BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Dalam menjalankan kehidupan berorganisasi, interaksi dan komunikasi menjadi hal yang mutlak dilakukan oleh anggota organisasi. Komunikasi memungkinkan semua anggota dalam organisasi dapat saling berinteraksi hingga tercapai suatu pemahaman bersama (mutual understanding) mengenai tujuan organisasi. Proses komunikasi yang terjadi di dalam organisasi sangat penting untuk membentuk iklim komunikasi yang dapat mempengaruhi produktivitas kerja para anggotanya. Iklim komunikasi dalam tataran organisasi mengacu pada suasana atau atmosfer komunikasi yang berkembang atau tercipta dalam suatu organisasi guna mencapai tujuan tertentu. Pentingnya keberadaan iklim komunikasi ini selain dipandang sebagai salah satu faktor penyebab efektif atau tidak efektifnya kinerja fungsional organisasi, juga dipandang sebagai symptom (gejala) sehat atau tidaknya sebuah organisasi. Iklim komunikasi organisasi menjadi penting untuk diketahui mengingat iklim komunikasi sebuah organisasi mempengaruhi cara hidup para anggotanya, kepada siapa mereka bicara, siapa yang mereka sukai, bagaimana kegiatan kerja mereka, apa yang ingin mereka capai, dan bagaimana mereka beradaptasi dengan organisasi (Pace dan Faules, 2010: 148). Iklim komunikasi merupakan elemen sistem komunikasi internal organisasi yang perlu diperhatikan oleh pimpinan organisasi karena elemen tersebut secara tidak langsung turut mempengaruhi perilaku serta produktivitas kinerja anggotanya. Interaksi dan komunikasi yang baik antar anggota organisasi akan membentuk iklim komunikasi organisasi positif yang memungkinkan para karyawan
atau
anggota
organisasi
untuk
mengutarakan
pendapatnya,
menyuarakan keluhan, dan memberikan saran kepada atasan. Komunikasi yang
1
baik antara atasan dengan bawahan, bawahan dengan atasan, antar atasan, dan juga antar bawahan itu sendiri akan mempermudah organisasi untuk mencapai tujuannya. Sebaliknya, iklim komunikasi yang negatif terbentuk apabila interaksi personal di antara anggota organisasi, kurang terjalin. Secara psikologis mereka akan cenderung bersifat defensif dan menimbulkan iklim atau suasana yang tidak baik dan tidak menyenangkan dalam organisasi. Kondisi yang demikian akan memicu terjadinya kesalahpahaman dan ketidakstabilan kinerja organisasi yang kemudian akan menurunkan capaian kinerja pegawai secara individu maupun produktivitas organisasi secara keseluruhan (Goldhaber, 1993: 144-147). Berdasarkan kebijakan organisasi dan tata kerja Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI), setiap kantor perwakilan BPK RI yang tersebar di 34 provinsi di seluruh Indonesia, memiliki wewenang dan tanggung jawab yang sama dalam menjalankan visi, misi, tujuan, dan sasaran organisasi BPK RI. Pencapaian kinerja (sasaran strategis) masing-masing kantor perwakilan pun dikelola melalui pengimplementasian suatu program yang sama yaitu yang dinamakan Manajemen Kinerja Berbasis SIMAK. Manajemen kinerja berbasis SIMAK merupakan serangkaian aktivitas mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi dan pelaporan, yang bertujuan untuk memastikan bahwa tujuan atau sasaran organisasi telah dicapai secara konsisten dalam caracara yang efektif dan juga efisien, dengan memanfaatkan aplikasi SIMAK (Sistem Manajemen Kinerja). Dalam pengimplementasiannya, kinerja organisasi kantor perwakilan BPK RI dinilai atau diukur dengan menggunakan instrumen yang sama yaitu Indikator Kinerja Utama (IKU). IKU merupakan ukuran atau indikator yang akan memberikan informasi mengenai sejauh mana suatu organisasi telah berhasil mencapai sasaran strategis yang telah ditetapkannya. Pada organisasi badan publik seperti BPK RI, nilai IKU yang telah dicapai selanjutnya akan menjadi dasar bagi Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) dalam menilai keberhasilan penyelenggaraan reformasi birokrasi pada instansi atau organisasi yang bersangkutan.
2
BPK RI Perwakilan Provinsi Bengkulu (BPK Bengkulu) dan BPK RI Perwakilan Provinsi Sumatera Selatan (BPK Palembang) merupakan kantor perwakilan BPK RI yang sama-sama berkedudukan di wilayah Sumatera bagian selatan. Keduanya memiliki karakteristik organisasi yang kurang lebih sama. Baik dari sisi jumlah anggaran yang dikelola, struktur organisasi dan hierarki pembagian tugas, luas objek pemeriksaan yang menjadi bidang tugasnya, keanekaragaman latar belakang budaya anggota organisasinya, dan kondisi sosiokultural masyarakat serta lingkungan sekitar tempat organisasi berada. Hal ini mengingat, dari aspek historis wilayah, sebelum ditetapkan sebagai provinsi ke-26 (provinsi termuda sebelum Timor Timur) pada tahun 1968, Bengkulu merupakan salah satu karesidenan dalam Provinsi Sumatera Selatan. Selain itu dari aspek historis organisasi, BPK Bengkulu merupakan hasil pemekaran dari BPK Palembang pada tahun 2008. Namun, kesamaan karakteristik organisasi sebagaimana telah diuraikan di atas tidak lantas menjamin berkembangnya iklim komunikasi dan pencapaian sasaran strategis yang sama pula bagi kedua kantor perwakilan tersebut. Bagaimana manajemen BPK Bengkulu dan BPK Palembang mencapai sasaran strategis organisasi melalui penciptaan iklim komunikasi, hal inilah yang akan menjadi fokus kajian dalam penelitian ini. Studi banding dan koordinasi dengan BPK Palembang dalam rangka memperoleh praktek terbaik (best practice) memang telah beberapa kali dilakukan oleh BPK Bengkulu. Namun, studi-studi yang telah dilakukan tersebut masih terbatas pada masalah penyelenggaraan organisasi secara umum, dan belum mengkhususkan pada hal-hal terkait sistem komunikasi internal organisasi, terutama mengenai iklim komunikasi. Selain itu, studi yang selama ini dilakukan oleh BPK Bengkulu juga belum diselenggarakan dengan menggunakan metode penelitian ilmiah sesuai dengan teori dan basis keilmuan yang relevan. Adapun dalam ranah penelitian ilmu komunikasi, iklim komunikasi organisasi memang telah banyak dijadikan sebagai fokus kajian penelitian selama
3
satu dekade terakhir. Namun, sebagian besar penelitian tersebut dilakukan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif yang bertujuan mengukur iklim, dengan persepsi individu sebagai unit analisisnya (anggota organisasi berperan aktif dalam mempengaruhi terbentuknya iklim komunikasi). Sedangkan studi perbandingan iklim komunikasi organisasi pada BPK Bengkulu dan BPK Palembang ini, dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif yang bertujuan tidak hanya mengetahui, tetapi juga memahami secara mendalam untuk kemudian memperbandingkan iklim komunikasi organisasi yang dikembangkan oleh manajemen BPK Bengkulu dan BPK Palembang dalam upaya mencapai sasaran strategis, dengan organisasi sebagai unit analisisnya (anggota organisasi berperan pasif dalam mempengaruhi terbentuknya iklim komunikasi, yaitu hanya sebagai pihak yang dikenai terpaan perlakuan atau intervensi dari manajemen organisasi). Berangkat dari kondisi di atas, peneliti memandang perlu untuk melakukan suatu studi kualitatif atas iklim komunikasi dalam proses pencapaian kinerja organisasi pada BPK RI Perwakilan Provinsi Bengkulu dan BPK RI Perwakilan Provinsi Sumatera Selatan. Studi yang bersifat deskriptif ini dilakukan dalam rangka memahami, memperoleh gambaran, sekaligus membandingkan bagaimana BPK Bengkulu dan BPK Palembang mencapai kinerja (Sasaran Strategis/SS dan Indikator Kinerja Utama/IKU) organisasinya secara keseluruhan melalui penciptaan iklim komunikasi.
B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang tersebut, maka permasalahan dalam penelitian ini, adalah: “Bagaimana manajemen BPK RI Perwakilan Provinsi Bengkulu dan BPK RI Perwakilan Provinsi Sumatera Selatan mencapai kinerja organisasinya melalui penciptaan iklim komunikasi?”
4
Lebih lanjut, dari rumusan masalah di atas, kemudian diturunkan pertanyaan penelitian, sebagai berikut: 1. Bagaimana intervensi/upaya yang dilakukan oleh manajemen BPK Bengkulu dan BPK Palembang dalam menciptakan iklim komunikasi yang positif dan berkontribusi terhadap pencapaian sasaran strategis organisasi?; dan 2. Bagaimana proses komunikasi yang dikembangkan oleh manajemen BPK Bengkulu dan BPK Palembang untuk mendorong terciptanya iklim yang positif dan berkontribusi terhadap pencapaian sasaran strategis organisasi?.
C. TUJUAN PENELITIAN Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk memahami secara komprehensif bagaimana manajemen BPK RI Perwakilan Provinsi Bengkulu dan BPK RI Perwakilan Provinsi Sumatera Selatan mencapai kinerja organisasinya melalui penciptaan iklim komunikasi.
D. MANFAAT PENELITIAN Studi perbandingan iklim komunikasi organisasi pada BPK Bengkulu dan BPK Palembang ini dirancang untuk dapat memberikan manfaat akademis dan manfaat praktis, sebagai berikut: 1. Manfaat Akademis a. Penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah kajian komunikasi organisasi yang menitikberatkan pada konsep iklim komunikasi organisasi. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan referensi bagi peneliti selanjutnya yang ingin melakukan kajian terhadap komunikasi keorganisasian khususnya terkait iklim komunikasi pada organisasi publik (pemerintah). 5
2. Manfaat Praktis a. Dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi para pejabat struktural BPK Bengkulu dan BPK Palembang beserta jajarannya dalam mengevaluasi kekuatan dan kelemahan pengelolaan komunikasi internal organisasinya masing-masing, khususnya terkait iklim komunikasi. b. Memberikan gambaran dan masukan bagi organisasi lain terutama organisasi publik (pemerintah) mengenai pentingnya iklim komunikasi organisasi yang positif bagi efektivitas komunikasi dan kinerja organisasi. c. Memberikan kesempatan dan tambahan pengalaman kepada peneliti untuk dapat mempraktekkan pengetahuan teoritis yang telah dipelajari, khususnya pengetahuan terkait sistem komunikasi internal organisasi dan penerapan konsep pentingnya iklim komunikasi organisasi terhadap kinerja organisasi publik (pemerintah).
E. KERANGKA PEMIKIRAN Dalam melakukan studi perbandingan iklim komunikasi dalam proses pencapaian kinerja organisasi pada BPK Bengkulu dan BPK Palembang ini, peneliti telah memilah beberapa teori dan konsep sebagai kerangka pemikiran, yaitu: 1. Iklim Komunikasi Organisasi Iklim komunikasi organisasi merupakan konsep mengenai suasana atau atmosfer komunikasi yang berkembang dalam suatu organisasi guna mencapai tujuan tertentu. Iklim komunikasi organisasi berhubungan dengan serangkaian intervensi atau upaya yang dilakukan oleh manajemen suatu organisasi untuk menciptakan atmosfer komunikasi yang sarat dengan nilai-nilai kepercayaan (trust), dukungan (supportiveness), keterbukaan (openness), pengambilan keputusan yang partisipatif (participation decision making), serta penghargaan
6
atas standar kinerja yang baik/tinggi (high performance goals), sehingga mampu berkontribusi dalam pencapaian sasaran strategis organisasi (Redding, 1972). Sebuah organisasi yang baik memiliki iklim komunikasi yang mampu menumbuhkan hubungan pegawai yang terbuka dan sehat, baik dalam lingkup hubungan horizontal antar sesama pegawai maupun hubungan vertikal pegawai dengan manajemen. Redding (1972) dalam Pace dan Faules (2010: 148) menyatakan bahwa iklim komunikasi organisasi berperan besar dalam suatu organisasi, karena iklim komunikasi organisasi secara khusus berlaku sebagai faktor penengah antara unsur-unsur sistem kerja dengan ukuran keefektifan organisasi seperti produktivitas, kepuasan, kualitas, dan vitalitas. Rogers dan Rogers (1976: 7) menjelaskan bahwa berkembangnya iklim komunikasi dalam organisasi sangat tergantung pada struktur. Struktur organisasi cenderung mempengaruhi suasana komunikasi yang terjadi, dimana komunikasi dari bawahan kepada pimpinan atau sebaliknya, tentunya akan sangat berbeda dengan komunikasi dengan rekan sejawat. Perilaku atau tindakan komunikasi ini secara berkesinambungan akan membentuk iklim komunikasi organisasi. Jalur komunikasi yang digunakan di dalam suatu organisasi juga sangat mempengaruhi iklim komunikasi di organisasi tersebut, sebagaimana diuraikan Thoha (2000: 175) bahwa: “Komunikasi formal mengikuti jalur hubungan formal yang tergambar dalam susunan atau struktur organisasi. Adapun komunikasi informal, arus informasinya sesuai dengan kepentingan dan kehendak masingmasing pribadi yang ada dalam organisasi tersebut. Proses hubungan informasinya tidak mengikuti jalur struktural, sehingga bisa saja terjadi seorang yang mempunyai struktur formal di bawah, berkomunikasi dengan seseorang yang berada di tingkat pimpinan”. Dilihat dari segi fungsi komunikasi, iklim komunikasi di dalam organisasi memiliki empat fungsi, yaitu: (1) kendali (kontrol-pengawasan), (2) motivasi, (3) pengungkapan emosional, dan (4) informasi (Robbins, 2002: 310). Fungsi
7
pertama, bertindak mengendalikan perilaku anggota organisasi dengan beberapa cara. Dalam hal membantu pengembangan motivasi pegawai, iklim komunikasi organisasi membantu menjelaskan kepada pegawai apa yang harus dilakukan, seberapa baik pegawai bekerja dan apa yang dapat dikerjakan untuk memperbaiki kinerja yang di bawah standar. Fungsi selanjutnya, komunikasi bagi pegawai merupakan mekanisme fundamental dimana pegawai dapat mengungkapkan kekecewaan dan perasaan puas sebagai ungkapan emosional dari perasaan dan pemenuhan kebutuhan sosial. Sedangkan dalam kaitannya dengan pengambilan keputusan, iklim komunikasi yang baik dapat menyediakan dan memasok informasi dengan didukung data aktual dan akurat, guna menghasilkan pilihanpilihan yang diperlukan dalam proses pengambilan keputusan. Redding (Goldhaber, 1993: 65-67) mencatat iklim komunikasi yang ideal mengandung beberapa dimensi, yaitu: a. Dukungan (Supportiveness). Hubungan komunikasi antara bawahan dengan atasan dapat meningkatkan kesadaran diri bawahan tentang makna dan kepentingan perannya. b. Pengambilan Keputusan yang Partisipatif (Participation Decision Making). Komunikasi bawahan dengan atasan memiliki manfaat dan pengaruh untuk didengarkan dan diperhitungkan. c. Kepercayaan, Kejujuran, dan Kredibilitas (Trust, Honesty, and Credibility). Berkaitan dengan kualitas sumber pesan atau peristiwa-peristiwa komunikasi yang terjadi dalam organisasi, apakah dapat dipercaya, jujur, dan kredibel. d. Keterbukaan dan Keterusterangan (Openness and Candor). Adanya keterbukaan dan keterusterangan penyampaian dan penerimaan pesan dalam komunikasi formal maupun informal.
8
e. Tujuan kerja yang tinggi (High PerformanceGoals). Tingkat kejelasan uraian dan penjelasan tentang tujuan-tujuan kinerja yang dikomunikasikan dan dirasakan oleh karyawan. Selanjutnya, hasil penelitian yang dilakukan Pace dan Peterson (Pace dan Faules, 2010: 159-160) menunjukkan bahwa paling sedikit ada enam faktor besar yang mempengaruhi iklim komunikasi organisasi, yaitu: a. Kepercayaan. Personel di semua tingkatan harus berusaha keras untuk mengembangkan dan mempertahankan hubungan yang di dalamnya terdapat kepercayaan, keyakinan, dan kredibilitas yang didukung oleh pernyataan dan tindakan. b. Pembuatan keputusan bersama. Para pegawai di semua tingkatan dalam organisasi harus diajak berkomunikasi dan berkonsultasi mengenai semua masalah dalam semua wilayah kebijakan organisasi yang relevan dengan kapasitas dan kedudukan mereka. Para pegawai
di
semua
tingkatan harus diberi
ruang atau
kesempatan
berkomunikasi dan berkonsultasi dengan manajemen di atas mereka agar berperan serta dalam proses pembuatan keputusan dan penentuan tujuan. c. Kejujuran. Suasana umum yang diliputi kejujuran dan keterusterangan harus mewarnai hubungan-hubungan dalam organisasi, dan para pegawai mampu mengatakan „apa yang ada dalam pikiran mereka‟ tanpa perasaan tertekan dan mengindahkan apakah mereka berbicara kepada teman sejawat, bawahan, atau atasan. d. Keterbukaan dalam komunikasi ke bawah. Kecuali untuk informasi rahasia, anggota organisasi dapat relatif mudah memperoleh informasi yang berhubungan langsung dengan tugas mereka saat
9
itu.
Hal
ini
dapat
mempengaruhi
kemampuan
mereka
untuk
mengkoordinasikan pekerjaan mereka dengan orang-orang atau bagian-bagian lainnya, dan yang berhubungan luas dengan perusahaan, organisasi, para pemimpin, dan rencana-rencana. e. Mendengarkan dalam komunikasi ke atas. Personel di setiap tingkatan dalam organisasi harus mendengarkan saran-saran atau laporan-laporan masalah yang dikemukakan personel di setiap tingkat bawahan dalam organisasi, secara berkesinambungan dan dengan pikiran terbuka. Informasi dari bawahan harus dipandang cukup penting untuk dilaksanakan kecuali ada petunjuk yang berlawanan. f. Perhatian pada tujuan-tujuan berkinerja tinggi. Personel di setiap tingkatan dalam organisasi harus menunjukkan suatu komitmen terhadap tujuan-tujuan berkinerja tinggi − produktivitas tinggi, kualitas baik, pelayanan prima − demikian pula menunjukkan perhatian besar pada anggota organisasi lainnya. Dalam penelitian ini, peneliti mengompilasikan kedua konsep dimensi iklim komunikasi ideal menurut Redding dan Pace-Peterson di atas ke dalam tiga poin dimensi iklim komunikasi, yaitu: (1) Transparansi versus Distrust; (2) Dukungan Pimpinan Membuka Partisipasi Bawahan; dan (3) Komitmen Terhadap Tujuan Berkinerja Tinggi. 2. Manajemen Kinerja Organisasi Istilah kinerja (performance) dapat dimaknai sebagai tingkat pencapaian tujuan dan sasaran suatu organisasi selama kurun waktu tertentu. Kinerja adalah hasil kerja yang dicapai oleh seseorang atau kelompok orang dalam suatu organisasi sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam rangka mencapai tujuan organisasi yang bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum, dan sesuai dengan moral dan etika (Miller, 2012: 102).
10
Dalam
rangka
mengetahui
keberhasilan
organisasi
dalam
menyelenggarakan visi dan misinya, perlu dilakukan suatu pengukuran kinerja. James B. Whittaker (1993) mengemukakan bahwa pengukuran kinerja merupakan suatu alat manajemen yang digunakan untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan akuntabilitas. Pengukuran kinerja dapat membantu manajemen dalam memonitor implementasi strategi bisnis dengan cara membandingkan antara hasil aktual dengan tujuan dan sasaran strategis organisasi yang telah ditetapkan sebelumnya. Pengukuran kinerja tidak semata-mata dimaksudkan sebagai
mekanisme
untuk
memberikan
penghargaan/hukuman
(reward/punishment) saja, tetapi juga berperan sebagai alat komunikasi dan alat manajemen untuk memperbaiki kinerja organisasi. Pengukuran kinerja penting peranannya sebagai alat manajemen untuk: (1) Memastikan pemahaman para pelaksana akan ukuran yang digunakan untuk mencapai kinerja; (2) Memastikan tercapainya rencana kinerja yang telah disepakati;
(3) Memonitor dan mengevaluasi
pelaksanaan
kinerja dan
membandingkannya dengan rencana kerja, serta melakukan tindakan untuk memperbaiki kinerja; (4) Memberikan penghargaan dan hukuman yang objektif atas prestasi pelaksana yang telah diukur sesuai dengan sistem pengukuran kinerja yang telah disepakati; (5) Menjadi alat komunikasi antar bawahan dan pimpinan dalam rangka memperbaiki kinerja organisasi; (6) Mengidentifikasi apakah kepuasan para pemangku kepentingan telah terpenuhi; (7) Membantu memahami proses kegiatan organisasi; (8) Memastikan bahwa pengambilan keputusan dilakukan secara objektif; dan (9) Mengungkapkan permasalahan yang terjadi di dalam organisasi. Salah satu metode pengukuran kinerja organisasi yang sering digunakan beberapa tahun terakhir ini adalah metode balanced scorecard. Balanced scorecard
adalah
metode
untuk
mengukur
kinerja
seseorang
atau
kelompok/organisasi dengan menyeimbangkan aspek keuangan dan non-keuangan serta aspek internal dan eksternal organisasi. Melalui balanced scorecard dilakukan
pendekatan
untuk
mengukur
kinerja
organisasi
dengan
11
mempertimbangkan empat aspek atau perspektif, yaitu perspektif keuangan, pemangku kepentingan, proses bisnis internal, serta proses belajar dan berkembang organisasi. 3. Iklim Komunikasi dan Kinerja Organisasi Sebagai bagian dari iklim organisasi, iklim komunikasi dalam interaksi pegawai merupakan faktor yang mempengaruhi kualitas kinerja dan efektivitas fungsi organisasi. Menurut peneliti komunikasi Jack Gibb (1979), segera setelah dua orang mulai berkomunikasi, iklim mulai berkembang. Oleh karena itu komunikasi yang baik harus menjadi proses membangun hubungan daripada hanya sebagai sarana mentransfer informasi dan ide-ide. Iklim komunikasi yang positif menyebabkan praktek manajerial yang lebih mendukung dan yang paling penting pengaruhnya terhadap individu, kelompok dan produktivitas organisasi. Lebih lanjut, Gibb dalam pernyataannya juga menyebutkan bahwa iklim berdampak pada upaya seorang anggota organisasi. Upaya dalam konteks ini merujuk pada: (1) tenaga fisik dari tubuh dalam bentuk mengangkat, berbicara, atau berjalan; dan (2) tenaga mental pikiran dalam bentuk pemikiran,
menganalisis,
dan
memecahkan
masalah.
Komunikasi
yang
mendukung dari manajer, rekan kerja, dan bawahan akan membantu anggota untuk mencapai kepuasan dan komitmen mereka untuk bertahan dalam pekerjaan dan organisasi. Iklim komunikasi organisasi merupakan fungsi dari bagaimana aktivitas yang terjadi dalam organisasi menunjukkan kepada anggota organisasi bahwa organisasi mempercayai mereka dan memungkinkan mereka bebas untuk mengambil risiko; mendukung mereka dan memberi mereka tanggung jawab dalam melakukan pekerjaan mereka; secara terbuka memberikan informasi yang akurat dan memadai tentang organisasi; dengan penuh perhatian mendengarkan dan menggali informasi yang dapat dipercaya dan jujur dari anggota organisasi; aktif berkonsultasi dengan anggota organisasi sehingga mereka melihat bahwa keterlibatan mereka berpengaruh dalam keputusan dalam organisasi dan memiliki
12
kepedulian terhadap standar yang tinggi dan pekerjaan yang menantang (Jablin & Putnam, 2001: 121). Jadi melalui proses interaksional, anggota memverifikasi keberadaan kepercayaan, dukungan, keterbukaan, konsultativitas, dan perhatian yang diberikan oleh organisasi. Keputusan anggota organisasi untuk melakukan pekerjaan mereka secara efektif, berkomitmen untuk organisasi, mendukung rekan-rekan dan anggota organisasi yang lain dan menawarkan ide-ide inovatif untuk perbaikan kinerja organisasi dan operasi, semuanya dipengaruhi oleh iklim komunikasi (Guzley, 1992: 383-385). 4. Path-Goal Theory Terciptanya iklim komunikasi yang sarat dengan nilai-nilai dukungan, kepercayaan, keterbukaan, partisipasi dalam pengambilan keputusan, dan komitmen terhadap tujuan berkinerja tinggi, tidak dapat dipisahkan dari peran pemimpin (atasan) selaku komunikator dan motivator yang utama dalam sebuah organisasi. Robert House melalui sebuah teori kepemimpinan yang dikenal dengan istilah Path-Goal Theory, menyatakan bahwa merupakan tugas pemimpin untuk membantu anggotanya dalam mencapai tujuan mereka dan untuk memberi arah serta dukungan yang dibutuhkan untuk menjamin tujuan mereka sesuai dengan tujuan kelompok atau organisasi secara keseluruhan (Robbins, 2002). Model path-goal menganjurkan bahwa kepemimpinan terdiri dari dua fungsi dasar, yaitu: (1) Memberi kejelasan alur. Maksudnya, seorang pemimpin harus mampu membantu bawahannya dalam memahami bagaimana cara kerja yang diperlukan dalam menyelesaikan tugasnya; dan (2) Meningkatkan jumlah hasil (reward) bawahannya dengan memberi dukungan dan perhatian terhadap kebutuhan mereka. Dan untuk memenuhi fungsi-fungsi tersebut, pemimpin dapat menjalankan empat gaya kepemimpinan sesuai situasi yang berkembang dalam organisasi saat itu, yakni sebagai berikut:
13
a. Kepemimpinan Pengarah (Directive Leadership) Pemimpin memberitahukan kepada bawahan apa yang diharapkan dari mereka, memberitahukan jadwal kerja yang harus disesuaikan dan standar kerja, serta memberikan arahan/bimbingan secara spesifik tentang cara-cara menyelesaikan tugas tersebut, termasuk di dalamnya aspek perencanaan, organisasi, koordinasi, dan pengawasan. b. Kepemimpinan Pendukung (Supportive Leadership) Pemimpin bersifat ramah dan menunjukkan kepedulian akan kebutuhan bawahan. Ia juga memperlakukan semua bawahan sama dan menunjukkan tentang keberadaan mereka, status, dan kebutuhan-kebutuhan pribadi, sebagai usaha untuk mengembangkan hubungan interpersonal yang menyenangkan di antara anggota organisasi. Kepemimpinan pendukung memberikan pengaruh yang besar terhadap kinerja bawahan pada saat mereka frustasi atau mengalami kekecewaan. c. Kepemimpinan Partisipatif (Participative Leadership) Pemimpin partisipatif berkonsultasi dengan bawahan dan menggunakan saransaran serta ide mereka sebelum mengambil suatu keputusan. Kepemimpinan partisipatif dapat meningkatkan motivasi kerja bawahan. d. Kepemimpinan Berorientasi Prestasi (Achievement-Oriented Leadership) Gaya kepemimpinan dimana pemimpin menetapkan tujuan berkinerja yang tinggi dan mengharapkan bawahan untuk berprestasi semaksimal mungkin serta terus menerus mencari pengembangan prestasi dalam proses pencapaian tujuan tersebut.
14
F. MODEL PENELITIAN Dari kerangka pemikiran di atas, maka peneliti membuat model penelitian: MANAJEMEN KINERJA BERBASIS SIMAK
Penciptaan Iklim Komunikasi oleh BPK Bengkulu
Penciptaan Iklim Komunikasi oleh BPK Palembang
1. Transparansi versus Distrust 2. Dukungan Pimpinan Membuka Partisipasi Bawahan 3. Komitmen terhadap Tujuan Berkinerja Tinggi [Diolah Peneliti berdasarkan konsep Iklim Komunikasi Organisasi yang dikemukakan oleh Redding (1972) dan Pace-Peterson (1976)].
SASARAN STRATEGIS PERWAKILAN BPK RI
Gambar 1.1 Model Penelitian
Sebagaimana digambarkan dalam model penelitian di atas, konsep iklim komunikasi yang akan menjadi fokus kajian dalam penelitian ini adalah konsep mengenai bagaimana manajemen BPK Bengkulu dan BPK Palembang mencapai kinerja (sasaran strategis) perwakilan, melalui penciptaan iklim komunikasi yang sarat dengan nilai-nilai kepercayaan (trust), dukungan (supportiveness), keterbukaan (openness), pengambilan keputusan yang partisipatif (participation decision making), serta penghargaan atas standar kinerja yang baik/tinggi (high performance goals).
G. KERANGKA KONSEP Penelitian ini difokuskan pada bagaimana manajemen BPK Bengkulu dan BPK Palembang menciptakan iklim komunikasi yang berkontribusi terhadap proses pencapaian kinerja (Sasaran Strategis/SS dan Indikator Kinerja Utama/IKU) perwakilan tahun 2013. Anggota organisasi dalam penelitian ini dipandang melalui perspektif pasif, yaitu hanya sebagai pihak yang dikenai
15
terpaan perlakuan atau intervensi dari manajemen organisasi, dan tidak secara individual mempengaruhi terbentuknya iklim komunikasi. Sasaran strategis perwakilan BPK RI yang dimaksud dalam penelitian ini adalah sembilan Sasaran Strategis (SS) level Eselon II (Kantor Perwakilan) yang terbagi menurut empat Perspektif dan dioperasionalkan berdasarkan sembilan belas Indikator Kinerja Utama (IKU) sebagaimana ditetapkan dalam Rencana Strategis (Renstra) BPK RI 2011-2015, sebagai berikut: Sasaran Strategis (SS)
Indikator Kinerja Utama (IKU)
A. Perspektif Pemenuhan Kebutuhan dan Harapan Pemilik Kepentingan 1. Meningkatkan efektivitas tindak 1.1 Persentase rekomendasi yang ditindaklanjuti lanjut hasil pemeriksaan 1.2 Jumlah temuan berindikasi tindak pidana yang disampaikan ke Ditama Binbangkum dan disetujui untuk disampaikan ke APH B. Perspektif Pengelolaan Fungsi Strategis 2. Meningkatkan fungsi manajemen 2.1 Jumlah LHP yang diterbitkan pemeriksaan 2.2 Jumlah LHP Kinerja yang diterbitkan 2.3 Ketepatan waktu pelaksanaan pemeriksaan 2.4 Ketepatan waktu pelaporan hasil pemeriksaan 2.5 Pemenuhan quality assurance dalam pemeriksaan (hot review) 3. Meningkatkan mutu pemberian 3.1 Usulan pendapat yang dimanfaatkan Direktorat EPP pendapat 4. Meningkatkan mutu pemantauan 4.1 Laporan pemantauan kerugian negara yang diterbitkan penyelesaian ganti kerugian 4.2 Ketepatan waktu penyampaian laporan pemantauan kerugian negara negara C. Perspektif Pertumbuhan dan Pembelajaran Organisasi 5. Meningkatkan mutu pengelolaan 5.1 Jam pelatihan rata-rata per pegawai SDM di lingkungan perwakilan 5.2 Pemeriksa yang memenuhi standar jam pelatihan 6. Meningkatkan komunikasi dengan 6.1 Jumlah media workshop per tahun stakeholders 6.2 Rata-rata waktu penyelesaian legislasi Juknis akses data 7. Meningkatkan pemanfaatan TIK 7.1 Aplikasi TIK yang dimanfaatkan secara optimal di lingkungan perwakilan 7.2 Persentase entitas yang mentransfer data via Agen Konsolidator (AK) 7.3 Persentase instalasi Agen Konsolidator (AK) 8. Meningkatkan pemenuhan 8.1 Persentase pemenuhan srana dan prasarana sesuai dengan standar sarana dan prasarana di standar lingkungan perwakilan D. Perspektif Keuangan 9. Meningkatkan pemanfaatan 9.1 Tingkat Pemanfaatan Anggaran anggaran di lingkungan perwakilan Tabel 1.1 – Sasaran Strategis dan IKU Level Eselon II (Perwakilan BPK RI)
16
Perspektif Pemenuhan Kebutuhan dan Harapan Pemilik Kepentingan mengacu pada sejauh mana outcome BPK Bengkulu dan BPK Palembang telah memenuhi atau sesuai dengan harapan para pemilik kepentingan. Perspektif Pengelolaan Fungsi Strategis berkaitan dengan penilaian mengenai sejauh mana BPK Bengkulu dan BPK Palembang telah mengelola pelaksanaan tugas pokok dan fungsi yang diamanatkan undang-undang secara efektif dan efisien. Perspektif Pertumbuhan dan Pembelajaran Organisasi berkenaan dengan kemampuan BPK Bengkulu dan BPK Palembang untuk melakukan perubahan dan perbaikan dengan memanfaatkan sumber daya internal yang dimilikinya. Sedangkan perspektif Keuangan, menilai sejauh mana BPK Bengkulu dan BPK Palembang mampu mengelola dan memanfaatkan anggaran yang tersedia untuk mendukung pelaksanaan tugas pokok dan fungsi secara optimal. Adapun
operasionalisasi
konsep
kepercayaan
(trust),
dukungan
(supportiveness), keterbukaan (openness), partisipasi pengambilan keputusan (decision making participation), dan tujuan berkinerja tinggi (high performance goals) dalam proses pencapaian sasaran strategis organisasi pada BPK Bengkulu dan BPK Palembang, dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Transparansi versus Distrust Iklim komunikasi yang mencerminkan transparansi ditandai dengan adanya akses yang sama bagi semua pegawai terhadap informasi terkait operasional organisasi (kecuali untuk informasi yang bersifat rahasia); terdapat media/saluran/sarana komunikasi formal dan informal yang memadai dan dianggap sama pentingnya bagi seluruh pegawai; adanya sikap atasan yang terbuka dan tidak menciptakan jarak dalam berkomunikasi/berinteraksi dengan bawahan; adanya sikap positif atasan terhadap laporan, keluhan, saran, kritik, dan masukan dari bawahan; adanya tindaklanjut atasan terhadap laporan, keluhan, saran, kritik, dan masukan dari bawahan. Iklim komunikasi yang mengandung ketidakpercayaan (distrust) ditandai dengan adanya atasan yang tidak yakin terhadap kemampuan bawahan dalam
17
menyelesaikan pekerjaan, begitu juga sebaliknya, bawahan tidak yakin dengan kemampuan atasan dalam memberikan pengarahan dan solusi permasalahan; tidak adanya pendelegasian dalam pengambilan keputusan; adanya keengganan atasan untuk membagi informasi kepada bawahan, tidak adanya ruang bagi bawahan untuk berperan dan terlibat dalam setiap tugas yang dilakukan; serta tidak adanya sistem pengawasan (penilaian dan evaluasi kinerja pegawai) yang jelas dan tegas. 2. Dukungan Pimpinan Membuka Partisipasi Bawahan Iklim komunikasi yang mencerminkan dukungan ditandai dengan adanya respon/umpan balik dari atasan yang menunjukkan perhatian dan menumbuhkan rasa memiliki (sense of belonging) bawahan terhadap organisasi; adanya komunikasi searah baik dari atasan kepada bawahan (berupa pemberian arahan, perintah/instruksi, penjelasan instruksi, dll), maupun dari bawahan kepada atasan (berupa
pemberian
usulan,
laporan,
kritik,
masukan/saran,
permohonan
pengarahan, dll); adanya komunikasi dua arah dari atasan kepada bawahan dan/atau dari bawahan kepada atasan yang sifatnya memperjelas/mempertegas komunikasi searah; adanya saluran komunikasi (formal dan informal) yang memadai dan mekanisme yang mudah bagi bawahan untuk berkomunikasi dengan atasan. Iklim komunikasi organisasi yang mencerminkan partisipasi dalam pengambilan keputusan ditandai dengan adanya upaya manajemen untuk melibatkan pegawai dalam proses pengambilan keputusan melalui dialog/diskusi internal, misalnya dalam pertemuan rutin, brainstorming, transfer of knowledge, maupun pertemuan informal; adanya akses informasi bagi bawahan tentang alasan (reasoning) pimpinan memutuskan suatu kebijakan; serta adanya saluran komunikasi yang secara khusus disediakan organisasi bagi penyampaian ide, gagasan, dan pandangan pegawai mengenai permasalahan-permasalahan yang sedang dihadapi organisasi.
18
3. Komitmen terhadap Tujuan Berkinerja Tinggi Iklim komunikasi yang mencerminkan komitmen terhadap tujuan berkinerja tinggi ditandai dengan adanya pemahaman yang baik dari para pegawai mengenai peran, tugas dan fungsinya dalam organisasi; adanya sharing dan/atau sosialisasi informasi terkait tujuan, program, kegiatan, dan kebijakan organisasi yang diselenggarakan secara intensif; adanya dukungan dari atasan yang dapat menumbuhkan rasa percaya diri dan motivasi bawahan; dan adanya kebijakan reward and punishment yang jelas dan diimplementasikan secara tegas dalam organisasi.
H. METODOLOGI PENELITIAN 1. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus deskriptif. Pendekatan kualitatif diyakini peneliti mampu menyajikan deskripsi yang mendalam dan lengkap terhadap keadaan, situasi, dan hasil pengamatan, sehingga informasi yang disampaikan nampak hidup sebagaimana adanya dan pelaku-pelaku mendapat tempat untuk memainkan peranannya. Dalam ranah komunikasi, studi kasus diyakini merupakan metode yang sesuai untuk menjawab tipe pertanyaan ”how” dan “why” (Yin, 2014: 13), oleh karena itu metode ini dianggap mampu membantu peneliti dalam memahami secara mendalam dan menjawab pertanyaan mengenai bagaimana manajemen BPK Bengkulu dan BPK Palembang mencapai sasaran strategis organisasinya melalui penciptaan iklim komunikasi. Lebih lanjut, studi kasus deskriptif dalam penelitian ini juga bersifat komparatif, dalam arti penelitian ini berusaha membuat deskripsi terhadap suatu fenomena atau praktek nyata yang terjadi pada sebuah organisasi tertentu untuk kemudian dikomparasikan dengan fenomena atau praktek nyata yang terjadi pada
19
organisasi lain yang sejenis, guna memperoleh gambaran spesifik tentang unit analisis dan struktur permasalahan yang menjadi kajian. 2. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ini adalah kantor BPK RI Perwakilan Provinsi Bengkulu yang berkedudukan di Kota Bengkulu dan BPK RI Perwakilan Provinsi Sumatera Selatan yang berkedudukan di Kota Palembang. Alasan pemilihan kedua organisasi tersebut sebagai subjek penelitian adalah: (1) dalam rangka kontribusi peneliti terhadap kemajuan BPK RI Perwakilan Provinsi Bengkulu, yang merupakan organisasi tempat peneliti mengabdi; dan (2) dari aspek historis wilayah dan historis organisasi, BPK Bengkulu dan BPK Palembang tidak dapat dipisahkan. Sebelum ditetapkan sebagai provinsi ke-26 (provinsi termuda sebelum Timor Timur) pada tahun 1968, Bengkulu merupakan salah satu karesidenan dalam Provinsi Sumatera Selatan. Selain itu, BPK Bengkulu merupakan hasil pemekaran dari BPK Palembang pada tahun 2008. 3. Fokus Penelitian Penelitian ini berfokus pada pemahaman serta pengkomparasian mengenai bagaimana upaya manajemen BPK Bengkulu dan BPK Palembang dalam mencapai sasaran strategis perwakilan BPK RI melalui penciptaan iklim komunikasi, dalam kurun waktu tahun 2013. 4. Teknik Pengumpulan Data Data dalam penelitian ini diperoleh dengan menggunakan metode wawancara mendalam. Selain itu, observasi langsung dan telaah terhadap dokumen tertulis berupa surat masuk dan surat keluar, disposisi, notulen rapat, laporan-laporan, buku profil kantor perwakilan, manual IKU, dan dokumendokumen lain yang terkait dengan proses pencapaian sasaran strategis BPK Bengkulu dan BPK Palembang juga dilakukan peneliti dalam rangka melengkapi dan memperkaya informasi yang dirasa bermanfaat bagi kepentingan analisis dan interpretasi data.
20
Dalam melakukan wawancara, pertanyaan yang diajukan berupa pertanyaan terbuka (open ended questions). Peneliti terlebih dahulu membuat daftar pertanyaan yang telah disesuaikan dengan data atau informasi yang ingin diperoleh, sebelum melakukan wawancara dengan informan. Namun tidak menutup kemungkinan juga akan muncul pertanyaan yang bersifat spontan (namun tetap relevan) agar peneliti bisa mendapatkan pembahasan tuntas mengenai informasi yang ingin digali. 5. Teknik Penentuan Informan Penentuan informan dilakukan secara purposive dengan memperhatikan tingkat kesesuaian (relevansi) antara kedudukan/jabatan informan dalam organisasi kantor perwakilan BPK RI dengan tujuan penelitian yang hendak dicapai. Studi kasus perbandingan iklim komunikasi pada BPK Bengkulu dan BPK Palembang ini dilakukan dalam rangka mengetahui dan memahami bagaimana manajemen BPK RI Perwakilan Provinsi Bengkulu dan BPK RI Perwakilan Provinsi Sumatera Selatan mencapai sasaran strategis organisasinya melalui penciptaan iklim komunikasi. Sehingga, informan-informan yang dirasa dapat membantu peneliti mencapai tujuan penelitian tersebut, antara lain:
No.
Informan dari BPK RI Perwakilan Provinsi Bengkulu
Informan dari BPK RI Perwakilan Provinsi Sumatera Selatan
Peran Informan dalam Proses Pencapaian Sasaran Strategis Organisasi
1.
Kepala Sekretariat Perwakilan
Kepala Sekretariat Perwakilan
Middle Manager/ Manajer IKU
2.
Kepala Sub Bagian Humas dan Tata Usaha Kepala Perwakilan
Kepala Sub Bagian Humas dan Tata Usaha Kepala Perwakilan
First Line Manager/Manajer IKU
3.
Pegawai yang ditunjuk sebagai Inputer IKU
Pegawai yang ditunjuk sebagai Inputer IKU
Inputer IKU
4.
Pegawai Pelaksana Pemeriksa yang sudah bertugas di BPK Bengkulu selama lebih dari 3 tahun.
Pegawai Pelaksana Pemeriksa yang sudah bertugas di BPK Palembang selama lebih dari 3 tahun.
Pelaksana tugas dalam rangka pencapaian sasaran strategis organisasi (IKU optimal).
5.
Pegawai Pelaksana Non Pemeriksa yang sudah bertugas di BPK Bengkulu selama lebih dari 3 tahun.
Pegawai Pelaksana Non Pemeriksa yang sudah bertugas di BPK Palembang selama lebih dari 3 tahun.
Pelaksana tugas dalam rangka pencapaian sasaran strategis organisasi (IKU optimal).
Tabel 1.2 – Daftar Informan Penelitian
21
6. Teknik Analisis Data Menurut Yin, terdapat tiga teknik analisis data dalam metode studi kasus, yaitu: (1) Penjodohan Pola, (2) Pembuatan Penjelasan, dan (3) Analisis Deret Waktu. Teknik penjodohan pola dilakukan dengan cara membandingkan pola kejadian atau fenomena yang senyatanya terjadi dengan pola kejadian yang diprediksikan (proposisi/prediksi alternatif). Jika kedua pola ini menunjukkan persamaan, maka akan menguatkan validitas internal sebuah studi kasus. Teknik pembuatan penjelasan dilakukan dengan cara membuat eksplanasi tentang kasus yang diteliti. Teknik analisis deret waktu menyelenggarakan analisis deret waktu yang secara langsung analog dengan analisis deret waktu yang diselenggarakan dengan eksperimen dan kuasi eksperimen. (Yin, 2014: 140-158). Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik penjodohan pola, yaitu dengan membandingkan data pola iklim komunikasi yang senyatanya terjadi di BPK Bengkulu dan BPK Palembang dengan pola iklim komunikasi menurut proposisi/prediksi alternatif peneliti yang diolah berdasarkan pemikiran Redding (1972) dan hasil penelitian Pace-Peterson (1976), serta teori-teori komunikasi organisasi lainnya yang relevan. Adapun proposisi/prediksi alternatif peneliti mengenai iklim komunikasi organisasi pada BPK Bengkulu dan BPK Palembang, adalah “Iklim komunikasi yang sarat dengan nilai-nilai kepercayaan (trust), dukungan (supportiveness), keterbukaan (openness), partisipasi pengambilan keputusan (decision making participation), dan tujuan berkinerja tinggi (high performance goals) dalam suatu organisasi, akan membawa atau mengarahkan organisasi tersebut pada pencapaian kinerja yang lebih baik”. Hasil penjodohan pola antara data temuan dengan proposisi teori di atas kemudian disajikan dalam bentuk narasi agar lebih mudah dipahami. Hasil akhir penelitian ini adalah pembahasan menyeluruh mengenai gambaran bagaimana manajemen BPK Bengkulu dan BPK Palembang menciptakan iklim komunikasi yang berkontribusi terhadap pencapaian sasaran strategis perwakilan BPK RI.
22
7. Validitas Data Pengujian keabsahan data menjadi penting agar data hasil analisis dapat dipertanggungjawabkan. Pengujian validitas data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan triangulasi sumber data, yaitu data-data yang diperoleh dari hasil
wawancara
mendalam,
obervasi
langsung,
dan
telaah
dokumen
diperbandingkan untuk menjawab beberapa pertanyaan yang sama. Selain itu, pengujian validitas data juga diperkuat dengan melakukan wawancara terhadap beberapa pihak untuk menghindari bias data pada satu orang saja.
23