BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang HIV/AIDS merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang memerlukan perhatian sangat serius. Hal ini karena jumlah kasus AIDS yang dilaporkan setiap tahunnya meningkat secara signifikan. Kasus HIV dan AIDS merupakan fenomena gunung es. Jumlah orang yang dilaporkan jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah yang sebenarnya (KPA, 2010a). AIDS pertamakali ditemukan pada tahun 1981. Saat ini masalah HIV AIDS telah berkembang menjadi masalah kesehatan global. Kurang lebih 60 juta orang telah terinfeksi HIV dan 25 juta telah meninggal karena AIDS. Diperkirakan sekitar 35 juta orang hidup dengan HIV. Setiap hari 7400 orang terinfeksi HIV atau 5 orang tiap menit. Pada tahun 2007 terdapat 2,7 juta infeksi baru HIV dan 2 juta kematian akibat AIDS. Di Asia sekitar 4,9 juta orang yang terinfeksi HIV, 440 ribu diantaranya merupakan infeksi baru dan telah menyebabkan kematian pada 300 ribu orang di tahun 2007 (KPA, 2010b). Kasus AIDS di Indonesia pertamakali dilaporkan tahun 1987 di Bali. Dari tahun ke tahun jumlah kasus HIV/AIDS yang dilaporkan terus meningkat. Pada tahun 2006 jumlah populasi dewasa terinfeksi HIV di Indonesia diperkirakan 193.000 orang dan 21% diantaranya perempuan. Jumlah ODHA pada tahun 2009 diperkirakan mencapai 333.200 dan proporsi penderita wanita meningkat menjadi 25%. Pada akhir Juni 2009 dilaporkan sebesar 17.699 pasien AIDS, dan 88% dari jumlah tersebut terdiri dari golongan usia produktif 25-49 tahun (KPA, 2010b). Penyebaran HIV di Indonesia masih terkonsentrasi pada populasi kunci yaitu pekerja seks, pelanggan pekerja seks, laki-laki yang melakukan hubungan seks dengan laki-laki, waria dan pengguna jarum suntik. Estimasi wanita pekerja seks (WPS) di Indonesia pada tahun 2006 diperkirakan sekitar 0,3% dari populasi perempuan dewasa (15-49 tahun). Kelompok WPS sangat rentan tertular HIV akibat hubungan seks dan perilaku seks yang tidak aman. Seks komersial merupakan penyebab utama infeksi HIV di Indonesia setelah pemakaian napza
1
2
suntik yang saling bergantian. Berdasarkan surveilans terpadu biologis perilaku pada kelompok berisiko tinggi di Indonesia tahun 2007 antara 6-16% wanita pekerja seks langsung dan 2-9% wanita pekerja seks tidak langsung telah terinfeksi HIV. Sebagian besar WPS terinfeksi pada saat enam bulan pertama bekerja menjajakan seks (Depkes RI, 2007, KPA, 2010b). Kasus AIDS di Jawa Tengah pertamakali ditemukan pada tahun 1993. Dari pertamakali ditemukan sampai bulan Desember 2011 jumlah kasus HIV/AIDS secara kumulatif sebanyak 4.638 kasus, dengan jumlah infeksi HIV sebanyak 2.646 kasus, AIDS sebanyak 1992 kasus dan 568 orang di antaranya sudah meninggal. Di Jawa Tengah kecenderungan kasus HIV maupun AIDS selalu mengalami peningkatan setiap tahun. Penemuan kasus AIDS tahun 2009 meningkat sangat tajam dua kali lipat lebih dibanding tahun 2008. Sampai akhir tahun 2011 Jawa Tengah menduduki peringkat ke enam dengan kasus AIDS terbanyak di Indonesia yakni 1602 kasus (Dinkes Prov. Jawa Tengah, 2011). Stigma HIV didefinisikan sebagai sikap devaluasi terhadap orang yang hidup dengan HIV/AIDS. Hal ini diwujudkan dalam prasangka, mendeskreditkan, diskriminasi (Steward et al., 2008). Stigma HIV/AIDS merupakan faktor negatif dalam rangka mengurangi prevalensi dan dampak pandemi HIV/AIDS. Sejak awal epidemi AIDS, telah muncul sikap dan perilaku untuk mengucilkan, diskriminasi, isolasi, dan penolakan terhadap orang yang terinfeksi HIV (Carr and Gramling, 2004). Masalah stigma masih merupakan masalah serius dalam upaya pencegahan HIV. Kurangnya pengetahuan tentang HIV/AIDS, persepsi terhadap perilaku ODHA, pandangan bahwa AIDS merupakan penyakit yang mengancam merupakan
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
terjadinya
stigma.
Faktor
penghambat yang paling utama dalam melakukan VCT adalah takut akan stigma dan mengetahui status HIV setelah melakukan tes (Meiberg et al., 2008). Stigma dan diskriminasi telah memicu penularan HIV dan meningkatkan dampak negatif yang terkait dengan epidemi. Stigma dan diskriminasi yang berkaitan dengan HIV merupakan masalah di seluruh dunia, menciptakan hambatan utama dalam pencegahan infeksi dan pengobatan yang memadai.
3
Stigmatisasi yang terkait dengan AIDS diperkuat oleh banyak faktor, antaralain kurangnya pemahaman terhadap penyakit, kesalahpahaman tentang bagaimana HIV ditularkan,kurangnya akses terhadap pengobatan, media yang tidak bertanggungjawab dalam melaporkan epidemi, pemahaman tentang AIDS yang tidak dapat diobati, dan prasangka serta ketakutan berkaitan dengan sejumlah isu sensitif secara seksual termasuk seksualitas, penyakit dan kematian serta narkoba (UNAIDS, 2005). Salah satu bahaya stigmatisasi HIV adalah bahwa kekhawatiran yang terkait dapat memotivasi penolakan dan merahasiakan serta melanjutkan perilaku berisiko. Pada tatanan individu kekhawatiran stigmatisasi dapat menjadi hambatan untuk mencari pengobatan dan perawatan. Stigmatisasi harus dipahami dalam rangka untuk meningkatkan pemanfaatan pelayanan kesehatan. Mengingat pentingnya implikasi status HIV pada perilaku pencarian pengobatan, mengurangi stigmatisasi terkait HIV dan IMS adalah prioritas kesehatan masyarakat yang mendesak (Lieber et al., 2006). Layanan kesehatan yang pertama dalam pencegahan penularan HIV adalah layanan VCT (Voluntary Counseling and Testing). VCT merupakan komponen penting dalam pemberantasan HIV, yang meliputi upaya pencegahan, perawatan dan pengobatan. Dalam upaya meningkatkan pencegahan dan pengobatan, peningkatan konseling dan tes HIV sangat diperlukan. Secara global masyarakat yang melakukan tes HIV sampai saat ini masih rendah (Obermeyer and Osborn, 2007). VCT adalah intervensi HIV yang mencakup konseling sebelum dan sesudah tes serta tes HIV yang bersifat suka rela. Individu dengan keinginannya sendiri datang ke klinik VCT. VCT memberikan kesempatan kepada klien untuk mengeksplorasi dan memahami tentang perilaku beresiko yang berkaitan dengan HIV dan hasil tes. Efek yang diharapkan dari VCT adalah menurunkan penularan HIV melalui pengurangan perilaku seksual beresiko tinggi, meningkatnya upaya pengobatan terutama untuk infeksi menular seksual, meningkatnya akses perawatan dan dukungan baik untuk orang yang belum maupun sudah terinfeksi HIV (UNAIDS, 2002).
4
Penelitian Kalichman and Simbayi (2003) di Afrika Selatan menemukan bahwa stigma HIV/AIDS berhubungan dengan sikap terhadap pencegahan HIV dan perilaku pemanfaatan VCT. Orang yang belum pernah ke klinik VCT memiliki stigma HIV yang lebih tinggi dibandingkan yang pernah tes di klinik VCT. Penelitian yang dilakukan Pitpitan et al. (2012) di Cape Town menunjukkan bahwa stigma yang berkaitan dengan HIV/AIDS berhubungan negatif dengan pemanfaatan VCT. Seluruh populasi kunci di Indonesia diharapkan mendapatkan pemeriksaan HIV melalui pelayanan VCT. Pada tahun 2008 jumlah layanan VCT yang terdapat di Indonesia sebanyak 547 unit, baik yang dilaksanakan oleh pemerintah, swasta dan masyarakat. Dalam kurun waktu 2004-2007 terjadi peningkatan layanan VCT terhadap populasi kunci termasuk pada wanita pekerja seks dari 27% menjadi 41%. Walaupun dalam kurung waktu tersebut pemanfaatan layanan VCT telah meningkat namun masih jauh dari target yaitu 80% (KPA, 2010b). Bandungan merupakan daerah kecamatan yang terletak di Kabupaten Semarang. Kecamatan Bandungan merupakan daerah objek wisata pegunungan yang terletak di lereng gunung Ungaran. Daerah ini terdapat banyak fasilitas akomodasi berupa villa resort, berbagai macam tipe hotel dari kelas melati sampai bintang, hingga losmen dan pemandian air panas. Namun objek wisata ini juga tidak luput dari praktek-praktek prostitusi, dan rawan terhadap penyebaran IMS termasuk HIV/AIDS. Jumlah kasus HIV/AIDS secara kumulatif dari tahun 1993 sampai tahun 2011 di Kabupaten Semarang dengan rincian sebagai berikut, untuk infeksi HIV sebanyak 140 kasus dan AIDS sebanyak 45 kasus dan menduduki peringkat keenam dari 35 kota/kabupaten se-Jawa Tengah. Angka penularan HIV/AIDS di Kabupaten Semarang juga terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada Januari 2011 tercatat sebanyak 41 orang yang dinyatakan positif HIV/AIDS. Sedangkan pada tahun 2010 jumlah penderita HIV/AIDS sebanyak 33 orang. Di Kecamatan Bandungan sampai Bulan Desember 2012 terdapat 4 ODHA. Di Kabupaten Semarang terdapat 7 tempat klinik VCT, yaitu Klinik Apac Inti Corpora, klinik Coca Cola, RSU Ambarawa, Klinik Crysant Bandungan, Puskesmas Bergas,
5
klinik cahaya RSU Ungaran dan BP4 Ambarawa. Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Semarang pada tahun 2011, jumlah kunjungan WPS di klinik IMS yang ada di Kabupaten Semarang sebanyak 2795 pasien dan jumlah WPS dirujuk ke klinik VCT sebanyak 908, namun baru sekitar 38% yang memanfaatkan klinik VCT (Dinkes Kabupaten Semarang, 2011, KPA, 2011).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: “Apakah stigma HIV/AIDS berhubungan dengan pemanfaatan klinik VCT pada wanita pekerja seks di Bandungan Kabupaten Semarang?”
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara stigma HIV/AIDS dengan pemanfaatan klinik VCT pada wanita pekerja seks di Bandungan Kabupaten Semarang. 2. Tujuan Khusus a. Diketahuinya stigma HIV/AIDS pada wanita pekerja seks di Bandungan Kabupaten Semarang. b. Diketahuinya prevalensi pemanfaatan klinik VCT pada wanita pekerja seks di Bandungan c. Diketahuinya
hubungan
pengetahuan
tentang
HIV/AIDS,
tingkat
pendidikan dan paparan informasi dengan pemanfaatan klinik VCT. d. Diketahuinya faktor pendukung dan penghambat pemanfaatan klinik VCT pada WPS di Bandungan Kabupaten Semarang.
6
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Praktis Informasi tentang faktor-faktor yang berkaitan dengan pemanfaatan klinik VCT pada wanita pekerja seks ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai masukan untuk penyusunan kebijakan serta perbaikan perencanaan program bagi klinik VCT, dan dinas kesehatan maupun lembaga swadaya masyarakat. 2. Manfaat Teoritis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam pengembangan keilmuan khususnya yang berhubungan dengan HIV/AIDS. b. Sebagai masukan bagi peneliti lain untuk mengembangkan penelitian selanjutnya.
E. Keaslian Penelitian
1. Babalola (2007), penelitian yang berjudul “Readiness for HIV testing among young people in Northen Nigeria: The role of social norms and perceived stigma”. Metode penelitian ini dengan cross sectional yang dilakukan pada 3.844 remaja. Penelitian ini menunjukkan terdapat kesamaan dan perbedaan dengan kesiapan pada remaja laki-laki dan perempuan. Prediktor yang kuat mempengaruhi baik pada remaja laki-laki maupun perempuan yaitu pengetahuan tentang pencegahan HIV, pengetahuan tentang VCT, dan stigma. Perbedaan dengan penelitian ini adalah populasi pada penelitian ini adalah remaja, lokasi penelitian di Nigeria, variabel penelitian pada penelitian dan sampel penelitian yang diambil adalah remaja laki-laki dan perempuan. 2. Kalichman and Simbayi (2003) dengan judul penelitian “HIV Testing Attitude, AIDS Stigma, and Voluntary HIV Counseling and Testing in a Black Township in Captown, South Africa”. Penelitian ini membandingkan antara responden yang sudah pernah tes HIV dan belum pernah. Penelitian menunjukkan bahwa dibandingkan orang yang pernah tes HIV, orang yang belum pernah tes secara signifikan menunjukkan memiliki stigma yang terkait dengan AIDS lebih
7
besar, merasa malu, rasa bersalah dan ketidaksetujuan sosial pada orang yang hidup dengan HIV/AIDS. Perbedaan dengan penelitian ini adalah sampel penelitian yaitu masyarakat umum dan lokasi penelitian di Afrika Selatan. 3. Pitpitan et al. (2012)dengan penelitian yang berjudul “AIDS-related stigma, hiv testing, and transmission risk among patrons of informal drinking places in Capetown, South Africa”. Survei ini dilakukan pada 2.572 responden. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa stigma berhubungan negatif dengan perilaku skrining terhadap HIV dan juga berhubungan dengan peningkatan risiko penularan HIV. Perbedaan dengan penelitian ini adalah variabel penelitian yaitu risiko transmisi HIV, populasi penelitian adalah peminum alkohol dan lokasi penelitian di tempat minum. 4. Wisotowardono
(2008)yang
meneliti
hubungan
pengetahuan
tentang
HIV/AIDS dengan stigma orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di kalangan pelajar SMA. Rancangan penelitian dengan cross sectional dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Responden penelitian adalah pelajar SMA yang berjumlah 558 pelajar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelajar dengan tingkat pengetahuan tentang HIV/AIDS rendah lebih berisiko untuk mengalami stigma pada ODHA dibandingkan pelajar dengan tingkat pengetahuan tinggi. Perbedaan dengan penelitian ini pada variabel penelitian yaitu pengetahuan dan stigma pada ODHA, populasi penelitian yaitu pelajar dan lokasi penelitian di Surakarta. 5. Hastuti (2011) dengan penelitian yang berjudul Pengaruh Stigma HIV/AIDS
terhadap Kepatuhan Pemakaian Kondom pada Pria ODHA. Rancangan penelitian cross sectional dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Responden penelitian adalah 68 orang pria ODHA di Yogyakarta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa stigma HIV/AIDS berpeluang menurunkan kepatuhan pemakaian kondom, namun partner notification, akses kognitif, serta interaksi sesama ODHA lebih berpeluang mempengaruhi kepatuhan pemakaian kondom secara tepat dan konsisten. Perbedaan dengan penelitian ini pada variabel penelitian yaitu kepatuhan pemakaian kondom dan stigma
8
internal, populasi penelitian yaitu pria ODHA dan lokasi penelitian di Yogyakarta.