupakan provinsi dengan pendapatan penduduk terendah di Pulau Jawa (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, 2011). Secara umum kondisi ekonomi masyarakat Kecamatan Kokap berada dalam kondisi ekonomi menengah ke bawah sebanyak 48% (Media Center, 2012a). Dimana tingkat ekonomi suatu
5
masyarakat mempengaruhi mereka dalam menjalani kepatuhan pengobatan, semakin tinggi tingkat ekonomi semakin patuh dan sebaliknya (Safraj S, Anish TS, Vijayakumar K, Kutty VR, 2012). Faktor lainnya yang menjadi kendala kepatuhan berobat diabetes adalah transportasi (Bailey et al., 2011). Transportasi ini berkaitan dengan jaringan jalan yang dipengaruhi kondisi alam di Kecamatan Kokap Kabupaten Kulonprogo. Kondisi alam di Kecamatan Kokap yang sebagian daerahnya masuk ke dalam kawasan Perbukitan Menoreh, memiliki luas daerah yang besar dan jenis transportasi umum cukup terbatas. Gambaran utuh mengenai kepatuhan berobat diabetes dilihat dari kondisi alam setempat akan menjadi sumber informasi yang lebih mudah dipahami dengan memanfaatkan sistem informasi geografis dalam penyusunannya. Berdasarkan fakta yang ada tersebut, dirumuskan masalah penelitian bagaimana kepatuhan berobat pasien diabetes melitus ditinjau dari aksesibilitas ke layanan kesehatan di Kecamatan Kokap Kabupaten Kulonprogo?
C. Tujuan Penelitian a. Tujuan Umum Menjelaskan perbedaan kepatuhan berobat pasien diabetes melitus dengan memperhitungkan aksesibilitas pasien diabetes melitus ke Puskesmas di Kecamatan Kokap b. Tujuan Khusus a. Menyusun gambaran aksesibilitas jarak pasien ke puskesmas di Kecamatan Kokap dalam bentuk peta b. Membuat variasi kunjungan pasien berdasarkan jarak, jenis transportasi dan waktu tempuh ke masing-masing puskesmas di Kecamatan Kokap c. Mengukur kepatuhan berobat pasien diabetes melitus mempertimbangkan jarak tempat tinggal pasien ke puskesmas di Kecamatan Kokap
6
d. Mengukur
kepatuhan
berobat
pasien
diabetes
melitus
dengan
mempertimbangkan jenis transportasi yang digunakan pasien dari tempat tinggal ke puskesmas di Kecamatan Kokap e. Mengukur kepatuhan berobat pasien diabetes melitus mempertimbangkan waktu tempuh pasien dari tempat tinggal ke puskesmas di Kecamatan Kokap
D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Tempat Penelitian, dapat digunakan untuk menilai kepatuhan berobat diabetes melitus berdasarkan aksesibilitas serta sebagai bahan evaluasi penanganan diabetes mellitus di wilayah kerjanya 2. Bagi Dinas Kesehatan dan Pemerintah Daerah Setempat, dapat digunakan sebagai sumber informasi dan bahan pengambilan kebijakan mengenai kondisi kesehatan khususnya yang terkait dengan kondisi alam di Kecamatan Kokap 3. Bagi Ilmu Pengetahuan, dapat memberikan tambahan literatur pada penelitian kesehatan masyarakat berbasis spasial 4. Bagi Peneliti, dapat mempelajari penggunaan data dan analisis spasial dalam bidang kesehatan
E. Keaslian Penelitian Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang telah ada sebelumnya. Berikut beberapa penelitian sebelumnya yang memiliki kemiripan : No. 1.
Tabel 1 Keaslian Penelitian Pengarang, Deskripsi Penelitian Tahun Analisis Spasial (Mahdinur, Melihat hubungan antara Aksesibilitas dan 2010) aksesibilitas yang Kinerja Bidan di diwakili dengan variabel Desa dalam jarak, waktu tempuh dan Program Perbaikan biaya transportasi dengan Kurang Gizi pada kinerja bidan desa Balita di Judul
Perbedaan Metode Deskriptif analitik
7
2.
3.
4.
5.
Kecamatan Kembang Tanjong Kabupaten Pidie NAD A Theoretical Model of How Neighborhood Factors Contribute to Medication Nonadherence Among Disadvantaged Chronically Ill Adults Analisis Spasial Kematian Ibu di Kabupaten Tasikmalaya Tahun 2009 Accessibility and Screening Uptake Rates for Gestational Diabetes Melitus in Ireland Kepatuhan Berobat Pasien Diabetes Melitus Ditinjau dari Aksesibilitas ke Layanan Kesehatan di Kecamatan Kokap Kabupaten Kulonprogo Daerah Istimewa Yogyakarta
(August & Billimek, 2015)
Menemukan faktorfaktor yang berkontribusi terhadap ketidakpatuhan berobat pada penyakit kronis
Studi literatur
(Megawati, 2011)
Mengetahui faktor penyebab kematian ibu yaitu jarak, kondisi jalan dan pemberi pelayanan kesehatan Pemetaan aksesibilitas pasien DM gestational
Observasion al
Menggunakan aksesibilitas dengan jarak, jenis transportasi dan waktu tempuh untuk mengukur kepatuhan berobat diabetes melitus
Survei analitik, Buffering, Distance measureme nt, Pattern Analysis
(Cullinan, Gillespie, Owens, & Dunne, 2012) (Ni’mah, 2015)
Geocoding dan Simulation
Penelitian yang dilakukan ini berbeda dengan empat penelitian sebelumnya baik dari segi jenis penelitian maupun cara analisis yang digunakan. Variabel dependen kepatuhan berobat pada pasien diabetes melitus juga menjadi pembeda dalam penelitian ini.