BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Tuberkulosis merupakan penyakit yang sudah ada sejak zaman purbakala, dibuktikan dengan ditemukannya tanda tuberkulosis tulang pada fosil vertebra manusia zaman neolitikum di Eropa (8000 tahun SM) dan mumi di Mesir (1000 tahun SM). Pada zaman Hippocrates (400 tahun SM), tuberkulosis sudah dikenal sebagai penyakit menular. Pada tahun 1882 Robert Koch menemukan penyebab tuberkulosis
yang
dikenal
sebagai
Mycobacterium
tuberculosis.1WHO
melaporkan sekitar 19 - 43% penduduk dunia telah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis. Lebih dari 8 juta kasus baru terdeteksi setiap tahunnya, dan 3 juta orang meninggal tiap tahunnya karena penyakit ini.2 Indonesia masuk dalam kategori high burden TB dan menduduki peringkat ke-4 dalam jumlah penderita dan ke-12 dalam hal kematian akibat tuberkulosis. Menurut WHO, prevalensi tuberkulosis di negara kita adalah 281/100.000 pendudukdan mortalitas 27/100.000 penduduk. Dengan angka kesembuhan bagi BTA (bakteri tahan asam) positif adalah sebesar 90%, dan angka pengobatan kembali sebesar 73%.3 Data yang tercatat di Kementrian Kesehatan Republik Indonesiatahun 2014, prevalensi tuberkulosis adalah 113/100.000 penduduk, dengan case detection rate (CDR) sebesar 70,08%. Di Yogyakarta sendiri prevalensi tuberkulosisnya adalah 70/100.000 penduduk dengan CDR 34,47%.4 Dari 9 juta kasus baru TB di seluruh dunia, 1 juta kasus adalah anak usia < 15 tahun. Dari seluruh kasus anak dengan TB, 75% didapatkan di dua puluh dua negara dengan beban TB tinggi (high burden countries). Walaupun laporan mengenai TB anak di Indonesia jarang didapatkan, diperkirakan jumlah kasus TB anak adalah 10% - 15% dari total kasus TB.5,6Sedangkan insidensi TB kulit diperkirakan sekitar 1,5% dari keseluruhan pasien TB.7
1
Skrofuloderma adalah bentuk tersering darituberkulosis kulit di negara berkembang, dan harus dipikirkan apabila dijumpailesi merah kebiruan, bengkak dan
berbentuk
lukaborok.8,9Djuanda
dkk
melaporkan
bahwa
skrofulodermamerupakan bentuk tuberkulosis kulit tersering yang ditemukan di RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta (84%),10 sedangkan Maulana AzadMedical College,
India
utara
melaporkan
hanya
36,9%kasus
skrofuloderma
ditemukan.11Medical CollegeKolkata, India selatan9 dan Research Institute for TropicalDisease, Filipina12melaporkan masing-masing 21,1%dan 20,4% kasus skrofuloderma. Berikut ini adalah sebuah laporan pengamatan kasus selama 12 bulan yang dilakukan terhadap seorang anak perempuan usia 10 tahun yang menderita skrofuloderma yang dalam terapinya sempat mengalami putus obat. Kasus ini diamati sehubungan dengan diperlukannya pendampingan dan edukasi agar pasien dapat menjalani pengobatan dengan teratur sehingga sembuh dari penyakitnya. Hal ini penting mengingat ketidakpatuhan berobat dapat meningkatkan risiko resistensi kuman. Diperlukan juga pengawasan terhadap perkembangan klinis penyakit dan kemungkinan timbulnya efek samping obat, serta menanggulanginya bila terjadi. Mencegah dan mengoreksi kecacatan karena skrofuloderma juga perlu dilakukan pada tatalaksana pasien ini. B. DESKRIPSI SINGKAT KASUS Seorang anak perempuan usia 10 tahun datang dengan keluhan muncul benjolan di leher dan selangkangan. Lebih kurang 5 tahun yang lalu (usia anak ± 5 tahun) anak didiagnosis tuberkulosis di RSUD Wonosari, mendapat terapi selama 6 bulan dan dinyatakan sembuh. Namun setahun kemudian di leher anak mulai timbul benjolan-benjolan yang awalnya berwarna kemerahan yang tidak terasa nyeri, lalu menjadi bisul yang saat pecah keluar darah dan nanah. Dikatakan sudah berobat ke dokter puskesmas setempat dan ke spesialis anak. Mendapat terapi obat yang diminum. Namun benjolan dikatakan hilang timbul.2 tahun yang lalu anak dirawat di RSUP Dr. Sardjito karena skrofuloderma di leher. Mendapat terapi obat
2
anti tuberkulosis (OAT)Isoniazid, Rifampisin, Pirazinamid, dan Etambutol setiap hari selama 2 bulan fase intensif, kemudian dilanjutkan Isoniazid dan Rifampisin setiap hari selama 7 bulan fase lanjutan (2HRZE 7HR). Sampai bulan ke-6 anak masih kontrol rutin di poli respirologi anak. Skrofuloderma dikatakan membaik. Namun setelah itu orang tua menghentikan terapi dan beralih ke pengobatan lain. 2 bulan yang lalu mulai muncul lagi benjolan di leher, yang dikatakan timbul lagi setelah berhenti minum obat, serta juga muncul benjolan di selangkangan kanan dan kiri yang terasa sakit. Orang tua membawa berobat ke dokter bedah anak. Selama pengobatan tersebut anak mendapat terapi antibiotik, terapi sinar (diatermi ?) dan diet pantang protein. Namun karena tidak ada perbaikan akhirnya orang tua membawa anak kembali ke RSUP Dr. Sardjito.Dari anamnesis riwayat penyakit tidak terdapat keluarga maupun tetangga dekat yang diduga menderita tuberkulosis. Riwayat imunisasi anak dikatakan lengkap sesuai KMS (kartu menuju sehat). Skar BCG (+). Ventilasi dan pencahayaan di rumah dikatakan baik. Pada pemeriksaan, anak tampak kompos mentis, terdapat bekas luka di leher kanan dan kiri. Tanda utama : nadi 120 kali/menit, respirasi 24 kali/menit, suhu 36,0 C, tensi 100/60 mm Hg. BB 23 kg. TB 122,5 cm. BMI 15,3. BMI/umur -0,94 SD. BB/umur -2,41 SD. TB/umur -2,55 SD. Simpulan status gizi kurang dan perawakan pendek (stunted). Dari periksaan fisik, di leher terdapat pembesaran limfonodi servikal kanan dan kiri yang teraba multipel, terdapat krusta di leher kanan dan jaringan parut di lher kanan dan kiri. Di inguinal kiri terdapat benjolan kemerahan yg teraba padat dan terasa nyeri, ukuran 6 x 3 x 3 cm 3. Di inguinal kanan teraba limfonodi yang teraba multipel, terdapat jaringan parut dan bekas luka dengan tepi masih hiperemis. Tidak ditemukan kelainan pada pemeriksaan paru, jantung, tidak ditemukan adanya organomegali.
3
Gambar 1. Skrofuloderma pada regio servikal
Gambar 2. Skrofuloderma pada regio inguinal
4
Anak dirawat selama 11 hari sejak 5 September 2014 di bangsal Melati 2 guna mengevaluasi skrofulodermanya dan melakukan beberapa pemeriksaan diagnostik. Selama perawatanberat badan anak naik dari 20 kg menjadi 23 kg. Pada pemeriksaan darah didapatkan hasil Hb 9,1 g/dL, AE 3,5 x 106/μL, Hmt 25,5%, MCV 72,9 mm3, MCH 25,1 pg/cell, MCHC 31,7 g/dL, AL 14.620 mm3, AT 472.000 mm3. Uji PPD menghasilkan
indurasi dengan diameter 5 mm.
Pemeriksaan morfologi darah tepi menunjukkan hasil anemia et causa suspek penyakit kronis. Pemeriksaan kuman pada lesi kulit menunjukkan hasil bakteri batang gram negatif. Pemeriksaan BTA dari lesi kulit hasil negatif. Pada pemeriksaan GeneXpert hasil tidak ditemukan M. tuberculosis. Kultur BTA saat itu menunggu hasil 8 minggu kemudian. Pemeriksaan patologi anatomi pada lesi kulit menunjukkan hasil radang granulomatosa supurasi, kemugkinan karena infeksi tuberkulosis dengan infeksi sekunder. Sedangkan pada biakan kuman dari lesi kulit didapatkan adanya kuman Acinetobacter baumannii.Anak dikelola sebagai skrofuloderma dengan infeksi sekunder e.c. Acinetobacter baumannii, gizi kurang dan anemia e.c. penyakit kronik. Anak mendapatkan terapi 2HRZE 7HR dengan fixed dose combination (FDC) 2 tablet / 24 jam (FDC terdiri dari RHZ (75/50/125 mg) untuk fase intensif dan RH (75/50 mg) untuk fase lanjutan), cefiksim 100 mg/12 jam, paracetamol 200 mg jika demam dan asuhan gizi sesuai RDA untuk gizi kurangnya. C. ALASAN PEMILIHAN KASUS Kasus ini merupakan kasus TB ekstrapulmoner dengan riwayat putus obat pada terapi sebelumnya,yang disebabkan karena kurangnya pengetahuan orang tua dan anak dalam mengobati penyakitnya yang ditandai dengan berhentinya minum obat atas kemauan sendiri, sehingga menyebabkan kekambuhan (relaps). Sehingga pada pengobatan kembali pada pasien ini memerlukan pemantauan dan pendampingan jangka panjang baik dari sisi medis maupun dari sisi psikologis agar pasien dapat meminum obatnya secara teratur sampai dengan akhir masa terapi, mengatasi komplikasi dan mengatasi efek samping obat yang mungkin terjadi.Denagn pemantauan dan pendampingan pasien selama terapi diharapkan 5
dapat memberi pengaruh pada kesembuhan dari penyakitnya dan penyimpangan tumbuh kembang dapat diintervensi sedini mungkin sehingga anak dapat tetap tumbuh dan berkembang sesuai potensi yang dimilikinya. Domisili pasien yang berada di Rongkop GunungKidul masih dapat dijangkau oleh peneliti sehingga dapat dilakukan kunjungan rumah. D. TUJUAN DAN MANFAAT YANG DIHARAPKAN 1. Bagi pasien Melalui pemantauan perkembangan penyakit, keteraturan minum obat, efek samping terapi, status gizi, dan psikososial pasien, diharapkan pasien dapat meminum obatnya secara teratur, memperoleh kesembuhan dari skrofuloderma relapsnya,mengurangi risiko kecacatan, dapat memperbaiki kualitas hidupnya seperti kembali bersekolah lagi dan kembali dapat bermain dengan temantemannya, dan mengoptimalkan tumbuh kembangnya sesuai dengan kemampuan anak seusianya dengan berlandaskan pada pola asah, asih dan asuh. 2. Bagi keluarga pasien Agar keluarga
pasien
memiliki
pemahaman
yang baik
tentang
skrofuloderma dan dapat berperan serta dalam pencegahan penularan dan tatalaksana tuberkulosis, termasuk membantu kepatuhan terapi penderita, serta dapat mendukung perbaikan kualitas hidup anak agar tumbuh kembangnya menjadi optimal. 3. Bagi peserta PPDS I IKA Peserta
PPDS
I
IKA
dapat
memperoleh
pengetahuan
tentang
skrofuloderma pada khususnya dan tuberkulosis pada umumnya, mulai dari penegakan diagnosis, menentukan prognosis, sampai dengan melakukan penanganan secara komprehensif hingga tercapainya kesembuhan pada pasien. Sehingga peserta PPDS dapat menambah wawasan tentang penyakit tuberkulosis bila menghadapi kasus yang sama di masa depan.
6
E. INFORMED CONSENT Sebelum
melakukan
pemantauan
terhadap
pasien,
peneliti
telah
memberikan penjelasan dan meminta persetujuan secara lisan dan tertulis kepada orang tua pasien pada bulan September 2014.
7