1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Orang dengan HIV/AIDS atau biasa dikenal sebagai ODHIV dihadapkan kepada polemik yang berkepanjangan dalam hidupnya. Selain harus berjuang melawan penyakit yang diderita, pasien juga mendapatkan stigma negatif dan perilaku diskriminatif dari lingkungan sekitar. Hal ini disebabkan karena masalah HIV/AIDS bukan hanya msalah kesehatan, namun juga telah menjadi masalah sosial. Hampir 70% penderita adalah anggota masyarakat yang berusia produktif, sehingga membutuhkan pertolongan supaya tidak menjadi beban keluarga dan masyarakat (www.sinarharapan.com, 2009). Menurut laporan UNDP, ODHIV sebagai individu tidak bisa dilepaskan dari konteks keluarga, komunitas, dan masyarakat yang lebih luas. Norma, nilai, prasangka, kondisi sosial ekonomi, serta politik memiliki peranan besar dan signifikan terhadap penciptaan stigma bagi para ODHIV di seluruh penjuru dunia (Ivkovich, 2007). Kesalahpahaman atau kurang lengkapnya pengetahuan masyarakat tentang HIV/AIDS seringkali berdampak pada stigmatisasi (prasangka buruk) terhadap ODHIV. Stigma pada ODHIV yang paling sering dikenakan adalah stigma sebagai pendosa dan tidak bermoral. Padahal, HIV/AIDS saat ini telah merambah tidak hanya individu yang sering melakukan perilaku seks tidak aman, tetapi juga ibu rumah tangga dan bayi tidak berdosa. Berbagai pencitraan negatif dan hujatan, tidak diterima bekerja di instansi manapun bila seseorang diketahui sebagai ODHIV, terancam dikucilkan dari teman, keluarga dan masyarakat, desakan agar ODHIV dikarantina, hingga ancaman fisik seperti diusir dan disingkirkan dari tempat tinggalnya, merupakan bentuk stigma yang diterima ODHIV. Padahal, dengan menghujat, mengisolasi dan atau mengasingkan ODHIV, secara tak langsung kita memberi beban ganda (double burden) pada penderita. Bahkan, tak jarang ODHIV dicap sebagai orang yang "kotor" karena telah "melanggar aturan", "tidak taat" beragama, orang-orang yang "dikutuk" Tuhan dan pendapat lainnya yang relatif sulit dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Stigma masyarakat yang selalu negatif, membuat beban penderitaan kian berat dan terakumulasi hingga membuat mereka semakin terpojok, putus asa, pesimistis dalam menjalani hidup.
2 Realita di lapangan tersebut menyebabkan upaya pencegahan HIV/AIDS di Indonesia masih sulit mencapai hasil yang memuaskan (Kompas, 28 Agustus 2008). Hal ini mengakibatkan laju pertumbuhan kasus HIV/AIDS di tanah air terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Indonesia dianggap sebagai salah satu negara dengan laju pertumbuhan angka HIV/AIDS yang tercepat di Asia Tenggara. Grafik jumlah kasus HIV/AIDS di Indonesia belum berhasil diubah secara bermakna, karena masih menunjukkan kecenderungan meningkat secara tajam meski program penanggulangan HI V/AIDS telah dilakukan intensif dan telah menunjukkan hasil menggembirakan. Di sisi lain, pemerintah terkesan kurang tanggap terhadap perlakuan diskriminatif terhadap ODHIV ini. Pemerintah seharusnya dapat membuat kebijakan komunikasi kesehatan yang mendukung pereduksian stigmatisasi ODHIV. Pengkomukasian kebijakan penanggulangan HIV/AIDS selayaknya menggunakan bahasa yang mengandung nilai-nilai humanisme yaitu: anti-diskriminasi, anti-stigmatisasi, tidak sensasional, serta tidak eksploitatif. Dengan demikian, pemberitaan media massa yang sering mengutip bahasa kebijakan pemerintah, juga tidak semakin menyudutkan para ODHIV. Kebijakan komunikasi kesehatan penanggulangan HIV/AIDS masih ditandai dengan ketimpangan dan ketidakadilan bagi para ODHIV di Indonesia. Respons positif dan akomodatif dari pemerintah dan stakeholders lain dalam penanggulangan HIV/AIDS tidak hanya merupakan kepentingan Indonesia, tapi juga merupakan kepentingan global. Sejak lebih dari 10 tahun lalu, pemerintah telah membentuk Komisi Penanggulangan AIDS dari pusat sampai daerah di seluruh provinsi dan kabupaten/kota. Pemerintah juga telah mengarahkan kepada Pemda untuk mengalokasikan dana APBD khusus untuk Komite Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD) dalam upaya penanggulangan AIDS. Namun sampai dengan saat ini, upaya pengurangan stigmatisasi terhadap ODHIV dikategorikan belum berhasil, karena masyarakat masih memarjinalkan ODHIV mulai dari aspek religi, sosial, ekonomi, budaya, dan politik.
B. Pertanyaan Penelitian Dalam menghadapi epidemi HIV/AIDS yang semakin meningkat di Indonesia, dibutuhkan
kerangka
kebijakan
yang
komprehensif.
Salah
satunya
adalah
3 mengembangkan kebijakan komunikasi kesehatan yang humanis, populis, dan berpihak kepada ODHIV. Sebagai bagian dari proses komunikasi, kegiatan komunikasi kesehatan menyaratkan adanya kesediaan pemangku kepentingan untuk mendengar informasi yang diutarakan masyarakat melalui caranya sendiri yang khas dan tidak tunggal. Diperlukan kearifan pemerintah untuk menangkap simbol dan cara komunikasi yang digunakan masyarakat dalam menyampaikan pesan kesehatan yang melingkupi aneka permasalahan sampai kebutuhan kesehatan masyarakat. Kebijakan komunikasi kesehatan seharusnya menggunakan bahasa yang bersifat mendukung pengentasan sebuah penyakit secara keseluruhan, dan tidak memposisikan penderita sebagai obyek yang bersalah. Kebijakan komunikasi kesehatan tidak bisa menggunakan model komunikasi satu arah, serta gaya bahasa penyampaian yang diametral dan kontraproduktif. Gaya bahasa seperti ini hanya akan menyebabkan komunikasi berjalan tidak efektif, sehingga tercipta stigmatisasi yang akan menghambat penanggulangan
HIV/AIDS
di
seluruh
wilayah
Indonesia.
Berkaitan
dengan
permasalahan tersebut, penelitian ini mengajukan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: 1. Apakah
gaya
bahasa
yang
digunakan
dalam
kebijakan
legal-formal
penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia mulai dari kebijakan di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota kepada masyarakat telah memuat nilai-nilai humanisme? 2. Apakah dalam materi kebijakan tersebut juga memperhatikan aspek-aspek komunikasi kesehatan sehingga dapat memberikan pengetahuan dan pemahaman yang tepat mengenai HIV/AIDS dan ODHIV pada masyarakat? 3. Bagaimana hubungan antara pemilihan gaya bahasa dan pengkomunikasian kebijakan tersebut ketika diimplementasikan dengan munculnya stigmatisasi bagi ODHIV di wilayah yang menjadi obyek penelitian? 4. Bagaimanakah rancangan yang tepat untuk pemilihan gaya bahasa kebijakan penanggulangan HIV/AIDS serta bahasa materi produk kebijakan seperti program supaya dapat membentuk pemahaman yang tepat dan positif mengenai ODHIV di kalangan masyarakat Indonesia?
4 C. Tujuan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian dengan fokus pada kebijakan penanggulangan HIV/AIDS, terutama yang berkaitan dengan stigmatisasi ODHIV. Pada penelitian ini juga dianalisis proses implementasi kebijakan kesehatan tersebut dengan alat analisis konsep komunikasi kesehatan. Dengan demikian penekanan penelitian ini adalah kepada kebijakan legal yang disusun dalam bentuk Peraturan Daerah, Instruksi Kepala Daerah dan sejenisnya. Selanjutnya juga dianalisis produk kebijakan atau keputusan sebagai bentuk penjabaran dari kebijakan tersebut, misalnya program yang disusun oleh Dinas Kesehatan. Penelitian ini memiliki pembatasan yaitu hanya menganalisis kebijakan serta produk derivatif dari kebijakan yang dikeluarkan oleh lembaga pemerintah yang terlibat dalam kegiatan penanggulangan HIV/AIDS di sebuah wilayah. Jadi penelitian ini hanya akan mengkaji dan menganalisis materi mulai dari kebijakan formal sampai dengan kegiatan penyuluhan atau kampanye program, namun tidak sampai pada tahap teknik dan cara memberikan penyuluhan. Secara khusus ada 3 (tiga) tujuan dari penelitian ini yaitu: 1. Memberikan gambaran komprehensif mengenai pemilihan gaya bahasa dalam penyusunan kebijakan penanggulangan HIV/AIDS, terutama yang berkaitan dengan ODHIV. Selain itu juga untuk memberikan gambaran mengenai proses implementasi kebijakan dengan menggunakan perspektif komunikasi kesehatan. 2. Menganalisis hubungan antara pemilihan gaya bahasa dalam sebuah kebijakan penanggulangan HIV/AIDS terhadap munculnya stigmatisasi pada ODHIV dalam proses pengkomunikasian kebijakan melalui implementasi kebijakan 3. Memberikan output berupa rancangan kebijakan yang humanis pro-ODHIV berdasarkan hasil evaluasi terhadap gaya bahasa kebijakan dan komunikasi kesehatan
yang
diteliti
kepada
stakeholders
primer
pada
kebijakan
penanggulangan HIV/AIDS
D. Justifikasi Penelitian dan Implikasi Kebijakan Pemilihan gaya bahasa yang tepat merupakan salah satu kunci keberhasilan dakam kebijakan komunikasi kesehatan. Penelitian ini akan menganalisis stigmatisasi dari perspektif linguistik, yakni ilmu yang mempelajari bahasa dengan penekanan kepada
5 studi makna atau semantik. Dengan menganalisis gaya bahasa serta makna yang dimilikinya, diharapkan dapat diperoleh penjelasan yang komprehensif terhadap penyebab munculnya stigmatisasi dalam implementasi kebijakan penanggulangan HIV/AIDS. Stigmatisasi dapat muncul akibat adanya perbedaan interpretasi dan pemaknaan terhadap pesan-pesan yang disampaikan oleh pemangku kepentingan. Hasil analisis terhadap kondisi tersebut dapat memberikan masukan sebagai bahan untuk penyusunan rancangan kebijakan penanggulangan HIV/AIDS di daerah yang menjadi obyek penelitian. Tujuannya adalah supaya dapat disusun sebagai kebijakan komunikasi kesehatan yang bersifat humanis, berempati kepada penderita, produktif, dan adil oleh para stakeholders.
E. Jadwal Penelitian Penelitian ini berlangsung selama kurang lebih enam bulan mulai dari bulan Juli sampai dengan bulan Desember 2009. Rincian jadwal kegiatan terlampir pada lampiran 1.
6 BAB II TINJAUAN TEORI DAN METODE PENELITIAN
A. Tinjauan Teori Penelitian ini termasuk dalam ranah penelitian kebijakan (research policy) dengan menggunakan pendekatan interpretif atau realisme dengan metode kualitatif. Fokus penelitian
ini
adalah
kebijakan
pemerintah
daerah
tentang
pencegahan
dan
penanggulangan HIV dan AIDS. Secara khusus akan dianalisis materi kebijakan yang berkaitan dengan stigma pada ODHIV dan nilai-nilai humanisme yang terkandung dalam kebijakan pemerintah daerah tentang pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS. Pada bagian berikut dipaparkan dan dijelaskan beberapa teori dan konsep yang digunakan dalam studi ini.
1. Kebijakan Kesehatan Kebijakan kesehatan merupakan salah satu bentuk dari kebijakan publik (public policy). Secara umum kebijakan publik didefinisikan sebagai Serangkaian perencanaan yang sengaja dibuat untuk dilaksanakan sebagai panduan bagi keputusan-keputusan (decisions) untuk mencapai hasil-hasil yang rasional bagi kepentingan publik (Dye, 1987). Kebijakan kesehatan didefinisikan sebagai serangkaian program dan tindakan yang memiliki tujuan untuk meningkatkan kondisi kesehatan masyarakat Ada 2 (dua) dimensi kebijakan kesehatan menurut Peyvand Khaleghian dan Monica Das Gupta (2004) yaitu: 1. Pelayanan kesehatan publik (public health services) yaitu jenis pelayanan yang ditujukan secara langsung kepada publik antara lain imunisasi, pengobatan, penyuluhan dan sebagainya. 2.
Fungsi kesehatan publik (public health functions) yaitu berkaitan dengan kebijakan yang lebih luas dalam sektor kesehatan antara lain, pembuatan dan implementasi kebijakan, pendidikan kesehatan, pengawasan (surveillance) penyakit dan kegiatan-kegiatan lain.
7 Kebijakan berkelanjutan
kesehatan
(sustained),
harus efisiensi
mengandung
unsur-unsur
(efficiency),
kesamarataan
sebagai
berikut:
(equity),
dan
keefektivitasan (effectiveness) dalam sektor kesehatan dalam setiap penyusunan skala prioritas. Kebijakan kesehatan merupakan sebuah sistem yakni suatu rangkaian dari beberapa komponen yang saling terkait, dan bukan komponen yang berdiri sendirisendiri. Menurut Dunn (1987), sistem kebijakan terdiri atas tiga komponen, yaitu: 1. Komponen pertama, kebijakan publik merupakan isi kebijakan itu sendiri (policy content) yang terdiri dari sejumlah daftar pilihan keputusan tentang urusan publik (termasuk keputusan untuk tidak melakukan tindakan apa-apa) yang dibuat oleh lembaga dan pejabat pemerintah. Isi sebuah kebijakan merespon berbagai masalah publik (public issues) yang mencakup berbagai bidang kehidupan mulai dari pertahanan, keamanan, energi, kesehatan, pendidikan, kesejahteraan, dan lain-lain. Secara umum kebijakan dituangkan dalam bentuk dokumen tertulis yang memiliki standar isi sebagai berikut: pernyataan tujuan yakni mengapa kebijakan tersebut dibuat dan apa dampak yang diharapkan; ruang lingkup yaitu menerangkan siapa saja yang tercakup dalam kebijakan dan tindakan-tindakan apa yang dipengaruhi oleh kebijakan; durasi waktu yang efektif yang mengindikasikan
kapan
kebijakan
mulai
diberlakukan;
bagian
pertanggungjawaban yang mengindikasikan di mana individu atau organisasi bertanggung
jawab
dalam
melaksanakan
kebijakan,
artinya
dengan
mencantumkan secara jelas tanggung jawab semua pihak. Selain itu juga memuat pernyataan kebijakan yang mengindikasikan aturan-aturan khusus atau modifikasi aturan terhadap perilaku organisasi yang membuat kebijakan tersebut jika menemui kendala-kendala tertentu; latar belakang yang mengindikasikan alasan dan sejarah pembuatan kebijakan tersebut, yang kadangkadang disebut sebagai faktor-faktor motivasional tersebut untuk saat ini serta definisi yang menyediakan secara jelas dan tidak ambigu mengenai definisi bagi istilah dan konsep dalam dokumen kebijakan. Artinya istilah-istilah medis atau
8 teknis kesehatan harus diikuti dengan penjelasan umum dan detail, sehingga setiap tenaga kesehatan dan pihak terkait dapat memahami dengan jelas kebijakan tersebut. 2. Stakeholder kebijakan (policy stakeholder) yaitu individu atau kelompok yang berkaitan langsung dengan sebuah kebijakan yang dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh keputusan atau kebijakan tersebut. 3. Lingkungan kebijakan (policy environment), yaitu konteks khusus di mana sebuah kebijakan terjadi, yang berpengaruh dan dipengaruhi oleh stakeholder kebijakan dan kebijakan publik itu sendiri. Lingkungan kebijakan ini akan menentukan apakah sebuah kebijakan publik bisa dilaksanakan dengan dukungan atau penolakan dari para pelaksana atau sasaran kebijakan tersebut.
2. Stigma Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memberikan definisi stigma sebagai ciri negatif yang menempel pada pribadi seseorang karena pengaruh lingkungannya; tanda. Secara etimologis, stigma sendiri berasal dari bahasa Latin stigmat yang berarti tanda. Erving Goffman (1963) mendeskrispsikan stigma sebagai: ‖an atribute that is deeply discrediting, transforming the affected individual into a discredited person.― Definisi stigma terus berkembang dan direkonseptualisasikan semenjak publikasi oleh Goffman yang dilakukan oleh Goffman. Stigma dapat dibagi ke dalam dua bentuk yaitu apa yang dirasakan dan yang ditetapkan (Jacoby, 1994: Malcolm, et.al, 1998). Stigma merupakan proses pendikotomisasian ke dalam bentuk instrumental dan ekspresif, di mana seorang individu mungkin menerima orang lain secara negatif, tapi mungkin hanya bertindak menurut prasangkanya di bawah keadaan tertentu (Herek and Citanio, 1998). Proses yang menyebabkan terjadinya stigma digambarkan sebagai upaya mempertahankan hirarki kekuasaan, ekonomi, dan sosial (Link and Phelan, 2001). Dalam proses selanjutnya, stigma lebih diterima pada tingkat komunitas, institusi, dan level kebijakan, daripada perilaku atau tindakan oleh seorang individu (parker and Aggleton, 2002). Pada bagian lain Kidd dan Clay (2003) menyatakan bahwa stigma merupakan proses penciptaan dan reproduksi relasi kekuasaan yang tidak sama atau setara, di mana
9 perilaku negatif mengarah kepada sekelompok orang, dengan dasar atribut tertentu seperti status HIV, gender, seksualitas atau perilaku yang diciptakan dan dipertahankan untuk melegitimasi kelompok-kelompok yang dominan dalam masyarakat. Stigma akan menghasilkan diskriminasi, sebagai bentuk perbedaan yang sewenang-wenang, perilaku ekslusi, pembatasan, di mana tindakan atau perlakuan berdasarkan sifat yang terstigmatisasi. Berkaitan dengan bahasa kebijakan pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS, UNAIDS dalam terbitan yang berjudul HIV-Related Stigma, Discrimination, and Human Rights Violation: Case Studies of Successful Programmes (2005) menyebutkan bahwa stigma diekspresikan lewat bahasa. Lebih lanjut: ‖Since the beginning of the epidemic, the powerful metaphors associating HIV with death, guilt and punishment, crime, horror and ‗otherness‘ have compounded and legitimated stigmatization. This kind of language derives from, and contributes to, another aspect underpinning blame and distancing: people‘s fear of life-threatening illness. Some fear-based stigma is attributable to people‘s fear of the outcomes of HIV infection—in particular, the high fatality rates (especially where treatment is not widely accessible), fear related to transmission, or fear stemming from witnessing the visible debilitation of advanced AIDS.‖ Epidemi HIV/AIDS telah menciptakan kesempatan-kesempatan baru untuk pembentukan stigma. Karakteristik penyakit ini adalah sama dengan penyakit lain yang secara umum juga dapat memunculkan stigma. Ada beberapa kondisi yang menyebabkan ODHIV lebih mudah mendapatkan stigmatisasi yakni: 1. Penyebab yang dipersepsikan membuat beban tanggung jawab jadi lebih berat, sekalipun itu sering tidak keadaan yang sebenarnya 2. HIV/AIDS adalah penyakit yang tidak dapat disembuhkan 3. HIV/AIDS adalah penyakit menular dan dapat membahayakan orang lain 4. Pada beberapa kasus, HIV/AIDS, mudah dikenali gejala-gejalanya seperti menjadi semakin kurus dan lemah
Selain dari sisi penyakit, stigma dapat disebabkan oleh (Campbell et.al, 2005): 1. Ketakutan karena akan terjadi sesuatu yang membahayakan jika bersentuhan dengan ODHIV, karena potensi resiko dari HIV/AIDS dan ODHIV itu sendiri
10 2. Informasi yang kurang tepat, kurang jelas, dan kurang lengkap mengenai HIV/AIDS yang diperoleh individu. 3. Fakta yang menyatakan bahwa HIV/AIDS identik dengan seks, sehingga berkembang persepsi bahwa HIV/AIDS hanya bisa diderita oleh orang yang telah melakukan hubungan seks 4. Kemiskinan yang diderita oleh ODHIV, karena banyak yang berasal dari keluarga miskin. 5. Intensitas diskusi yang masih kurang mengenai HIV/AIDS, padahal ketersediaan informasi dari berbagai pihak sangat mendukung keberhasilan penanganan ODHIV. Penderita sendiri kadang kala, tidak percaya diri untuk berdiskusi dengan konselor dan pihak yang berkompeten, sehingga terjadi misinformasi. 6. Manajemen pelayanan HIV/AIDS yang belum optimal, terutama di daerah perdesaan. Akibatnya pelayanan kesehatan buat ODHIV tidak maksimal, dan mereka terpaksa tinggal di rumah.
Stigma dapat dimanifestasikan pada 4 level yaitu: 1. Stigma individual; stigma lebih sering didiskusikan pada level individual. Pada level ini, ODHIV mendapatkan perlakuan yang berbeda dari teman, anggota keluarga dan juga individu lainnya yang berinteraksi dengan ODHIV. 2. Keluarga ; di Asia keluarga terinfeksi HIV/AIDS dengan beberapa cara. Oleh sebab itu sebuah keluarga akan mendiskriminasi keluarga atau individu dalam sebuah keluarga yang mengidap HIV/AIDS karena adanya ketakutan akan tertular atau karena mereka malu oleh perilaku ODHIV tersebut. 3. Institusional; stigmatisasi dan diskriminasi terhadap ODHIV umumnya terjadi pada level institusional. 4. Struktural dan Kebijakan; di beberapa negara Asia kebijakan nasional mendiskreditkan ODHIV akibat stigma sebagai kelompok dengan resiko tinggi. 3. Komunikasi Kesehatan (Health Communication) ”Mari gunakan komunikasi secara strategis untuk meningkatkan kesehatan!”. Kalimat ini merupakan kalimat pengantar yang tertera dalam buku Health
11 Communication, Lead Agency: Office of Diseases Prevention and Health Promotion. Artinya tidak ada jalan lain untuk menyukseskan kesehatan masyarakat, kecuali dengan memanfaatkan peranan dan jasa komunikasi. Menurut Schiavo (2007), komunikasi kesehatan merupakan proses untuk mengadvokasi dan meningkatkan hasil akhir kesehatan individu dan publik. Jadi komunikasi kesehatan adalah studi dan penggunaan strategi komunikasi untuk menginformasikan dan mempengaruhi keputusan individu dan komunitas untuk meningkatkan derajat kesehatannya. Ada beberapa elemen kunci penting yang tercakup dalam komunikasi kesehatan yakni sebagai berikut (Schiavo, 2007); 1. Menginformasikan dan mempengaruhi keputusan melalui penggunaan teknik dan strategi serta teknologi untuk mempengaruhi pihak tertentu 2. Memotivasi
individu,
karena
komunikasi
adalah
seni
dan
teknik
menginformasikan, mempengaruhi dan memotivasi individu. Komunikasi kesehatan yang efektif dapat memotivasi individu, institusi, dan masyarakat luas mengenai pentingnya isu-isu kesehatan berdasarkan kesadaran etika dan saintifik 3. Perubahan perilaku atau Behavior Change Communication yaitu proses interaktif dalam
mengembangkan
pesan
dengan
menggunakan
sejumlah
saluran
komunikasi, yang bertujuan untuk mendukung perilaku yang tepat dan positif. dengan 4. Meningkatkan pemahaman terhadap isu-isu yang berhubungan dengan kesehatan, sehingga dapat meningkatkan status kesehatan khalayak yang dituju 5. Memberdayakan anggota masyarakat melalui penyediaan informasi dan pemahaman tentang campur tangan serta masalah kesehatan yang spesifik 6. Pertukaran informasi dan dialog dua arah karena komunikasi adalah proses kemitraan dan partisipasi yang mengacu kepada konsep dialog dua arah, sehingga ada pertukaran informasi, ide, teknik dan pengetahuan antara pengirim pesan dan penerima pesan
12 4. Peninjauan Bidang Semantik Dalam linguistik—sebagai bagian dari ilmu bahasa—semantik, berasal dari bahasa Yunani sēmainó (bermakna) dan sēmantikós (yang dimaknai), sehingga semantik dapat diartikan sebagai ilmu bahasa yang mempelajari makna (Krongauz, 2001). Makna yang dikaji adalah makna bahasa yang terdapat dalam unsur bahasa itu sendiri: kata, frase, klausa, kalimat, dan wacana. Makna adalah pertautan yang ada di antara unsurunsur bahasa itu sendiri, terutama kata-kata. Makna menurut Palmer (1976) dalam Djajasudarma (1999) hanya menyangkut intrabahasa. Artinya, mengkaji makna adalah mengkaji bahasa semata tanpa memperhitungkan unsur lain di luar bahasa yang justru membentuk kebahasaan. Tetapi, seorang ahli lain, Adrienne Lehrer menyebutkan bahwa semantik merupakan bidang yang sangat luas. Di dalamnya terlibat unsur-unsur struktur dan fungsi bahasa yang berkaitan erat dengan psikologi, filsafat, antropologi, serta sosiologi. Dalam hal ini, bukan berarti semantik tidak memiliki ruang lingkup kajiannya. Ruang lingkup semantik berkisar pada hubungan ilmu makna itu sendiri dalam linguistik, meski faktor non-linguistik ikut mempengaruhi fungsi bahasa yang non-simbolik (emotif dan afektif). Ecyclopedia Britanica (1965) mendefinisikan semantik sebagai studi suatu pembeda bahasa dengan hubungan proses mental atau simbolisme dalam aktivitas bicara. Untuk menyusun kalimat yang dapat dimengerti, sebagian pemakai bahasa dituntut agar menaati kaidah gramatika, sebagian lagi tunduk pada kaidah pilihan kata (stilistika) menurut sistem leksikal yang berlaku di dalam suatu bahasa. Makna sebuah kalimat sering tidak bergantung pada sistem gramatika saja, tetapi bergantung pada kaidah wacana. Makna sebuah kalimat yang baik pilihan katanya dan susunan gramatikanya sering tidak dapat dipahami tanpa memperhatikan hubungannya dengan kalimat lain dalam sebuah wacana. Kenyataan menunjukkan bahwa banyak kata—sebagai bagian kalimat—dengan bermacam makna bila dihubungkan dengan kata lain. Linguistik membatasi diri pada garapan bentuk dan makna, sedangkan acuan bergantung pada pengalaman penutur bahasa itu sendiri. Semantik lebih menitikberatkan pada bidang makna dengan berpangkal dari acuan dan bentuk (simbol) Acuan dapat berupa konkret dan abstrak. Tetapi, kekacauan semantik dapat dihindari apabila prinsip
13 kooperatif (cooperative principle, Kempson 1977 dalam Djajasudarma) ditetapkan, yaitu meliputi: kuantitas (kata), kualitas (pembicaraan), hubungan (pembicaraan), dan cara penyampaian yang singkat dan jelas sehingga tidak menimbulkan ketaksaan (ambiguitas). Mempelajari makna bahasa tidak terlepas dari mempelajari bentuk bahasa itu sendiri. Bahasa menurut Sturtevant (1947: 2) dalam Masinambow (2004): ”... is a system of arbitrary vocal symbols by which members of a social group operate and interact.” Krongauz menandai semantik sebagai hubungan antara yang memaknai dan yang dimaknai, sehingga dari sini dapat direkonstruksi penerapan makna yang akan digunakan dalam sebuah teks dan konteks. Selain itu dapat pula ditandai adanya meta bahasa di dalam makna yang diberikan. Hal ini untuk menguatkan keberadaan makna yang akan diberikan dalam sebuah teks. Ferdinand de Saussure menyatakan bahwa tanda terdiri atas bentu fisik plus konsep mental yang terkait, dan konsep ini merupakan pemahaman atas realitas eksternal. Tanda terkait pada realitas hanya melalui konsep orang yang menggunakannya. Di samping itu, Charles Sanders Peirce memiliki cara tersendiri dalam mengkaji makna dan tanda. Peirce memberikan gambaran untuk memahami tanda, pengguna tanda, dan acuan tanda:
Tanda
Interpretant
Objek
Sumber: John Fiske, Cultural and Communication Studies, 1990
Peirce, sejalan dengan Ogden dan Richards, mengidentifikasi relasi segitiga antara tanda, pengguna tanda, dan realitas eksternal sebagai suatu keharusan modal untuk mengkaji makna. Panah dua arah menekankan bahwa msaing-masing istilah dapat dipahami hanya dalam relasinya dengan yang lain. Sebuah tanda mengacu pada sesuatu di luar dirinya sendiri—objek, dan ini dipahami oleh seseorang: dan ini memiliki efek di benak penggunanya, interpretant.
14 Harus diperhatikan bahwa tidak ada hubungan langsung antara kata dan benda yang diwakilinya; kata melambangkan pikiran atau referensi, yang pada gilirannya mengacu pada ciri atau peristiwa yang kita bicarakan. Dengan mempergunakan istilah yang lebih sederhana dari Ullman (1964), yaitu name, sense, and thing, maka simbol sama dengan name, yaitu bentuk fonetis kata; referensi sama dengan sense (makna, pengertian atau konsep) ialah informasi yang disampaikan nama kepada pendengar; dan referen adalah benda, yaitu wujud atau peristiwa non-linguistik yang kira bicarakan. Menurut Ullman, Ogden dan Richards hanya memperhatikan pendengar dan melupakan pembicara dalam teorinya. Bagi pendengar masalahnya akan sama seperti yang dilukiskan dalam segitiga: jika ia mendengar sebuah kata, akan terpikir olehnya benda yang diwakili kata itu. Sebaliknya, bagi pembicara, jika ia berpikir tentang sebuah benda ia akan mengucapkan kata yang mewakili benda itu. Hubungan timbal balik antara bunyi (sound) dan makna (sense) inilah yang disebut arti (meaning).
5. Peninjauan Bidang Stilistika Melalui stilistika suatu teks dapat dipahami secara lebih komunikatif. Adanya penerapan gaya bahasa (stilistika) dalam suatu teks menunjukkan adanya ketepatan dalam memahami bahasa. Ada beberapa hal penting yang menyangkut ilmu stilistika untuk menganalisa suatu teks, yang oleh Mucnik (B. S. Mucnik 1997: 465-468) diuraikan sebagai berikut: 1. Prinsip stilistika dapat menguraikan proses konstruksi teks. 2. Stilistika dapat menjadi pemecahan masalah untuk mengingatkan terhadap pemahaman yang tidak benar. 3. Pada dasarnya mekanisme dalam stilistika dapat mempermudah pembaca teks dengan bahasa yang bersangkutan (kesatuan pengertian bagi semua pembaca). Pemahaman yang berbeda-beda pada suatu masyarakat terhadap suatu teks, kiranya dapat dijembatani dengan mengarahkannya kepada suatu alur gaya bahasa. Hal ini dapat dilihat dengan mengamati tingkat kejelasan, ketepatan, kelengkapan, serta logis tidaknya suatu teks. Pada prakteknya stilistika tidak hanya mempelajari teks dan elemenelemennya seperti sinonim, antonim, homonim, rasa emosi, dan lain-lain, namun juga
15 merekonstruksi makna yang ada di dalam teks sesuai dengan pesan yang disampaikan penulis kepada pembaca (Mucnik, 1997: 10).
5.1. Gaya Bahasa Seperti dalam proses komunikasi lainnya, dalam kebijakan, terjadi proses pemilihan yang dilakukan oleh penulis naskah untuk mencapai tujuannya. Misalnya memilih gaya bahasa yang paling cocok untuk menyampaikan gagasannya. Gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa) (Keraf, 1984: 113). Gaya bahasa dapat ditinjau dari segi bahasa dan non-bahasa. A. Segi non-bahasa: berdasarkan pengarang (gaya Chairil); berdasarkan masa (gaya klasik); medium gaya (prancis); subjek (gaya filsafat); tempat (gaya Jakarta); hadirin (gaya Demagog); dan tujuan (gaya Diplomatis). B. Segi bahasa Dilihat dari segi bahasa, gaya bahasa dapat dibedakan berdasarkan titik tolah unsur bahasa yang digunakan: 1. Gaya bahasa berdasarkan pilihan kata Berdasarkan pilihan kata, gaya bahasa mempersoalkan kata mana yang paling tepat dan sesuai untuk posisi tertentu dalam kalimat. Serta tepat tidaknya penggunaan kata-kata dalam menghadapi situasi tertentu. Dalam bahasa standar dibedakan gaya bahasa resmi, misalnya amanat kepresidenan, dan gaya tak tak resmi, misalnya kuliah, gaya bahasa percakapan. 2. Gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat a. Klimaks: gaya bahasa yang mengandung urutan-urutan pikiran yang setiap kali semakin meningkat kedudukannya dari gagasan sebelumnya dan berakhir pada gagasan yang peling penting b. Anti-klimaks: kebalikan dari gaya bahasa klimaks. Jadi gagasan yang terpenting dikemukakan terlebih dahulu. c. Repetisi: gaya bahasa berupa perulangan atas kata-kata yang penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konsteks yang sesuai. Kata-kata, frasa atau
16 kelompok kata dapat diulang dalam sebuah kalimat dengan cara berbeda-beda untuk mencapai efek berlainan d. Antitesis: gaya bahasa yang berusaha mencapai kesejajaran dalam pemakaian kata-kata atau frasa-frasa yang menduduki fungsi yang sama
dalam bentuk
gramatikal yang sama. Kesejajaran tersebut dapat pula berbentuk anak klaimat yang tergantung pada induk kalimat yang sama 3. Gaya bahasa berdasarkan nada Gaya bahasa yang berdasarkan sugesti yang dipancarkan dari rangkaian kata-kata yang terdapat dalam sebuah wacana. 4. Gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna Gaya bahasa ini disebut trope, yaitu suatu penyimmpangan bahasa secara evaluatif atau emotif dari bahasa biasa entah dalam ejaan, pembentukan kataa, konstruksi (kalimat, kalusa, frasa), atau aplikasi sebuah istilah, untuk memperoleh kejelasan, penekanan, hiasan, humor, atau sesuatu efek lain. Gaya bahasa ini dibagi dalam dua: a. Retoris: yang merupakan penyimpangan dari konstruksi biasa untuk mencapai efek tertentu. Misalnya, akiterasi, yaitu perulangan konsonan yang sama, dan asonansi, yaitu perulangan bunyi vocal yang sama b. Kiasan: yang merupakan penyimpangan yang lebih jauh, khususnya dalam bidang makna. Gaya bahasa ini berdasarkan perbandingan atau persamaan. Misalnya, simile, metafora, dan personifikasi
6. Bahasa Hukum Bahasa Indonesia yang digunakan dalam ranah hukum merupakan laras bahasa tersendiri, yaitu bahasa hukum Indonesia. Bahasa hukum Indonesia diangap sebagai laras bahasa tersendiri karena mempunyai ciri-ciri tersendiri, yaitu lugas, eksak, objektif, memberikan definisi yang cermat, dan tidak beremosi (Badudu, 1996: 3). Bahasa hukum Indonesia terdapat dalam bentuk lisan dan tulisan (Hadikusuma, 1984: 2). Salah satu perwujudan bentuk lisan bahasa hukum Indonesia adalah peristiwa tutur di pengadilan. Perwujudan bentuk tulisan bahasa hukum Indonesia adalah teks-teks hukum seperti undang-undang, berita acara, putusan pengadilan, dan surat perjanjian (kontrak).
17 Teks hukum harus memenuhi syarat-syarat bahasa hukum Indonesia, yaitu jelas, lugas, dan cermat sehingga tidak menimbulkan tafsir ganda (Badudu, 1996: 8). Namun pada kenyataannya, banyak ditemukan masalah dalam teks-teks hukum, misalnya komposisi kalimat, pengunaan kata yang makna kurang tepat, dan penyususnan paragraf yang tidak padu (Badudu, 1996: 10). Bahasa peraturan perundang-undangan adalah bahasa Indonesia yang tunduk pada kaidah bahasa Indonesia, baik yang menyangkut pembentukan kata, penyusunan kalimat, maupun pengejaannya. Perancang peraturan perundang-undangan adalah orang yang tugas dan pekerjaannya merumuskan gagasan-gagasan dalam bentuk tulisan, baik gagasan tersebut berasal dari dirinya, maupun yang berasal dari penyelenggara negara. Oleh karena itu, pesan penting terkait dengan bahasa peraturan prundang-undangan adalah perancangan peraturan perundang-undangan harus: 1. Secermat mungkin untuk memilih kata-kata atau ungkapan agar tidak menimbulkan pengertian ganda 2. Secermat mungkin menyusun kalimat norma agar yang terkandung di dalamnya mengandung norma, bukan pernyataan belaka 3. Secermat mungkin menyesuaikan kalimat dan kata-kata yang akan disusun ke dalam kalimat norma sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar. 4. Secermat mungkin mengatur hal yang memang harus dilaksanakan dengan menghindari pengaturan delegasian karena ini akan mengakibatkan peraturan yang dibuat tidak bisa dilaksanakan karena menunggu peraturan pelaksanaannya dibuat.
Kerangka peraturan perundang-undangan terdiri atas enam bagian: 1. Judul 2. Pembukaan - frasa Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa - jabatan pembentuk peraturan perudang-undangan - konsiderans, uraian singkat mengenai pokok-pokok pikiran yang menjadi latar belakang dan alasan pembuatan peraturan perundang-undangan
18 - dasar hukum, dasar kewenangan pembuatan peraturan prundang-undangan dan peraturan perundang-undangan yang memerintahkan pembuatan peraturan perundangundangan tersebut - diktum, yang terdiri atas: * kata memutuskan * kata menetapkan * nama peraturan perundang-undangan c. Batang tubuh: - ketentuan umum - materi pokok yang diatur - ketentuan pidana - ketentuan peralihan - ketentuan penutup d. Penutup e. Penjelasan (jika diperlukan) f. Lampiran (jika diperlukan) Dalam batang tubuh bagian ketentuan umum terdapat definisi. Kata definisi berasal dari bahasa Latin, yaitu denifitio yang berarti ’pembatasan’. Atas dasar ini, dapat dikatakan bahwa tugas definisi ada;ah menentukan batasa pengertian dengan tepat, jelas, dan singkat (Lanur, 1983: 21). Secara umum definisi dibagi menjadi dua bagian: definisi nominal dan formal. Definisi nominal merupakan suatu cara untuk menjelaskan sesuatu dengan menguraikan arti katanya (lanur, 1983: 21). Definisi formal merupakan definisi yang memperlihatkan hal/benda yang dibatasinyan dengan cara menyajikan unsur-unsur atau ciri-ciri yang menyusunnya (Ibid: 23). Definisi nominal digunakan untuk hal-hal yang sifatnya praktis dengan tujuan mempermudah pemahaman. Ada beberapa macam definisi nominal, yaitu (a) sinonim, (b) definisi kamus, (c) etimologi kata, (d) stipulatif/suatu batasan kata yang tidak ditafsirkan lain, contoh Menteri adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan (e) antonim.
19 Berbeda dengan definisi nomila yang tidak mempunyai syarat-syarat tertentu dalam pembuatannya, definisi formal (definisi logis/definisiilmiah/definisi real) dalam pembuatannya memperhatikan syarat-syarat berikut: 1. Ekuivalen Definisi yang dibuat harus dapat diuji melalui konverbilitas atau dapat dipertukarkan satu sama lain antara yang didefinisikan (definiendum) dan yang mendefinisikan (definiens). Apabila definiendum adalah A dan definiens adalah B, maka A=B dan B=A. Oleh karena itu luas A dan B haruslah sama (Lanur, 1983: 24). 2. Paralel Dalam membuat suatu definisi, hindarka adanya penggunaan kata-kata yang mengandung syarat atau pengadaian dalam definiens, contoh kata jika, kalau, di mana, untuk apa, dan kepada siapa. 3. Pengulangan kata definiens Hindari dalanya pengulangan kata yang sama yang ada di dalam definiendum ke dalam definiens. Kalau pengulangan kata yang sama yang ada di dalam definiendum ke dalam definiens terjadi, kita jatuh dalam bahaya circulus in definiendo, yang artinya ’sesudah berputar-putar berapa lamanya, akhirnya kita dibawa kembali ke titik pangkal oleh definisi itu’ (Lanur 1983: 25). Contoh kalimat yang mengandung pengulangan definiens: ilmu hukum adalah ilmu yang memperlajari hukum. 4. Negatif Hindari penggunaan kata yang mengandung negatif, seperti bukan dan tidak dalam definiens. Definisi haruslah dirumuskan secara positif (Lanur 1983: 25). 5. Hindari Definisi yang Berjejal Berikut adalah contoh definisi yang berjejal: Hakim AdHoc adalah Hakim AdHoc pada pengadilan periklanan di pengadilan negeri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung. Frasa diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Ketua Mahkaman Agung merupakan norma yang seharusnya ditempatkan dalam materi yang diatur, bukan definisi.
20 B. Metode Penelitian 1. Paradigma Penelitian Setiap desain atau rancangan penelitian selalu diawali dengan pemilihan topik dan paradigma (Creswell, 1994). Paradigma adalah basis kepercayaan utama dalam sistem berpikir yang memuat pandangan-pandangan awal yang membedakan, memperjelas, dan mempertajam orientasi berpikir. Paradigma memiliki pengertian yang sama dengan perspektif atau sudut pandang, karena paradigma membawa konsekuensi praktis bagi perilaku, sudut pandang, interpretasi, dan kebijakan dalam pemilihan masalah (Poerwandari, 1994). Rancangan penelitian ini menggunakan paradigma paradigma realisme atau interpretif yang menganut konsep konstruksi sosial dan pemaknaan (meanings). Asumsi dasarnya adalah dunia diciptakan atau dikonstruksikan, bukan ditemukan, Oleh sebab itu manusia, memberikan arti pada dunia dengan menciptakan rangkaian makna. Paradigma ini bersifat subyektif dan tidak bebas nilai, dan menggunakan metode kualitatif dan induktif untuk mencapai tujuan penelitiannya (Amarattungga dan Baldry,2002). Penelitian ini mengacu kepada paradigma realisme atau interpretif, sebab tujuan dari penelitian ini adalah untuk menginterpretasikan dan memahami kebijakan penanggulangan HIV/AIDS yang dibuat oleh Departemen Kesehatan serta stakeholders lain yang terkait, mulai dari tingkat pusat, provinsi sampai dengan kabupaten/kota. Hasil akhir dari penelitian ini diharapkan melahirkan preposisi yang dibangun bukan hanya secara praktis, tetapi juga dari pemikiran-pemikiran peneliti. Dengan menggunakan metode induktif, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan generalisasi yang mendalam (deep), kaya (rich) dan bermakna (meaningful), khususnya mengenai termuatnya nilai-nilai humanisme dalam kebijakan komunikasi kesehatan sebagai upaya untuk mengatasi stigmatisasi pada ODHIV di Indonesia
2. Populasi, Sampel (Unit Analisis) dan Lokasi Penelitian Pada dasarnya populasi adalah himpunan semua hal yang ingin diketahui, dan biasanya disebut universum. Populasi juga didefinisikan sebagai seluruh kumpulan elemen yang dapat digunakan untuk membuat beberapa kesimpulan. (Agung, 2002).
21 Adanya keterbatasan seperti hal waktu, biaya, tenaga peneliti dan keberaksian yang dapat mengubah hasil penelitian mengakibatkan perlunya ditarik sampel dalam suatu penelitian. Sampel adalah bagian atau satuan dari keseluruhan objek penelitian (populasi). Populasi pada penelitian ini adalah semua kebijakan penanggulangan HIV/AIDS mulai dari tingkat pusat sampai dengan unit layanan. Adapun sampel yang diambil adalah kebijakan yang terdapat di Provinsi Jawa Barat. Alasan pemilihan Jawa Barat adalah karena telah lama menjalankan program penanggulangan HIV/AIDS serta program untuk ODHIV. Selain itu Jawa Barat merupakan provinsi dengan kasus tertinggi di Indonesia dalam kategori penderita HIV/AIDS. Dari segi geografi dan demografi, Jawa Barat juga memiliki karakteristik kabupaten dan kota yang sangat beragam, mulai dari kota pendidikan, kawasan wisata, industri, perkebunan, perikanan, sampai pertanian. Artinya, provinsi Jawa Barat dengan sendirinya memiliki kondisi wilayah dan komposisi penduduk yang variatif sehingga menarik untuk dijadikan obyek penelitian. Keberagaman dari sisi geografis dan demografis ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang komprehensif mengenai kebijakan penanggulangan HIV/AIDS. Selain menganalisis pada tingkat provinsi, penelitian ini juga akan meneliti kebijakan penanggulangan HIV/AIDS di tingkat kabupaten/kota. Untuk itu diambil 2 kabupaten dan 1 kota sebagai obyek penelitian. Tujuan penelitian pada tingkat kabupaten/kota ini adalah untuk memperoleh gambaran perbedaan karakteristik dalam kebijakan penanggulangan HIV/AIDS.
3. Teknik Pengunpulan Data Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif yang merupakan metode dalam paradigma interpretif yaitu sebuah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Menurut Bogdan dan Taylor, pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara utuh, di mana individu atau organisasi tidak boleh diisolasi ke dalam variabel atau hipotesis, tapi perlu memandangnya sebagai bagian dari sebuah keutuhan (holistic) (Moleong, 2000). Pendekatan kualitatif dalam penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh data dan analisis yang sifatnya mendalam. Jadi yang digunakan adalah pendekatan
22 fenomenologis yang menekankan dan mengedepankan aspek subjektivitas dari perilaku orang. Jadi dalam penelitian kualitatif, peneliti berupaya untuk mendapatkan jawaban melalui metode eksploratori yang tidak terstruktur dengan menggunakan jumlah sampel yang sedikit, namun sampel tersebut dinilai mampu memahami persolan-persoalan yang ada (Malhotra, 2004). Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder yang teknik pengumpulannya dilakukan secara berbeda. Untuk pengumpulan data primer, penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut: 1. Pengamatan atau observasi di lapangan yaitu terhadap dokumen atau kebijakan, terutama isi kebijakan penanggulangan HIV/AIDS mulai dari tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. 2. Wawancara mendalam (depth interview) dengan para narasumber atau informan yang ditetapkan sesuai dengan kriteria dan tujuan penelitian. Para narasumber terdiri dari para aktor yang terkait dengan kebijakan penanggulangan HIV/AIDS terdiri dari anggota legislatif (DPRD Komisi Kesehatan), Eksekutif (Dinkes, Bapeda, Pemda, Depsos), LSM, pihak swasta dan masyarakat sebagai kelompok respon target. Untuk itu disusun instrumen penelitian yakni pedoman wawancara mendalam dengan para informan atau narasumber. 3. Focus grup discussion (FGD) adalah sebuah teknik pengumpulan data dengan tujuan untuk menemukan makna sebuah tema menurut pemahaman kelompok. Teknik ini digunakan untuk mengungkap pemaknaan berdasarkan hasil diskusi yang terpusat pada permasalahan penelitian.
FGD ini dilakukan untuk
menghindari adanya kesalahan pemaknaan dari peneliti terhadap permasalahan yang sedang diteliti. Sementara itu untuk data sekunder (secondary data) yaitu dilakukan dengan metode studi kepustakaan dengan mengambil data dan informasi yang relevan dari bukubuku, jurnal, terbitan berkala, situs internet, serta referensi lainnya, terutama yang berkaitan dengan masalah stigmatisasi, semiotika, semantik, kebijakan komunikasi kesehatan, serta perspektif lain yang dinilai relevan dan memiliki kontribusi terhadap penelitian ini.
23 4. Pengolahan dan Analisis Data Ada beberapa tahap yang dilakukan dalam proses pengolahan dan penganalisisan data pada penelitian kualitatif mulai dari menguji keabsahan sampai dengan tahap penarikan kesimpulan yang merupakan jawaban dari pokok permasalahan penelitian ini.
a. Pengujian Validitas dan Reliabilitas Data Pada dasarnya dalam penelitian kualitatif untuk menentukan keabsahan data akan sangat berbeda dengan penentuan validitas dan realiabilitas dalam penelitian kuantitatif. Kirk dan Miller mengemukakan bahwa tidak ada satu pun eksperimen yang dapat dikontrol secara tepat dan tidak ada instrumen pengukuran yang dapat dikalibrasi secara tepat. Apalagi jika penelitian yang dilakukan di bidang sosial, di mana masalah yang diteliti adalah sangat kontekstual (Moleong, 1996). Dalam menentukan keabsahan data kualitatif, dipergunakan beberapa teknik atas kriteria-kriteria tertentu yaitu (Moleong, 1996): a. Derajat kepercayaan (credibility) yaitu pada dasarnya menggantikan konsep validitas internal dari non kualitatif. b. Keteralihan (transferability) berbeda dengan validitas eksternal dari non kualitatif. Konsep validitas itu menyatakan bahwa generalisasi suatu penemuan dapat berlaku atau diterapkan pada semua konteks dalam keadaan khalayak sasaran yang sama atas dasar penemuan yang diperoleh pada unit analisis. Untuk melakukan keteralihan tersebut, seorang peneliti hendaknya mencari dan mengumpulkan kejadian empiris tentang kesamaan konteks. c. Konteks
kebergantungan
(dependability)
merupakan
subsitusi
istilah
reliabilitas pada penelitian kuantitatif. Konsep kebergantungan lebih luas dari konsep reliabilitas, karena konsep ini memperhitungkan segala-galanya yaitu yang terdapat pada reliabilitas ditambah dengan faktor-faktor lainnya. d. Kriteria kepastian (confirmability) berawal dari konsep objektivitas versi non kualitatif yaitu menetapkan objektivitas dari segi kesepakatan antar subjek. Pemastian bahwa sesuatu itu objektif atau tidak bergantung pada persetujuan beberapa orang terhadap pandangan, pendapat dan penemuan seseorang. Dapat dikatakan bahwa pemahaman satu orang adalah subjektif dan jika sudah
24 merupakan kesepakatan beberapa atau banyak orang baru bisa dikatakan objektif.
b. Teknik Analisis Data Teknik analisis data adalah unsur yang juga penting dalam sebuah penelitian. Dengan melakukan analisis, maka data tersebut akan memiliki makna dan berguna dalam menjawab semua permasalahan penelitian. Analisis data menurut Patton adalah proses mengatur, mengurutkan data dan mengorganisasikanya ke dalam suatu pola kategori dan satuan uraian dasar. Sedangkan menurut Bogdan dan Taylor, analisis data merupakan proses yang merinci usaha secara formal untuk menemukan tema atau ide seperti yang disarankan oleh data dan sebagai usaha untuk memberikan bantuan pada tema tersebut. Analisis data juga dapat didefinisikan sebagai perubahan data menjadi informasi yang dilakukan secara kualitatif, agar dapat dimengerti dan dipahami dengan lebih mudah. Data kualitatif berbentuk laporan deskriptif dari hasil pengamatan atau wawancara. Jadi analisis kualitatif menampilkan suatu bentuk uraian kata-kata, dengan unit analisisnya adalah gejala-gejala yang diwujudkan dalam rangkaian tindakan berpola, peristiwa, objek, tindakan atau ucapan-ucapan dalam interaksi dan serangkaian pengetahuan. Artinya, selain peneliti harus mampu mengungkapkan melalui analisisnya pada permukaan luar dari suatu perilaku, juga harus mampu mengungkapkan aspek permukaan dalam lapisan kemengapaan dan kebagaimanaan itu terjadi.
4. Keterbatasan Penelitian Penelitian ini memiliki keterbatasan berkaitan dengan pemilihan metodologi penelitian, pengumpulan data serta analisis data. Keterbatasan-keterbatasan penelitian ini adalah: 1. Keterbatasan lokus karena yang diteliti yaitu hanya mengambil 1 provinsi dari 33 provinsi di seluruh Indonesia. 2. Keterbatasan kedua adalah pada fokusnya yaitu kajian semiotika terhadap kebijakan penanggulangan HIV/AIDS. Studi semiotika bersifat kualitatif yang sangat terbuka bagi munculnya interpretasi alternatif (Liitejohn, 1996). Jadi
25 kekuatan dan kelemahan studi ini terletak pada interpretasi peneliti atas data yang dikumpulkan. Sejauh interpertasi yang dilakukan dapat menutup kemungkinan adanya interpretasi yang lain, hasil penelitian menghasilkan output yang valid. Dengan kata lain, kelemahan studi semantik bersifat rentan terhadap munculnya intepretasi baru yang lebih kuat. 3. Pembuat kebijakan cenderung memberikan kredibilitas yang rendah kepada hasil dari pendekatan kualitatif karena dianggap tidak bebas nilai dan cenderung subyektif dalam memandang realitas (Amarattungga dan Baldry, 2000). Oleh sebab itu, peneliti berupaya untuk meminimalisasi kelemahan metodologis tersebut dengan memperhatikan dan memperketat end-point dari semua tahap dan proses penelitian, mulai dari penyusunan rancangan penelitian sampai dengan penyajian laporan akhir secara lengkap.
C. Operasionalisasi Konsep Berbagai konsep dan teori yang terdapat dalam tinjauan literatur proposal ini selanjutnya ditransformasikan ke dalam bentuk operasionalisasi konsep. Pada bagian berikut dijelaskan mengenai beberapa konsep dan operasionalisasinya yaitu: 1. Humanisme menurut The Encyclopedia of Philosophy (1967) berasal dari bahasa Latin humanitas yang berarti “the education of man”, atau bahasa Yunani paideia yang berarti “the education favored by those eho considered the liberal arts to be instruments, that is, disciplines proper to man which differentiate him from other animals”. berarti Humanisme dalam penelitian ini diartikan sebagai aliran yang bertujuan menghidupkan rasa perikemanusiaan dan mencita-citakan struktur dan interaksi sosial yang lebih baik. Lebih lanjut menurut The Encyclopedia of Philosophy, humanisme (humanism) adalah: “[...] philosophy which recognizes the value or dignity of man makes him the measures of all things or somehow takes human nature, its limits, or its interests as its theme”. Pada penelitian ini humanisme dioperasionalkan sebagai muatan nilai humanisme dalam substansi kebijakan yang terdiri dari: Anti-stigmatisasi yakni bahasa yang digunakan dalam sebuah kebijakan dan proses implementasi kebijakan tersebut tidak memuat dan
26 mengandung nilai-nilai yang mengarah kepada konteks negatif yaitu: HIV/AIDS adalah penyakit karena karma, penyakit yang muncul karena hubungan seks, penyakit yang tidak dapat disembuhkan, penyakit menular yang berbahaya, penyakit yang membahayakan, penyakit karena hukuman Tuhan, penyakit yang menimbulkan beban berat, serta penyakit yang diderita oleh individu yang berperilaku tidak benar. Anti-diskriminasi yakni bahasa yang digunakan dalam sebuah kebijakan tidak mengandung nilai atau pernyataan yang menyudutkan dan menempatkan ODHIV pada posisi sebagai orang yang bersalah; tidak boleh bersentuhan dengan orang lain; harus dihindari dalam interaksi sehari-hari, harus mendapatkan perlakuan ekslusif mulai dari lingkungan keluarga, lingkungan tempat tinggal, lingkungan sekolah, lingkungan tempat kerja sera lingkungan sosial; tidak mendapatkan perlakuan yang layak dalam pelayanan publik; pembatasan terhadap hak dan kewajiban ODHIV meskipun bertentangan dengan aturan hukum dan norma yang berlaku Tidak sensasional yakni bahasa yang digunakan dalam kebijakan penanggulangan HIV/AIDS tidak memposisikan ODHIV sebagai individu yang berbeda dari yang lain; memberikan perhatian ekstra hati-hati terhadap ODHIV; serta HIV/AIDS adalah penyakit yang harus dimusuhi. Tidak eksploitatif yakni bahasa kebijakan yang digunakan dalam penanggulangan HIV/AIDS tidak bersifat menjadikan ODHIV sebagai obyek penderita dalam kasus HIV/AIDS; tidak menimbulkan rasa takut di masyarakat terhadap ODHIV; memposisikan ODHIV sama dengan pasien penderita sakit lain; serta HIV/AIDS tidak hanya diderita oleh individu dengan perilaku tetentu atau dari kelompok tertentu tapi dapat diidap oleh semua orang.
2. Pada penelitian yang menjadi obyek pembahasan dari sebuah kebijakan penanggulangan HIV/AIDS adalah komponen dari kebijakan yaitu isi dari kebijakan. Adapun isi kebijakan yang akan dianalisis terdiri dari:
27 Pernyataan tujuan yakni mengapa kebijakan tersebut dibuat dan apa dampak yang diharapkan Ruang lingkup yaitu menerangkan siapa saja yang tercakup dalam kebijakan dan tindakan-tindakan apa yang dipengaruhi oleh kebijakan Durasi waktu yang efektif yang mengindikasikan kapan kebijakan mulai diberlakukan Bagian pertanggungjawaban yang mengindikasikan di mana individu atau organisasi bertanggung jawab dalam melaksanakan kebijakan, artinya dengan mencantumkan secara jelas tanggung jawab semua pihak Pernyataan kebijakan yang mengindikasikan aturan-aturan khusus atau modifikasi aturan terhadap perilaku organisasi yang membuat kebijakan tersebut jika menemui kendala-kendala tertentu Definisi yang menyediakan secara jelas dan tidak ambigu mengenai definisi bagi istilah dan konsep dalam dokumen kebijakan HIV/AIDS tersebut.
3. Komunikasi kesehatan digunakan dalam kerangka untuk menganalisis materi ketika sebuah kebijakan diimplementasikan. Artinya, penelitian ini akan melihat apakah kebijakan tersebut telah memperhatikan aspek komunikasi kesehatan dalam proses implementasi. Sebab ketidaktepatan merancang unsur komunikasi, dapat mempengaruhi proses implementasi sehingga terjadi kesenjangan kebijakan. Adapun aspek komunikasi kesehatan yang akan diteliti adalah: Proses penginformasian dan pembuatan keputusan untuk mempengaruhi pihak tertentu memperhatikan nilai-nilai humanisme Dalam tujuan memotivasi individu berdasarkan kesadaran etika dan saintifik yang humanis Penyampaian kebijakan bertujuan untuk merubah perilaku masyarakat melalui pengenalan nilai-nilai humanisme, sehingga persepsi dan penilaian masyarakat terhadap ODHIV menjadi lebih positif Memberikan informasi yang tepat, jelas dan mudah dipahami mengenai ODHIV
28
29 BAB III KEBIJAKAN PENANGGULANGAN HIV dan AIDS DI INDONESIA
A. HIV dan AIDS di Indonesia HIV atau Human Immunodeficiency Virus adalah virus yang menyerang sel darah putih yang mengakibatkan menurunnya sistem kekebalan tubuh manusia sehingga tubuh manusia mudah terserang berbagai macam penyakit. AIDS atau Acquired Immuno Deficiency Syndrome adalah sekumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh menurunnya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV. HIV dan AIDS adalah masalah darurat global yang mengakibatkan lebih dari 20 juta orang meninnggal di dunia, sementara 40 juta orang telah terinfeksi (KPA, 2007). HIV dan AIDS merupakan salah satu ancaman terbesar pembangunan sosial ekonomi, stabilitas dan keamanan negara-negara berkembang sehingga mengakibatkan kemiskinan semakin parah. Fakta menyebutkan, di seluruh dunia, setiap hari virus HIV menular kepada sekitar 2000 anak di bawah usia 15 tahun melalui penularan ibu-bayi; menewaskan 1400 anak di bawah usia 15 tahun; dan menginfeksi lebih dari 6000 orang muda dengan usia produktif antara 15—24 tahun yang juga merupakan mayoritas dari orang-orang yang hidup dengan HIV dan AIDS (ODHIV) (KPA, 2007). Epidemi HIV telah berlangsung selama dua puluh tahun di Indonesia dan sejak tahun 2000 sepidemi tersebut telah terkonsentrasi pada sub-populasi beresiko tinggi, yaitu pengguna Napza suntik (penasun), penjaja seks komersial (PSK), dan waria (KPA, 2007). Sejak tahun 2004, laju peningkatan jumlah kasus AIDS semankin cepat. Departemen Kesehatan (Depkes) melaporkan jumlah kasus baru AIDS pada tahun 2006 sebanyak 2.873 (Ibid), yang merupakan dua kali lipat dibanding jumlah kasus yang dilaporkan selama 17 tahun pertama epidemi AIDS di Indonesia. Data terbaru Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) menyebutkan sampai dengan 31 Maret 2009 jumlah kumulatif kasus AIDS di Indonesia adalah 16964 dengan jumlah provinsi yang melapor adalah 32 provinsi dan 214 kabupaten/kota. Pada triwulan pertama tahun 2009 terdapat 854 kasus. Jumlah kasus AIDS terbanyak berturut-turut dilapokan dari provinsi Jawa Barat (3162), DKI Jakarta (2807), Jawa Timur (2652), Papua (2499),
30 dan Bali (1263). Sedangkan proporsi kumulatif kasus AIDS tertinggi dilaporkan pada tingkat umur 20—29 tahun (50,50%), kemudian kelompok umur 30—39 tahun (29,48%), dan kelompok umur 40—49 tahun (8,41%). Menghadapi percepatan penambahan kasus baru HIV dan AIDS perlu dilakukan akselerasi program penanggulangan AIDS. Bersamaan dengan itu, pemerintah beserta pihak-pihak terkait tengah membangun sistem penanggulangan AIDS jangka panjang yang komprehensif mencakup program pencegahan, perawatan, dukungan, dan pengobatan serta mitigasi. KPA pusat bersama pemerintah telah meluncurkan tiga Strategi nasional Penanggulangan HIV dan AIDS ( 1994, 2003—2007, dan 2007—2010). Di samping itu, KPA juga merancang Rencana Aksi Nasional Penanggulangan HIV dam AIDS di Indonesia2007—2010.
B. Kebijakan Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia Upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia telah dimulai secara sistematis sejak tahun 1994, tetapi jumlah kasus dan luas persebarannya semakin meningkat setiap tahunnya (KPA, Stranas 2007). Secara prosedural, menurut KPA, terdapat beberapa kelemahan dalam pelaksanaan program penanggulangan HIV dan AIDS di Indoensia. Implementasi program yang terpecah-pecah di banyak tempat oleh banyak pelaksana berjalan sendiri-sendiri dan cakupan program yang sangat kecil. Kemampuan sumber daya yang rendah juga menjadi kendala tersendiri. Anggaran dari pemerintah sangat kecil bila dibandingkan dengan besarnya masalah yang dihadapi. Pemerintah Daerah masih beranggapan bahwa masalah HIV dan AIDS belum menjadi prioritas utama di daerah sehingga dukungan dana sangat tidak memadai. Lemahnya kepemimpinan dan mutu sumber daya juga menyebabkan Komisi Penanggulangan AIDS di daerah tidak berfungsi sebagaimana yang diharapkan. KPA merancang Stranas 2007—2010 berdasarkan pengalaman sebelumnya dan untuk menjawab perubahan sistem pemerintahan dari sistem terpusat menjadi sistem desntralisasi. Selain itu, Stranas juga dirancang dengan komitmen internasional, yaitu menyesuaikan target yang ditetapkan Millenium Dvelopment Goals dan United General Assembly Special Session on HIV and AIDS tahun 2020. Stranas 2007—2010 dimaksudkan sebagai pedoman bagi sektor pemerintah pusat dan daerah, sektor non-
31 pemerintah, masyarakat sipil maupun mitra internasional dalam upaya menanggulangi HIV dan AIDS di Indonesia. Data epidemi menunjukkan peningkatan kasus HIV dan AIDS terutama terdapat di kalngan pengguna Napza sunti di kota-kota besar. Sedangkan untuk wailayan Tanah Papua, dimana dua provinsinya telah mengalami generalized epidemic, peningkatan kasus terjadai akibat hubungan seks tidak aman. Berdasarkan data KPA Maret 2009, pada tahun 2008 terjadai penambahan jumlah kasus yang cukup signifikan, yaitu 4969 kasus dari 2947 kasus pada tahun 2007. Para ahli epidemiologi Indonesia memproyeksikan, bila tidak ada peningkatan upaya penanggulangan yang berarti, pada tahun 2010 jumlah kasus AIDS akan menjadi 400.000 orang dengan kematian 100.000 orang, dan pada tahun 2015 akan menjadi 1.000.000 dengan kematian 350.000 orang. Data KPA yang terangkum dalam Stranas 2007—2010 menyebutkan bahwa dari tahun ke tahun, sejak tahun 1987 sampai 2006, peningkatan pesat kasus HIV dan AIDS di Indonesia umumnya disebabkan penularan melalui penggunaan jarum suntiktidak steril di sub-populasi pengguna napza suntik (penasun). Bersamaan dengan itu, penularan melalui hubungan seksual berisiko tetap berlangsung. Sementara itu, berdasarkan data KPA 2009, penularan kasus HIV dan AIDS didominasi oleh hubungan seksual heteroseksual berisiko (48,4%), diikuti melalui pengguna napza suntik (42%), dan hubungan seksual homoseksual berisiko (3,7%). Pemerintah telah melakukan berbagai tindakan sebagai respons terhadap kemunculan dan peningkatan kasus HIV dan AIDS di Indonesia sejak tahun 1985. Respons utama pemerintah pada tahun 1980-an adalah dengan membentuk Kelompok Kerja Penanggulangan AIDS di Departemen Kesehatan, penetapan wajib lapor kasus AIDS, penetapan laboratorium untuk pemeriksaan HIV, penyiapan dan penyebaran bahan Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE). Pada tahun 1994, pemerintah melalui Keppres No. 36 membentuk Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) di tingkat pusat dan kemudian disusul dengan terbentuknya KPA di beberapa provinsi. Pada tahun 2006, KPA Nasional sebagai institusi mengalami pembaruan dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 75 tahun 2006 yang melibatkan lebih banyak sektor: TNI, Polri, BNN, dan masyarakat sipil. Bersamaan dengan terbentuknya KPA di tingkat pusat dan beberapa
32 provinsi, pemerintah melalui KPA mengeluarkan Strategi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS 1994 (Stranas 1994). Pada bulan Maret dan November 2002 pemerintah mengadakan Sidang Kabinet Khusus HIV dan AIDS yang memutuskan beberapa hal penting: Departemen/Lembaga harus memberikan komitmen dan respons yang kuat untuk menghambat laju epidemi HIV dan AIDS; Adanya Gerakan Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS sampai tahu 2010; Menetapkan Penanggulangan HIV dan AIDS sebagai Prioritas Pembangunan Nasional dan dicantumkan dalam Perencanaan Strategis Pembangunan Nasional masing-masing departemen/lembaga terkait; Menetapkan ketersediaan dana nasional gerakan Nasional Stop HIV dan AIDS setiap tahun; Menetapkan dan memperkuat organisasi KPA untuk mengkoordinasikan upaya penanggulangan HIV dan AIDS. Pada tahun 2003 Stranas 2003—2007 diluncurkan sebagai respons terhdap berbagai perubahan, tantangan, dan masalah HIV dan AIDS yang semain besar dan rumit. Pada tahun yan sama, Menko Kesra sebagai ketua KPA dan Kapolri selaku Ketua Badan Narkotika Nasional (BNN) menandatangani nota kesepahaman tentang upaya terpadu pencegahan penularan HIV dan AIDS dan pemberantasan penyalahgunaan napza dengan cara suntik. Pada tahun 2004 Program Penanggulangan HIV dan AIDS di Tempat Kerja diluncurkan oleh Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi dengan pemberlakukan Kaidah ILO. Pemerintah
bersama
KPA
tidak
saja
menyiapkan
Strategi
Nasional
Penanggulanagn HIV dan AIDS sebagai kerangka acuan nasional, tetapi juga memperhatikan kesiapan rumah sakit dan perusahaan obat-obatan untuk menyokong program nasional. Pemerintah melalui perusahaan farmasi PT. Kimia Farma memproduksi obat anti-retroviral (ARV). Pada awal 2005 diluncurkan program akselerasi di 100 kabupaten/kota di 22 provinsi, disertai dengan diberlakukannya Sistem Monitoring, Evaluasi, dan Pelaporan HIV dan AIDS Nasional. Departemen Kesehatan awalnya menyiapkan 25 rumah sakit, kemudian bertambah menjadi 75 rumah sakit untuk pelayanan Care, Support, and Treatment (CST), termasuk penyediaan ARV.
33 Kesiapan pelaksanaan program pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia tidak saja dengan mematangkan institusi terkait beserta perangkatnya hukumnya tetapi juga memperhatikan sejumlah isu penting yang dapat membuat progam berjalan efektif. Beberapa isu penting terkait program pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia adalah: Meningkatnya jumlah pengguna napza suntik (penasun) Narapidana penasun Hubungan seksual berisiko Mobilitas penduduk Anak yang terinfeksi HIV dan terafeksi HIV dan AIDS Sementara itu, beberapa tantangan juga menjadi perhatian: Norma-norma dan perilaku sosial Koordinasi multipihak terhadap respons Kebijakan dan pengembangan program Pemenuhan kebutuhan kelompok remaja dan dewasa muda Risiko khusus yang dihadapi anak perempuan Kebutuhuan memperluas perawatan, pengobatan, dan dukungan Stigma dan diskriminasi Desentralisasi Tujuan penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia secara umum adalah mencegah dan mengurangi penularan HIV, meningkatkan kualitas hidup ODHA serta mengurangi dampak sosial dan ekonomi akibat HIV dan AIDS pada individu, keluarga dan masyarakat. Sedangkan tujuan khususnya adalah: 1. menyediakan dan menyebarluaskan informasi dan menciptakan suasana kondusif utuk mendukung upaya penanggulangan HIV dan AIDS, dengan menitikberatkan
pencegahan
pada
sub-populasi
berisiko
tinggi
dan
lingkungannya dengan tetap memperhatikansub-populasi lainnya 2. menyediakan dan meningkatkan mutu pelayanan perawatan, pengobatan, dan dukungan kepada ODHA yang terintegrasi dengan upaya pencegahan 3. meningkatkan peran remaja, perempuan, keluarga, dan masyarakat umum termasuk ODHA dalam berbagai upaya penanggulangan HIV dan AIDS
34 4. mengembangkan dan meningkatkan kemitraan antara lembaga pemerintah dan masyarakat sipil, antara lain LSM, sektor swasta, dan dunia usaha, organisasi profesi, dan mitra internasional di pusat dan di daerah untuk meningkatkan respons nasional terhadap HIV dan AIDS. Berdasarkan kondisi yang telah disebutkan di atas, Stranas 2007—2010 menyebutkan bahwa kebijakan penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia: 1. upaya penanggulangan HIV dan AIDS harus memperhatikan nilai-nilai agama dan budaya/norma kemasyarakatan dan kegiatannya diarahkan untuk mempertahankan dan memperkokoh ketahanan dan kesejahteraan keliarga; 2. upaya penanggulangan HIV dan AIDS diselenggarakan oleh masyarakat dan pemerintah berdasarkan prinsip kemitraan. Masyarakat sipil termasuk LSM, KDS, dan ODHA serta OHIDA menjadi pelaku utama sedangkan pemerintah berkewajiban mengarahkan, membimbing, dan menciptakan suasana yang mendukung terselanggaranya upaya penanggulangan HIV dan AIDS; 3. upaya penanggulangan harus didasari pada pengertian bahwa masalah HIV dan AIDS sudah menjadi masalah sosial kemasyarakatan serta masalah nasional
dan
penanggulangannya
melalui
“
Gerakan
Nasional
Penanggulangan HIV dan AIDS.”; 4. Upaya penanggulangan HIV dan AIDS diutamakan pada sub-populasi berperilaku risiko tinggi tetapi harus pula memperhatikan masyarakat yang rentan, termasuk yang berkaitan dengan pekerjaannya dan masyarakat yang termarjinalkan terhadap penularan HIV dan AIDS; 5. Upaya penanggulangan HIV dan AIDS harus menghormati harkat dan martabat manusia serta memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender; 6. Upaya pencegahan HIV dan AIDS pada anak sekolah, remaja, dan masyarakat umum diselenggarakan melalui kegiatan komunikasi, informasi, dan edukasi guna mendorong kehidupan yang lebih sehat. Upaya pencegahan melalui pendidikan dilaksanakan intra- dan ekstrakurikuler; 7. Upaya pencegahan yang efektif termasuk penggunaan kondomm 100 persen pada setiap hubungan seks berisiko, semata-mata hanya untuk memutus rantai penularan penyakit menular termasuk HIV;
35 8. Upaya mengurangi infeksi HIV pada pengguna napza suntik melalui kegiatan pengurangan
dampak
buruk
(harm
reduction)
dilaksanakan
secara
kmprehensif berarti juga mengupayakan penyembuhan dari ketergantungan napza; 9. Upaya penanggulangan HIV dan AIDS merupakan upaya-upaya terpadu dari peningkatan perilaku hidup sehat, pencegahan penyakit, pengobatan dan perawatan berdasarkan data dan fakta ilmiah serta dukungan terhadap ODHA; 10. Setiap pemeriksaan untuk mendianosa HIV dan AIDS harus didahului dengan penjelasan yang benar dan mendapat pesetujuan yang bersangkutan (informed consent). Konseling yang memadi harus diberikan sebelum dan sesudah pemeriksaan, dan hasil pemeriksaan diberitahukan kepada yang bersangkutan tetapi haus dirahasiakan kepada pihak lain; 11. Diusahakan agar peraturan perundang-undangan mendukung dan selarasa dengan Strategi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS di semua tingkat; 12. Setiap pemberi
pelayanan berkewajiban memberikan layanan tnapa
diskriminasi kepada ODHA dan OHIDA
C. Struktur Organisasi Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia Komisi Penanggulangan AIDS Nasional merupakan lembaga yang berwenang sebagai koordinator program pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia. Untuk memudahkan pelaksanaan progarm sampai dengan ke tingkat daerah, KPA juga menempatkan sekretariatnya sampai ke tingkat kabupaten/kota. Selanjutnya, Camat dan Lurah juga berperan dalam mobilisasi sumberdaya dan berbagai upaya penanggulangan HIV dan AIDS di tingkat kecamatan dan kelurahan. Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, selanjutnya disingkat KPAN, terbentuk dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 75 tahun 2006 tentang Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. KPAN dibentuk atas dasar petimbangan bahwa dalam rangka meningkatkan upaya pencegahan, pengendalia, dan penanggulangan AIDS perlu dilakukan langkah-langkah strategis untuk menjaga kelangsungan penanggulangan AIDS dan menghindari dampak yang lebih besar di bidang kesehatan, sosial, politik, dan
36 ekonomi; dan bahwa dalam rangka meningkatkan efektivitas koordinasi penanggulangan AIDS sehingga lebih intensif, menyeluruh, dan terpadu. Struktur organisasi KPA akan dijabarkan sebagai berikut: A. Tingkat Pusat Sesuai dengan Perpres Nomor 75 tahun 2006, KPAN memiliki tugas dan wewenang sebagai berikut: 1. menetapkan kebijakan dan rencana strategis nasional serta pedoman umum pencegahan, pengendalian dan penanggulangan AIDS; 2. menetapkan langkah-langkah strategis yang diperlukan dalam pelaksanaan kegiatan; 3. mengkoordinasikan pelaksanaan kegiatan penyuluhan, pencegahan, pelayanan, pemantauan, pengendalian, dan penanggulangan AIDS; 4. melakukan penyebarluasan informal mengenai AIDS kepada berbagai media massa, dalam kaitan dengan pemberitaan yang tepat dan tidak menimbulkan keresahan masyarakat; 5. melakukan kerjasama regional dan internasional dalam rangka pencegahan dan penanggulangan AIDS; 6. mengkoordinasikan pengelolaan data dan informasi yang terkait dengan masalah AIDS; 7. mengendalikan,
memantau,
dan
mengevaluasi
pelaksanaan
pencegahan,
pengendalian, dan penanggulangan AIDS; 8. memberikan arahan kepada Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam rangka pencegahan, pengendalian, dan penanggulangan AIDS Dalam melaksanakan tugasnya KPAN berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Secara struktural, KPAN diketuai oleh Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat dan dalam pelaksanaan tugas sehari-hari KPAN dijalankan oleh Tim Pelaksana yang diketuai oleh Sekretaris KPAN. Susunan keanggotaan Tim Pelaksana terdiri dari unsur pejabat instansi terkait, organisasi profesi, tenaga profesional, dan pihak lain yang terkait yang ditetapkan oleh Ketua KPAN. Selain itu, untuk kelancaran pelaksanaan tugas, Ketua KPAN dapat membentuk Kelompok Kerja dan/atau
37 Panel Ahli yang terdiri dari pejabat instansi pemerintah terkait, pakar, akademisi, dan/atau pihak-pihak lain yang dianggap perlu. Dalam melaksanakan tugasnya KPAN melakukan koordinasi dan/atau kerjasama dengan instansi Pemerintah Pusat maupun instansi Pemerintah Daerah, dunia usaha, organisasi non-pemerintah, organisasi profesi, perguruan tinggi, badan internasional, dan/atau pihak-pihak lain yang dipandang perlu, serta melibatkan partisipasi masyarakat.
B. Tingkat Provinsi Di tingkat provinsi, untuk membantu pelaksanaan tugas KPAN, Gubernur membentuk Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi yang diketuai oleh Gubernur. KPA Provinsi dalam pelaksanaan tugasnya sehari-hari memiliki sekretariat KPA Provinsi. KPA Provinsi mempunyai hubungan koordinatif, konsultatif, dan teknis dengan KPAN. Adapun tugas KPA Provinsi, berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2007 tentang Pedoman Umum Pembentukan Komisi Penanggulangan AIDS dan Pemberdayaan Masyarakat dalam Rangka Penanggulangan HIV dan AIDS di Daerah, adalah 1. mengkoordinasikan perumusan penyusunan kebijakan, strategi, dan langkahlangkah yang diperlukan dalam rangka penanggulangan HIV dan AIDS sesuai kebijakan, strategi, dan pedoman yang ditetapkan oleh Komisi Penanggulangan AIDS Nasional; 2. memimpin,
mengelola,
mengendalikan,
memantau,
dan
mengevaluasi
pelaksanaan penanggulangan HIV dan AIDS di provinsi; 3. menghimpun, menggerakkan, menyediakan, dan memanfaatkan sumber daya berasal dari pusat, daeran, masyarakat, dan bantuan luar negeri secara efektif dan efisien untuk kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS; 4. mengkoordinasikan pelaksanaan tugas dan fungsi masing-masing instansi yang tergabung dalam keanggotaan KPA Provinsi; 5. mengadakan kerjasama regional dalam rangka penanggulangan HIV dan AIDS; 6. menyebarluaskan informasi mengenai upaya penanggulangan HIV dan AIDS kepada aparat dan masyarakat; 7. memfasilitasi KPA Kabupaten/Kota;
38 8. mendorong terbentuknya LSM/Kelompok Peduli HIV dan AIDS dan; 9. melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan penanggulangan dan evaluasi kegiatan pelaksanaan penaggulangan HIV dan AIDS serta menyampaikan laporan secara berkala dan berjenjang kepada KPAN.
C. Tingkat Kabupaten/Kota Pada tingkat Kabupaten/Kota, KPA diketuai oleh Bupati/Walikota setempat yang dibantu oleh sekretariat KPA Kabupaten/Kota sebagai pelaksana tugas sehari-hari. KPA Kabupaten/Kota mempunyai hubungan koordinatif, konsultatif, dan teknis dengan KPAN dan KPA Provinsi. Adapun tugas KPA Kabupaten/Kota, berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2007 tentang Pedoman Umum Pembentukan Komisi Penanggulangan AIDS dan Pemberdayaan Masyarakat dalam Rangka Penanggulangan HIV dan AIDS di Daerah, adalah 1. mengkoordinasikan perumusan penyusunan kebijakan, strategi, dan langkahlangkah yang diperlukan dalam rangka penanggulangan HIV dan AIDS sesuai kebijakan, strategi, dan pedoman yang ditetapkan oleh Komisi Penanggulangan AIDS Nasional; 2. memimpin,
mengelola,
mengendalikan,
memantau,
dan
mengevaluasi
pelaksanaan penanggulangan HIV dan AIDS di kabupaten/kota; 3. menghimpun, menggerakkan, menyediakan, dan memanfaatkan sumber daya berasal dari pusat, daeran, masyarakat, dan bantuan luar negeri secara efektif dan efisien untuk kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS; 4. mengkoordinasikan pelaksanaan tugas dan fungsi masing-masing instansi yang tergabung dalam keanggotaan KPA Kabupaten/Kota; 5. mengadakan kerjasama regional dalam rangka penanggulangan HIV dan AIDS; 6. menyebarluaskan informasi mengenai upaya penanggulangan HIV dan AIDS kepada aparat dan masyarakat; 7. memfasilitasi pelaksanaan tugas Camat dan Pemerintah Desa/Kelurahan dalam penanggulangan HIV dan AIDS; 8. mendorong terbentuknya LSM/Kelompok Peduli HIV dan AIDS dan;
39 9. melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan penanggulangan dan evaluasi kegiatan pelaksanaan penaggulangan HIV dan AIDS serta menyampaikan laporan secara berkala dan berjenjang kepada KPAN. Dalam pelaksanaan kebijakan, strategi, dan langkah-langkah penanggulangan HIV dan AIDS, Bupati/Walikota selaku Ketua KPA Kabupaten/Kota menugaskan: 1. Camat memimpin, mengkoordinasikan pelaksanaan, dan memobilisasi sumber daya yang ada di kecamatan 2. Kepala Desa/Kelurahan melaksanakan upaya penanggulangan HIV dan AIDS di desa/kelurahan Sedangkan dalam pelaksanaan kegiatan tersebut di atas, Kepala Desa/Kelurahan dibantu oleh lembaga pendidikan, lembaga kemasyarakatan, tokoh adat, tokoh agama, dan masyarakat. Berdasarkan pasal 9 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2007 tentang
Pedoman
Umum
Pembentukan
Komisi
Penanggulangan
AIDS
dan
Pemberdayaan Masyarakat dalam Rangka Penanggulangan HIV dan AIDS di Daerah, upaya penanggulangan HIV dan AIDS di daerah dilaksanakan secara terpadu dengan Program Pemberdayaan Masyarakat. Tujuannya adalah agar masyarakat tahu, mau, dan mampu menanggulangi HIV dan AIDS di wilayahnya. Selain itu, upaya melibatkan masyarakat dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS difokuskan pada peran yang dimiliki masing-masing pihak, termasuk pencegahan diskriminasi dan stigmatisasi terhadap ODHA dan OHIDA.
40 BAB IV GAMBARAN UMUM KEBIJAKAN PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI TIGA WILAYAH PENELITIAN
Bab ini memaparkan gambaran umum pelaksanaan kebijakan penanggulangan HIV dan AIDS di tiga kabupaten/kota yang menjadi obyek penelitian. Pemaparan ini mencakup upaya pemerintah daerah dalam meredam munculnya potensi stigmatisasi melalui bahasa kebijakan yang digunakan dalam produk hukum daerah berkenaan dengan penanggulangan HIV dan AIDS. Adapun tujuan pendeskripsian wilayah penelitian adalah untuk memberikan gambaran dan pemahaman mengenai kondisi demografis dan perkembangan HIV dan AIDS dan bahasa kebijakan penanggulangan HIV dan AIDS di masing-masing wilayah. Dengan demikian diperoleh bahan dan panduan singkat dalam memahami permasalahan yang muncul di setiap wilayah, khususnya yang berkaitan dengan stigmatisasi dalam bahasa kebijakan penanggulangan HIV dan AIDS di masingmasing wilayah.
A. Provinsi Jawa Barat Provinsi Jawa Barat terdiri dari tujuh belas kabupaten dan sembilan kota yang terbagi dalam 584 kecamatan dan 5.201 kelurahan (www.jabar.go.id). Luas wilayah provinsi Jawa Barat, yang meliputi daratan dan pulau-pulau di wilayah Samudera Indonesia, adalah 35.746,26 km². Menurut Survei Sosial Ekonomi 2007, jumlah penduduk Jawa Barat adalah 41.483.729 jiwa dengan kepadatan penduduk 147 jiwa per km². Berdasarkan data yang dirilis KPA pada tanggal 31 Maret 2009, Provinsi Jawa Barat merupakan provinsi dengan kasus AIDS tertinggi di Indonesia, yaitu sebanyak 3.162 kasus dengan 579 kasus kematian. Dari jumlah total kasus AIDS di Jawa Barat, pengguna napza suntik (penasun) merupakan penyumbang terbesar, yaitu sebanyak 2366 kasus atau sekitar 74 persen. Pengelompokan kasus berdasarkan faktor usia menunjukkan bahwa 64 persen kasus AIDS berasal dari penduduk berusia 20—29 tahun. Sedangkan kasus AIDS terbesar berdasarkan kabupaten/kota di Jawa Barat: kota Bandung 1.763
41 kasus, kota Bekasi 589 kasus, kota Sukabumi 392 kasus, kota Bogor 217 kasus, dan kabupaten Bandung 150 kasus. Tingginya jumlah kasus AIDS di Jawa Barat membuat Pemerintah Provinsi melalui Gubernur menjadikan isu ini sebagai kondisi darurat dan harus mendapat prioritas (www.tempointeratif.com). Meskipun demikian, Provinsi Jawa Barat belum memiliki payung hukum yang berkaitan dengan upaya penanggulangan HIV dan AIDS. Pada tanggal 18 Mei 2009, Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan, mengeluarkan surat bernomor 443/28/Yansos tentang Edaran Penanggulangan AIDS yang ditujukan kepada seluruh Bupati/Walikota selaku Ketua Komisi Penanggulangan AIDS Kabupaten/Kota. Surat edaran Gubernur Jawa Barat kepada Bupati/Walikota di Jawa Barat berisi imbauan kepada Bupati/Walikota agar lebih serius melaksanakan Program Pencegahan dan Penanggulangan HIV-AIDS melalui upaya: 1. Revitalisasi/Optimalisasi Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kabupaten/Kota 2. Menyusun
Rencana
Strategis
Komisi
Penanggulangan
AIDS
(KPA)
Kabupaten/Kota 3. Mengalokasikan anggaran APBD Kabupaten/Kota untuk mendukung pelaksanaan Progam Pencegahan dan Penanggulangan HIV-AIDS Sementara pemerintah Provinsi masih menyusun Peraturan Daerah tentang Penanggulangan HIV dan AIDS, beberapa kabupaten dan kota di provinsi Jawa Barat telah terlebih dahulu mengeluarkan Peraturan Daerah tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS. DPRD Kabupaten Tasikmalaya telah mengesahkan Perda Nomor 4 Tahun 2007 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS pada tanggal 13 Juni 2007. Kota Cirebon telah memiliki Perda tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS pada 30 Juli 2009. Terakhir, Kota Bekasi baru saja mengesahkan Perda tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS pada 3 Juli 2009. Berdasarkan hasil pertemuan dengan Kepala Biro Hukum Kantor Gubernur Provinsi Jawa Barat, Dr. Eni Rohyani, Pemprov Jawa Barat masih melakukan pengkajian materi terhadap Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS. Beliau mengatakan bahwa Pemprov menargetkan Perda tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS dapat terealisasi pada akhir
42 tahun 2009. Dengan adanya Perda tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS di tingkat provinsi, diharapkan seluruh kabupaten/kota di Jawa Barat ikut menerbitkan perda yang serupa meskipun beberapa kabupaten/kota telah berinisiatif menerbitkan Perda tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS terlebih dahulu. Sementara itu, untuk mendukung upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS di wilayah provinsi Jawa Barat, KPA Provinsi Jawa Barat telah menerbitkan Strategi Program Penanggulangan HIV dan AIDS Provinsi Jawa Barat 2009—2013. Visi dari strategi ini adalah masyarakat Jawa Barat berperilaku hidup sehat, terhindari HIV/AIDS pada 2013. Sedangkan misinya adalah 1. Meningkatkan kesadaran masyarakat akan risiko penularan HIV agar terbentuk perilaku aman untuk terhindar dari HIV/AIDS 2. Menyediakan
pelayanan
HIV
dan
AIDS
yang
komprehensif
dan
berkesinambungan dalam rangka pencegahan dan pengobatan HIV/AIDS 3. Menyediakan dukungan terhadap ODHA agar mereka bisa hidup layak tanpa stigma dan diskriminasi 4. Menyusun kebijakan yang mendukung upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS Tujuan diterbitkannya strategi ini secara umum adalah untuk mencegah terjadinya infeksi baru HIV/AIDS dan pemberian layanan komprehensif kepada semia ODHA pada tahun 2013. Kebijakan pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS di Jawa Barat ditujukan untuk mencegah infeksi baru pada kelompok risiko tinggi dan menyediakan perawatan, dukungan, dan pengobatan untuk ODHA. Untuk mencapai tujuan umum mencegah infeksi baru sejumlah 184 ribu pada tahun 2020, ditetapkan target penjangkauan sebesar 80 persen pada tahun 2010 dengan target perubahan perilaku sebesar 60 persen. Pendekatan untuk kebijakan dasar ini adalah dengan melakukan program penanggulangan secara komprehensif yang melibatkan seluruh unsur lintas sektoral, LSM, dan unsur masyarakat dengan sasaran utama kelompok risiko tinggi. Pendekatan ini dilakukan karena Jawa Barat masih dalam tahap epidemi terkonsentrasi pada kelopok risiko tinggi.
43 Berikutnya akan dipaparkan kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Barat yang telah menerbitkan Peraturan Daerah tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS.
B. Kabupaten Tasikmalaya Kabupaten Tasikmalaya terletak di sebelah tenggara provinsi Jawa Barat dengan luas wilayah 2.563,35 km² (www.jabar.go.id). Kabupaten ini terdiri atas 39 kecamatan dan 348 desa. Jumlah penduduk kabupaten Tasikmalaya berdasarkan Survey Sosial Ekonomi tahun 2007 adalah 1.792.092 jiwa dengan kepadatan penduduk 640 jiwa per km². Jumlah kasus HIV dan AIDS di wilayah kabupaten Tasikmlaya dari tahun ke tahun senderung bertambah. Penyakit ini tidak saja menyerang kelompok berisiko tinggi, tetapi juga telah menjangkiti ibu dan bayi (www.hu-pakuan.com). Menurut data Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, sampai dengan Maret 2009, jumlah kasus HIV dan AIDS di kabupaten Tasikmalaya adalah sebanyak 119 kasus: 6 kasus AIDS dan 113 kasus HIV positif. Dari jumlah tersebut, berdasarkan data KPA Kabupaten Tasikmalaya, 70 persen kasus HIV dan AIDS berasal dari penasun. Dikaitkan dengan visi Kabupaten Tasikmalaya, situasi tadi menjadi tantangan yang serius dalam mewujudkan pencapaian visi Tasikmalya, yang religius dan islami. Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya telah lama menaruh perhatian terhadap upaya pencegahan dan peanggulangan HIV dan AIDS di wilayahnya. Hal ini terlihat dari Perda Nomor 4 Tahun 2007 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS yang diterbitkan pada 13 Juni 2007. Perda ini terdiri dari 12 bab dan 24 pasal yang memuat dasar hukum bagi upaya pencegahan, penangulangan, pengamatan, dan perlindungan HIV/AIDS. Perda ini tidak saja sebagai payung hukum bagi upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS di kabupaten Tasikmalaya, tetapi juga mendorong peran serta masyarakat luas dalam berbagai upaya pencegahan dan penanggulangan termasuk mendampingi ODHA. Setahun setelah menerbitkan Perda Nomor 4 Tahun 2007, Pemerintah Daerah kabupaten Tasikmalaya menerbitkan Peraturan Bupati Tasikmalaya Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pembentukan Komisi Penanggulangan AIDS Kabupaten Tasikmalaya pada 4 Maret 2008. Peraturan ini berfungsi sebagai payung hukum bagi KPA Kabupaten
44 Tasikmalaya dalam melakukan berbagai upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS karena di dalamnya mencakup aturan struktur orgainsasi, peran, fungsi, wewenang KPA Kabupaten Tasikmalaya dalam menanggulangi HIV dan AIDS. Selain Peraturan Bupati tersebut di atas, pemerintah Kabupaten Tasikmalaya juga menyediakan payung hukum bagi pemberdayaan masyarakat dalam penanggulangan HIV dan AIDS melalui Peraturan Bupati Tasikmalaya Nomor 13 Tahun 2008 yang diundangkan pada 7 Agustus 2008. Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya memandang perlunya partisipasi masyarakat luas dalam menanggulangi HIV dan AIDS karena pemerintah berserta aparatnya saja belum tentu mampu mengatasi permasalahan AIDS di wilayahnya. Hal ini didukung fakta bahwa kasus AIDS di wilayah kabupaten Tasikmalaya
cenderung
mengalami
peningkatan
setiap
tahunnya
dan
upaya
penanggulangan AIDS memerlukan strategi dan langkah yang komprehensif.
C. Kota Cirebon Kota Cirebon terletak di sebelah utara Provinsi Jawa Barat, yaitu di jalur Pantai Utara pulau Jawa. Kota Cirebon terletak pada lokasi yang strategis dan menjadi simpul pergerakan transportasi antara Jawa Barat dan Jawa Tengah. Letaknya yang berada di wilayah pantai menjadikan Kota Cirebon memiliki wilayah dataran yang lebih luas dibandingkan dengan wilayah perbukitannya. Luas Kota Cirebon adalah 3.735,82 hektar atau ±37 km2 dengan dominasi penggunaan lahan untuk perumahan (32%) dan tanah pertanian (38%). Menurut Sensus Sosial Ekonomi tahun 2007, penduduk Kota Cirebon adalah 290.450 jiwa dengan kepadatan 7.376 jiwa per km². Jumlah kasus AIDS di Kota Cirebon cenderung meningkat setiap tahunnya. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, jumlah kasus AIDS di Kota Cirebon sampai dengan 31 Maret 2009 adalah 81 kasus. Jika dibandingkan dengan data yang diumumkan KPA Kota Cirebon melalui pemberitaan di Antara, Jumat, 7 Agustus 2009, (www.antaranews.com), jumlah kasus AIDS di Kota Cirebon adalah 387 orang. Jumlah ini menurut KPA Kota Cirebon meningkat 100 persen dari tahun sebelumnya. Adapun cara penularan AIDS di Kota Cirebon didominasi melalui pengguna napza suntik. Selain penasun, pergaulan bebas di kalangan anak muda juga merupakan potensi lain penyaluran virus HIV (www.pikiran-rakyat.com).
45 Masalah HIV dan AIDS telah lama menjadi perhatian masyarakat Kota Cirebon. Hal ini terbukti dengan munculnya inisiatif Raperda tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS yang diusulkan oleh Sri Maryati, salah seorang anggota DPRD Kota Cirebon (www.radarcirebon.com). Hak inisiatif kepada Pemda Cirebon yang diajukan pada tanggal 8 Juni 2009, menurut Sri, diperbolehkan apabila minimal lima orang anggota DPRD dari fraksi berbeda mengajukan haknya. Sementara itu, untuk Raperda AIDS, hak inisiatif diambil oleh sebelas orang anggota DPRD Kota Cirebon dari fraksi yang berbeda. Menurut Sri, pengajuan Raperda ini didasari fakta bahwa Kota Cirebon tercatat sebagai daerah penyebaran virus HIV tertinggi di Jawa Barat. Pada tanggal 30 Juli 2009 Pemerintah Kota Cirebon mengundangkan Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS di Kota Cirebon. Perda ini terdiri atas 14 bab dan 44 pasal yang mencakup: maksud dan tujuan, ruang lingkup, kebijakan dan strategi, objek dan subjek, kegiatan pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS, perlindungan, peran serta masyarakat, dan struktur organisasi KPA Kota Cirebon.
D. Kota Bekasi Kota Bekasi adalah salah satu kota yang berbatasan langsung dengan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota negara. Kota Bekasi merupakan salah satu kota penyangga di wilayah megapolitan Jabotabek selain Tangerang, Tangerang Selatan, Bogor, Depok, dan Cikarang; serta menjadi tempat tinggal para komuter yang bekerja di Jakarta. Oleh karena itu, ekonomi Kota Bekasi sangat berhubungan erat dengan kota-kota di wilayah Jabotabek. Kota Bekasi terdiri atas 12 kecamatan dan 56 kelurahan. Berdasarkan Sensus Sosial Ekonomi 2007, jumlah penduduk Kota Bekasi adalah 2.084.831 jiwa dengan kepadatan penduduk 9.178 jiwa per km². Sama seperti halnya Kabupaten Tasikmalaya, jumlah kasus AIDS di Kota Bekasi terus meningkat setiap tahunnya. Cara penularan terbesar adalah melalui penggunaan jarum suntik pada pengguna narkoba, disusul oleh penyakit menular kelamin, dan terakhir melalui ASI. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, sampai dengan 31 Maret 2009, jumlah kasus AIDS di Kota Bekasi adalah 589 kasus atau menduduki peringkat kedua jumlah kasus terbanyak menurut
46 kabupaten/kota se-Jawa barat. Angka lain menunjukkan bahwa dari total kasus AIDS di Jawa Barat, 79,46 persennya ditularkan melalui jarum suntik, lebih tinggi dibanding Kabupaten Tasikmalaya. Berbagai upaya telah dilakukan KPA Kota Bekasi untuk mereduksi potensi penularan virus HIV tetapi kondisi di lapangan menunjukkan bahwa masih ada hambatan. Hasil pengawasan Badan Narkotika Kota Bekasi juga menunjukkan bahwa ancaman terbesar yang dihadapi warga Kota Bekasi adalah masih maraknya peredaran gelap dan penyalahgunaan narkoba. Setiap bulan, lebih dari 40 kasus narkoba diungkap jajaran Kepolisian Resor Metropolitan Bekasi bersama BNK Kota Bekasi (www.kompas.com). Selain maraknya narkoba, menurut Hari Bagianto, salah satu pengelola program KPA Kota Bekasi, peningkatan kasus HIV dan AIDS juga disebabkan masih adanya penderita yang kurang disiplin dalam mengkonsumsi obat anti-retroviral. Untuk menciptakan payung hukum bagi upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS di Kota Bekasi, Pemerintah Kota Bekasi pada tanggal 3 Juli 2009 mengundangkan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2009 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS di Kota Bekasi. Perda ini terdiri atas 10 bab dan 22 pasal. Di dalamnya tercakup bab mengenai maksud, tujuan, dan sasaran program, pedoman pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS, peran serta masyarakat dalam upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS, serta pasal-pasal yang berkaitan dengan struktur organisasi KPA Kota Bekasi.
47 BAB V ANALISIS SEMANTIK DAN STILISTIKA TERHADAP KEBIJAKAN PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS
Bab ini memuat dan memaparkan hasil analisis dan penginterpretasian terhadap data primer dan data sekunder yang telah dikumpulkan oleh tim peneliti. Hasil analisis dan interpretasi bertujuan untuk memberikan jawaban terhadap pertanyaan atau fokus kajian dari studi ini. Pada bagian berikut disajikan hasil analisis dan interpretasi terhadap kebijakan pemerintah daerah dalam pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS di satu kabupaten dan dua kota di provinsi Jawa Barat. Analisis dan interpretasi dilakukan dengan menggunakan pendekatan semantik dan stilistika untuk mengetahui unsur-unsur humanisme yang dikandung oleh setiap peraturan daerah. Analisis terhadap unsur-unsur humanisme dalam sebuah kebijakan ditujukan untuk mengetahui apakah sebuah kebijakan telah memberikan perhatian terhadap masalah stigma terhadap penderita HIV dan AIDS.
A. Analisis Semantik Bagian pertama memuat analisis dan interpretasi awal terhadap makna yang dikandung oleh setiap produk hukum kebijakan pemerintah daerah yang berkaitan dengan upaya atau program pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS. Pada tabel berikut, tabel V.1., akan disajikan hasil temuan lapangan di provinsi Jawa Barat yang meliputi satu kabupaten dan dua kota pemerintahan. Pada tebel tersebut dipaparkan ketersediaan dokumen kebijakan tentang pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS di masingmasing kota dan kabupaten. Hasil temuan lapangan memperlihatkan bahwa pada tingkat provinsi, Pemerintah Provinsi Jawa Barat belum menerbitkan produk hukum legal-formal (Perda Provinsi) yang berkaitan dengan upaya atau program pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS. Adapun yang menjadi fokus pengamatan dan observasi adalah kebijakan yang dituangkan dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda) oleh Bupati/Walikota. Perda tersebut merupakan realisasi kebijakan menindaklanjuti Strategi Nasional Pencegahan dan
48 Penanggulangan HIV dan AIDS yang dikeluarkan oleh KPAN. Dengan melakukan pengamatan dan analisis semantik terhadap kebijakan formal, diharapkan dapat memberikan jawaban dan kerangka pemahaman mengenai pemaknaan dalam bahasa kebijakan khususnya yang berkaitan dengan masalah stigmatisasi terhadap penderita HIV dan AIDS. Hasil temuan lapangan dari setiap kabupaten dan kota disajikan dalam tabel berikut ini. Tabel V.1 Dokumen yang Memuat Kebijakan TB Pada Tingkat Provinsi No 1
2
3
4
Wilayah Deskripsi Hasil Observasi dan Pengamatan Provinsi Jawa Surat Edaran Gubernur Jawa Barat Nomor 443/28/Yansos tentang Barat Edaran Penanggulangan AIDS yang ditujukan kepada seluruh Bupati/Walikota selaku Ketua KPA Kabupaten/Kota; Strategi Program Penanggulangan HIV dan AIDS Provinsi Jawa Barat 2009—2013, mengacu kepada Strategi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS 2007—2013 dan Rencana Aksi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS 2007—2013, serta bentuk komitmen Pemerintah Jawa Barat terhadap salah satu butir Millenium Development Goals, yaitu memernai AIDS. Kabupaten Kebijakan mengenai pencegahan dan penanggulangan HIV dan Tasikmalaya AIDS diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2007 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS; Peraturan Bupati Tasikmalaya Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pembentukan Komisi Penanggulangan AIDS Kabupaten Tasikmalaya; dan Peraturan Bupati Tasikmalaya Nomor 13 Tahun 2008 tentang Pemberdayaan Masyarakat dalam Upaya Pencegahan dan Penanggulangan HIV and AIDS di Kabupaten Tasikmalaya Kota Cirebon Kebijakan mengenai pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS Kota Bekasi Kebijakan mengenai pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2009 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS
Sumber : Hasil Pengolahan Data oleh Tim Peneliti (2009)
Dari empat wilayah yang disebutkan di tabel di atas, terdapat satu kabupaten (Tasikmalaya) dan dua kota (Cirebon dan Bekasi) yang telah memiliki Perda tentang pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS. Analisis selanjutnya akan difokuskan pada unsur semantik dalam ketiga Perda tersebut. Langkah-langkah analisis semantis terhadap dokumen peraturan daerah (Perda):
49 Mengklasifikasi gaya bahasa Perda berdasarkan makna pilihan kata Menghitung persentase kosakata khusus berdasarkan frekuensi kemunculan untuk mengetahui kecenderungan tertentu Definisi dan berbagai hal yang berkaitan dengan stigma telah dijelaskan pada bab II. Demikian pula halnya dengan humanisme dan muatan nilai humanisme dalam substansi kebijakan juga telah dipaparkan pada bab II. Bagian ini menyajikan analisis semantik bahasa kebijakan tiga perda berdasarkan kerangka konsep stigma yang telah diberikan pada bab II. Adapun yang menjadi fokus analisis adalah beberapa bagian perda: pembukaan dan batang tubuh. Pada bagian batang tubuh pun fokus analisis dipersempit pada bagian ketentuan umum dan materi pokok yang diatur. Alasan pembatasan ini adalah karena pada bagian-bagian ini saja yang memuat kata, frasa, klausa, kalimat, dan pasal-pasal yang berkaitan dengan stigma, diskriminasi, dan nilai-nilai humanisme.
A.1. Peraturan Daerah Kabupaten Tasikmalaya Nomor 4 Tahun 2007 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS Analisis semantik terhadap Perda Kabupaten Tasikmalaya Nomor 4 Tahun 2007 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS diawali dengan klasifikasi gaya bahasa Perda beradasarkan makna pilihan kata. Seperti telah dijelaskan pada bab II, gaya bahasa peraturan perundang-undangan merupakan gaya bahasa resmi dalam laras bahasa hukum. Pilihan kata yang digunakan umumnya kata-kata yang jelas, lugas, cermat dan tidak menimbulkan tafsir ganda. Makna kata yang banyak ditemui adalah makna denotatif, bukan konotatif. Tetapi, tidak tertutup kemungkinan muncul kata-kata dengan tafsir ganda dan makna konotatif. Dalam bidang stilistika, pedoman gaya bahasa yang digunakan dalam analisis adalah gaya bahasa berdasarkan pilihan kata, yaitu gaya bahasa resmi. Sama seperti pemaknaan, bukan tidak mungkin muncul gaya bahasa lain selain gaya bahasa resmi dalam setiap dokumen perda. Setiap ayat dan pasal dianalisis dan diberikan interpretasi sesuai dengan nilai-nilai humanisme yang telah ditentukan. Analisis dan interpretasi tidak saja difokuskan pada kata, tetapi juga pada hubungan kata dengan kata lain yang membentuk frasa, klausa, dan kalimat.
50 A.1.1. Klasifikasi Gaya Bahasa Berdasarkan Makna Pilihan Kata Perda ini tidak mencantumkan ayat khusus definisi “stigma” tetapi pada bab I, Ketentuan Umum, pasal 1, ayat 21 disebutkan definisi “diskriminasi” sebagai: ‖semua tindakan atau kegiatan seperti yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi‖. Ketiadaan definisi stigma bisa diinterpretasikan sebagai (1) belum adanya perhatian khusus pemerintah; (2) tidak adanya masukan dari lembagalembaga non-pemerintah seperti KPAD. Butir pertama, belum adanya perhatian khusus pemerintah terhadap masalah stigma, tentu kurang kuat karena pasal 1, ayat 21 pada bab I Ketentuan Umum disebutkan definisi dikriminasi. Diskriminasi merupakan salah salah dampak yang muncul setelah adanya stigmatisasi. Ayat kedua, tidak adanya masukan dari lembaga-lembaga non-pemerintah yang memiliki perhaian terhadap HIV dan AIDS, tentu perlu ditelusuri lebih lanjut ke pihak berwenang yang merumuskan perda. Definisi diskriminasi dalam bab I, Ketentuan Umum, pasal 1, ayat 21, tidak memenuhi kategori definisi nominal ataupun definisi formal. Ayat ini membuat pembaca harus mencari lagi UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi untuk mengetahui apa sebenarnya definisi diskriminasi. Pada bab I, Ketentuan Umum, pasal 1, ayat 31, disebutkan definisi dukungan sebagai: ‖upaya-upaya, baik dari sesama orang dengan HIV/AIDS maupun dari keluarga dan orang-orang yang bersedia untuk memberi dukungan pada orang dengan HIV/AIDS dengan lebih baik lagi‖. Butir ini menunjukkan perhatian pemerintah terhadap pentingnya memberikan dukungan kepada ODHIV. Dukungan jelas diperlukan untuk menekan potensi kemunculan diskriminasi dan stigma tentunya pada masyarakat. Secara umum, definisi ini, yang tergolong ke dalam definisi formal, tidak memiliki permasalahan, baik dalam hal pemaknaan maupun kaidah tata bahasa. Bab II, Objek dan Subjek, pasal 2 disebutkan: ‖Yang menjadi objek pengaturan, pencegahan, dan penanggulangan HIV/AIDS adalah semua orang atau semua tempat hiburan dan tempat-tempat lainnya yang berpotensi terjadi penularan infeksi HIV/AIDS‖. ’Tempat hiburan’ menjadi penekanan pada pasal ini. Permasalahannya adalah, apa yang menjadi dasar penetapan ’tempat hiburan’ sebagai penekanan dalam pasal ini. Interpretasi yang dapat diberikan di sini adalah penekanan pada ’tempat hiburan’ dalam pasal ini justru eksploitatif karena terlalu fokus pada tempat hiburan saja.
51 Penggunaan jarum suntik yang tidak steril juga menempati urutan atas dalam penyaluran HIV dan AIDS. Artinya, tempat-tempat umum lain yang berpotensi terjadi penularan HIV dan AIDS, seperti terminal, pasar, sekolah, lapangan, dan lain-lain, seharusnya juga menjadi perhatian. Bab IV, Upaya Pencegahan, Penanggulangan, Pengamtan, dan Perlindungan HIV/AIDS, pasal 7, ayat 2 menyebutkan: ‖Dalam penanggulangan HIV/AIDS, pemerintah wajib mengupayakan layanan yang mencakup perawatan, dukungan dan pengobatan yang diperlukan bagi penderita HIV/AIDS baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta atau masyarakat . . . ‖. Ayat ini menggunakan kata ’wajib’ untuk memberikan penekanan terhadap kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap pihak terkait perawatan, dukungan, dan pengobatan bagi ODHIV. Interpretasi yang dapat diberikan di sini adalah bahwa pemerintah daerah telah memberikan perhatian pada ODHIV agar tidak diperlakukan diskriminatif dalam perawatan, dukungan, dan pengobatan di instansi pemerintah, swasta, atau masyarakat. Artinya, semua pasien memiliki hak yang sama dalam hal perawatan dan pengobatan. Bab IV, pasal 11, ayat 1 menyebutkan: ‖Testing HIV/AIDS harus dilakukan secara sukarela dengan konseling yang baik dan disertai informed consent yang tertulis‖. Penekanan pada pasal ini ditunjukkan oleh penggunaan frasa ’harus dilakukan secara sukarela’ pada proses testing HIV dan AIDS. Interpretasinya adalah ODHIV memiliki hak untuk tidak memeriksakan darahnya ke unit-unit pelayanan kesehatan yang tersedia; prinsip sukarela diutamakan untuk menjaga kerahasiaan data pribadi ODHIV. Selanjutnya, pasal 11, ayat 2, menyebutkan: ‖Testing HIV/AIDS tidak diperlukan secara khusus untuk keperluan seperti: lamaran kerja, promosi jabatan, pelatihan, atau tujuan-tujuan lainnya‖. Frasa ’tidak diperlukan secara khusus’ pada ayat ini menunjukkan bahwa pemerintah setempat menghargai hak individu warganya tanpa harus mengikuti tes khusus HIV dan AIDS untuk kegiatan yang berhubungan dengan pekerjaan. Seandainya tes khusus diwajibkan, besar kemungkinan ODHIV akan mundur lebih awal dalam proses pelamaran pekerjaan, promosi jabatan, pelatihan, dan lain-lain. Kesimpulannya adalah tidak ada diskriminasi bagi warga masyarakat dalam proses pelamaran pekerjaan, promosi jabatan, pelatihan, dan lain-lain.
52 Pasal 11, ayat 3, menyebutkan: ‖Pekerja dan buruh dengan HIV/AIDS berhak mendapat pelayanan kesehatan kerja yang sama dengan pekerja/buruh lain sesuai dengan peraturan yang berlaku‖. Interpretasi terhadap butir ini adalah tidak ada dikriminasi dalam hal pelayanan kesehatan bagi semua pekerja dan buruh, baik yang terinfeksi HIV dan AIDS maupun yang tidak. Semua pekerja dan buruh memiliki hak yang sama. Hal ini diperkuat dengan ayat 4 yang menyebutkan: ‖Seluruh fasilitas kesehatan seperti Rumah Sakit, klinik dan atau dokter praktek tidak diperkenankan menolak memberikan akses layanan kesehatan pada pasien yang terinfeksi HIV/AIDS‖. Interpretasi untuk ayat ini cukup jelas. Pasal 11 ayat 5 menyebutkan: ‖Setiap orang yang karena tugas dan pekerjaannya mengetahui
atau
memiliki
informasi
tentang
status
HIV
seseorang
wajib
merahasiakannya, kecuali: (a) Jika ada persetujuan/izin yang tertulis dari orang yang bersangkutan; (b) Kepada orang tua/wali dari anak yang belum cukup umur, cacat, atau tidak sadar; (c) Jika ada kepentingan rujukan layanan medis dengan komunikasi atas dokter atau fasilitas dimana orang dengan HIV tesebut dirawat; (d) untuk kepentingan pro justicia‖. Pasal jelas melindungi kerahasiaan status ODHIV sehingga tidak berpotensi menimbulkan stigma dan diksriminasi terhadap ODHIV di lingkungan setempat. Ayat 5 diperkuat dengan tiga butir selanjutnya, yaitu ayat 6, 7, dan 8, yang intinya kurang lebih sama dengan ayat 5: melindungi kerahasiaan status ODHIV. Pasal 12 merupakan kelanjutan dari pasal sebelumnya, pasal 11. Pada ayat 1 pasal 12 disebutkan: ―Pemerintah Daerah melindungi hak-hak pribadi dan hak-hak azasi orang yang terinfeksi HIV termasuk perlindungan dari kerahasiaan status HIV‖. Ayat ini jelas memberikan tanggung jawab kepada pemerintah daerah sebagai otoritas yang berwenang untuk melindungi hak asasi ODHIV. Interpretasinya adalah, pemerintah melindungi hak asasi ODHIV yang setara dengan individu lain dalam semua mekanisme, mulai dari perawatan, pengobatan, dan dukungan. Ayat 2 pasal 12 menyebutkan: ―Diskriminasi dalam bentuk apapun ( pemecatan pekerjaan secara sepihak, tidak mendapatkan pelayanan kesehatan memadai, ditolak bertempat tinggal di tempat yang dipilih ODHA dan ditolak mengikuti pendidikan formal dan informal) kepada orang yang terduga atau disangka telah terinfeksi HIV adalah merupakan pelanggaran terhadap Peraturan Daerah ini‖. Ayat ini cukup jelas
53 menekankan pentingnya menghargai hak-hak asasi ODHIV dengan tidak melakukan halhal diskriminatif di beberapa bidang, misalnya domisili dan pendidikan. Ayat 3 pasal 12 menyebutkan: ―Pemerintah Daerah berhak untuk mengatur agar narapidana yang terinfeksi HIV memperoleh hak-hak layanan kesehatan dan hak kerahasiaan yang sama dengan orang lain yang terinfeksi HIV di luar lembaga pemasyarakatan‖. Ayat ini menyatakan bahwa tidak ada perbedaan dalam hal pelayanan kesehatan bagi siapapun, termasuk bagi narapidana yang terinfeksi HIV dan AIDS. Artinya, pemerintah mengakui persamaan hak asasi manusia bagi siapapun tanpa diskriminasi bahkan ia adalah narapidana sekalipun. Ayat 4 pasal 12 menyebutkan: ―Tidak ada kewajiban bagi tahanan/narapidana untuk ditest HIV kecuali untuk tujuan surveilans dan pembuktian hukum di Pengadilan‖. Ayat ini menjamin hak narapidana untuk menjalani tes HIV kecuali dalam kondisikondisi khusus, misalnya untuk kepentingan surveilans dan pembuktian perkara di pengadilan. Bab X, Ketentuan Pidana, pasal 22 ayat 1 menyebutkan: ―Setiap orang yang melanggar Pasal 11 ayat (4) dan ayat (5), Pasal 12 ayat (2), Pasal 13 diancam dengan hukuman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (Lima puluh juta rupiah)‖. Ayat ini memberikan penekanan ketentuan pidana terhadap pelanggaran atas tiga pasal dan tiga butir. Pelanggaran terhadap pasal 11 ayat 4 hanya bisa dilakukan oleh penyedia layanan kesehatan, seperti Rumah Sakit, klinik, atau dokter praktek yang menolak memberikan layanan kepada pasien terinfeksi HIV dan AIDS. Pelanggaran terhadap pasal 11 ayat 5 dapat terjadi apabila petugas yang berwenang dalam mengelola data pasien terinfeksi HIV dan AIDS ternyata memberitahukan kepada orang lain status seseorang yang terinfeksi HIV dan AIDS. Pelanggaran terhadap pasal 12 ayat 2 dapat dilakukan oleh siapapun, baik unsur pemerintah maupun masyarakat. Pelanggaran terhadap ayat in menyangkut tindak diskriminasi terhadap ODHIV. Siapapun yang terbukti melakukan diskriminasi terhadap ODHIV dapat dituntut secara pidana dengan sanksi yang telah ditetapkan. Terakhir, pelanggaran terhadap pasal 13 hanya mungkin dilakukan oleh ODHIV. Sama seperti warga masyarakat lainnya, ODHIV pun memiliki tanggung jawab untuk mencegah
54 terjadinya penularan virus HIV kepada orang lain secara sengaja lewat: hubungan seksual berisiko, penggunaan jarum suntik tidak steril, donor darah dan organ tubuh, dan melalui tindak bujuk dan rayu.
A.1.2. Persentase Kata dan Frasa Khusus Berdasarkan Frekuensi Kemunculan Frekuensi penggunaan kata dan frasa: 1. ”diskriminasi”: tiga (3) kali 2. ”harkat dan martabat manusia”: satu (1) kali 3. ”keadilan”: satu (1) kali 4. ”hak-hak pribadi”: tiga (3) kali 5. ”hak asasi”: satu (1) kali 6. ”hak-hak layanan kesehatan”: satu (1) kali 7. ”hak-hak kerahasiaan”: satu (1) kali Penjelasan untuk frekuensi penggunaan kosakata dan frasa: 1. Penggunaan kata ”diskriminasi” sebanyak tiga (3) kali menunjukkan bahwa pemerintah setempat telah memandang diskriminasi sebagai hal penting yang harus diperhatikan dalam upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS. Perda ini tidak memiliki pengertian khusus untuk dan diskriminasi pada bab I tetapi merujuk ke pengertian ”diskriminasi ” yang ada pada Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Penggunaan kata ”diskriminasi” dalam perda ini menjadi rentan terhadap multitafsir karena tidak ada acuan definisi nominal—berdasarkan kamus, etimologis—yang dicantumkan pada bagian Ketentuan Umum. 2. Frasa ”harkat dan martabat manusia” digunakan sebanyak satu kali pada pasal 6. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mencantumkan kata ”harkat” sebagai derajat (kemuliaan) sedangkan ”martabat” sebagai tingkat harkat kemanusiaan; harga diri. Penggunaan frasa ”harkat dan martabat manusia” pada pasal ini menunjukkan adanya perhatian pemerintah daerah—meskipun secara tertulis hanya satu kali digunakan dalam perda—terhadap hak asasi manusia secara universal, termasuk mereka yang terinfeksi HIV dan AIDS. Perhatian pemerintah diwujudkan dalam bentuk penghormatan terhadap harkat dan martabat ODHIV dan keluarganya dalam program pencegahan dan
55 penanggulangan HIV dan AIDS. Idealnya, frasa ini dicantumkan pada bagian yang lebih awal, misalnya pada bab I, Ketentuan Umum, yang berisikan sejumlah definisi. 3. Sejalan dengan penggunaan frasa ”harkat dan martabat manusia”, kata ”keadilan” digunakan pada pasal yang sama, yaitu pasal 6, untuk menegaskan prinsip persamaan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia secara universal. Tujuan yang ingin dicapai dengan menggunakan kata ”keadilan” dalam pasal ini adalah untuk meredam munculnya diskriminasi pada masyarakat terhadap ODHIV dan keluarganya. 4. Frasa ”hak-hak pribadi” digunakan sebanyak tiga kali dalam tiga bagian berbeda. Pemerintah dan peraturan daerah secara tegas menyatakan penghargaan dan melindungi hak-hak pribadi ODHIV. Penggunaan frasa ini berada dalam konteks penghargaan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia secara universal, sekalipun terhadap orang yang terinfeksi HIV dan AIDS. Perbedaan antara hak pribadi dengan hak asasi adalah pada ruang lingkup: hak pribadi lebih bersifat khusus untuk orang per orang, misalnya hak membela negara, sedangkan hak asasi bersifat universal dan bersifat mendasar bagi setiap manusia. 5. Perda juga menggunakan frasa ”hak asasi” dalam ayat 1 pasal 12 bersamaan dengan frasa ”hak-hak pribadi”. KBBI mengartikan ”hak asasi” sebagai hak yang dasar atau pokok. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, hak asasi bersifat universal. Setiap manusia memiliki hak asasi yang sama di manapun. 6. Penggunaan frasa ”hak-hak layanan kesehatan” sebanyak satu kali pada pasal 12 ayat 3 berkaitan dengan keadilan dan kesetaraan hak memperoleh layanan kesehatan bagi narapidana yang terinfeksi HIV dan AIDS. Ayat pada pasal 12 ini merupakan bukti perhatian pemerintah daerah yang berlandas prinsip kesetaraan dan keadilan: siapapun orang yang terinfeksi HIV dan AIDS memiliki hak mendapat layanan kesehatan. Dengana adanya ayat ini, diharapkan tidak ada narapidana terinfeksi HIV dan AIDS yang terlantar dalam hal pelayanan kesehatannya. 7. Frasa ”hak-hak kerahasiaan” digunakan satu kali pada pasal 12 ayat 3, atau bersamaan dengan frasa ”hak-hak layanan kesehatan”. Frasa ini jelas bertujuan untuk melindungi kerahasiaan status penyakit yang diderita seoarang pasien terinfeksi HIV dan AIDS dari penyalahgunaan atau kesalahan dalam manajemen informasi. Dalam kehidupan seharihari pun, prinsip penghargaan terhadap hak kerahasiaan pasien terinfeksi HIV dan AIDS
56 seharusnya bisa menjadi praktik dalam lingkungan masyarakat sehingga stigma dan diskriminasi dapat diminimalisasi.
A.2. Peraturan Daerah Kota Cirebon Nomor 12 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Human Immunodeficiency Virus – Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV – AIDS) Analisis semantik terhadap Perda Kota Cirebon nomor 12 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS diawali dengan klasifikasi gaya bahasa Perda beradasarkan makna pilihan kata. Setiap ayat dan pasal dianalisis dan diberikan interpretasi sesuai dengan nilai-nilai humanisme yang telah ditentukan. Analisis dan interpretasi tidak saja difokuskan pada kata, tetapi juga pada hubungan kata dengan kata lain yang membentuk frasa, klausa, dan kalimat.
A.2.1. Klasifikasi Gaya Bahasa Berdasarkan Makna Pilihan Kata Perda ini tidak mencantumkan definisi khusus stigma pada bagian Ketentuan Umum. Seperti halnya Perda Nomor 4 Kabupaten Tasikmalaya, terdapat dua kemungkinan yang dapat dikonfirmasi kepada perumus kebijakan: (1) belum adanya perhatian khusus pemerintah; (2) tidak adanya masukan dari lembaga-lembaga nonpemerintah seperti KPAD. Pada Bab I pasal 1 ayat 12, penanggulangan diartikan sebagai serangkaian laju penularan HIV-AIDS, melalui kegiatan promosi, pencegahan, konseling dan tes sukarela rahasia, pengobatan serta perawatan dan dukungan terhadap orang dengan HIV-AIDS (ODHA). Ayat ini mencantumkan kata “dukungan” yang secara implisit menyatakan bahwa tidak ada diskriminasi dan stigma terhadap ODHA. Dukungan dapat juga diartikan sebagai dukungan meningkatkan kepercayaan diri ODHA. Pada Bab I pasal 1 ayat 31 disebutkan pengertian diskriminasi sebagai setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tidak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual
57 maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya. Pencantuman pengertian diskriminasi pada bagian ketentuan umum menunjukkan bahwa diskriminasi menjadi perhatian khusus dalam proses pencegahan dan penanggulangan HIV-AIDS oleh Pemerintah Daerah kota Cirebon. Pada Bab I pasal 1 ayat 39, dukungan diartikan sebagai upaya-upaya baik dari sesama orang dengan HIV-AIDS maupun dari keluarga dan orang-orang yang bersedia untuk memberikan dukungan pada orang yang terinfeksi HIV-AIDS dengan melakukan upaya pencegahan dan penanggulangan HIV-AIDS. Penjelasan untuk bagian ini mengikuti penjelasan untuk Bab I pasal 1 ayat 12 di atas. Pada Bab III pasal 3 butir d, diebutkan ruang lingkup Peraturan Daerah mengatur ha-hal yang berkenaan dengan pencegahan dan penanggulangan HIV-AIDS di kota Cirebon yang meliputi perlindungan ODHA. Butir ini menggunakan kata perlindungan dengan tujuan untuk mengantisipasi munculnya stigma dan diskriminasi terhadap ODHA dalam proses pencegahan dan penanggulangan HIV-AIDS. Pada bab IV pasal 4 ayat 2, disebutkan bahwa Kebijakan Pencegahan dan Penanggulangan HIV-AIDS dilaksanakan secara intensif, menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan berdasarkan asas kemanusiaan, yang berkesetaraan, dan berkeadilan gender. Penggunaan frasa “asas kemanusiaan”, “berkesetaraan”, dan “berkeadilan gender” jelas bertujuan untuk menghindari kemunculan stigma dan diskriminasi dalam proses pencegahan dan penanggulangan HIV-AIDS. Pada bab VI pasal 7 butir g, disebutkan bahwa pencegahan dan penanggulangan HIV-AIDS dilakukan melalui kegiatan perawatan dan dukungan ODHA. Pasal ini melalui butir g secara implisit menyatakan bahwa selain perawatan, dukungan juga perlu diberikan kepada ODHA dengan tujuan meningkatkan kepercayaan diri ODHA untuk bersosialisasi dan meminimalisasi potensi stigma dan diskriminasi dari lingkungan sekitar. Pada bab VI pasal 8 ayat 1 dan 2, melalui kegiatan promosi yang menunjang upaya pencegahan dan penanggulangan HIV-AIDS dan kegiatan pendidikan kesehatan reproduksi dan melalui Warga Peduli AIDS (WAPA) diharapkan masyarakat luas mendapatkan informasi, dalam konteks ini tentunya informasi mengenai HIV dan AIDS. Dengan adanya informasi ini, masyarakat diharapkan memiliki pemahaman mendasar
58 secara medis dan teknis mengenai HIV adn AIDS, shingga asumi dan prasangka yang tidak mendasar dan berpotensi memunculkan stigma bisa tercerahkan oleh pengetahuan yang lebih ilmiah. Pada bab VI pasal 18, disebutkan bahwa penyelenggara dan/atau penyedia layanan kesehatan wajib memberikan pelayanan pengobatan kepada ODHA dan IDU suntik tanpa diskriminasi sesuai dengan fasilitas yang ada. Pasal ini cukup jelas. Pada Bab VI pasal 20, disebutkan perawatan dan dukungan terhadap ODHA dilakukan melalui pendekatan medis, agama, psikologis, sosial, ekonomi, keluarga, masyarakat, dan dukungan pembentukan persahabatan ODHA (KDS). Pemerintah Daerah Cirebon menempatkan permasalahan HIV-AIDS sebagai permasalahan multidimensi, tidak semata-mata permasalahan medis. Hal ini terlihat jelas dari tujuh bidang pedekatan yang digunakan Pemda Cirebon dalam proses perawatan dan dukungan terhadap ODHA. Pendekatan multidimensi ini secara implisit memperlihatkan upaya pemerintah setempat meminimalisasi potensi kemunculan stigam dan diskriminasi dari masyarakat terhadap ODHA. Pada bab VII pasal 23 ayat 2, disebutkan tes HIV-AIDS tidak diperlukan untuk lamaran kerja, promosi jabatan, dan pelatihan atau tujuan-tujuan lainnya. Pasal ini menegaskan tidak adanya pembedaan atau diskriminasi terhadap siapapun, khususnya ODHA dalam proses melamar pekerjaan, promosi jabatan, pelatihan, dan tujuan-tujuan sejenis. Pada bab VII pasal 24 ayat1 menyatakan bahwa pekerja dan/atau buruh dengan HIV-AIDS berhak mendapat pelayanan kesehatan kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; ayat 2 menyatakan bahwa seluruh fasilitas kesehatan, seperti rumah sakit, klinik dan/atau dokter praktek wajib memberikan akses layanan kesehatan pada pasien terinfeksi HIV-AIDS. Kedua ayat ini memuat pesan antidiskriminasi dalam lingkungan pekerjaan (ayat 1) dan dalam pelayanan kesehatan umum (ayat 2). Setiap pasien memiliki hak yang sama dalam hal pelayanan kesehatan. Pada Bab VII pasal 26 ayat 1 disebutkan pemerintah kota melindungi hak-hak pibadi dan hak-hak asasi ODHA termasuk perlindungan dari kerahasiaan status HIVAIDS. Ayat ini bertujuan untuk melindungi ODHA dari stigma dan diskriminasi dari lingkungan dengan cara menjaga kerahasiaan status HIV-AIDS orang yang terinfeksi
59 HIV. Perlindungan ini didasarkan hak-hak pribadi dan hak-hak asasi universal manusia. Ayat 2 menyebutkan bahwa setiap ODHA berhak mendapatkan perlindungan dari tindakan diskriminasi dalam bentuk apapun, seperti pemecatan sepihak, tidak mendapat pelayanan kesehatan yang memadai, ditolak bertempat tinggal di tempat yang dipilih ODHA, dan ditolak mengikuti pendidikan formal dan informal. Ayat ini cukup jelas memuat pesan anti-diskriminasi di empat bidang yang berbeda: pekerjaan, kesehatan, domisili, dan pendidikan. Pasal 43 pada bab XIV, Ketentuan Pidana menyebutkan: ―Setiap orang yang: a. mengetahui dirinya terinfeksi HIV – AIDS tidak memenuhi kewajibannya untuk melakukan upaya pencegahan sebagaimana dimaksud pada pasal 12 dan pasal 22; b. mengetahui dirinya terinfeksi HIV – AIDS yang melangar larangan untuk tidak mendonorkan darah, produk darah, cairan sperma, organ dan atau jaringan tubuhnya kepada orang lain sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 huruf b; c. melakukan skrining darah, produk darah, cairan sperma, organ dan atau jaringan tubuh lainnya yang tidak mentaati standar prosedur skrining sebagaimana dimaksud dalam pasal 14; d. melakukan hubungan seksual berisiko tidak melakukan upaya pencegahan sebagaimana dimaksud dalam pasal 15; e. menggunakan jarum suntik, jarum tato/tindik, atau jarum akupuntur pada tubuhnya sendiri dan atau tubuh orang lain tidak menggunakan jarum steril sebagaimana dimaksud dalam pasal 16; f. karena pekerjaannya atau sebab apapun mengethaui dan memiliki informasi status HIV – AIDS atas diri seeorang yang tidak memenuhi kewajiban untuk merahasiakannya sebagaimana dimaksud padal 24 ayat (3); dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).‖ Pasal 1 bab ketentuan pidana ini berbebada dengan Perda Kabupaten Tasikmalaya dan Kota Bekasi karena pemerintah kota Cirebon lebih menekankan pemberian sanksi kepada ODHIV yang terbukti melakukan pelanggaran atas beberapa pasal. Ketentuan ini dapat dilihat dari huruf a sampai huruf e pasal 1. Sedangkan huruf f merupakan ketentuan
60 pidana terhadap pelanggar yang membuka status kerahasiaan ODHIV. Pelanggaran yang muncul atau disebabkan oleh pelanggar dari seseorang yang tidak terinfeksi HIV tidak disebutkan dalam bab ini. Masalah ini perlu konfirmasi dari pihak perumus kebijakan nantinya.
A.2.2. Persentase Kata dan Frasa Khusus Berdasarkan Frekuensi Kemunculan Frekuensi penggunaan kata dan frasa: 1. Penggunan frasa ”dampak buruk” sebanyak satu (1) kali pada bagian pembukaan dalam kalimat: ‖bahwa perkembangan kasus HIV – AIDS di Kota Cirebon yang semakin meningkat dapat menimbulkan dampak buruk dan luas terhadap berbagai aspek . . .‖, perlu dikaji lagi. Fakta memang membuktikan bahwa HIV dan AIDS virus dan penyakit yang sangat sulit untuk diobati dan bisa menimbulkan kematian bagi penderitanya. Tetapi, penggunaan frasa ” dampak buruk” kiranya kurang tepat dalam konteks penghargaan terhadap nilai-nilai humanisme dan hak asasi manusia. Mungkin akan lebih tepat jika digunakan ”dampak yang luas” saja. 2. Penggunaan kata ”diskriminasi” sebanyak tiga (3) kali menunjukkan bahwa pemerintah setempat telah memperhatikan permasalahan diskriminasi dalam kebijakan pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS. Namun demikian, sampai sejauh mana pemerintah kota Cirebon memosisikan permasalahan ini perlu konfirmasi lebih lanjut. 3. Penggunaan frasa ”asas kemanusiaan” sebanyak satu (1) kali pada pasal 4 ayat 2 menunjukkan pemerintah setempat telah memperhatikan nilai-nilai humanisme dalam kebijakan dan program pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS. Tetapi, implementasi asas kemanusiaan ini masih perlu diperjelas oleh pembuat kebijakan. 4. Penggunaan frasa ”berkesetaraan dan berkeadilan gender” sebanyak satu (1) kali pada pasal 4 ayat 2 menunjukkan perhatian pemerintah terhadap prinsip keadilan dalam hak asasi manusia. 5. Penggunaan kata ”melindungi” sebanyak dua (2) kali menunjukkan perhatian pemerintah terhadap posisi ODHIV di masyarakat. Pemerintah melindungi ODHIV dari berbagai upaya diskriminasi.
61 6. Penggunaan frasa ”hak-hak pribadi” dan ”hak-hak asasi” masing-masing sebanyak satu (1) kali selaras dengan penjelasan di atas bahwa pemerintah melindungi hak pribadi dan hak asasi setiap ODHIV dari berbagai potensi diskriminasi.
A.3. Peraturan Daerah Kota Bekasi Nomor 03 Tahun 2009 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS Analisis semantik terhadap Perda Kota Bekasi Nomor 03 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS diawali dengan klasifikasi gaya bahasa Perda beradasarkan makna pilihan kata. Setiap ayat dan pasal dianalisis dan diberikan interpretasi sesuai dengan nilai-nilai humanisme yang telah ditentukan. Analisis dan interpretasi tidak saja difokuskan pada kata, tetapi juga pada hubungan kata dengan kata lain yang membentuk frasa, klausa, dan kalimat.
A.3.1. Klasifikasi Gaya Bahasa Berdasarkan Makna Pilihan Kata Pada Bab I, pasal 1 ayat 16, disebutkan definisi “stigma” sebagai: ―penilaian terhadap seseorang atau kelompok dengan moral buruk‖. Penekanan definis stigma pada ayat ini terdapat pada frasa “moral buruk”. Di sini interpretasi dapat diambil bahwa orang-orang yang terstigma adalah orang-orang dengan moral buruk. Permasalahan akan muncul jika seseorang tertularHIV dan AIDS melalui air susu ibu. Penilaian moral buruk tidak dapat diberikan kepada orang yang tertular HIV dan AIDS melalui ASI karena ia dapat dikategorikan sebagai korban yang tidak bersalah. Untuk itu, pengunaan frasa “moral buruk” dalam definisi stigma pada Perda ini perlu ditinjau lagi secara etimologis dan kontekstual agar tidak menimbulkan tafsir ganda bagi pembaca. Pasal 1 ayat 17 menyebutkan “diskriminasi” sebagai: ―setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung atau tak langsung berdasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang mengakibatkan pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam hidup baik individu maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya‖. Definisi ini termasuk dalam kategori definisi formal yang di dalamnya terdapat
62 penggunaan kata-kata yang berulang (berjejal) sehingga mengurangi efektivitas kalimat dan efisiensi penggunaan kata. Namun demikian, definisi bisa dikatakan sebagai definisi yang kompleks dalam artian definisi ini menyebutkan batasan-batasan yang berhubungan dengan konteks diskriminasi. Hal ini akan memudahkan pembaca mengaplikasikan definisi ini dalam praktik kehidupan sehari-hari ketika bersentuhan dengan hal-hal yang bersifat diskriminatif. Pada Bab I, pasal 3, disebutkan tujuan pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS adalah melindungi masyarakat dan memutus mata rantai penularan HIV dan AIDS melalui lima program (butir a sampai e pada pasal ini). Butir a secara implisit dapat meminimalisasi munculnya stigma karena seluruh masyarakat mendapatkan informasi, dalam konteks ini tentunya informasi mengenai HIV dan AIDS. Dengan adanya informasi ini, masyarakat diharapkan memiliki pemahaman mendasar secara medis dan teknis mengenai HIV adn AIDS, sehingga asumsi dan prasangka yang tidak mendasar dan berpotensi memunculkan stigma bisa tercerahkan oleh pengetahuan yang lebih ilmiah. Butir c secara implisit dapat meminimalisasi munculnya stigma karena dalam berbagai upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS, ODHA ikut berperan. Masyarakat yang mencari informasi mengenai HIV dan AIDS dapat berinteraksi langsung dengan ODHA untuk mengetahui dan memahami lebih jauh, apa, kenapa, dan bagaimana HIV dan AIDS. Diharapkan asumsi dan prasangka tentang HIV dan AIDS bias direduksi. Pada Bab I, pasal 6 butir c, disebutkan bahwa kebijakan yang menjamin efektivitas usaha pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS guna melindungi setiap orang dari infeksi HIV termasuk populasi rawan, dapat dilakukan dengan mengembangkan jejaring untuk mengembangkan sistem dukungan, perawatan, dan pengobatan ODHA. Proses ini memperlihatkan bahwa pemerintah setempat memberikan perhatian terhadap ODHA melalui sistem dukungan, perawatan, dan pengobatan, bukan sebaliknya mengisolasi ODHA sehingga malah menyuburkan potensi stigma. Di antara ketiga proses di atas, proses dukungan merupakan proses yang paling berarti untuk tetap memberikan semangat hidup kepada ODHA.
63 Pada Bab I, pasal 7 butir a, b, c, dan d, pemerintah setempat menyediakan berbagai program sosialisasi bagi masyarakat tentang pentingnya mencegah dan menanggulangi HIV dan AIDS. Program ini tentu dilakukan di bawah pengawasan tenaga ahli di bidangnya, sehingga informasi yang didapat peserta program adalah informasi yang bersifat teknis dan ilmiah. Hal ini diharapkan meminimalisasi potensi kemunculan stigma. Pada butir e, secara tegas disebutkan bahwa Pemerintah Daerah dan masyarakat kota Bekasi wajib memberikan pelayanan kepada ODHA tanpa stigma dan diskriminasi. Pada Bab I, pasal 9 ayat 4, disebutkan bahwa seluruh sarana pelayanan kesehatan dasar, rujukan, dan penunjang milik pemerintah dan swasta tidak boleh menolak/wajib memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien yang terinfeksi HIV. Pasal ini jelas menekankan tidak adanya diskriminasi terhadap pasien terinfeksi HIV karena setiap sarana pelayanan kesehatan manapun di kota Bekasi tidak boleh menolak/wajib melayani pasien terinfeksi HIV. Selanjutnya, ayat 5, menyebutkan bahwa bagi pasien HIV dan AIDS yang memerlukan penanganan lebih lanjut akan dirujuk ke rumah sakit yang sudah ditetapkan. Pasal ini tentu mengantisipasi kemampuan masing-masing sarana pelayanan kesehatan dalam menangani berbagai jenis penyakit. Pada Bab I, pasal 10 ayat 1, disebutkan bahwa pemerintah melindungi hak-hak pribadi, hak-hak sipil, dan hak asasi ODHA termasuk perlindungan dari kerahasiaan status HIV. Ayat ini secara tegas dimasudkan untuk meredam potensi kemunculan stigma dan diskriminasi dari kalangan masyarakat tertentu terhadap ODHA. Ayat 2 menyebutkan bahwa setiap ODHA berhak memperoleh pelayanan pengobatan dan perawatan serta dukungan tanpa stigma dan diskriminasi dalam bentuk apapun. Ayat ini secara tegas memiliki pengertian bahwa setiap pasien HIV dan AIDS memiliki hak yang sama dengan pasien manapun dalam hal pengobatan, tidak ada diskriminasi. Ayat 3 menyebutkan bahwa pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS didasarkan pada nilai luhur kemanusiaan dan penghormatan terhadap harkat hidup manusia. Ayat ini jelas mendukung pernyataan ayat 2, bahwa kesamaan hak semua pasien dijamin atas nilai luhur kemanusiaan dan penghormatan terhadap harkat hidup manusia. Secara tegas salah satu esensi filsafat humanis ditulis dalam ayat ini.
64 Pada Bab I, pasal 14 ayat 1 butir c, disebutkan bahwa masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk berperan serta dalam kegiatan pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS dengan cara tidak melakukan stigma dan diskriminasi terhadap ODHA dan OHIDA. Bagian ini cukup jelas. Butir d menyebutkan bahwa cara lain yang dapat ditempuh adalah dengan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi ODHA serta keluarganya. Bagain ini jelas mendukung pernyataan pada butir sebelumnya, butir c, yakni dengan tujuan agar ODHA dan keluarganya tetap merasa hidup nyaman dan tenteram di tengah-tengah masyarakat umum tanpa ada ancaman timbulnya potensi stigma dan diskriminasi. Butir e menyebutkan cara yang lain, yaitu ODHA dan OHIDA terlibat dalam kegiatan promosi, pencegahan, tes, kerahasiaan, pengobatan, dan perawatan serta dukungan. Butir ini memiliki pengertian bahwa ODHA dan OHIDA tidak mengalami diskriminasi akibat stigma dalam masyarakat karena diharapkan ikut terlibat dalam berbagai kegiatan yang direncakan oleh pemerintah setempat. Bab IX, Ketentuan Pidana, pasal 20 ayat 1 menyebutkan: ‖Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 7 huruf (b) dan Pasal 9 ayat (4) diancam dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)\, dan pelanggaran terhadap pasal 7 huruf (e) dikenakan sanksi berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia‖. Pelanggaran terhadap pasal 7 huruf (b) hanya mungkin dilakukan oleh pemilik atau pengelola tempat hiburan yang tidak memasang media informasi HIV dan AIDS. Pelanggaran terhadap pasal 9 ayat (4) hanya mungkin dilakukan oleh penyedia layanan kesehatan, baik milik pemerintah maupun swasta yang tidak melayani pasien terinfeksi HIV. Pelanggaran terhadap pasal 7 huruf (e) dapat dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat luas seandainya dalam pelayanan terhadap ODHA ternyata melakukan stigma dan diskriminasi. Hal ini merupakan bukti keseriusan Pemerintah Daerah Kota Bekasi dalam menangani permasalahan stigma dan diskriminasi dalam upaya dan program pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS.
A.3.2. Persentase Kata dan Frasa Khusus Berdasarkan Frekuensi Kemunculan Penjelasan untuk frekuensi penggunaan kosakata dan frasa:
65 1. Penggunaan kata ”stigma” sebanyak empat (4) kali dan ”diskriminasi” sebanyak lima (5) kali menunjukkan bahwa pemerintah setempat telah memandang stigma dan diskriminasi sebagai dua hal krusial yang harus diperhatikan dalam upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS. Perda ini pun memiliki pengertian khusus untuk stigma dan diskriminasi pada bab I. 2. Penggunaan frasa-frasa ”hak-hak pribadi”, ”hak-hak sipil”, ”hak asasi”, ”nilai luhur kemanusiaan”, dan ”harkat hidup manusia”, masing-masing sebanyak satu (1) kali dimaksudkan untuk mendukung atau menjelaskan dua terminologi sebelumnya (stigma dan diskriminasi). Kelima frasa tersebut digunakan sebagai dasar utama mengapa stigma dan diskriminasi tidak boleh muncul pada proses pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS. Apabila stigma dan diskriminasi ternyata muncul, secara langsung berarti hakhak pribadi, hak-hak sipil, hak asasi, nilai-nilai luhur kemanusian, dan harkat hidup yang dimiliki manusia telah dilanggar. Hal ini jelas bertentangan dengan esensi filsafat humanis yang menempatkan manusia, beserta hak asasi dan hak-hak lainnya, sebagai pusatnya.
B. Aspek Komunikasi Kesehatan dalam Kebijakan Penanggulangan HIV/AIDS Dari hasil penelitian di tiga kabupaten ditemukan hal-hal sebagai berikut: 1. Belum ditemukan adanya proses menginformasikan dan mempengaruhi keputusan oleh pihak yang berwenang dalam penanggulangan HIV/AIDS di setiap wilayah penelitian. Seharusnya, KPAD, DPRD dan Pemerintah Kabupaten dan jajaran terkait (Dinas Kesehatan) melakukan kegiatan penginformasian dan penyosialisasian Perda mengenai Penanggulangan HIV/AIDS kepada para pemangku kepentingan dan masyarakat luas, melalui berbagai strategi dan penggunaan teknik serta teknologi. Tujuannya adalah untuk memberikan informasi mengenai HIV/AIDS, ODHIV, serta Perda itu sendiri. Dengan demikian diharapkan ada perubahan persepsi dan perilaku dari masyarakat. Pengkomunikasian Perda, kebijakan ataupun program merupakan proses untuk mengadvokasi dan mempengaruhi keputusan khalayak, sehingga ada persepsi yang konstruktif dan tepat mengenai HIV/AIDS dan ODHIV. Dalam konteks ini ODHIV seharusnya dapat diposisikan sebagai korban, bukan pelaku, sehingga
66 tidak perlu mendapatkan stigma yang bertitik tolak dari sudut pandang religi dan moralitas 2. Pemangku kepentingan juga tidak berupaya secara optimal untuk memotivasi individu, institusi terkait, komunitas dan masyarakat luas mengenai HIV/AIDS berdasarkan pemahaman medis-ilmiah dan kesadaran etika. Hal ini telah terlihat dari proses penyusunan Perda yang tidak melaibatkan para pakar bahasa dan hukum serta kesehatan, sehingga terjadi ketidaktepatan dalam pemilihan gaya bahasa.
Ketidaktepatan
tersebut
menyebabkan
semakin
berkembangnya
stigmatisasi terhadap ODHIV. Penerimaan oleh masyarakat terhadap keberadaan Perda juga semakin runyam, karena proses pengkomunikasian yang kurang tepat. Ketidak tepatan dalam dua aspek tersebutlah yang mendorong munculnya pemahaman yang tidak tepat mengenai HIV/AIDS dan ODHIV. 3. Dalam penelitian ini juga terlihat, pemangku kepentingan inti dalam penanggulangan HIV/AIDS di tingkat kabupaten maupun
provinsi, belum
melakukan pola dan proses interaktif dalam mengembangkan pesan mengenai HIV/AIDS. Akibatnya, penyampaian dengan pola monolog atau kampanye melalui media cetak dan luar ruang, kurang berhasil menyampaikan dan mengembangkan esensi pesan dari Perda penanggulangan HIV/AIDS kepada khalayak. Kondisi ini lebih lanjut mendorong kurang berkembangnya persepsi dan perilaku yang teoat dan positif mengenai AIDS yang akhirnya memposisikan ODHIV pada pola relasi yang subordinate 4. Peningkatan pemahaman mengenai Perda, seluk beluk HIV/AIDS serta ODHIV pada pemangku kepentingan serta isu-isu terbaru yang relevan dengan penanggulangan HIV/AIDS tidak pernah dilakukan kepada khalayak. Akibatnya, pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang HIV/AIDS cenderung bersifat statis, yang akhirnya kembali memposisikan ODHIV sebagai individu yang ’bersalah’ 5. Pihak Pemkab dan KPAD juga tidak berupaya untuk melakukan pemberdayaan melalui penyediaan informasi, serta keterlibatan dalam proses sosialisasi Perda. Hal-hal seperti inilah yang menyebabkan masyarakat kurang mengetahui
67 HIV/AIDs itu sendiri serta keberadaan Perda sebagai instrumen legal dalam penanggulangan HIV/AIDS di wilayah tertentu 6. Minimnya pertukaran dan penyebaran informasi serta dialog dua arah mempersulit proses penginformasian tentang HIV/AIDS dan Perda yang telah disahkan oleh legislatif. Akibatnya, tidak tercapai titik temu pemahaman antara apa yang diinginkan oleh pengirim pesan (ekskutif dan legislatif) dengan penerima pesan yakni masyarakat sebagai kelompok target
Jika ditinjau dari aspek kebijakan kesehatan, maka dari hasil penelitian ini ditemukan fakta sebagai berikut: 1. Dalam perencanaan kebijakan seperti Perda, terlihat bahwa komponen isi dari kebijakan di 3 kabupaten belum berorientasi pada tujuan yakni untuk menanggulangi epidemi HIV/AIDS di wilayah masing-masing, baik untuk jangka pendek, menengah maupun jangka panjang. Dari konteks ini terlihat, bahwa kebijakan yang tidak berorientasi pada tujuan yang jelas, justru berpotensi menimbulkan masalah baru, misalnya tidak ada perubahan persepsi dan perilaku pada masyarakat dalam jangka pendek, akan menyebabkan kegagalan program penanggulangan HIV/AIDS secara keseluruhan 2. Dari penelitian ini terlihat bahwa pemangku kepentingan dalam Perda-Perda tersebut, baik yang mempengaruhi ataupun yang dipengaruhi seperti populasi kunci tidak dilibatkan dalam proses penecanaan Perda. Dampaknya adalah Perda tidak mampu menjadi panduan atau acuan secara substantif bagai perancangan beberapa program intervensi pada level operasional dalam penanggulangan HIV/AIDS ketika diimplementasikan di lapangan. Jika ada panduan yang jelas, maka dapat dirancang satu atau beberapa program terkait dengan Perda, yang disesuaikan dengan kapasitas dan kapabilitas sebuah instansi, misalnya Dinas Kesehatan Kabupaten, ataupun Puskesmas di tingkat kecematan 3. Perda-Perda secara keseluruhan belum berorientasi pada perubahan, karena tidak terkandung pengertian mengenai kondisi tertentu yang harus dicapai di masa mendatang, yang mengindikasikan adanya perbedaan positif dibandingkan dengan kondisi dan situasi saat Perda tersebut diberlakukan
68 4. Rasionalitas juga kurang tercermin dalam isi Perda, karena belum mencantumkan pilihan-pilihan yang disusun berdasarkan fakta dan data (evidence-based). Padahal,
idealnya
sebuah
kebijakan
kesehatan,
seperti
penanggulangan
HIV/AIDS disusun berdasarkan realita atau fakta dan data di lapangan mengenai kasus HIV/AIDS itu sendiri. 5. Penyusunan Perda mengabaikan aspek kolektivitas terutama kehadiran populasi kunci yang merupakan pihak paling berkepentingan dan paham mengenai realita dan kondisi riil HIV /AIDS serta dinamika kasusnya dari waktu ke waktu. Pengabaian saran dan masukan dari populasi kunci, pakar, serta pihak terkait oleh legislative, menyebabkan Perda terlihat sebagai paparan normative dengan gaya bahasa birokrat yang sebenarnya kurang menyentuh akar permasalahan dari HIV/AIDS, serta penanggulangannya.
69 BAB VI KESIMPULAN I. Berdasarkan hasil penelitian ini, penggunaan gaya bahasa dalam kebijakan legal formal yakni Perda di Kabupaten/Kota adalah sebagai berikut: a. Masih cenderung tidak memperhatikan kaidah kebahasaan, khususnya di bidang pemaknaan (semantik) sehingga berpotensi menimbulkan multiinterpretasi. Sebagai payung hukum bagi penanggulangan HIV/AIDS, multiinterpretasi makna berpotensi merugikan ODHIV sebagai salah satu pihak yang juga memiliki kepentingan di dalam perda, dan implementasi perda dalam kehidupan seharihari. Stigma dapat muncul jika pemangku kepentingan yang terlibat dalam perumusan dan pelaksanaan perda mengabaikan aspek kemanusiaan dalam pengkomunikasian perda yang telah disahkan. b. Gaya bahasa yang digunakan dalam setiap perda lebih mementingkan aspek bahasa hukum. Pembentukan KPAD dan segala hal yang menyangkut legalisasi institusional dan operasional membutuhkan payung hukum yang jelas. Perda dapat dikatakan sebagai bentuk usaha pemangku kepentingan di daerah untuk segera membentuk KPAD secara legal formal berdasarkan hukum. Dampaknya, hal-hal yang menyangkut komunikasi kesehatan yang di dalamnya mencakup nilai-nilai kemanusiaan menjadi terabaikan. c. Ketidaktaatan terhadap kaidah kebahasaan dan penekaan terhadap gaya bahasa hukum pada perda-perda terjadi akibat kurang efektifnya komunikasi antarpihak yang berkepentingan dalam proses perumusan perda. Selain itu, pihak yang memiliki otoritas dalam perumusan perda mengabaikan perlunya tenaga ahli khusus bidang bahasa dalam proses perumusan perda. Alasan utama terjadinya hal ini adalah minimnya anggaran dalam proses perumusan perda sehingga tidak memungkinkan adanya sosialisasi awal ke seluruh pemangku kepentingan dan tidak memungkinkan untuk menyewa tenaga ahli khusus di bidang bahasa. II. Perda-Perda tersebut juga tidak memperhatikan aspek komunikasi kesehatan, baik dari sisi substansi, maupun proses sosialisasi dan implementasi di lapangan. a. Materi perda yang menyangkut komunikasi kesehatan masih relatif kurang dalam memberikan pengetahuan dan pemahaman mengenai HIV/AIDS dan ODHIV.
70 Dalam proses perumusan perda. Sosialisasi awal komunikasi kurang dilakukan di antara pemangku kepentingan. Pemerintah daerah kesulitan menjangkau dan mengakomodasi suara semua pemangku kepentingan karena keterbatasan waktu dan biaya. Hal ini terjadi sejak perda dirumuskan dan terus berlanjut sampai dengan perda diterbitkan. b. Provinsi Jawa Barat merupakan daerah yang sangat khas dengan nilai-nilai islami. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan visi dan misi islami pada beberapa kabupaten dan kota di Jawa Barat. Untuk menanggulangi HIV/AIDS di daerah Provinsi Jawa Barat, secara umum diperlukan pendekatan khusus kebudayaan dan keagamaan mengingat sebagian besar masyarakatnya sangat patuh pada nilai agama dan budaya setempat. Bersamaan dengan itu, peran tokoh masyarakat dan ulama menjadi sangat signifikan dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS karena mereka adalah orang-orang bisa dengan mudah didengar oleh masyarakat setempat. Ringkasnya, diperlukan kombinasi antara komunikasi kesehatan dengan pendekatan budaya dan agama dalam penanggulangan HIV/AIDS untuk daerah dengan kekhasan seperti Jawa Barat. c. Kurangnya aspek komunikasi kesehatan dalam materi perda disebabkan oleh pemerintah setempat tidak meenggunakan tenaga komunikasi kesehatan dalam proses perumusan perda. Sama halnya dengan bagian sebelumnya, hal ini disebabkan keterbatasan biaya. III. Ketidaktepatan pemilihan gaya bahasa serta teknik dan strategi pengkomunikasian telah menyebabkan: a. Perbedaan penggunaan istilah dan pengertian dalam masing-masing perda karena setiap kabupaten kota mengacu ke daerah yang berbeda dalam proses perumusan perda. Bukan tidak mungkin bahwa di antara aparat terkait pun terdapat perbedaan pandangan dalam menginterpretasi materi perda. b. Terabaikannya hak-hak kemanusiaan ODHIV, khususnya dengan munculnya stigma negatif pada masyarakat tempat ODHIV tinggal. Hal ini terjadi karena pengabaian nilai kemanusiaan dalam aspek komunikasi kesehatan karena perda lebih menekankan aspek hukumnya.
71 c. Tekanan sosial yang diterima ODHIV menjadi labih berat karena tidak semua lapisan masyarakat mengerti tentang HIV/AIDS. Hal ini disebabkan lemahnya strategi komunikasi kesehatan yang dimiliki masing-masing perda.
Rekomendasi: Rancangan
yang direkomendasikan untuk
pemilihan gaya bahasa dan
pengkomunikasian kebijakan penanggulangan HIV/AIDS adalah: a. Diperlukan tenaga ahli khusus di bidang bahasa dan komunikasi kesehatan untuk mempertimbangkan aspek lain selain bahasa hukum dalam setiap perda yang akan dirancang. b. Untuk perda yang telah diterbitkan, diperlukan revisi menyangkut gaya bahasa dan peristilahan dengan melakukan konsultasi dengan ahli bahasa dan menyangkut komunikasi kesehatan dengan ahli bidang komunikasi kesehatan. c. Jika hal-hhal menyangkut komunikasi kesehatan tidak memungkinkan untuk dimuat di dalam perda, perlu dipertimbangkan aturan tambahan khusus strategi komunikasi kesehatan agar masyarakat luas pada umumnya dapat memahami HIV/AIDS. Selain itu, aparat pemerintah dan pihak-pihak terkait yang berkewajiban mengimplementasikan perda, memiliki panduan baku yang memang telah dirancang dari awal bersamaan dengan perda. d. Untuk mencakup ketiga hal di atas, khususnya yang menyangkut nilai-nilai kemanusiaan pada ODHIV, diperlukan komunikasi yang melibatkan ODHIV dalam proses perumusan dan revisi perda tentang penanggulangan HIV/AIDS. Tujuannya
agar pemerintah dan organ-organ terkait
dapat
memahami
permasalahan apa sebenarnya dihadapi ODHIV dalam kehidupan sehari-hari di tengah masyarakat.
72 DAFTAR ACUAN
Badudu, J.S. 1996. Analisis dan Evaluasi tentang Perkembangan 25 Tahun Penggunaan Bahasa Hukum. Yakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional. Campbell, Catherine. et. al. 2005. Understanding and Challenging HIV/AIDS Stigma. Durban: HIVAN Christomy, T. Dan Untung Yuwono. 2004. Semiotika Budaya. Depok: PPKB-DRPM UI. Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. 2006. Perancangan Peraturan Perundangundangan. Firth, J.R. 1969. Papers in Linguistics 1934—1951. London: University Press. Hadikusuma, S.H. 1984. Bahasa Hukum Indonesia. Bandung: Alumni. Harimurti Kridalaksana, dan Tim Peneliti Linguistik Fakultas Sastra Indonesia Universitas Indonesia. 1999. “Sintaksis (Naskah Kelima).” Bahan Ajar Jurusan Sastra Indonesia. Depok Ickovics, J.R. “HIV-Related Stigma and Discrimination in Asia: A Review of Human Development Consequences”, UNDP Review Paper UNDP, July 2007. Indrati, Maria Farida. 2007. Ilmu Perundang-undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan. Yogyakarta: Kanisius. Indrati, Maria Farida. 2007. Ilmu Perundang-undangan: Proses dan Teknik Pembentukannya. Yogyakarta: Kanisius Lanur, Alex. 1983. Logika: Selayang Pandang. Yogyakarta: Kanisius. Loth. M.A. 1984. Bahasa dan Hukum: Sebuah Metodologi Kecil. Jakarta: Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan. Swan, Michael. 1996. Practical English Usage: Second Edition. Oxford: University Press. UNAIDS. 2005. HIV – Related Stigma, Discrimination, and Human Rigths Violations: Case Studies for Successful Programmes. Original English Version. UNAIDS. Valsiderri, Ronald. “HIV/AIDS Stigma: An Impediment to Public Health”. American Journal of Public Health. March 2002. Vol.92 No.3.
73 Violine, Melody. 2008. Kalimat Efektif dalam Bahasa Hukum Indonesia. Skripsi. FIB UI. Widiastuti, Udiati. 1995. Panduan Pustaka: Kalimat Efektif Bahasa Indonesia. Yakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Yuwono, Untung. 2007. “Penulisan Kalimat dalam Karya Ilmiah: Apa yang Perlu Dikuasai dan yang Perlu Dihindari.” Karya Tulis Ilmiah Sosial. Ed. Yunita T. Winarto, Totok Suhardiyanto, dan Ezra M. Choesin. Jakarta: Yayasan Obor.