BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan tahap krusial bagi pertumbuhan dan perkembangan manusia. Banyak tugas yang harus dicapai seorang remaja pada fase ini yang seringkali menjadi masalah tersendiri bagi mereka yang akan mempengaruhi perkembangan psikisnya. Seorang remaja, apabila tidak dapat mengatur emosi dalam menghadapi konflik-konflik yang terjadi maka akan berdampak negatif pada kesehatan mentalnya (Raphael, 2000). Sekitar 10-20% anak-anak dan remaja di seluruh dunia memiliki masalah kesehatan mental dan 50% diantaranya terjadi sebelum mencapai usia 14 tahun (WHO, 2011). Depresi merupakan masalah kesehatan mental yang sering terjadi pada remaja. National Institute of Mental Health (NIMH) menyatakan bahwa prevalensi depresi pada anak usia 9-17 tahun adalah 6% (NIMH, 2012), sedangkan di Indonesia, berdasarkan data Riskesdas tahun 2013, prevalensi masalah gangguan mental emosional untuk rentang usia 15-24 tahun adalah sekitar 6% (Balitbangkes, 2013). Di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) diketahui gangguan mental emosional pada kelompok usia 1524 tahun sebesar 9,5%. Prevalensi remaja depresi di Indonesia memang masih belum jelas, namun penelitian di Malang tahun 2008 melaporkan bahwa sekitar 32% remaja SMA mengalami depresi ringan, 28,2% depresi sedang, dan 11,1% depresi berat (Asmika et al., 2008). World Health Organization (WHO) telah mengidentifikasi kesehatan mental sebagai masalah kesehatan remaja, yang diperkirakan akan menjadi isu kesehatan global pada tahun 2020 (WHO, 2005). Isu kesehatan ini tentu perlu ditanggapi serius mengingat dampak dan atau kerugian akibat depresi. Depresi disebut-sebut sebagai penyebab utama beban penyakit secara global. Sekitar 14% dari beban global penyakit dikaitkan dengan gangguan neuropsikiatri, yang sebagian besar terjadi akibat depresi (Prince et al., 2007). Gangguan neuropsikiatrik pada remaja merupakan pencetus beban penyakit, dan kerugian karena kehilangan produktivitias sebesar 15-30% pada tiga tahun pertama dalam satu dekade kehidupan (Lopez, 2006). Depresi pada remaja juga 1
2
dapat meningkatkan risiko obesitas dan kejadian sindrom metabolik di usia dewasa (Vanhala et al., 2009; Yu et al., 2014) serta meningkatnya pemanfaatan pelayanan kesehatan, dan gangguan kerja pada usia 20 tahun (Keenan-Miller et al., 2007). Faktor-faktor pemicu depresi, baik dari segi biologi maupun psikososial, banyak diteliti sebagai upaya penanganan dan pencegahan depresi pada remaja. Fungsi zat-zat gizi telah terbukti mempengaruhi mekanisme otak dalam pembentukan mood dan depresi (Kaplan et al., 2007). Zat besi merupakan salah satu zat gizi yang mempunyai peran penting dalam fungsi otak dan neurotransmiter. Salah satu fungsi zat besi sebagai kofaktor tirosin hidroksilase dan triptofan hidroksilase dalam sintesis dopamin dan serotonin (Kim dan Resnick, 2014), dua neurotransmiter yang paling berperan dalam patofisiologi gangguan mood (Jacobs, 2004). Keterlibatan zat besi dalam regulasi suasana hati dan kecemasan ini menguatkan asumsi bahwa perilaku emosional sangat dipengaruhi oleh zat besi di otak, terutama dalam kondisi defisiensi besi. Pada wanita anemia yang diberi suplementasi zat besi menunjukan perbaikan skor depresi dan stress dibandingkan dengan wanita anemia yang diberi placebo (Beard et al., 2005). Penelitian Shariatpanaahi et al. (2007) pada subyek wanita muda, menyatakan bahwa ada hubungan antara depresi dengan penurunan kadar feritin sebelum terjadinya anemia. Pernyataan ini menimbulkan dugaan bahwa keadaan anemia akan meningkatkan kejadian depresi. Di sisi lain, anemia masih menjadi masalah kesehatan global, di mana anak-anak dan wanita usia subur merupakan populasi yang memiliki risiko paling tinggi (McLean et al., 2008). Prevalensi anemia remaja putri di DIY pada tahun 2012 sebesar 36%, dan prevalensi di kota Yogyakarta mencapai 35,2% (Dinkes Prov DIY, 2012). Kerugian akibat anemia berkaitan dengan penurunan produktivitas kerja dan daya tahan, terganggunya perkembangan fisik dan psikis, peningkatan kesakitan, hingga kematian. Penelitian yang menghubungkan anemia dan depresi selama ini banyak dilakukan pada populasi lansia atau orang dengan penyakit tertentu yang secara fisiologis menyebabkan anemia dan depresi, sedangkan pada remaja anemia masih perlu penegasan korelasi yang mungkin terjadi di antara keduanya.
3
Perbedaan usia, jenis kelamin, gaya hidup, dan penyakit tertentu diperkirakan mempengaruhi perbedaan hasil penelitian (Milligen et al., 2014). Tingginya angka depresi dan anemia pada remaja putri di kota Yogyakarta menarik perhatian untuk dapat mengkaji hubungan antar keduanya lebih jauh. Penelitian ini akan melihat hubungan antara anemia dan depresi pada remaja putri di kota Yogyakarta.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas peneliti tertarik untuk mengkaji “apakah ada hubungan antara anemia dan kejadian depresi pada remaja putri di Kota Yogyakarta?”
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Mengetahui hubungan anemia dan depresi pada remaja putri di kota Yogyakarta
2. Tujuan Khusus a. Mendeskripsikan karakteristik subyek penelitian b. Mengetahui prevalensi anemia dan depresi pada remaja putri di kota Yogyakarta c. Menganalisis hubungan antara anemia dan depresi remaja putri di kota Yogyakarta d. Menganalisis faktor lain yang mempengaruhi anemia terhadap depresi pada remaja putri di kota Yogyakarta.
D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Ilmu Pengetahuan a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pembelajaran dalam bidang gizi dan kesehatan mental remaja.
4
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan ilmu pengetahuan dan sebagai masukan bagi penelitian selanjutnya.
2. Bagi Pemerintah Daerah a. Bagi Hasil penelitian ini dapat memberi gambaran tentang kejadian anemia dan depresi pada remaja putri, serta faktor lain yang mempengaruhi anemia dan depresi pada remaja putri di kota Yogyakarta. b. Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbangan dan masukan Dinas Kesehatan dan Dinas Pendidikan dalam menyusun kebijakan terkait penanganan anemia dan kesehatan mental remaja putri.
3. Bagi Subyek Penelitian (Remaja Putri) Menyediakan informasi bagi remaja putri tentang risiko anemia dan depresi bagi kesehatannya, serta peran nutrisi dalam mencegah risiko tersebut.
E. Keaslian Penelitian Beberapa penelitian yang telah dilakukan mengenai hubungan anemia dan depresi, diantaranya: 1. Shariatpanaahi et al. (2007) dengan judul The relationship between depression and serum ferritin level, menggunakan desain penelitian Case control dengan subyek 205 orang mahasiswi (rata-rata usia 24 tahun). Tingkat depresi diukur menggunakan kuesioner Beck’s Depression Inventory (BDI). Dari hasil penelitian diketahui bahwa kadar feritin pada kelompok siswa depresi secara signifikan lebih rendah dibandingkan kelompok kelompok tidak depresi (p < 0,001). Perubahan feritin serum dari normal ke rendah meningkatkan odd ratio depresi sebesar 1,92 (p < 0,05). Perbedaan dengan penelitian ini pada desain dan variabel penelitian, alat ukur, serta cara penilaian status anemia yang digunakan.
2. Chen et al. (2013) dengan judul Association between psychiatric disorder and iron deficiency anemia among children and adolescent: a nationwide
5
population based study. Penelitian Case Control pada 2957 anak anemia (ratarata usia anak laki-laki 7,5 tahun, dan perempuan 12 tahun), kontrol dengan matching usia dan jenis kelamin (1:4). Penelitian ini membuktikan Anemia defisiensi besi meningkatkan risiko gangguan psikiatri, termasuk unipolar depressive disorder, bipolar disorder, autisme, gangguan kecemasan, gangguan perkembangan, dan retardasi mental. Perbedaan dengan penelitian ini pada usia responden, variabel yang diukur, alat ukur depresi (Chen et al. dilakukan oleh Psikiater), dan desain penelitian. Adapun persamaannya dengan penelitian ini yaitu pada penilaian status anemia menggunakan kadar hemoglobin.
3. Milligen et al. (2014) dengan judul Hemoglobin levels in person with depressive and/or anxiety disorder menggunakan desain Cross sectional pada 2920 orang usia 18-65 tahun (rata-rata usia 40 tahun). Hasil penelitian ini menyatakan bahwa Kadar Hb rendah ditemukan pada subjek dengan depresi dan ansietas berat, namun tidak ada hubungan
signifikan antara depresi
dan/atau ansietas dan kadar Hb atau status anemia. Perbedaan dengan penelitian ini yaitu pada alat ukur depresi, besar sampel, dan variabel penelitian, sedangkan persamaannya adalah pada desain cross sectional.