BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ISPA adalah proses infeksi akut berlangsung selama 14 hari, yang disebabkan oleh mikroorganisme dan menyerang salah satu bagian, dan atau lebih dari saluran napas, mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah), termasuk jaringan adneksanya, seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura (Suparyanto, 2010). Gejala awal yang timbul biasanya berupa batuk pilek, yang kemudian diikuti dengan napas cepat dan sesak napas. Pada tingkat yang lebih berat terjadi kesukaran bernapas, tidak dapat minum, kejang, kesadaran menurun, dan meninggal bila tidak segera diobati (Syair, 2009). Usia Balita adalah kelompok yang paling rentan dengan infeksi saluran pernapasan. Kenyataannya bahwa angka morbiditas dan mortalitas akibat ISPA, masih tinggi pada balita di negara berkembang (Depkes RI, 2008). Insiden ISPA di negara berkembang adalah 2-10 kali lebih banyak dari pada negara maju. Di negara maju ISPA di dominasi oleh virus, sedangkan negara berkembang oleh bakteri, seperti Streptococcus pneumonia dan Haemophilus influenza. Di negara berkembang, ISPA dapat menyebabkan 1025 % kematian, dan bertanggung jawab 1/3-1/2 kematian pada balita. Pada bayi angka kematiannya dapat mencapai 45 per 1000 kelahiran hidup (Rahajoe, 2008). World Health Organization (WHO) memperkirakan insidens Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di negara berkembang dengan angka kematian balita di atas 40 per 1000 kelahiran hidup adalah 15%20% pertahun pada golongan usia balita. Menurut WHO 13 juta anak balita di dunia meninggal setiap tahun dan sebagian besar kematian tersebut terdapat di negara berkembang, dimana pneumonia merupakan salah satu penyebab utama kematian dengan membunuh 4 juta anak balita setiap tahun (Dinkes RI, 2010). Selain itu WHO juga menyatakan bahwa pada tahun 2005 proporsi kematian balita karena saluran pernafasan di dunia adalah sebesar 19-26%. Pada tahun 2007 Indonesia
1
2
diperkirakan terdapat 1,8 juta kematian akibat pneumonia atau sekitar 20% dari total 9 juta kematian pada anak (Depkes RI, 2008). Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di Indonesia selalu menempati urutan pertama penyebab kematian pada kelompok bayi dan balita. Episode penyakit batuk–pilek pada balita di Indonesia diperkirakan 3–6 kali per tahun Selain itu ISPA juga merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien di sarana kesehatan dan berada pada daftar 10 penyakit terbanyak di rumah sakit. Survei mortalitas yang dilakukan oleh Subdit ISPA tahun 2005 menempatkan ISPA/Pneumonia sebagai penyebab kematian bayi terbesar di Indonesia dengan persentase 22,30% dari seluruh kematian balita (Depkes RI, 2008). Data profil kesehatan Kabupaten Kebumen pada tahun 2012 sebanyak 12.535 balita atau 29.7% dari total kesakitan yang disebabkan karena ISPA. Dari balita yang terkena ISPA tersebut 8.533(9.11%) berstatus gizi kurang dan 35(0.04%) berstatus gizi buruk yang diukur berdasarkan status gizi BB/TB. Hasil studi pendahuluan di Puskesmas Buayan, tercatat tahun 2013 angka kesakitan yang disebabkan karena kasus ISPA dengan pneumonia sebanyak 21 balita atau 0.77% sedangkan kasus ISPA bukan pneumonia sebanyak 1480 balita atau 54.15%. Faktor yang mempengaruhi kejadian ISPA pada balita antara lain: status gizi, umur, pemberian asi yang tidak memadai, keteraturan pemberian vitamin A pada BBLR, imunisasi yang tidak lengkap, ASI eksklusif, polusi udara, kepadatan tempat tinggal, serta sosial ekonomi dan pendidikan. (Depkes RI, 2005). Tingginya angka kejadian ISPA pada balita disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah keadaan gizi (nutrisi) yang buruk pada balita. Balita dengan gizi yang kurang akan lebih mudah terserang ISPA dibandingkan balita dengan gizi normal, karena faktor daya tahan tubuh yang kurang. Penyakit infeksi sendiri akan menyebabkan balita tidak mempunyai nafsu makan dan mengakibatkan kekurangan gizi. Pada keadaan gizi kurang, balita akan lebih mudah terserang ISPA berat bahkan serangannya lebih lama (Syair, 2009).
3
Status gizi balita merupakan salah satu indikator yang menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat. Gizi seseorang dikatakan baik apabila terdapat keseimbangan dan keserasian (Wiryo, H. 2006). Telah lama diketahui bahwa ada keterkaitan interaksi sinergisitas antara mal nutrisi dengan infeksi. Infeksi apapun dapat mempengaruhi keadaan gizi. Mal nutrisi, walaupun masih ringan mempunyai pengaruh negatif pada daya tahan tubuh balita terhadap paparan infeksi (Notoatmojo, 2004).
B. Perumusan Masalah Penyakit ISPA adalah proses infeksi akut yang berlangsung selama 14 hari, yang disebabkan oleh mikroorganisme dan menyerang salah satu bagian, dan atau lebih dari saluran napas, Insiden ISPA di negara berkembang adalah 2-10 kali lebih banyak dari pada negara maju. Menurut WHO 13 juta anak balita di dunia meninggal setiap tahundimana pneumonia merupakan salah satu penyebab utama kematian. Survei mortalitas yang dilakukan oleh Subdit ISPA tahun 2005 menempatkan ISPA/Pneumonia sebagai penyebab kematian bayi terbesar di Indonesia dengan persentase 22,30% dari seluruh kematian balita. Tingginya angka kejadian ISPA pada balita disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah keadaan gizi (nutrisi) yang buruk pada balita. Balita dengan gizi yang kurang akan lebih mudah terserang ISPA dibandingkan balita dengan gizi normal, karena faktor daya tahan tubuh yang kurang.
C. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah diatas, maka pernyataan penelitiannya adalah: apakah ada hubungan status gizi balita dengan kejadian ISPA pada balita di Puskesmas Buayan tahun 2013?
4
D. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Mengetahui Hubungan Status Gizi balita Dengan Kejadian ISPA pada balita Di Puskesmas Buayan tahun 2013. 2. Tujuan Khusus a. Mendeskripsikan Status Gizi pada balita di Puskesmas Buayan tahun 2013. b. Mendeskripsikan kejadian ISPA pada balita di Puskesmas Buayan tahun 2013. c. Menganalisis hubungan status gizi dan kejadian ISPA pada balita di Puskesmas Buayan.
E. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat menambah kajian tentang hubungan antara status gizi balita dengan kejadian ISPA pada balita. 2. Manfaat Praktis a. Bagi peneliti Hasil penelitian dapat digunakan sebagai penjelasan dan evalusi tentang hubungan status gizi dengan kejadian ISPA, sehingga dapat melatih berfikir secara ilmiah terhadap suatu permasalahan. b. Bagi tempat penelitian Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan dalam meningkatkan kinerja asuhan di Puskesmas tersebut. c. Bagi institusi Tambahan
dan
masukan
pengetahuan
dan
informasi
serta
pengembangan bagi penelitian mengenai hubungan status gizi balita dengan kejadian ISPA pada balita. d. Bagi responden
5
Hasil penelitian ini diharapkan agar masyarakat khususnya ibu mengerti dan paham tentang pentingnya status gizi pada balita.
F. Keaslian Penelitian 1. Peneliti oleh Handayani Y (2010) tentang Gambaran Tingkat Pengetahuan Ibu Tentang Penyakit ISPA Pada Balita di Puskesmas Bangerayu Kabupaten Semarang. Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif, sampelnya terdiri dari 71 ibu diambil dengan menggunakan tekhnik porposive sampling berdasarkan kriteria inklusi dan esklusi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hasil gambaran tingkat pengetahuan ibu tentang penyakit ISPA pada balita umur 1-5 tahun. Data dikumpulkan menggunakan questioner dan kemudian dianalisa secara statistik menggunakan Spearman Rank Correlation dengan P signifkan <0,05. Hasilnya menunjukan bahwa dari 71 responden terdapat 34 iu (53,5%) mempunyai pengetahuan yang baik tentang ispa. Persamaan dengan penelitian ini responden peneliti yaitu balita umur 1-5 tahun penyakit ISPA, perbedaan dengan penelitian ini terletak pada judul, variabel, tempat, waktu penelitian. 2. Penelitian oleh Rokhana,T (2012) tentang studi deskriptif tingkat pengetahuan ibu balita tentang penyakit ISPA di Puskesmas Demak III jenis penelitian adalah kuantitatif non eksperimental dengan rancangan penelitian deskriptif korelasi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hasil studi deskriptif tingkat pengetahuan ibu balita tentang penyakit ISPA di Puskesmas Demak III hasil penelitian sebagian besar reponden (74,3%) mengetahui pengetahuan yang baik tentang penyakit ISPA. Persamaan dengan penelitian ini responden peneliti yaitu balita, penyakit ISPA, perbedaan dengan penelitian ini terletak pada judul, variabel, tempat, waktu penelitian.