BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Penyakit kronis merupakan penyebab utama kematian dan kecacatan di seluruh dunia. WHO (2005) melaporkan penyakit kronis telah mengambil nyawa lebih dari 35 juta orang pada tahun 2005, diantaranya termasuk banyak anak muda dan orang-orang di usia pertengahan. Jumlah total orang yang meninggal karena penyakit kronis adalah dua kali lipat dari semua penyakit menular (termasuk HIV / AIDS, tuberkulosis dan malaria), kondisi penyakit ibu hamil dan perinatal, dan dikombinasikan dengan kekurangan gizi. Tidak adanya tindakan untuk mengatasi penyebab, diprediksikan kematian akibat penyakit kronis akan meningkat sebesar 17% antara tahun 2005 dan 2015 (World Health Organization, 2005). Penyakit kronis adalah kondisi yang berkembang secara perlahan dan semakin memburuk dari waktu ke waktu. Dengan bantuan pengobatan modern, perkembangan penyakit kronis sering dapat diperlambat tetapi beberapa orang juga dapat disembuhkan. Banyak faktor yang berkontribusi terhadap perkembangan dan evolusi penyakit kronis. Misalnya, pilihan gaya hidup seperti merokok, minum, jumlah alkohol yang berlebihan, pola makan yang buruk, kurang olahraga, dan berbagai faktor lainnya menempatkan orang pada risiko penyakit kronis (Johnston, dkk, 2008).
1
Salah satu penyakit kronis yang paling banyak diderita oleh penduduk di dunia adalah diabetes melitus. Menurut International Diabetes Federation (2013), saat ini ada 382 juta orang yang hidup dengan penyakit diabetes. Selanjutnya ada 316 juta orang dengan gangguan penyakit toleransi glukosa beresiko tinggi, jumlah yang mengkhawatirkan yang diperkirakan akan mencapai 592 juta orang pada tahun 2035. Pada akhir 2013, diabetes telah menyebabkan 5,1 juta kematian dengan biaya pengeluaran kesehatan sebanyak 548 miliar USD. International Diabetes Federation (2013) juga melaporkan, kawasan Asia Tenggara merupakan peringkat kedua terbesar wilayah dengan jumlah penderita diabetes sebanyak 72 juta orang. Indonesia merupakan negara urutan ke-7 dari 10 negara yang penduduknya paling banyak menderita diabetes dengan jumlah penderita 8,5 juta orang dengan rentang usia 20-79 tahun dan diperkirakan akan terus meningkat sebesar 55% pada 2035. Proporsi jumlah penderita diabetes mellitus di Indonesia pada tahun 2013 masih didominasi oleh kaum perempuan dengan total sebesar 4,9 juta penderita atau lebih besar daripada kaum laki-laki yakni sebesar 3,6 juta penderita. Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikembangkan di Indonesia merupakan bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Sistem Jaminan Sosial Nasional adalah tata cara penyelenggaraan program jaminan sosial oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Sistem Jaminan Sosial Nasional ini diselenggarakan melalui mekanisme asuransi kesehatan sosial yang bersifat wajib (mandatory) berdasarkan Undang-Undang No.40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Tujuannya adalah agar 2
semua penduduk Indonesia terlindungi dalam sistem asuransi, sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan dasar kesehatan masyarakat yang layak (Kementrian Kesehatan, 2013a). Salah satu program unggulan guna meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan bagi peserta BPJS Kesehatan serta memudahkan akses pelayanan kesehatan kepada peserta penderita penyakit kronis, maka dilakukan optimalisasi implementasi program rujuk balik. Pelayanan program rujuk balik diberikan kepada peserta BPJS Kesehatan penderita penyakit kronis, khususnya penyakit diabetes melitus, hipertensi, jantung, asma, penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), epilepsy, stroke, schizophrenia, Systemic Lupus Erythematosus (SLE) yang sudah terkontrol/stabil namun masih memerlukan pengobatan atau asuhan keperawatan dalam jangka panjang (BPJS Kesehatan, 2014a). Dengan adanya program rujuk balik BPJS kesehatan diharapkan pasien kronik dapat memperoleh beberapa manfaat antara lain, membantu meningkatkan kemudahan akses pelayanan kesehatan, meningkatkan pelayanan kesehatan yang mencakup akses promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif, meningkatkan hubungan dokter dengan pasien dalam konteks pelayanan holistik, dan memudahkan untuk mendapatkan obat yang diperlukan (BPJS Kesehatan, 2014a). Fasilitas kesehatan yang dapat memberikan pelayanan kesehatan tingkat pertama adalah puskesmas atau yang setara, praktik dokter, praktik dokter gigi, klinik pratama atau yang setara termasuk fasilitas kesehatan tingkat pertama milik
3
TNI/POLRI, dan rumah sakit kelas D pratama atau yang setara (BPJS Kesehatan, 2014b). Fasilitas Kesehatan tingkat pertama yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan harus menyelenggarakan pelayanan kesehatan komprehensif. Pelayanan kesehatan komprehensif berupa pelayanan kesehatan promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, pelayanan kebidanan, dan pelayanan kesehatan darurat medis, termasuk pelayanan penunjang yang meliputi pemeriksaan laboratorium sederhana dan pelayanan kefarmasian sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan komprehensif, bagi fasilitas kesehatan yang tidak memiliki sarana penunjang wajib membangun jejaring dengan sarana penunjang (Kementrian Kesehatan, 2013b). Manfaat yang dapat diperoleh bagi fasilitas kesehatan tingkat pertama dengan adanya program rujuk balik ini diharapkan dapat membantu meningkatkan fungsi fasilitas kesehatan selaku Gate Keeper dari aspek pelayanan komprehensif dalam pembiayaan yang rasional, meningkatkan kompetensi penanganan medik berbasis kajian ilmiah terkini (evidence based) melalui bimbingan organisasi/dokter spesialis, meningkatkan fungsi pengawasan pengobatan. (BPJS Kesehatan, 2014a). Sistem jaminan kesehatan nasional yang telah diberlakukan di Indonesia menuntut fasilitas kesehatan untuk memberikan pelayanan kesehatan yang memenuhi standar pelayanan yang optimal. Melalui JKN, sistem pelayanan kesehatan diharapkan dapat meningkatkan jangkauan layanan kesehatan dan berpihak pada masyarakat. Untuk optimalisasi mutu layanan kesehatan, 4
Kementerian Kesehatan telah merancang penguatan pengelolaan kesehatan dengan mengacu pada sistem kesehatan nasional (SKN) tahun 2012. Salah satu penekanan adalah kebijakan penguatan Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) tingkat pertama sebagai lini terdepan. Selain itu pengelolaan layanan kesehatan berjenjang perlu diperkuat agar cakupan pelayanan kesehatan berkualitas, adil, dan merata (Soewondo, 2014). Dalam pelayanan kesehatan saat ini pengaturan kepuasan pasien merupakan salah satu indikator utama. Alturki dan Khan (2013) mengungkapkan penilaian kepuasan pasien adalah salah satu parameter yang berguna untuk memprediksi kualitas dan ketersediaan pelayanan kesehatan. Dengan demikian, dengan adanya survey kepuasan seseorang dapat mengidentifikasi kekurangan dalam pemberian pelayanan kesehatan dan intervensi mereka untuk meningkatkan kepuasan pasien. Kepuasan adalah perasaan senang atau kecewa seseorang yang berasal dari perbandingan antara kesannya terhadap kinerja atau hasil suatu produk dan harapanharapannya. Kepuasan merupakan fungsi dari kinerja dan harapan. Jika kinerja dibawah harapan konsumen akan merasa tidak puas, sebaliknya bila kinerja memenuhi harapan mereka konsumen akan puas dan konsumen akan sangat puas jika kinerja suatu barang atau jasa sekurang-kurangnya sama dengan apa yang diharapkan (Kotler, 2009). Pada awal dimulainya jaminan kesehatan nasional, obat bagi penderita penyakit kronis sempat menjadi masalah, karena obat hanya diberikan 3-7 hari. Obat tersebut pun harus diambil di rumah sakit melalui rujukan dari faskes primer. 5
Kondisi ini membuat tidak nyaman peserta BPJS Kesehatan karena harus bolakbalik mengantri untuk mendapatkan obat. Kondisi tersebut disebabkan oleh ketentuan tarif paket rumah sakit atau yang dikenal sebagai INA CBGs (Indonesia Case Base Group) bahwa obat untuk penderita penyakit ini hanya diberikan untuk 3-7 hari (Kompasiana, 2014). Soewondo (2014) juga mengungkapkan, bahwa masalah ketersediaan obat bagi para penderita diabetes melitus masih sering terjadi. Di Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) tingkat pertama ketersediaan obat baik jumlah maupun jenis obat juga masih terbatas. Penyandang diabetes di puskesmas dan PPK tingkat pertama hanya mendapat jatah obat untuk 3-7 hari. Hal ini juga berpengaruh terhadap ketaatan berobat mengingat keterbatasan biaya transportasi bila harus setiap minggu berkunjung ke PPK tingkat pertama. Begitu juga dengan pasien yang sudah pernah dirujuk ke PPK lanjutan, saat kembali ke PPK tingkat pertama, pasien tidak menemukan obat yang diperlukan sehingga pasien kembali ke PPK lanjutan di rumah sakit sekunder dan tersier. Di provinsi DI Yogyakarta prevalensi penyakit diabetes melitus yang terdiagnosis oleh dokter menempati urutan pertama di Indonesia sebesar 2,6%. Di ikuti oleh DKI Jakarta (2,5%), Sulawesi Utara (2,4%) dan Kalimantan Timur (2,3%). Prevalensi diabetes melitus berdasarkan diagnosis dokter dan gejala meningkat sesuai dengan bertambahnya umur, namun mulai umur ≥65 tahun cenderung menurun. Prevalensi diabetes melitus pada perempuan cenderung lebih tinggi dari pada laki-laki. Prevalensi diabetes melitus di perkotaan cenderung lebih 6
tinggi dari pada perdesaan. Prevalensi diabetes melitus cenderung lebih tinggi pada masyarakat dengan tingkat pendidikan tinggi dan dengan pendapatan tinggi (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013). Sehingga dari latar belakang yang telah diuraikan, peneliti tertarik untuk meneliti bagaimana tingkat kepuasan pasien dalam menerima pelayanan kefarmasian pada program rujuk balik yang telah berlangsung di PPK tingkat pertama yaitu di klinik pratama dan apotek program rujuk balik di Kota Yogyakarta.
B. Perumusan Masalah 1. Apakah terdapat hubungan pelayanan kefarmasian terhadap kepuasan pasien diabetes melitus rujuk balik peserta BPJS di Klinik dan Apotek Kota Yogyakarta? 2. Apakah terdapat hubungan karakteristik pasien diabetes melitus rujuk balik peserta BPJS dengan tingkat kepuasan pasien terhadap pelayanan kefarmasian di Klinik dan Apotek Kota Yogyakarta?
C. Keaslian Penelitian Penelitian tentang “Kepuasan pasien diabetes melitus rujuk balik peserta BPJS Kesehatan terhadap pelayanan kefarmasian di Klinik dan Apotek Kota Yogyakarta”, belum pernah dilakukan sebelumnya. Penelitian serupa mengenai kepuasan pasien dengan pelayanan kefarmasian yang pernah diteliti, antara lain: 1. Krisnawati (2010) meneliti tentang “Analisis Kepuasan Pelayanan Kefarmasian pada Puskesmas di Kota Yogyakarta Sebagai Dasar Pelayanan Publik Berbasis 7
Citizen’s Charter”. Perbedaan penelitian ini terletak pada sampel, yaitu sampel yang digunakan adalah seluruh pasien rawat jalan yang menerima pelayanan kefarmasian di lima puskesmas di Kota Yogyakarta, dan pada fokus penelitian, yaitu untuk mengidentifikasi dan menganalisis kebutuhan pasien atas pelayanan kefarmasian dilihat dari tingkat kepuasan pasien yang akan digunakan sebagai dasar pelayanan publik. 2. Nurkholiq (2011) meneliti tentang “Perbandingan tingkat kepuasan antara pasien umum dengan pengguna kartu askes di Pelayanan Dokter Keluarga”. Perbedaan penelitian terdapat pada sampel dan lokasi penelitian, dimana sampel merupakan pasien umum dan pasien askes dan lokasi penelitian yang bertempat di praktek dokter keluarga di Kota Semarang. 3. Diansari (2008) meneliti tentang ”Kepuasan Pasien Berdasarkan Kepersertaan Askes, Askeskin, dan Pasien Umum terhadap Pelayanan Kesehatan Gigi dan Mulut di BPG Puskesmas Jetis Yogyakarta”. Perbedaan penelitian terdapat pada sampel dan lokasi penelitian, dimana sampel merupakan pasien yang menerima pelayanan kesehatan gigi dan mulut dilihat dari perbedaan kepesertaan asuransi kesehatan dan pasien umum di Puskesmas Jetis Yogyakarta.
8
D. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Mengetahui hubungan pelayanan kefarmasian terhadap kepuasan pasien diabetes melitus rujuk balik peserta BPJS di Klinik dan Apotek Kota Yogyakarta? 2. Mengetahui hubungan karakteristik pasien diabetes melitus rujuk balik peserta BPJS terhadap tingkat kepuasan pasien di Klinik dan Apotek Kota Yogyakarta.
E. Manfaat Penelitian Hasil penelitian diharapkan memberikan manfaat bagi: 1. Klinik dan Apotek Mengetahui tingkat kepuasan pasien atas kualitas pelayanan kefarmasian yang telah diberikan agar bisa mempermudah melakukan perbaikan-perbaikan dalam meningkatkan mutu pelayanan kesehatan, khususnya keterjangkauan pasien dalam mengakses seluruh prosedur pelayanan, kemudahan dalam mendapatkan obat-obatan disertai dengan informasi yang jelas, sehingga klinik dan apotek dapat lebih melaksanakan peran dan fungsinya dengan baik untuk kepentingan dan kesejahteraan pasien. 2. BPJS Kesehatan Dengan adanya penelitian ini diharapkan BPJS kesehatan dapat mengetahui bagaimana tingkat kepuasan pasien diabetes melitus rujuk balik peserta BPJS
9
Kesehatan terhadap program rujuk balik yang telah diselenggarakan sebagai bahan evaluasi dalam melakukan perbaikan-perbaikan kedepannya. 3. Peneliti Memperoleh gambaran kepuasan pasien terhadap kualitas pelayanan kefarmasian yang diberikan oleh klinik dan apotek. Serta dapat digunakan sebagai acuan untuk melakukan penelitian-penelitian lebih lanjut mengenai kualitas pelayanan kefarmasian di Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjut serta
pelayanan pada program-program JKN lain yang ada. 4. Bagi Masyarakat Bagi masyarakat diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat memberikan
informasi tentang pelayanan kefarmasian yang benar dan sesuai.
10