1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Universal Health Coverage (UHC) sebagai bagian dari reformasi sistem kesehatan pada saat ini telah dilaksanakan oleh hampir setengah negara di dunia dengan berbagai tingkatan pendapatan (Boerma et al., 2014). Brazil, Rusia, India, China dan Afrika Selatan mewakili hampir setengah populasi di dunia yang berkomitmen untuk memastikan pelaksanaan dan pencapaian UHC (Marten et al., 2014). UHC merupakan sebuah skema sistem kesehatan di mana setiap orang memiliki akses yang sama ke pelayanan kesehatan (promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif) tanpa menimbulkan dampak kesulitan keuangan (Boerma et al., 2014). Menurut
Direktur Jenderal WHO, cakupan universal berarti bahwa
kualitas perawatan kesehatan yang diberikan kepada masyarakat harus melindungi penduduk dari kemiskinan dan menjadi tantangan untuk memperluas pelayanan kesehatan bagi masyarakat dan agar pemerintah dapat membuat keputusan yang cerdas dan dapat menghindari inefisiensi (Wagner et al., 2014). Undang Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) No. 40 tahun 2004, yang
menjadi
dasar
hukum
penyelenggaraan
program
jaminan
sosial
mengamanatkan bahwa dalam jaminan ini seluruh masyarakat Indonesia akan dijamin dalam satu skema asuransi sosial. Asuransi kesehatan sosial dapat meningkatkan akses ke perawatan kesehatan dalam meningkatkan pemanfaatan di kalangan penduduk miskin (Sparrow et al., 2013). Selain Indonesia, Malaysia dan Thailand juga merupakan negara yang mengalami perubahan belanja kesehatan dan menjalankan pembiayaan kesehatan secara universal (Trisnantoro, 2014). Pemanfaatan pelayanan kesehatan dan belanja publik di Indonesia tertinggal jauh di belakang negara negara Asia Tenggara (Sparrow et al., 2013). Pada tanggal 1 Januari 2014 pemerintah memberlakukan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dilaksanakan secara bertahap dan ditargetkan pada tahun 2019 tercapai Universal Health Coverage (UHC). Pelaksanaan JKN ini merupakan sistem pelayanan kesehatan dengan konsep kendali mutu dan
2
kendali biaya. Dalam skema UHC obat merupakan kontributor utama bagi kesehatan dan kesejahteraan individu dan populasi bila digunakan dengan tepat serta haruslah dipastikan bahwa obat yang dibutuhkan tersedia, dapat diakses oleh semua lapisan penduduk, tepat dan berkelanjutan (Wagner et al., 2014). Jaminan pelayanan farmasi dapat dikendalikan dengan beberapa cara diantaranya adalah dengan pemberlakuan formularium dan penulisan resep
merujuk pada
formularium yang berlaku (Thabrany, 2014). Di beberapa negara, belanja obat mencakup 67% dari total belanja kesehatan, dan sebagian besar di bayar melalui kantong sendiri (out of pocket). Menurut Schiff et al. (2012) formularium dapat menjadi panduan penulisan resep yang tepat, berbasis bukti, berkhasiat dan hemat biaya. Formularium dapat juga menjadi pedoman dalam menulis resep yang rasional berdasarkan efektivitas, ketepatan dan efisiensi (Lozano-blázquez et al., 2014), mayoritas lembaga kesehatan menerapkan sistem formularium sebagai pedoman untuk menetapkan kebijakan tentang obat (Anagnostis et al., 2011). Rumah sakit dan klinik di Hongkong, melaksanakan penerapan sistem formularium dengan tujuan untuk menjamin ketersediaan obat secara adil dan cost-effectiveness (Lau., 2008). Pemerintah menetapkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
328/MENKES/SK/VIII/2013
tentang
Formularium
Nasional
(Kementerian Kesehatan R.I, 2013) kemudian diperbaharui dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 159/MENKES/SK/V/2014 (Kementerian Kesehatan R.I, 2014b). Formularium Nasional (fornas) ini merupakan rujukan dalam penulisan resep dan diterapkan di semua fasilitas kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS di seluruh Indonesia, dan implementasi fornas sangat penting untuk mendukung berhasilnya program JKN dan menciptakan pelayanan kesehatan yang hemat biaya dan kualitas maksimal. Rumah sakit merupakan bagian penting dalam sistem kesehatan, karena rumah sakit memberikan pelayanan yang kompleks. Kualitas pelayanan rumah sakit merupakan indikator yag menentukan citra rumah sakit yang pada gilirannya akan menentukan kesinambungan rumah sakit sebagai lembaga pelayanan kesehatan. Menurut Undang Undang Republik Indonesia No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah
3
Sakit (Kementerian Kesehatan R.I, 2009), Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr. M. Yunus
Bengkulu
merupakan rumah sakit dengan status Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) penuh dengan Type kelas B Pendidikan, dengan kapasitas 380 tempat tidur, dan memiliki 15 poliklinik. Bed Occupancy Rate (BOR) : 61,37%. Average Length Of Stay (ALOS) : 3,09 hari (RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu, 2013).
Tabel 1. Jumlah tenaga dokter di RSUD Dr. M. Yunus No
Tenaga dokter
Jumlah
1
Dokter Konsulen/Konsultan Medis
2 orang
2
Dokter Spesialis
24 orang
3
Dokter Umum
37 orang
4
Dokter Gigi
18 orang Jumlah
81 orang
Sumber : Profil RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu, tahun 2013
4
Tabel 2. Uraian jumlah dokter spesialis di RSUD Dr. M. Yunus No
Dokter spesialis
Jumlah
1.
Spesialis Penyakit Dalam
5 orang
2.
Spesialis Mata
2 orang
3.
Spesialis Bedah
2 orang
4.
Spesialis Obgyn
4 orang
5.
Spesialis Anak
4 orang
6.
Spesialis Syaraf
1 orang
7.
Spesialis Anaestesi
1 orang
8.
Spesialis Jantung
2 orang
9.
Spesialis Paru
1 orang
10.
Spesialis Orthopedi
1 orang
11.
Spesialis Patologi dan Anatomi
1 orang Jumlah
24 orang
Sumber : Profil RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu, tahun 2013
Dalam memberikan pelayanan kesehatan pada masyarakat, dokter spesialis di rumah sakit memiliki peran yang sangat penting dalam pemilihan dan penggunaan obat obatan bagi pasien yang sesuai dengan diagnosa. Penulisan resep yang dilakukan oleh dokter spesialis seharusnya mengacu pada fornas. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 28 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan JKN Bab IV menyebutkan bahwa “penggunaan obat di luar fornas di FKRTL hanya di mungkinkan setelah mendapatkan rekomendasi dari ketua Komite Farmasi dan Terapi dengan persetujuan Komite Medik atau Direktur rumah sakit yang biayanya sudah termasuk dalam tarif INA CBG’s dan tidak boleh dibebankan kepada peserta”, dan pada Bab V menyebutkan “fasilitas kesehatan tidak di perbolehkan meminta iur biaya kepada peserta selama mendapatkan manfaat pelayanan kesehatan sesuai dengan haknya” (Kementerian Kesehatan R.I, 2014). Berdasarkan observasi yang dilakukan oleh peneliti ditemukan adanya resep yang ditulis dokter untuk pasien BPJS tidak sesuai dengan fornas. Hal ini disebabkan karena dokter spesialis menganggap bahwa obat tersebut penting untuk mengatasi penyakit pasien.
5
B. Perumusan Masalah Berdasarkan data dan fakta yang ada di latar belakang, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Bagaimana kepatuhan dokter spesialis dalam implementasi formularium nasional (Fornas) pada pasien peserta BPJS di RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu ? C. Tujuan Penelitian 1.
Menggambarkan
kepatuhan
dokter
spesialis
terhadap
implementasi
formularium nasional di RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu. 2.
Mengukur tingkat kepatuhan dokter spesialis terhadap implementasi formularium nasional di RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu.
3.
Mengidentifikasi faktor faktor yang mempengaruhi kepatuhan dokter spesialis terhadap implementasi formularium nasional di RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu. D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat dan informasi bagi:
1.
Bagi instansi RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu, agar dapat menjadi masukan bagi pengembangan dan perbaikan sistem pelayanan di rumah sakit.
2.
Bagi profesi dokter, agar dapat menjadi masukan dalam pelayanan pengobatan bagi pasien.
3.
Bagi peneliti lain, diharapkan dapat menjadi bahan informasi bila akan akan melakukan penelitian yang sama. E. Keaslian Penelitian Beberapa penelitian tentang kepatuhan dokter terhadap implementasi
formularium pernah dilakukan dengan permasalahan dan lokasi yang berbeda, sehingga penelitian ini merupakan variasi ataupun juga kelanjutan dari penelitian yang sudah pernah ada. 1. Anwar (2007) melakukan penelitian dengan judul “Faktor faktor yang mempengaruhi kepatuhan dokter menulis resep berdasarkan formularium di Rumah Sakit Nasional Bukittinggi”. Persamaan penelitian ini dengan
6
penelitian yang dilakukan oleh Anwar (2007) yaitu: rancangan penelitian cross sectional dengan analisia kuantitatif. Perbedaannya yaitu: tempat penelitian : Bukittinggi; metode penelitian: observasional; variabel dependen: faktor internal dan faktor eksternal; unit analisis: resep dan dokter. 2. Kamrin (2010) melakukan penelitian dengan judul “Penerapan formularium dan faktor faktor yang mempengaruhi penerapan formularium di Rumah Sakit JIH DIY”. Persamaan penelitian yang dilakukan Kamrin dengan penelitian ini yaitu tujuan umum: mengetahui penerapan formularium; dan variabel independen: penerapan formularium di rumah sakit serta Perbedaannya yaitu: tempat penelitian: Yogyakarta; variabel dependen: resep; rancangan penelitian: Mixed Methods; unit analisis: resep. 3.
Fitriani (2014) melakukan penelitian dengan judul “ Faktor faktor yang
mempengaruhi kepatuhan dokter dalam menulis resep sesuai formularium di RSUP DR. WAHIDIN SUDIROHUSODO”. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan Fitriani yaitu pada tujuan penelitian: untuk mengetahui pengaruh faktor faktor yang mempengaruhi kepatuhan dokter menuliskan resep sesuai formularium; unit analisis: dokter;
rancangan
penelitian: analitik kuantitatif; dan variabel dependen: kepatuhan dokter menulis resep sesuai formularium. Perbedaannya yaitu; tempat penelitian: Makasar; variabel independen: otonomi pribadi, ketegasan manajemen, pengetahuan, informasi yang diterima, ikatan dengan industri farmasi.