BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam satu dekade terakhir, bencana datang silih berganti menerpa Indonesia. Bencana, baik yang hadir karena faktor alam ataupun akibat dari ulah manusia menghampiri berbagai belahan penjuru negeri ini. Gempa Bumi dan Tsunami di Aceh (2004), Gempa Bumi di Yogyakarta (2006), Gempa Bumi di Sumatera Barat (2009), dan Erupsi Gunung Merapi di Yogyakarta (2010) adalah beberapa contoh bencana kolosal yang pernah melanda Indonesia. Dari beberapa bencana tersebut, yang disebut terakhir menjadi bencana yang paling menyita perhatian khalayak. Tidak lain karena kisruh pemberitaan yang turut diciptakan oleh media kala meliput dan melaporkan berita bencana. Bagi media, fenomena bencana alam pada dasarnya merupakan “berkah” tersendiri. Sejalan dengan ungkapan “Bad News is a Good News”, semakin terdapat kabar buruk, semakin kejadian tersebut memiliki nilai berita untuk diwartakan. Dalam konteks berita bencana, semakin terdapat bencana dalam skala hebat, maka semakin bencana tersebut mempunyai “nilai jual” untuk diberitakan kepada khalayak. Sebagai negeri rawan bencana, berita bencana dan media di Indonesia bagai dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Setidaknya terdapat dua hal mengapa media begitu antusias dalam memberitakan bencana. Pertama, bencana biasanya menciptakan situasi ketidakpastian (Uncertainty). Dalam situasi seperti ini, rasa ingin tahu dari warga akan semakin memuncak. Mereka akan selalu bertanya tentang “apa yang sedang terjadi?”. Kedua, bencana bagi media merupakan sebuah event yang tidak bisa dilewatkan begitu saja. sebagai
1
sebuah event besar, berita bencana mempunyai daya tarik yang begitu luar biasa, tanpa harus direkayasa.1 Diantara berbagai jenis media massa yang aktif meliput berita bencana adalah televisi. AGB Nielsen dalam rilisnya menyebut, durasi mata acara berita di stasiun televisi nasional pada bulan november 2010 mengalami peningkatan sebesar 2% dibanding bulan sebelumnya. Tercatat total durasi pada bulan tersebut mencapai 1250 jam. 2 Dengan berbagai kelebihan yang dimilikinya, televisi menjadi media massa terfavorit bagi khalayak dalam memantau perkembangan terkini berita bencana. Hal itu tidak terlepas dari karakter khas televisi yang mampu menampilkan berita dalam waktu yang singkat dan disertai dengan visualisasi gambar, satu hal yang tidak bisa dilakukan oleh platform media yang lain. Maka tidak mengherankan bila televisi selalu menjadi media paling dominan, tidak hanya dalam situasi bencana, melainkan pada momenmomen krusial lainnya. Di tengah peran sentral televisi dalam meliput berita bencana, tidak serta merta menjadikan televisi luput dari berbagai sorotan. Yang demikian tidak lain disebabkan oleh performa televisi yang jauh dari kata memuaskan dalam mewartakan bencana. Televisi selalu dituding tidak menjalankan prinsip-prinsip jurnalisme dalam peliputan bencana. Permasalahan mendasar seperti aspek akurasi dan verifikasi sering terjadi. Hal ini menjadi ironi mengingat posisi jurnalisme bencana di negeri rawan bencana seperti Indonesia sangatlah penting. . Belajar dari pemberitaan televisi terhadap bencana Erupsi Gunung Merapi di Yogyakarta pada tahun 2010 yang lalu, performa jurnalis televisi layak untuk dipertanyakan. Dalam berbagai kesempatan, tidak jarang berita-berita yang dihadirkan mengabaikan salah satu prinsip terpenting dalam jurnalisme
1
Pitra Narendra. 2006. Media dan Pemberitaan Bencana : Menemukan Kembali Identitas Nasional.
Dalam Buletin Polysemia. Edisi.3, Juli 2006. Yogyakarta : PKMBP. Hal. 4 2
AGB Nielsen. 2010.
2
yakni, akurasi. Selain masalah akurasi, citra sensasionalisme dan dramatisasi menjadi menjadi wajah lain berita bencana di layar kaca. Pada akhirnya, alih-alih menghadirkan berita yang memberikan pencerahan pada khalayak, berita seputar
bencana
justru
memberikan
ketidakpastian
(uncertainty)
dan
menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. Tentu masih segar dalam ingatan ketika dalam sebuah liputan langsung yang disiarkan oleh stasiun televisi tvOne, terjadi salah penyebutan abu vulkanik menjadi “awan panas”, padahal dua hal tersebut merupakan hal yang jauh berbeda. Ketidakpekaan reporter dalam menjunjung aspek akurasi berujung pada lahirnya informasi yang meresahkan warga. Reporter kala itu menyebut awan panas telah menyembur sejauh 20 km dari lereng gunung merapi. Sontak reportase tersebut menimbulkan kekacauan luar biasa, tidak hanya pada warga yang berada di daerah pengungsian, namun, juga khalayak yang ikut menonton berita tersebut. Ironisnya, setelah kesalahan fatal pemberitaan tersebut, tak pernah terdengar permintaan maaf dari pihak televisi yang bersangkutan 3. Reaksi dari liputan ini pun dapat ditebak. Kritikan deras seketika muncul atas berbagai liputan meresahkan yang muncul di layar kaca. Dari masyarakat, sukarelawan bencana, hingga akademisi turut menyampaikan protesnya. Sultan Hamengku Buwono XI, selaku pemimpin tertinggi di Daerah Istimewa Yogyakarta secara terbuka menyampaikan keprihatinannya terhadap akurasi liputan merapi yang jauh dari harapan 4. Melihat kondisi peliputan bencana merapi yang mulai berlebihan, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) juga mengambil tindakan evaluasi dengan mengumpulkan seluruh pemimpin redaksi televisi dalam satu forum.
3
Iwan Awaluddin Y. Malpraktik Liputan Merapi di Televisi. diakses pada 26 April 2013. Terarsip di
http://bincangmedia.wordpress.com/2010/11/05/malpraktik-liputan-merapi-di-televisi/ 4
Republika Online. Sultan Kritik Akurasi Liputan TV Soal Merapi. diakses pada 20 mei 2013.
Terarsip di http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/nusantara/10/10/31/143536-sultankritik-akurasi-liputan-tv-soal-merapi
3
Mediasi ini diperlukan untuk menghindari berita-berita yang menyesatkan dimasa yang akan datang5. Di tengah persaingan jurnalisme televisi yang semakin kompetitif, maka berbagai cara dilakukan media untuk merebut atensi khalayak. Dalam konteks siaran berita televisi, aktualitas menjadi sebuah harga mati yang harus dipenuhi. Jurnalis televisi selalu dituntut untuk menghadirkan siaran berita yang eksklusif dan serba cepat. Pada titik inilah profesionalitas seorang jurnalis akan diuji apakah mampu menghasilkan berita yang memenuhi standar jurnalisme atau sebaliknya, mengabaikan akurasi dan mengorbankan profesionalitasnya sebagai seorang jurnalis. Beberapa pertanyaan yang muncul tadi, memberikan ketertarikan kepada peneliti untuk mengetahui performa media televisi dalam menghadirkan berita bencana. Terkait dengan hal tersebut, dalam aspek pemberitaan, dikenal dengan yang dinamakan media performances. Media performances menjurus pada kajian yang berfokus pengukuran terhadap performa media dalam menyampaikan pemberitaan. Kualitas konten media merupakan isu utama ketika melihat kinerja sebuah media. Penelitian kali ini pada akhirnya akan berfokus pada kajian bagaimana performa media penyiaran televisi, yaitu Metro TV dan tvOne menghadirkan informasi bencana di layar kaca. Objek yang dipilih berkaitan dengan Bencana Erupsi Gunung Merapi pada 2010 yang lalu. Pemilihan dua stasiun televisi tersebut tidak lain didasarkan pada 2 pertimbangan. Pertama, keduanya sama-sama merupakan stasiun televisi bergenre berita. Kedua, posisi sebagai televisi berita menjadikan kedua televisi tersebut memberikan eksposur lebih banyak terhadap berita bencana, dibandingkan dengan televisi komersial yang lain. Kualitas pemberitaan dari masing-masing stasiun televisi tersebut akan
5
Tempo.co. Soal Pemberitaan Merapi, Besok KPI Panggil Seluruh Pemred Televisi. diakses pada
22 Mei 2013. Terarsip di http://www.tempo.co/read/news/2010/11/07/078290065/SoalPemberitaan-Merapi-Besok-KPI-Panggil-Pemred-Televisi
4
menjadi fokus perhatian hingga pada akhirnya dapat diketahui performa masingmasing televisi kaitannya dalam meliput berita bencana. Sebagai sebuah genre baru jurnalisme, jurnalisme bencana belum banyak diteliti oleh akademisi. Padahal, dalam konteks Indonesia, keberadaan jurnalisme sangat penting. Tidak lain karena Indonesia merupakan negara rawan bencana, media massa dalam berbagai kesempatan selalu melaporkan berita bencana dengan sangat antusias. Ditengah banyaknya kritik yang ditujukan kepada jurnalis dalam memberitakan berita bencana, penelitian ini dirasa sangat penting karena dapat digunakan sebagai sarana evaluasi bagi kinerja jurnalis untuk menghadirkan berita yang lebih baik dimasa yang akan datang. Dewasa ini, kajian yang mengukur performa media dalam memberitakan media lebih banyak terdapat pada media cetak. Dengan meneliti produk jurnalisme televisi, diharapkan penelitian ini dapat menambah khasanah kajian media khusunya yang terkait dengan reportase bencana alam
B. Rumusan Masalah Bagaimana kualitas pemberitaan TV one dan Metro TV dalam Breaking News bencana erupsi Gunung Merapi di Yogyakarta dan sekitarnya dari tanggal 27 Oktober hingga 2 November 2010? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan dari Penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui performa media penyiaran yaitu Metro TV dan tvOne dalam melaporkan berita bencana. 2. Untuk Membandingkan peforma media penyiaran yaitu Metro TV dan tvOne dalam melakukan liputan langsung berita bencana. 3. Mengetahui bagaimana wajah pemberitaan televisi dalam meliput berita bencana.
5
Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah : 1. Menambah khasanah penelitian dalam ranah jurnalisme bencana di Indonesia 2. Sebagai masukan bagi televisi pada umumnya dan jurnalis televisi pada khususnya kaitannya dalam evaluasi pemberitaan bencana di Indonesia D. Kerangka Pemikiran 1. Berita dan Jurnalisme Penyiaran Televisi Penelitian ini pada dasarnya fokus mengenai kualitas pemberitaan televisi mengenai bencana. Maka, sebelum memahami lebih lanjut mengenai kualitas pemberitaan secara umum dan jurnalisme bencana pada khususnya, akan terlebih dahulu didefinisikan mengenai arti dari berita itu sendiri. Terdapat beberapa definisi yang dapat menjelaskan mengenai makna dari berita (news). Salah satunya seperti definisi yang dipopulerkan oleh Melvin Mencher (2003). Menurut Mencher berita dapat dibagi ke dalam kedua kerangka, yaitu : pertama, “news is information about a break from the normal flow of events, an interruption in the expected, a deviation from the norm”. Kedua, “news is information people need to make sound decision about their lives”.6 Dua kerangka tersebut mengaitkan berita dengan kategori informasi yang diekspos kepada khalayak dan kebutuhan masyarakat terhadapnya sebagai bahan pengambilan keputusan yang menyangkut kehidupannya. Kesimpulan dari definisi diatas yakni persoalan informasi yang berkualitas menjadi harapan bagi khalayak untuk membantu mereka mengatasi problem hidup. Untuk itu, Mencher memberi tekanan khusus pada produksi berita karena hal tersebut ditanggapinya sebagai faktor penentu kualitas berita. Pada perkembangannya, berita hadir dalam ruang-ruang media dalam bentuk jurnalisme. Seperti dalam penyiaran televisi misalnya, di mana berita 6
th
Melvin Mencher. 2003. News Reporting and Writing. 9 Edition. New York :McGraw-Hill. Hal. 68.
6
hadir sebagai turunan dari praktik jurnalisme televisi. Jurnalisme sendiri dapat didefinisikan sebagai kegiatan yang berhubungan dengan proses pengumpulan dan penyajian berita dan informasi.7 Dari definisi tersebut maka dapat dipahami bahwa jurnalisme televisi merupakan praktik jurnalisme yang menggunakan medium televisi dalam mendukung aktivitas jurnalismenya. Kehadiran jurnalisme dalam ruang televisi pada dasarnya merupakan evolusi dari fungsi awal televisi yang didominasi oleh konten hiburan. Berbeda dengan kondisi di era sekarang ketika berita menjadi program acara favorit, keterbatasan perangkat yang dapat menunjang pertukaran materi siaran secara cepat menjadikan jurnalisme televisi kalah pamor dibanding jenis produk siaran yang lain seperti drama opera dan komedi situasi.8 Selain faktor keterbatasan teknologi, keengganan produser menjadi faktor lain di mana berita penyiaran dianggap tidak menarik dan tidak memiliki tempat di televisi.9 Kondisi ini mulai berubah ketika pada medio 1960 hingga 1970-an, televisi mulai berkembang menjadi media informasi populer di mata khalayak. Ada beberapa alasan yang dapat menjelaskan fenomena tersebut. Salah satu diantaranya tidak lain disebabkan oleh karakter pesan di televisi yang relatif mudah dipahami oleh khalayak. Untuk memahami pesan di televisi tidak membutuhkan kemampuan membaca yang baik layaknya mengonsumsi media cetak atau konsentrasi mendengar untuk radio. Dalam mengonsumsi pesan televisi, visualisasi gambar yang dipadu dengan kombinasi suara menjadikan televisi sebagai media paling efisien dalam menyebarkan informasi. “television news is good pictures because that’s what plays to television’s unique selling point”, sebut jurnalis terkemuka Amerika Nick Kehoe10.
7
Rahayu. 2006. Menyingkap Profesionalisme Kinerja Surat Kabar di Indonesia. Yogyakarta :
PKMBP, Dewan Pers, dan Departemen Komunikasi dan Informasi. Hal.6 8
Gabi Schaap. 2009. Interpreting Television News. Berlin : Mouton de Gruyter. Hal 1
9
Ibid.
10
Carole Fleming et al. 2006. An Introduction To Journalism. London : Sage Publications. Hal..17
7
Pendapat dari Kehoe tersebut sejalan dengan yang dijelaskan oleh Marshall McLuhan yang menyebut sebagai cool medium, televisi cukup mensyaratkan keterlibatan dan partisipasi aktif untuk mencerna pesan audiovisual yang bersifat low definition.11 Maksud dari pernyataan tersebut tidak lain bahwa televisi mungkin tidak menawarkan kedalaman dan cenderung membawa informasi yang samar, namun hanya butuh partisipasi khalayak dalam memaknai pesan yang disampaikan.12 Dewasa ini, perkembangan radikal pada dunia teknologi telah merubah cara televisi dalam menghasilkan sebuah informasi. Dalam konteks jurnalisme televisi, pesatnya kemajuan teknologi mempengaruhi cara jurnalis dalam hal memperoleh hingga mengolah sumber informasi. Berbagai kemudahan yang ditawarkan perangkat lunak telah memudahkan jurnalis mulai editing hingga packaging atas materi berita. Sedangkan teknologi satelit mempermudah jurnalis menghadirkan siaran dari belahan dunia lain dalam tempo yang relatif singkat. Kondisi tersebut pada akhirnya mendorong lahirnya berbagai jenis kategorisasi program jurnalisme televisi.13 Mengenai penggolongan program jurnalisme televisi, Annette Hill mengelompokkan siaran jurnalisme televisi ke dalam 4 (empat) kategori, yaitu14 : 1. News adalah jenis acara yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan publik atas informasi. Konten yang ditampilkan berupa informasi kejadian terkini tentang tema tertentu dengan mengambil tempat yang spesifik. Berita ini meliputi berita lokal, nasional, dan regional. Dalam jenis siaran ini, selain 11
David Holmes. 2005. Communication Theory : Media, Technology, Society. London : Sage
Publications. Hal.71 12
Ibid. Hal. 71
13
Stanley Baran. 1990. The Known World for Broadcast News.: International News and Electronic
Media. London : Routledge. Hal. 20 14
Annette Hill. 2007. Restyling Factual TV, Documentary, and Reality Television. London :
Routledge. Hal. 44-53.
8
menampilkan berita langsung (hard news), terkadang akan dikombinasikan dengan liputan langsung dari lapangan, interview dengan narasumber di studio atau percakapan via sambungan telepon. Beberapa contoh siaran yang termasuk kategori ini antara lain : 1. Newsflash (berita kilat), Adalah format acara dimana siaran berita disiarkan dalam tempo singkat untuk menyampaikan berita terkini. Tidak jarang format berita ini digunakan sebagai “pembuka” dari program siaran utama atau breaking news. 2. Newscast (siaran berita), merupakan program berita yang ditujukan untuk menghadirkan pandangan lebih luas dan lebih lengkap perihal berita-berita yang disampaikan dihari itu. program berita biasanya berdurasi antara 20 sampai dengan 60 menit. Format penyampaian berita untuk program berita menampilkan gambar dan narasi dalam bentuk yang lebih detail dibanding newsflash. 3. Breaking News, jenis acara dimana stasiun televisi hendak menyampaikan berita terbaru (pada umumnya menggunakan format live reporting), untuk menginformasikan kejadian yang dianggap mempunyai urgensi khusus
untuk
segera
disampaikan
kepada
khalayak.
Dalam
menyampaikan berita, tayangan breaking news biasanya diawali dari penyiar berita yang membacakan inti berita yang akan disampaikan kepada khalayak. Selanjutnya penyiar berita akan mengarahkan pemirsa ke reporter yang sedang bertugas di tempat kejadian liputan.
2. Current Affairs / Investigasi Adalah program berita yang lebih tajam dari acara siaran berita reguler. Ciri dari acara ini merupakan bentuk siaran jurnalisme yang relaif panjang secara durasi, mengangkat tema seputar debat politik, kontroversi yang
9
sedang hangat di masyarakat, serta menggunakan jurnalisme investigatif dalam liputannya. contoh kategori ini di Stasiun televisi Indonesia dapat ditemui di Metro Realitas, Delik RCTI, atau Telusur tvOne.
3. Dokumenter Adalah sebuah acara yang menyiarkan pandangan tertentu atas sebuah isu yang disajikan secara detail. Tema yang diusung pun beragam diantaranya tentang fenomena alam, seni, agama, ilmu pengetahuian, sejarah, budaya, dll. Ada berbagai macam teknik menyampaikan informasi dalam dokumenter, mulai dari gaya reportase langsung, tampilan visual yang dipadu dengan narasi, dan dramatisasi berita. Drama dokumenter adalah dokumenter yang menggunakan aktor dan gaya bercerita ala drama untuk merekonstruksi informasi yang ingin disampaikan. Dalam jenis format ini, kemampuan dari interviewer menjadi sangat penting karena kedalaman informasi berawal dari kemampuan menggali informasi dari interviewer.
4. Jenis Program Non-Fiksi Lain Merupakan jenis kategori selain 3 kategori sebelumnya. Termasuk kategori ini adalah acara talkshow. Pada umumnya format acara jenis ini bisa menghadirkan narasumber yang relevan atas tema yang sedang didiskusikan.
Diantara keempat kategorisasi jurnalisme televisi tersebut, jenis program siaran berita (newscast) merupakan jenis yang paling mendapat perhatian baik dari khalayak maupun stasiun televisi. Bagi khalayak mereka membutuhkan siaran berita untuk mendapatkan informasi, sedangkan bagi stasiun televisi siaran berita dapat meningkatkan reputasi mereka melalui informasi yang akurat dan up to date.15
15
Carole Fleming et al. Op.Cit. Hal.17
10
2. Menelaah Performa Stasiun Televisi Dalam penelitian performa media, kualitas konten media menjadi salah satu titik sentral dalam penelitian. 16 Performa media bila diukur dari pendekatan kualitas konten pemberitaan akan berkaitan dengan dua sisi orientasi dari media, yakni sisi teknis dan sisi etis. Dalam sisi teknis, dikenal rumusan kualitas pemberitaan terwujud dalam standar kelayakan berita (newsworthy) yang menjadi dasar dasar proses seleksi berita. Media jurnalisme dalam menjalankan aktivitasnya selalu dihadapkan pada realitas sosial yang jumlah dan variannya sangat beragam, sedangkan pada akhirnya hanya sedikit dari realitas tersebut yang dapat diolah menjadi berita. Hal ini disebabkan media dihadapkan pada masalah yang sama, dalam penyampaian berita mereka selalu dibatasi oleh ruang dan waktu. Standar kelayakan pada akhirnya menjadi penting untuk menjadi acuan media dalam memilih realitas mana yang layak untuk diolah menjadi berita dan mana yang tidak. Kaitannya dengan kualitas pemberitaan, McQuail (1992) menyampaikan pentingnya konsep performa media. Media performa merupakan konsep yang bersandar pada keinginan publik untuk mendapatkan konten berita yang dapat dijadikan sebagai referensi yang mana informasi tersebut relevan dengan kehidupan masyarakat. Konsep ini pada gilirannya sering digunakan sebagai alat ukur untuk menilai profesionalisme sebuah media. 17 Lebih lanjut McQual menjelaskan, setidaknya fondasi dari performa media dapat dilihat ke dalam 3 hal penting yakni kebebasan dan independensi dari media, keberagaman konten, dan objektivitas dalam pemberitaan.18 McQuail menukil pemikiran Westertahl (1983) menjelaskan Objektivitas dalam pemberitaan dapat ditemui dalam 2 hal, yakni faktualitas dan imparsialitas berita. Prinsip faktualitas terdiri dari dua unsur, yaitu benar (truth) 16 17
Rahayu. Op cit. Hal 6. Denis McQuail. 2005. McQuail’s Mass Communication Theory (5
th
Editiion). London : Sage
Publications. Hal. 354. 18
Ibid. Hal. 355.
11
dan relevan (relevance). Unsur benar (truth) ditentukan oleh ketepatan (accuracy) dalam mendeskripsikan fakta. Kebenaran akan kuat jika disertai akurasi pada seluruh unsur berita (5W+1H). Sementara itu, unsur-unsur yang digunakan untuk mengukur tingkat relevance meliputi: (1) proximity psikografis, (2) proximity geografis, (3) timeliness, (4) significance, (5) prominence dan (6) magnitude. Item-item tersebut dikenal sebagai news values. 19 Kemudian Prinsip tidak memihak (impartiality) juga menentukan tingkat objektivitas. Ada dua unsur yang mendukung ketidakberpihakan, yaitu seimbang (balance) dan netral. Seimbang adalah memberi tempat yang adil pada pandangan yang berbeda, sering disebut dengan istilah cover both sides, sedangkan netral berarti harus ada pemisahan antara fakta dan opini pribadi wartawan.20
Gambar 1. 1 Kriteria Komponen Objektivitas Menurut Westertahl (1983)
Selain pemikiran McQuail, dalam konteks standar kelayakan berita terdapat beragam referensi yang dapat dijadikan sebagai landasan Dalam menentukan standar kelayakan berita. Berkaca pada pendapat Galtung dan Ruge (1981) dalam Fleming dan Hemmingway (2006), berita menjadi layak diberitakan jika memenuhi karakteristik berikut : 1. Relevance
19
Ibid. Hal. 202
20
Ibid.
12
Informasi yang akan berdampak baik secara langsung atau tidak langsung pada kehidupan manusia disekitarnya. Hal ini misalnya dalam konteks berita yang bermuatan lokal atau nasional. Bagi media lokal, pengangkatan isu lokal (di daerahnya) akan lebih relevan dibanding mengangkat isu daerah lain atau bahkan isu nasional. 2. Timeliness Unsur berita yang lebih menekankan kepada isu terhangat atau kejadian yang sedang terjadi daripada mengangkat informasi berita yang terjadi di masa lampau. Dalam konteks jurnalisme televisi, aspek timeliness menjadi penting karena aspek kebaruan menjadi syarat mutlak dalam berita televisi. 3. Simplification Informasi tentang kejadian yang sederhana dan bisa diberitakan secara langsung (straightforward). Unsur ini terutama terdapat pada stasiun televisi yang dalam produksi berita selalu dibatasi oleh waktu. 4. Predictability Informasi yang berhubungan dengan kejadian yang dapat diprediksi sebelumnya. Termasuk dalam unusur berita ini seperti acara peringatan, rilis angka pengangguran terbaru, atau acara-acara kenegaraan. 5. Unexpectedness Informasi tentang kejadian yang jarang terjadi. Karena langkanya kejadian tersebut maka layak untuk diberitakan. 6. Continuity Informasi tentang kejadian yang mempengaruhi kehidupan banyak orang, sehingga dibutuhkan update terbaru tentang kejadian tersebut. Contoh dari berita yang memenuhi unsur ini antara lain proses peradilan di pengadilan, peperangan. 7. Composition
13
Sedikit tidak berkaitan dengan realitas, namun berkaitan dengan penentuan porsi berita. Porsi yang dimaksud adalah pembagian antara berita politik, human interest dll. 8. Elite people Unsur seleksi berita didasarkan pada popularitas dari seseorang dalam masyarakat. Semakin populer, maka semakin memilki nilai berita. 9. Elite Nations Hampir mirip dengan elite people, namun dalam konteks ini adalah pemimpin pemerintahan atau pejabat negara. 10. Negativity Unsur berita yang disinonimkan dengan “bad news”. Semakin berita mengandung unsur “bad”, semakin berita itu memiliki nilai kelayakan berita yang tinggi. Contoh berita unsur ini diantaranya berita bencana, kejahatan, skandal seksual dll.
Selain dari pendapat Fleming dan Hemmingway, Melvin Mencher juga memberi pendapatnya tentang kelayakan sebuah berita. Menurut Mencher, informasi layak untuk diberitakan jika memenuhi diantara tujuh nilai berita 21, ketujuh poin tersebut yaitu : 1. Timeliness (events that are immediate recent). Artinya, peristiwa tersebut baru saja terjadi. 2. Impact (events that are likely to effect many people). Artinya, suatu kejadian yang dapat memberikan dampak kepada orang banyak. 3. Prominence (Event involving well-known people or institutions. Artinya, suatu kejadian yang melibatkan orang atau lembaga yang terkemuka. 4. Proximity (events geographically or emotionally close to the reader, viewer, or listener). Artinya, suatu peristiwa yang memiliki unsur
21
Ibid. Hal.347-348.
14
kedekatan dengan khalayak, baik secara geografis maupun secara emosional. 5. Conflict (Event that reflect clashes between people or institutions). Artinya, suatu peristiwa atau kejadian yang mengandung pertentangan baik antara individu, masyarakat, atau lembaga. 6. The Unusual (events that deviate sharply from the expected and the experience of everyday life).aritnya, sesuatua kejadian atau pengalaman yang tidak biasanya terjadi dan merupakan pengecualian dari pengalaman sehari-hari. 7. The Currency (Events and situations that are being talked about). Artinya, hal-hal yang sedang menjadi pembicaraan orang banyak.
Sedikit berbeda dengan Mencher, Siregar menambahkan aspek human interest menjadi salah satu alasan kejadian atau peristiwa mempunyai nilai berita. Human Interest (manusiawi) adalah kejadian yang memberi sentuhan perasaan bagi pembaca, kejadian yang menyangkut orang biasa dalam situasi luar biasa, atau orang besar dalam situasi biasa. Bila dibuat matriks, maka unsur kelayakan berita dari ketiga pendapat di atas adalah sebagai berikut :
Tabel 1. 1 Unsur Kelayakan Berita
Unsur Kelayakan Berita Fleming & Hemmingway (2006 : 5-6) Relevance Timeliness Simplification Predictability Unexpectedness Continuity Composisition Elite People Elite Nations Negativity
Melvin Mencher (2003 : 347-348)
Ashadi Siregar (2001 : 27)
Timeliness Impact Prominence Proximity Conflict The Unusual The Currency
Significance Magnitude Timeliness Proximity Prominence Human Interest
15
3. Berita dalam Perspektif Prinsip Jurnalisme Bencana Perkembangan jurnalisme yang begitu pesat ditandai dengan hadirnya genre-genre baru dalam ranah jurnalisme. Salah satu diantaranya adalah genre jurnalisme bencana. Definisi Jurnalisme Bencana pada akhirnya dapat ditemui pada tulisan yang disampaikan Masduki dalam tulisan “bagaimana media memberitakan bencana” (2007), seperti dikutip oleh Nazaruddin (2007) yang mendefinisikan memberitakan
Jurnalisme bencana.
Bencana Lebih
lanjut
sebagai
bagaimana
dijelaskan
dalam
jurnalisme “Bagaimana
memberitakan” terkandung dua dimensi yaitu proses dan hasil. Dimensi proses mengacu pada proses produksi berjudul berita-berita bencana, dimensi hasil mengacu pada berita-berita yang dimuat atau disiarkan oleh media. Dalam pengertian dasar itu, Jurnalisme Bencana bisa dibagi ke dalam dua distingsi, antara das sein dan das sollen, antara realitas jurnalisme bencana dan idealitas jurnalisme bencana 22 Sebagai salah satu cabang dari jurnalisme, Jurnalisme bencana merupakan kajian baru dalam ranah komunikasi. Masih sedikitnya kajian tentang Jurnalisme Bencana menjadikan perdebatan mengenai keberadaan Jurnalisme Bencana sebagai genre dari Jurnalisme dipertanyakan. Di level kajian internasional, artikel ilmiah yang membahas mengenai kajian jurnalisme bencana diantaranya tulisan Prof Greg Philo yang berjudul Television News and Audiences Understanding of War, War, Conflict, and Disaster (dimuat dalam Journalism Studies, Volume 3 Number 2, 2002) serta tulisan Joe Hight dan Cait McMahon, Covering Trauma: Dart Centre Guide for Journalist, Editor, and Manager (diunggah di www.dartcentre.org). Artinya, hingga saat ini belum ada buku atau referensi resmi yang membahas tentang jurnalisme bencana. Pun demikian di Indonesia, kajian mengenai Jurnalisme Bencana masih menjadi kajian yang dieksplorasi oleh kalangan akademisi. Beberapa artikel 22
Muzayyin Nazaruddin. 2007 . Jurnalisme Bencana. Tinjauan Etis. Jurnal Komunikasi Volume 1,
Nomor 2, Tahun 2007. Hal. 164.
16
populer yang membahas Jurnalisme Bencana diantaranya tulisan Iwan Awaluddin berjudul Ada Kuis Di Tengah Gempa: Membangun Epistimologi Liputan Bencana di Media (dimuat dalam Jurnal Komunikasi UII Vol.1 No.1, Oktober 2006), kemudian tulisan Muzayin Nazaruddin yang berjudul Jurnalisme Bencana: Sebuah Tinjauan Etis (dimuat dalam Jurnal Komunikasi UII Vol. 1, No. 2, April 2007), dan tulisan Masduki berjudul “Wajah Ganda Media Massa dalam Advokasi Bencana” (dimuat dalam Jurnal UNISIA, No. 63/XXX/V, Januari-Maret 2007. Dari penerbitan jurnal yang spesifik membahas Jurnalisme Bencana, dapat ditemui di Jurnal Sosial Politik Fisipol UGM Berjudul Komunikasi Bencana (2008), sedangkan untuk penerbitan buku yang secara khusus membahas tema ini dapat ditemui di sub bab buku berjudul Jurnalisme Penyiaran dan Reportase Televisi (2013) tulisan Fajar Junaedi. Perkembangan Jurnalisme bencana di Indonesia selanjutnya
dapat
dirunut ke belakang saat terjadinya bencana Gempa yang disusul gelombang Tsunami di Aceh pada tahun 2004 yang lalu. Liputan terus menerus yang dilakukan oleh Metro TV dengan program “Indonesia Menangis” menyadarkan khalayak pentingnya media dalam situasi bencana. Metro TV yang menurunkan Najwa tiba di Aceh pada hari-hari pertama bencana, secara intensif memberikan liputan teraktual mengenai penanganan bencana di Aceh. Dua tahun berselang, kehadiran jurnalisme bencana selanjutnya dapat dilihat pada pemberitaan gempa bumi 27 Mei 2006 yang melanda Yogyakarta dan sekitarnya. Seperti juga pada saat tsunami di Aceh, media memberikan eksposur yang besar pada peristiwa ini. Hasilnya adalah bantuan terus mengalir dari berbagai lapisan masyarakat. Praktik jurnalisme berikutnya dapat dilihat di liputan erupsi Gunung Merapi pada periode 2010 yang lalu. Liputan jurnalisme bencana kala itu menjadi liputan yang menghadirkan banyak kekacauan akibat beberapa kali terjadi salah penyampain informasi yang disampaikan oleh media. Kesalahan ini ditambah dengan pelanggaran etika selama peliputan yang dilakukan oleh stasiun televisi.
17
Secara tidak langsung, bencana Erupsi Gunung Merapi telah menyadarkan publik pentingnya menjunjung aspek akurasi dan sensitivitas dalam melaporkan keadaan bencana. Pada titik inilah, urgensi atas penerapan prinsip peliputan bencana menjadi penting.23 Terkait dengan prinsip dalam peliputan bencana, Amiruddin Dalam tulisan yang berjudul Media Dalam Liputan Bencana, mengungkapkan lima prinsip dasar yang mesti diperhatikan jurnalis saat meliput bencana. Kelima prinsip tersebut adalah akurasi, humanis, mengedepankan prinsip suara korban, memasukkan perspektif kemanusiaan, dan mengungkapkan sisi lain selama masa pemulihan (recovery).24 Pertama, akurasi. Dalam meliput bencana, jurnalis tidak hanya dituntut untuk melaporkan berita secara cepat namun juga secara akurat. Untuk memperoleh akurasi, jurnalis perlu berperan layaknya peneliti, dalam arti jurnalis perlu untuk mengidentifikasi setiap data atau informasi yang diperolehnya (check and re-check). Hal ini dimaksudkan agar berita yang disampaikan dapat dipertangungjawabkan. Untuk mengejar keakurasian berita, narasumber menjadi salah satu faktor yang menentukan karena narasumber yang kompeten tentunya menjamin perolehan informasi yang akurat. Kedua, humanis. Dalam memberitakan bencana, jurnalis harus pula memperhatikan
aspek
manusia
(human
elements).
Jurnalisme
mesti
mengungkap dua hal dalam pemberitaannya, yaitu tentang manusia yang terlibat di dalamnya dan konteks yang melingkupinya. Dalam jurnalisme bencana, pewarta berita harus melindungi korban, kerabat, dan publik yang menjadi sasaran pemberitaannya. Ketiga, prinsip suara korban. Dalam liputan trauma pasca bencana media mestinya mampu mengungkapkan aspirasi para korban. Dalam hal ini, ruang
23
Fajar Jurnaedi. 2013. Jurnalisme Penyiaran dan Reportase Televisi. Jakarta. Kencana Prenada
Media Group. Hal.119 24
Amiruddin. 2007. Media Dalam Liputan Bencana. Suara Merdeka, 26 Januari 2007
18
editorial menjadi sarana media untuk menyuarakan aspirasi sekaligus menjadi wujud pembelaan media terhadap korban bencana. Keempat, jurnalisme bencana selayaknya mampu meletakkan peristiwa traumatik bencana ke dalam perspektif kemanusiaan yang lebih luas melalui pemberitaannya. Dalam meliput bencana, jurnalis tidak sekedar menempatkan diri sebagai pengumpul fakta yang terkejut sekaligus bangga dengan temuannya yang dia wartakan dalam setiap beritanya. Sudah semestinya jurnalis memikirkan teknik pencaria dan pengolahan berita yang dapat memberikan bingkai kemanusiaan. Dalam konteks ini patut mendapat perhatian tersendiri jika sentuhan kebudayaan setempat perlu dikedepankan sehingga perasaan korban tidak tersakiti. Kelima, jurnalis perlu mengungkapkan sisi lain dari peristiwa bencana atau sisi-sisi lain dari persoalan yang berlangsung di seputar masa pemulihan (recovery), yang kemungkinan luput dari pandangan publik. Informasi lanjutan semacam ini berguna sebagai tindak lanjut dari pemberitaan bencana yang sudah dilakukan media sekaligus memberikan kelengkapan cerita sehingga sebuah liputan tidak melulu berbau hard news. Model berita macam ini juga menjadi sarana informasi bagi publik untuk memberikan kejelasan dalam bersikap dan bertindak. Model pemberitaan in depth report atau reportase investigasi menjadi model yang dapat menerjemahkan advokasi terhadap korban bencana. Bila berkaca pada lima prinsip dasar peliputan bencana yang disampaikan oleh Nazaruddin tersebut, tentu wajah pelaporan bencana masih jauh dari kata ideal. Setidaknya landasan etis dalam melakukan peliputan belum mendapatkan perhatian serius dari pelaku media. banyaknya kritik terhadap performa media dalam melakukan liputan bencana menjadi indikasinya.
19
E. Kerangka Konsep 1. Bencana Telah dijelaskan sebelumnya bahwa jurnalisme merupakan kegiatan yang berhubungan dengan proses pengumpulan dan penyajian berita dan informasi. Sebagai sebuah aktivitas yang menyeluruh dalam proses produksi berita, jurnalisme meliputi kaidah kerja dalam memungut fakta sosial untuk dijadikan informasi, untuk kemudian disampaikan melalui media massa.25 Sedangkan bencana, secara bahasa seperti yang terdapat dalam Webster’s New World Dictionary of the American Language didefinisikan sebagai berikut26 : “...any happening that causes great harm or damage; serious or sudden misfortune; calamity. Disaster implies great or sudden misfortune that results in loss of life, property, etc. or that is ruinous to an undertaking; calamity suggests a grave misfortune that brings deep distress or sorrow to an individual or to the people at large”
Pada perkembangannya, bencana tidak hanya dipahami sebagai sebuah fenomana yang dekat dengan pendekatan kerusakan fisik semata. Seperti yang disampaikan oleh E.L Quarantelli, yang menyebut bahwa bencana mempunyai makna yang berbeda-beda, tergantung dari perspektif apa yang digunakan. Dari berbagai definisi yang dikembangkan oleh beberapa Ilmuwan, Quarantelli meringkas berbagai definisi tersebut ke dalam 5 perspektif besar. 5 perspektif tersebut yaitu27 : 1. Peristiwa (events) yang bersifat tidak rutin terjadi dalam masyarakat yang mengakibatkan disrupsi sosial dan kerusakan fisik. Peristiwa dalam konteks ini meliputi : panjang waktu dari peringatan dini, besarnya 25
Ashadi Siregar. 1997. Trend Jurnalisme Televisi. Diunduh di www.ashadisiregar.wordpress.com.
Diakses tanggal 13 Februari 2013, 26
Boris N.Porfiriev. 1998. What is Disaster? Perspective on the Question. London : Routledge. Hal.
52 Annette Hill. Op.cit. Hal. 45 27
E.L Quarantelli. 2005. What is a Disaster? A Dozen Perspectives on a Question. London.
Routledge. Hal. 53-54
20
dampak, ruang lingkup dari dampak bencana, dan durasi dari dampak (Kresp, 1995 : 258) 2. Kondisi destabilisasi dalam sistem sosial yang dapat dilihat dari malfungsi atau disrupsi sosial hubungan-hubungan dan komunikasi dari unit-unit sosial yang ada. Destruksi sebagian atau keseluruhan dari peristiwa membuat diperlukan tindakan darurat dan “extraordinary” untuk mengembalikannya pada situasi yang stabil. (Porfiriev, 1995 : 291) 3. hilangnya sudut pandang kunci dalam akal sehat, dan kesulitan untuk memahami realitas melalui kerangka mental yang normal/biasa (Gilbert, 1995 : 238) 4. Peristiwa yang menghasilkan kecemasan dan hilangnya kemampuan untuk mengendalikan sistem sosial (Horlick-Jones, 1995 : 305) 5. Falsifikasi empiris dari tindakan manusia, sebagai bukti dari kebenaran sudut
pandang
manusia
dalam
fenomena
alam
dan
budaya.
(Dombrowsky, 1995 : 241). Dari kelima definisi tersebut, setidaknya terdapat benang merah yang bisa diambil. Pertama, bencana merupakan fenomena yang bersifat tidak rutin. Kedua, bencana mengakibatkan kerugian yang mengacaukan (destabilisasi) kehidupan. Ketiga, bencana dapat ditimbulkan dari aktivitas manusia (proses sosial) atau akibat dari fenomena alam. Selain dua perspektif di atas, definisi praktis dari bencana juga dapat diambil dari UU no. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Menurut UU tersebut, bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan dan mengganggu kehidupan dan penghidupan dari masyarakat, baik yang disebabkan baik oleh faktor alam dan atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa nmanusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
21
2. Breaking News dan Reportase Bencana Dalam situasi bencana, situasi yang tidak menentu dari ancaman terhadap keselamatan yang potensial terjadi menjadi tantangan tersendiri bagi praktisi media yang diturunkan ke lokasi bencana. Di satu sisi khalayak membutuhkan informasi yang serba cepat untuk dijadikan referensi dalam menghadapi situasi bencana, di sisi yang lain jurnalis dituntut untuk tetap menjaga standar kualitas dari berita yang disampaikan. Hal ini menjadikan peran seorang jurnalis dalam melaporkan berita bencana menjadi sangat kompleks dan tidak semudah yang dibayangkan. Selain harus terjun langsung ke tempat kejadian demi mendapatkan informasi yang aktual, mereka juga dibayang-bayangi oleh ancaman bahaya terjadinya bencana yang sewaktu-waktu dapat hadir ditengahtengah aktivitas peliputan. Dalam konteks ini, pengetahuan dasar tentang standar operasional yang harus ditaati oleh seorang jurnalis dalam melakukan peliputan dan reportase bencana menjadi penting. Kaitannya dengan peliputan bencana, jenis berita yang sering digunakan oleh stasiun televisi adalah Breaking News event. Breaking news merupakan jenis acara dimana stasiun televisi hendak menyampaikan berita terbaru (pada umumnya menggunakan format live reporting), untuk menginformasikan kejadian yang dianggap mempunyai urgensi khusus untuk segera disampaikan kepada khalayak. Dalam menyampaikan berita, tayangan breaking news biasanya diawali dari penyiar berita yang membacakan inti berita yang akan disampaikan kepada khalayak. Selanjutnya penyiar berita akan mengarahkan pemirsa ke reporter yang sedang bertugas di tempat kejadian liputan. Lantas, seperti apakah fungsi yang bisa dijalankan oleh seorang jurnalis ketika meliput bencana?, Fajar Junaedi (2013 : 114) membagi 3 peran peliputan bencana yaitu, melakukan peliputan prabencana, saat terjadinya bencana, dan pasca bencana. Junaedi menjelaskan, dalam peliputan prabencana, seorang jurnalis yang turun ke lokasi bencana bertanggung jawab untuk memberikan informasi terkini yang akurat kepada masyarakat di sekitar lokasi yang berpotensi
22
terdampak bencana. Adapun saat bencana sedang terjadi, jurnalis bertanggung jawab memberitakan informasi yang valid mengenai lokasi bencana, jumlah korban, potensi bencana susulan, area yang bisa menjadi jalur dan tempat evakuasi, sehingga bisa menjadi acuan masyarakat baik yang terdampak langsung atau tidak langsung atas terjadinya bencana. Terakhir pasca bencana, jurnalis harus mampu memberikan informasi yang menunjang proses recovery (pemulihan) bagi korban yang terdampak bencana. 28 Dalam perspektif yang sama, Nazaruddin (Jurnal Komunikasi Vol.1, 2007 : 172) merangkum 3 tahapan normatif yang bisa diperankan jurnalis kala melakukan pemberitaan bencana. Tahapan-tahapan tersebut dalam perspektif yang lebih luas dapat dilihat dalam tabel berikut ini :
Tabel 1. 2 Tahapan Pemberitaan Bencana Fase
Periode
Waktu
Topik 1. Kampanye kewaspadaan terhadap bahaya bencana 2. Penguatan Early Warning System
Narasumber
Prabencana
sepanjang waktu saat sebelum terjadi bencana
Pada saat bencana
Darurat
Pada waktu terjadi bencana hingga satu hari setelahnya
1. Informasi dasar dan akurat tentang jenis dan sumber bencana 2. Cara menyelamatkan diri dari bencana
Ahli, Aparat
Darurat
1-2 pekan pasca bencana (bencana berskala kecilmenengah) dan 1-2 bulan (bencana berskala besar)
1. Informasi kawasan bencana 2. Cara memperoleh dan memberikan bantuan logistik 3. Lokasi pengungsian 4. Jumlah korban dan kerugian
Warga, Aparat, Relawan, Ahli
Pasca bencana
28
Warga, Aparat, Ahli
Fajar Junaedi. Op.Cit. Hal.114.
23
Fase
Periode
Waktu
Recovery
1-2 pekan setelah masa darurat (bencana berskala kecilmenengah) dan 1-2 bulan setelah masa darurat (bencana berskala besar)
1-2 pekan setelah masa recovery (bencana berskala kecilRehabilitasi menengah) dan 1-2 bulan setelah masa recovery (bencana berskala besar)
Topik 1. Informasi kondisi pengungsian secara lebih lengkap (penghuni, interaksi sosial, dan bantuan) 2. recovery psikologis 3. gerakan penemuan keluarga 4. Pendidikan darurat 5. Kontrol bantuan bencana 1. Kampanye bangkit 2. Rehabilitasi Sosial dan Ekonomi 3. Pembangunan kembali kerusakan fisik 4. Distribusi bantuan rumah dan usaha produktifi 5, Kontrol bantuan Bencana
Narasumber
Warga, Aparat, Relawan, Ahli
Warga, Aparat, Relawan, Ahli
Pada dasarnya dua perspektif tadi mengandung substansi yang sama, yakni menekankan akurasi sebagai poin penting yang tidak dapat diabaikan. Dalam melakukan peliputan dan reportase bencana aspek akurasi menjadi nilai yang krusial mengingat pengaruh berita bencana kepada masyarakat begitu besar. Sekali media memberikan informasi yang menyesatkan, dampat yang diberikan sangatlah fatal. Media dalam hal ini harus menghindari hal-hal yang sifatnya mengandung unsur rumor yang justru meresahkan masyarakat. Pada titik ini, media seperti yang disampaikan oleh Michael Marcotte hendaknya memainkan empat peran penting dalam bencana, yaitu: sebagai pusat informasi, communication lifeline, sebagai bagian dari sistem peringatan dini (early warning system), dan forum bagi masyarakat untuk bertukar informasi. 29
29
Deborah Potter & Sherry Ricchiardi. 2009. Disaster and Crisis Coverage. Washington :
International Center for Journalist. Hal. 26.
24
Sebagai communication lifeline, media dapat menyelamatkan banyak nyawa dengan menggali dan menyiarkan informasi yang didapatkannya kepada khalayak luas. Sebagai bagian dari sistem peringatan dini, media harus menyalurkan informasi yang dapat dipercaya secara berkala. Sebagai forum komunikasi, media mesti memberikan ruang kepada masyarakat untuk berkumpul bersama, berbagi perhatian, dan mendukung satu sama lain selama masa bencana.
3. Kontroversi dalam Berita Bencana Sebagai genre yang terbilang baru dalam ranah jurnalisme, praktik jurnalisme bencana di Indonesia saat ini masih mencari bentuk idealnya. Selama fase tersebut, kontroversi dan kritik dari khalayak menjadi dua wajah dominan yang turut mengiringi pemberitaan bencana. Pangkal permasalahan hal tersebut tidak lain karena dewasa ini, tidak ada media yang mempunyai standar operasional yang baku dalam melakukan peliputan dan reportase pada situasi bencana.30 Ketiadaan standar operasional ini menjadikan interpretasi jurnalis dalam menghadirkan berita bencana selalu terfragmen pada isu yang dianggap populer. Pada titik inilah media dianggap gagal untuk menghadirkan informasi yang utuh mulai dari fase prabencana hingga fase paling akhir, yakni rehabilitasi bencana. Selain itu, penerapan dramatisasi dan sensasionalisme dalam pemberitaan menjadi permasalahan lain yang hingga kini belum terselesaikan. Terkait dengan kritik atas pola media dalam pemberitaan bencana, Rahayu (2006) dalam tulisan berjudul Refleksi : Fungsi Media di Negara Rawan Bencana (Polysemia, Edisi 3 Juli 2006) memberikan pandangannya tersendiri. Menurut Rahayu, media saat ini hanya berfokus pada dua fase pemberitaan, yakni fase terjadinya bencana dan fase pasca terjadinya bencana. Sedangkan fase yang tidak kalah krusial, yakni fase pra bencana yang berkaitan dengan tindakan preventif sebelum bencana (early warning system) sering diabaikan. 30
Fajar Junaedi. Op.Cit Hal. 113.
25
Lebih lanjut menurut Rahayu, media seperti yang disampaikan oleh Dominick (1987) setidaknya harus menjalankan 3 fungsi pokok yaitu, memberikan
informasi,
edukasi,
dan
hiburan
(entertainment)
kepada
masyarakat. Kaitannya dalam menjalankan fungsi memberikan informasi, media memiliki peran untuk mengutarakan fungsi surveillance. Yang dimaksud dengan fungsi surveillance tidak lain media dalam kehidupan bermasyarakat memiliki peran untuk menyampaikan adanya potensi ancaman dari bencana. Jika berkaca pada performa media hingga saat ini, hampir seluruh media massa terbilang gagal untuk menjalankan fungsi ini. Yang menjadi membingungkan adalah tidak jarang
informasi
seputar
prediksi
terjadinya
bencana
dan
prosedur
penyelamatan diri, justru terjadi kala bencana telah usai melanda. Kritik lain seputar praktik jurnalisme bencana di Indonesia disampaikan oleh Nazaruddin (2007: 168-171). Berdasarkan pada perspektif etis, Nazaruddin menyebut setidaknya terdapat empat kritik yang layak ditujukan kepada media dalam memberitakan bencana. Keempat poin tersebut bila didedah satu persatu yakni, pertama, terkait dengan peran ganda yang dijalankan media di kala bencana. Di satu sisi, media menjalankan praktik jurnalisme dengan menyebarkan informasi tentang bencana dan di sisi lain media berubah menjadi lembaga penerima dan penyalur bantuan. Pada situasi tertenntu, menurut Nazaruddin, media ternyata lebih antusias menjalankan perannya yang kedua. Hal ini dapat dilihat dari beragamnya program donasi yang dibentuk media sesaat setelah tsunami Aceh. Sebut saja “Pundi Amal SCTV” “Indonesia Menangis” (Metro TV), “RCTI Peduli”, dan lainnya. Satu hal yang paling menonjol adalah media saling berlomba-lomba mengumpulkan donasinya, seolah-olah media yang paling banyak mengumpulkan donasi menjadi pihak yang paling berjasa.31 Kritik kedua adalah ambivelansi media di kala bencana, terutama yang dilakukan oleh media televisi. Di sebuah kesempatan media dapat menghadirkan 31
Nazaruddin Muzayyin. Op.Cit. hal. 168
26
dukacita bencana, namun disaat yang bersamaan media juga dapat menayangkan sukacita yang sangat kontradiktif dengan suasana duka bencana. Pada masa tsunami Aceh pada 2004 lalu misalnya, media televisi tetap menyiarkan gegap gempita perayaan Tahun Baru 2005, padahal media belum bisa lepas dari suasana dukacita akibat bencana. 32 Hal yang sama kembali terjadi ketika Gempa 2006 melanda daerah D.I. Yogyakarta dan sekitarnya. Televisi justru seakan membenturkan dukacita Gempa Yogyakarta dengan menyiarkan suka cita menyambut siaran Piala Dunia 2006, padahal korban bencana masih hidup darurat di tenda-tenda pengungsian. Berita keriuhan gegap gempita Piala Dunia pada kondisi tertentu bahkan telah menenggelamkan berita bencana. Kritik ketiga terkait dengan ketidak konsistensian dalam hal pemberitaan. Ada ketidaksinambungan dalam pemberitaan bencana yang dilakukan oleh media. hal ini mengakibatkan informasi yang sampai ke masyarakat menjadi terpenggal-penggal, tidak tuntas, tidak mendalam, dan absurd. Media dalam melaporkan berita ibarat kutu loncat yang melaporkan berita satu kemudian melaporkan berita lainnya. Akibatnya, masyarakat tidak mendapatkan informasi yang komprehensif tentang apa yang terjadi setelah bencana melanda. Faktor utama di balik alasan tidak tuntasnya pemberitaan media tentang bencana adalah karena munculnya isu lain yang lebih menjual dan dirasa lebih menarik. Meskipun demikian, kecenderungan media menjadi kutu loncat sebenarnya bukan hanya menimpa media di Indonesia saja, karena fenomena ini menjadi kecenderungan jurnalistik bencana secara global.33 Mengenai kecenderungan seperti ini, Nazaruddin mengutip pernyataan dari Cait McMahon (Direktur Australia untuk The Dart Centre for Journalism and Trauma) yang bunyinya sebagai berikut :
32
Ibid. Hal. 171.
33
Ibid. hal.169.
27
“…Setelah dua hingga empat minggu, tergantung dari dimensi apa yang akan terjadi, iring-iring mulai bergerak. Media menemukan headlineheadline baru. Orang-orang dibiarkan menjalankan kehidupan mereka sendiri…”
Terkait dengan ketidakmampuan media dalam menghadirkan cerita yang utuh dan terkesan menjadi kutu loncat dalam dalam memberitakan bencana, Greg Philo dalam sebuah penelitiannya yang membahas hubungan antara berita televisi dengan respon audiens dalam, pemberitaan tentang perang, konflik, dan bencana, Greg Philo (Journalist Studies, 272 : 173-186) mengatakan bahwa terdapat kecenderungan televisi untuk memberitakan perang, konflik, dan bencana secara parsial, tidak lengkap, yang berakibat pada minimnya pemahaman audiens tentang kejadian-kejadian yang diberitakan. Kritik keempat dan yang terakhir terkait dengan upaya dramatisasi yang terjadi dalam liputan berita bencana. Dalam setiap liputan bencana, komoditas utama yang disodorkan media masih berkutat pada air mata, isak tangis, dan nestapa korban. Kesemuanya ini disodorkan media dengan dalih menumbuhkan solidaritas pemirsanya. Kecenderungan ini tidak terlepas dari gaya media dalam memberitakan acara kriminal, di mana media seringkali mengedepankan gambar korban bencana, mayat, jerit tangis keluarga korban, dan berbagai simbol yang merepresentasikan kekerasan.34 Contoh paling kentara mengenai hal ini dapat ditemui pada pemberitaaan Tsunami Aceh yang selama satu bulan lamanya selalu berfokus pada kisah duka cita korban dan mengabaikan isu-isu penting yang lain. Selain itu, dramatisasi juga dapat ditemui pada pemberitaan erupsi gunung merapi. Pengambilan jarak dekat yang menampilkan kengerian yang melebihi realitas sesungguhnya di lokasi kejadian. Pemberitaan tersebut menjadikan masyarakat di sekitar Gunung Merapi yang awalnya hidup tenang menjadi ikut panik karena citra berlebih yang dihadirkan oleh media. 34
Ibid. hal. 170
28
Dari dua perspektif kritik atas media tersebut menunjukkan bahwa media masih belum mampu menghadirkan informasi yang ideal. Akurasi yang menjadi prinsip dasar jurnalisme dalam berbagai kesempatan krusial justru dilanggar. Peran media sebagai pihak yang dapat memberi informasi pada peringatan dini masih diabaikan. Sedangkan dramatisasi menjadi “rutinitas” media dalam menghadirkan citra bencana. Mengenai hal ini, rahayu (Polysemia, edisi 3 juli 2006) memberikan pendapat pentingnya media untuk merancang lebih serius pemberitaan seputar bencana. Bahkan jika diperlukan diberikan space waktu khusus untuk membahas perihal kualitas pemberitaan seputar berita bencana. Hal ini diperlukan untuk menghindari kontroversi-kontroversi lain ketika media menghadapi situasi bencana. Yang demikian tidak lain agar dimasa yang akan datang, khalayak tidak lagi dirugikan dengan pemberitaan bencana. Media dengan segala kepentingannya sudah seharusnya menomorsatukan publik dengan mengindahkan kaidah jurnalisme bencana dalam setiap pemberitaannya. F. Definisi Operasional 1. Mengukur Performa Media dalam Situasi Bencana Salah satu langkah awal dalam melakukan penelitian analisis isi adalah dengan menentukan unit analisis. Krippendorf dalam Eriyanto mendefinisikan unit analisis sebagai apa yang diobservasi, dicatat dan dianggap sebagai data, memisahkan menurut batas-batasnya dan mengidentifikasi untuk analisis berikutnya.
35
Unit analisis secara sederhana bisa digambarkan sebagai bagian
apa dari isi yang kita teliti dan kita pakai untuk menyimpulkan isi dari suatu teks. Bagian dari isi itu bisa berupa kata, kalimat, foto, scene (potongan adegan), paragraf, dan sebagainya. Bagian-bagian itu harus terpisah dan bisa dibedakan dengan unit yang lain, dan menjadi dasar kita sebagai peneliti untuk melakukan pencatatan. Pada penelitian ini, peneliti akan menggunakan unit analisis performa media McQuail yang dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan dalam 35
Ibid. Hal. 60
29
membaca berita bencana. Penjelasan dari masing-masing unit analisis itu adalah sebagai berikut :
a. Unit Analisis Performa Media Untuk unit analisis performa media, peneliti akan mengukur substansi dari kualitas pemberitaan televisi dalam mewartakan berita bencana. Alat ukur yang digunaka alat ukur yang digunakan yakni menggunakan pendekatan performa media Denis McQuail. Tidak lain karena McQuail memetakan media ke dalam tiga spektrum yang luas, yakni level makro, meso, dan mikro. Pemikiran Denis McQuail yang dituangkan dalam bukunya Media Performances (1992) dan disarikan oleh Rahayu (2005) diantaranya sebagai berikut : 1. Factualness factualness dapat dipahami sebagai derajat kefaktualan sebuah berita. Derajat kefaktualan sebuah berita sangat erat kaitannya dengan korespondensi anatara berita dengan fakta atau antara teks dengan realitas yang terjadi. Pada dasarnya, sebuah berita harus berkorespondensi dengan realitas yang ingin disampaikan oleh jurnalis. semakin tinggi korespondensi antara berita terhadap realitas maka semakin faktual berita tersebut. Selanjutnya, untuk mengukur korespondensi antara berita dengan fakta, penelitian ini akan menggunakan empat indikator utama, yaitu Main Point, nilai informasi, readability, dan checkability. Untuk mengukur factualness atau derajat kefaktualan suatu berita, pertama-tama harus ditentukan terlebih dahulu elemen tekstual dalam suatu teks yang disebut sebagai fakta. Salah satu caranya adalah dengan membagi seluruh teks menjadi unit-unit analisis yang masing-masing mengandung sebuah pernyataan faktual (atau referensi) atau dengan cara menentukan sebuah Main Point dari sebuah rangkaian “cerita” dalam berita.36 Penelitian ini pada akhirnya 36
Rahayu Op.cit. Hal.12
30
menggunakan cara kedua karena menentukan sebuah Main Point lebih mudah daripada membagi-bagi teks menjadi unit-unit analisis yang masing-masing mengandung sebuah pernyataan faktual. Setelah menentukan Main Point, elemen-elemen teks tersebut harus dipilah berdasarkan jenisnya, apakah fakta, opini, ataukah campuran antara keduanya.
37
Di sini satu hal yang menjadi penting adalah apakah Main Point
suatu berita berupa fakta yang benar-benar terjadi ataukah hanya berupa opini wartawan semata? Dalam penelitian ini, Main Point diukur berdasarkan letak dan jenisnya. Letak Main Point antara lain di awal, di tengah, di akhir, dan di awal-akhir teks berita. Perbedaan letak Main Point ini dimaksudkan untuk melihat bagaimana wartawan bekerja dengan berdasarkan prinsip-prinsip jurnalistik dalam penyajian sebuah berita, yakni dengan menggunakan susunan piradima terbalik. Oleh karena itu, penilaian positif hanya diberikan kepada berita yang memiliki Main Point di bagian awal teks berita. Selain menentukan Main Point dan jenisnya, penting pula dilakukan pengukuran nilai informasi (information value) sebuah berita. Pengukuran nilai informasi penting untuk mengetahui derajat informativeness sebuah berita dengan asumsi informasi dapat mengurangi ketidakpastian. Artinya, semakin tinggi nilai informasi yang dikandung sebuah berita maka semakin rendah tingkat ketidakpastiannya. Semakin rendah tingkat ketidakpastian sebuah berita maka semakin tinggi tingkat factualness berita tersebut. 38 Dalam penelitian ini, nilai informasi sebuah berita diukur berdasarkan tiga hal yaitu density, breadth, dan depth. Secara sederhana density dapat diartikan sebagai kepadatan sebuah informasi (McQuail, 1992: 206). Karena poin yang paling relevan dalam factualness adalah fakta, penelitian ini menggunakan pengertian density sebagai jumlah fakta relevan yang tersaji dalam teks berita.
37
Ibid. Hal. 13.
38
Ibid.
31
Breadth secara sederhana dapat didefinisikan sebagai keluasan informasi. Pengertian breadth adalah jumlah poin yang berbeda sebagai proporsi keseluruhan yang mungkin. Dalam konteks ini, breadth diartikan sebagai keragaman informasi, yakni jumlah perbedaan informasi atau sumber fakta yang tersaji dalam teks berita.39 Sedangkan depth dapat diartikan sebagai kedalaman informasi. Menurut McQuail, Depth adalah jumlah fakta-fakta dan motif-motif yang menyertai dan membantu menerangkan maksud pokok. Dalam penelitian ini, depth ditafsirkan sebagai jumlah fakta yang mendukung sebuah statement utama (Main Point) yang dikemukakan oleh wartawan dalam sebuah teks berita. 40
Pengukuran nilai informasi ini harus mengacu pada poin-poin penting dalam
berita yang telah ditentukan terlebih dahulu (McQuail, 1992 :206). Karena penentuan poin penting dalam penelitian ini adalah dengan cara menentukan Main Point sebuah teks berita, pengukuran nilai informasi harus mengacu pada Main Point tersebut.
Gambar 1. 2 Komponen Aspek Factualness Sumber : Diadaptasi dari McQuail (1992) dalam Rahayu (2005 : 13)
Selain Main Point dan nilai informasi, factualness dapat dilihat dari dimensi readability. Secara sederhana readability dapat diartikan sebagai kekayaan informasi. Pengukuran kekayaan informasi sangat berkebalikan dengan kebalikannya,
yaitu
pengukuran
redudansi. 41
Dalam
aspek
readability,
factualness diukur berdasarkan banyaknya redudansi yang muncul, baik berupa 39
Ibid. Hal. 14
40
Ibid. Hal. 14
41
Ibid.
32
pengulangan atau penggunaan istilah khusus dalam teks berita. Dalam penelitian ini, readability diukur berdasarkan tiga ada atau tidak pengulangan kalimat atau parafrasa pada setiap newscast berita. Pengulangan berita selain menimbulkan inefisiensi dalam pemberitaan sehingga memicu penonton untuk mencapai titik jenuh. Pengulangan berita yang berlebihan justru dapat menimbulkan kebingungan bagi khalayak. Terakhir, factualness dapat pula diukur dengan checkability. Checkability adalah derajat atau tingkatan sejauh mana fakta yang ditampilkan dapat diperiksa atau didukung oleh sumber yang bernama, dan bukti-bukti pendukung yang relevan.42 Semakin tinggi proporsi fakta yang dapat diverifikasi maka semakin faktual berita tersebut. Checkability dapat diukur berdasarkan dua faktor, pertama ada atau tidak sumber-sumber rujukan yang jelas. Di sini, sumber rujukan yang jelas maksudnya adalah wartean harus mencantumkan narasumber yang relevan dalam menyajikan sebuah berita. Sebuah berita yang tidak didukung oleh sumber fakta yang jelas akan sangat sulit diverifikasi kebenarannya. Kedua, ada tidaknya menggunakan sumber anonim. Pemakaian sumber fakta yang anonim akan menyulitkan proses verifikasi sebuah fakta walaupun dari sisi etika jurnalistik dalam kasus tertentu, seorang wartawan berhak untuk
menyembunyikan
identitas narasumber demi keamanan yang bersangkutan. 2. Accuracy Akurasi merupakan dimensi yang sangat penting bagi sebuah media, khususnya berita televisi. Dalam melaksanakan pekerjaannya wartawan harus memiliki sebuah kehati-hatian yang sangat tinggi mengingat berita berpotensi memberi dampak yang luas dalam masyarakat. Selain berkaitan dengan potensi dampak dari berita bagi masyarakat, akurasi dari pemberitaan juga berkorelasi terhadap reputasi dari media itu sendiri. 42
Ibid. Hal.15
33
Menurut Denis McQuail, terdapat beberapa alasan alasan mengapa akurasi berita menjadi penting
setidaknya berkaitan dengan beberapa hal.
Pertama, akurasi menunjukkan kualitas dari berita. Kedua, akurasi sangat penting bagi subjek berita di mana reputasi dan kepentingannya dipertaruhkan oleh pemberitaan. Ketiga, akurasi juga penting bagi surat kabar yang bersangkutan karena berkaitan dengan kredibilitas media tersebut di mata khalayak.43 Akurasi diukur dengan menggunakan beberapa dimensi, antara lain verifikasi terhadap fakta, relevansi sumber berita, dan akurasi penyajian.
Gambar 1. 3 Komponen Aspek Akurasi Sumber : Diolah dari McQuail (1992) dalam Rahayu (2006 : 16)
Verifikasi terhadap fakta menyangkut sejauh mana berita yang ditampilkan berkorespondensi dengan fakta yang benar-benar terjadi di lapangan.44 Dalam penelitian ini, verifikasi terhadap fakta diukur berdasarkan tiga elemen. Pertama, ada atau tidak ada cek dan ricek yang dilakukan oleh wartawan yang bersangkutan terhadap berita yang ditulisnya. Cek dan ricek harus dilakukan oleh wartawan agar berita yang disajikan kepada khalayak. Kedua, ada tidaknya kelalaian pencantuman sumber berita. Ketiga, ada tidaknya kesalahan dalam pencatuman kutipan data, tanggal, nama institusi, alamat dan info lain yang berkaitan dengan data pendukung dalam berita. 45 Kemudian aspek akurasi dinilai dari relevansi sumber berita. Relevansi sumber berita menyangkut kompetensi sumber berita sebagai sumber fakta. 43
Ibid. Hal. 15
44
Ibid.
45
Ibid. Hal. 16
34
Idealnya, sumber berita adalah orang yang mengalami peristiwa yang bersangkutan (pelaku), saksi peristiwa atau ahli yang menguasi permasalahan yang berkaitan dengan peristiwa yang tersaji. 46 Disajikannya sumber berita yang relevan sangat penting bagi aspek akurasi sebuah pemberitaan sumber berita yang relevan dapat memberikan informasi yang lebih lengkap dan akurat mengenai peristiwa yang dialaminya. Selain itu, sumber berita yang relevan diperlukan untuk melakukan mekanisme cek dan ricek dalam praktik jurnalisme yang lazim. Dalam penelitian ini, relevansi sumber berita diukur berdasarkan ada atau tidak ada sumber berita yang relevan dalam mendukung berita. Disamping meneliti, relevansi sumber berita, penting juga dilakukan pengklasifikasian sumber berita berdasarkan kategori tertentu. Itu penting dilakukan untuk melihat jenis sumber berita apa yang sering dikutip oleh wartawan. Diakui atau tidak, seringkali sumber berita resmi seperti pemerintah dan kepolisian dianggap lebih berbobot daripada pelaku atau saksi peristiwa dalam praktik jurnalisme di Indonesia, terutama di era orde baru. Komponen aspek akurasi yang terakhir adalah akurasi penyajian. Akurasi penyajian lebih berkaitan dengan hal-hal teknis semacam konsistensi penulisan berita, misalnya kesesuaian antara judul dengan isi berita yang disampaikan beserta tingkat kesesuaian gambar atau video yang disajikan. Akurasi penyajian juga bisa disebut sebagai internal accuracy atau akurasi internal antar komponen dalam teks berita.47 Dalam penelitian ini, akurasi penyajian diukur berdasarkan tiga komponen. Pertama, ada atau tidak ada kompetensi penyampaian teknis berita, baik berupa kesesuaian penyampaian berita dengan visulisasi yang terdapat dalam berita. Aspek ini merupakan aspek yang penting untuk menghindari kebingunan pada khalayak. Visualisasi serta narasi yang sesuai akan membuat khalayak lebih mudah memahami substansi dari berita yang disampaikan. Kedua, 46
47
Ibid. Hal. 17 Ibid.
35
kesesuaian antara judul berita dengan isi. Pada tahapan ini akan diukur apakah produk jurnalisme dari stasiun televisi mempunyai kesesuain antara lead berita dengan substansi yang disampaikan. Apakah media yang bersangkutan mempratikkan aspek sensaionalisme dan cenderung bombastis yang dapat menyesatkan khalayak. 48
3.
Completeness (Kelengkapan)
Completeness dapat dipahami sebagai prakondisi untuk memahami sebuah berita secara layak, dan biasanya media menjanjikan completeness , dalam arti informasi yang lengkap mengenai kejadian penting yang terjadi.49 Completeness memiliki dua aspek internal yakni internal completeness, yakni semua fakta penting sebuah cerita dan eksternal completeness, yakni semua cerita penting yang dapat diukur sebagaimana keragaman atau relevance. Selain itu, juga terdapat dimensi ketiga yang relevan yakni cumulative completeness dalam sebuah cerita yang panjang. Media massa sering dikritik karena tidak menyelesaikan cerita dan sebenarnya media juga tidak mempunyai kewajiban tersebut. McQuail mengatakan bahwa tidak ada standar completeness karena di satu sisi melakukan pelaporan secara menyeluruh tidak akan memungkinkan dan tidak diperlukan. Sedangkan pada sisi yang lain, tidak ada informasi mengenai sebuah aspek atau peristiwa tertentu dianggap sedikit. Oleh karena itu, penelitian kali ini hanya akan menilai dari sisi internal completeness, yang sudah memiliki standar baku dalam praktik jurnalistik yakni aspek 5W+1H. 50 Dalam penelitian ini, completeness diukur dengan kelengkapan unsurunsur 5W+1H yaitu, what, when, where, who, why, dan how. Aspek completeness mengukur kesempurnaan laporan dengan mengasumsikan bahwa sejumlah informasi minimum yang relevan diperkukan untuk mendapatkan 48
Ibid. Hal.18
49
Ibid.
50
Ibid.
36
pemahaman berita. Informasi minimum ini meliputi informasi mengenai kejadian atau peristiwa apa yang terjadi (what), kapan berlangsungnya (when), di mana terjadinya (where), siapa sajakah yang terlibat di dalamnya (who, kenapa peristiwa tersebut terjadi (why), dan bagaimana peristiwa tersebut terjadi (how). Kelima unsur ini mempelihatkan prakondisi yang harus dipenuhi dalam penyampaian berita sehingga berita yang disajikan menjadi lengkap dan penuh dengan informasi berkenaan dengan fakta yang coba direkonstruksi. 4. Neutrality (Netralitas) Dalam penyampaian sebuah berita. Dikenal dengan istilah balance. Aspek balance sering dikaitkan dengan posisi seorang jurnalis yang tidak partisan terhadap pihak tertentu (non partisan). Selain aspek balance, khasanah jurnalistik juga mengenal aspek neutrality. Neutrality sering disamakan dengan ketidakberpihakan. Namun, berbeda dengan aspek balance yang bergubungan dengan aspek seleksi dan substansi berita, aspek neutrality berkaitan dengan presentasi berita yang bersangkutan (McQuail, 1992 : 233). Beberapa hal seperti penempatan, keutamaan relatif, headlining, dan pilihan kata merupakan bagian dari dimensi neutrality yang berkaitan dengan penyajian sebuah berita. Secara umum, terlepas dari siapa yang diuntungkan atau dirugikan. 51 Objektivitas mensyarakatkan pemberitaan yang tenang, dingin, terkendali, dan berhati-hati. Dengan ukuran tersebut, semua bentuk sensasionalisme, penggunaan kata-kata yang ambigu, emosionalisme atau “warna” dalam presentasi hanya akan menjauhkan berita dari unsur neutralitas dan objektivitas dalam pemberitaan. Dalam penelitian ini, netralitas hanya dilihat dari aspek pemakaian kata-kata yang dapat menimbulkan sensasionalisme dan emosionalisme.52 Penelitian ini juga akan melihat aspek visualisasi berita di mana setiap tampilan scene akan diukur sejauh mana objektivitas dalam pemberitaan itu dibentuk dan apakah aspek dramatisasi dilakukan dalam pemberitaan. disamping itu, akan juga 51
Ibid. Hal. 24
52
Ibid.
37
disampaikan aspek streotypes, juxtaposition, dan linkages. Pada bab ini, netralitas akan diukur berdasarkan empat aspek, yaitu sensasionalisme, stereotypes, juxtaposition, dan linkage.
Gambar 1. 4 Komponen Aspek Netralitas Sumber : Diolah dari McQuail (1992) dalam Rahayu (2005 : 25)
Sensasionalisme dapat diartikan sebagai sifat suka menimbulkan sensasi.53 Tujuan sensasionalisme adalah untuk menarik perhatian orang lain. Walaupun sensasionalisme dibenarkan dalam bidang lain, misalnya pemasaran atau periklakan yang pada akhirnya ditujuan untuk menarik perhatian konsumen. Akan tetapi, sensasionalisme tidak dibernarkan jika dipratikkan dalam dunia jurnalistik
yang
menekankan
objektivitas
penyajian.
Untuk
mengukur
sensasionalisme sebuah berita, McQuail memberikan tiga indikator. Masingmasing indikator akan diuraikan sebagai berikut. Pertama, ada atau tidak personalisasi. Personalisasi dapat diartikan sebagai pandangan yang melihat individu tertentu sebagai aktor utama ata tunggal yang paling berpengaruh dalam sebuah peristiwa. Dengan kata lain, personalisasi dapat diartikan sebagai pandangan yang mereduksi peristiwa pada individu (person). Personalisasi yang dibangung melalui media massa juga bisa menjurus pada pengkultusan pada individu tertentu (anggapan bahwa seseorang memiliki kelebihan supranaturalan tertentu). 54 Kedua,
sensasionalisme
diukur
berdasarkan
ada
atau
tidaknya
emosionalisme. Emosionalisme dapat diartikan sebagai penonjolan aspek emosi (suka, benci, sendih, gembira, marah, dan sebagainya) dibandingkan dengan 53
Ibid. Hal. 25
54
Ibid.
38
aspek logis rasional dalam penyajian sebuah berita. Walaupun penggunaan sensasionalisme dapat ‘menghidupkan” sebuah berita, aspek netralitas dan objektivitas dalam pemberitaan menuntut sebuah penyajian yang dingin dan terkendali. 55 Ketiga, sensasionalisme diukur berdasarkan ada tidaknya aspek dramatisasi. Dramatisasi dapat dipahami sebagai bentuk penyajian berita yang bersifat hiperbolik dan melebih-lebihkan sebuah fakta degan maksud menimbulkan efek dramatis bagi penontonnya.56 Seperti halnya aspek emosionalisme, aspek dramatis dapat membantu pembaca untuk lebih “mengalami” secara langsung peristiwa yang disajikan. Akan tetapi, objektivitas pemberitaan menuntut sebuah penyajian berita yang hati-hati dan mengambil jarak dengan fakta yang dilaporkan.57 Kemudian stereotype merupakan pemberian atribut tertentu terhadap individu, kelompok atau bangsa tertentu dalam penyajian sebuah berita.58 Stereotype dapat menjadikan individum kelompok, atau bangsa tertentu dalam berita sering dipersepsi dan diperlakukan sesuai dengan atribut yang mereka miliki. Atribut tersebut mungkin memiliki asosiasi yang positif atau negative, tetapi yang jelas tidak pernah bersifat netral sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya. Pengguna stereotype, baik yang bermakna positif maupun negative dalam penyajian sebuah berita dapat mengundang tuduhan keberpihakan wartawan atau media terhadap salah satu kelompok yang ada dalam masyarakat. Secara sederhana, juxtaposition dapat diartikan menyandingkan dua hal yang berbeda. Juxtaposition digunakan oleh wartawan untuk menyandingkan dua fakta yang berbeda dengan maksud untuk menimbulkan efek kontras yang pada akhirnya menambahkan efek dramatis berita yang disampaikan. Dengan 55
Ibid.
56
Ibid.
57
Ibid. Hal. 26
58
Ibid.
39
demikian juxtaposition dapat mengubah atau menggeser pemaknaan dua fakta yang sebenarnya tidak saling berhubungan menjadi sama (berhubungan) secara kontras.59 Linkages adalah menyandingkan dua fakta yang berlainan dengan maksud untuk menimbulkan efek asosiatif. Media sering menghubungkan beberapa hal baik itu aspek yang berbeda dari suatu peristiwa, cerita yang berbeda dari halaman atau media yang sama; atau aktor yang berbeda berhubungan dengan peristiwa yang sama, dsb. 60 Ini bertujuan untuk membangun sebuah kesatuan atau keragaman atau bisa juga untuk membangun mood tertentu. Wartawan menggunakan linkages untuk menghubungkan dua fakta yang sebenarnya berbeda sehingga kedua fakta tersebut dianggap memiliki hubungan sebab akibat. b. Menilai bentuk Sensasionalisme dalam Penyediaan Visual Dalam jurnalisme televis, visual adalah bahasa itu sendiri. Produk jurnalisme yang berkualitas menggunakan penyedia visual sebagai alat komunikasi itu sendiri. Dalam konteks prinsip jurnalisme bencana, praktik sensasionalisme sering ditemui dalam bentuk penyediaan visual. Oleh karena itu, akan dijelaskan jenis-jenis bentuk penyediaan visual beserta pendefinisiannya jika dikaitkan dengan praktik sensasionalisme dalam pemberitaan. Elemen penilaian sensasionalisme dalam aspek visual dibagi dalam dua bagian, yaitu sudut pengambilan gambar (angle) dan ukuran gambar di layar (frame cutting points). Pertama, sudut pengambilan gambar atau angle camera. Secara umum, angle kamera dapat dibagi menjadi lima jenis, yaitu high angle, straight angle, dan low angle. Straight angle menunjukkan makna netral bahkan tidak bermakna. Bila dijelaskan satu per satu, beberapa pola pengambilan gambar dalam jurnalistik televisi beserta maksudnya adalah sebagai berikut 61 : 59
Ibid.
60
Ibid.
61
Askurifai Baksin. 2006. Jurnalistik Televisi : Teori dan Praktik. Bandung. Simbiosa Rekatama
Media.Hal.120
40
1. Bird eye view adalah teknik pengambilan gambar yang dilakukan juru kamera dengan posisi kamera berada di atas ketinggian objek yang direkam. Hasil pengambilan gambar ini memperlihatkan lingkungan yang sangat luas dengan benda-benda lain yang tampak di bawah begitu kecil dan berserakan tanpa makna. Tujuan pengambilan gambar ini untuk menunjukkan objek-objek yang lemah dan tak berdaya. Model pengambilan seperti ini menjadikan penonton seolah measa terlibat dan seolah-olah melihat kondisi yang sebenarnya. 2. High Angle adalah penempatan kamera lebih tinggi daripada objek, efek dramatis yang timbul dari kamera di atas adalah berkurang superioritas subyek
sekaligus
melemahkan
kedudukannya
(dilemahkan
atau
dikerdilkan). 3. Eye level angle adalah pengambilan gambar yang normal di mana kamera mengambil gambar subyek dengan ketinggian normal (sejajar mata dewasa. Biasanya ketinggian kamera adalah setinggi dada orang dewasa. 4. Low angle adalah pengambilan gambar subyek dari bawah yang menampakkan
subyek
mempunyai
kekuatan
dan
menonjolkan
kekuasaannya. Efek dramatis yang kemudian ditambilkan adalah dari dasarmenunjukkan kewibawaan dari objek yang bersangkutan. 5. Frog eye adalah teknik pengambilan gambar yang dilakukan juru kamera dengan ketinggian kamera sejajar dengan dasar (alas) kedudukan objek atau dengan ketinggian yang lebih rendah dari dasar/alas kedudukan objek. Efek dramatis yang ingin disampaikan pada teknik pengambilan gambar ini adalah menunjukkan objek yang ganji, aneh, “kebesaran”, sesuatu yang menarik namun diambil dengan variasi tidak biasanya.
41
Elemen kedua dalam melihat sensasionalisme berkaitan dengan pengambilan ukuran gambar. Lebih lanjut, penjelasan mengenai unit analisis tipe ukuran gambar tersaji dalam berita dapat diklasifikasikan sebagai berikut 62: 1. Extreme Close Up (ECU), adalah model pengambilan gambar dimana objek diperlihatkan begitu dekat. Biasanya memperlihatkan mata, hidung, atau telinganya saja. efek yang ingin dihasilkan dari pengambilan gambar ini adalah menunjukkan detail dari suatu objek. Dalam aspek sensasionalisme, peyediaan visual extreme close up sering terjadi pada penampilan korban ataupun suasana terjadinya bencana. Dalam prinsip jurnalisme bencana, pengambilan extreme close up sudah selayaknya dihindari. 2. Big Close Up (BCU) adalah model pengambilan gambar untuk memperlihatkan keseluruhan wajah dari manusia. Efek yang ingin dihadirkan adalah menunjukkan ekspresi tertentu dari objek. Identik dengan extreme close up, dalam aspek sensasionalisme, peyediaan visual extreme close up sering terjadi pada penampilan korban ataupun suasana terjadinya bencana. 3. Close Up (CU), adalah menampilkan keseluruhan wajah dari manusia. Efek yang ingin disampaikan adalah memberikan gambaran yang jelas mengenai objek. Dalam prinsip jurnalisme bencana, pengambilan gambar close up sudah selayaknya dihindari. 4. Medium Close Up (MCU), adalah menampilkan batas kepala hingga dada atas. Efek yang ingin dihadirkan adalah menampilkan profil dari seseorang. 5. Mid Shot (MS), adalah menampilkan objek hingga memperlihatkan perut bagian bawah. Efek yang ingin ditimbulkan yakni memperlihatkan seseorang dengan sosoknya.
62
Ibid. Hal.125
42
6. Full Shot (FS), adalah memperlihatkan objek manusia hingga terlihat batas kaki. Efek yang ingin dihadirkan adalah memperlihatkan objek dengan lingkungan sekitar. 7. Long Shot (LS), adalah menampilkan objek dengan latar belakang tertentu. Efek yang ingin disampaikan yakni memperlihatkan objek beserta kondisi latar belakang yang ada disekitar. Dalam praktik jurnalisme bencana, penggunaan ukuran gambar Long Shot adalah jenis penyedia visual yang paling ideal terutama jika berkaitan dengan deskripsi bencana ataupun korban.
c. Modifikasi Performa Media Dalam Situasi Bencana Merujuk pada pemikiran McQuail pada sub bab sebelumnya, maka unit analisis tersebut jika dirangkum akan menjurus pada tabel sebagai berikut :
Tabel 1. 3 Unit Analisis Performa Media Dimensi Unit Analisis Factualness
Sub Dimensi Unit Analisis
Letak dan dasar penyusunan main point
Kepadatan, keragaman, dan kedalaman informasi
Readability
Checakbility
Verifikasi terhadap fakta
Relevansi sumber berita
Akurasi Penyajian
Completness
5W+1H
Neutrality
Sensasionalisme
Stereotype
Juxtaposition
Linkage
Accuracy
43
Penelitian kali ini pada hakikatnya ingin mengupas kualitas jurnalisme bencana secara lebih dalam. Maka penggunaan model media performance konvensional dirasa tidak cukup karena tidak akan mampu menangkap fenomena-fenomena yang menjadi ciri khas dalam peliputan jurnalisme bencana. , Amiruddin Dalam tulisan yang berjudul Media Dalam Liputan Bencana, mengungkapkan lima prinsip dasar yang mesti diperhatikan jurnalis saat meliput bencana. Kelima prinsip tersebut adalah akurasi, humanis, mengedepankan prinsip suara korban, memasukkan perspektif kemanusiaan, dan mengungkapkan sisi lain selama masa pemulihan (recovery).63 Pertama, akurasi. Dalam meliput bencana, jurnalis tidak hanya dituntut untuk melaporkan berita secara cepat namun juga secara akurat. Untuk memperoleh akurasi, jurnalis perlu berperan layaknya peneliti, dalam arti jurnalis perlu untuk mengidentifikasi setiap data atau informasi yang diperolehnya (check and re-check). Hal ini dimaksudkan agar berita yang disampaikan dapat dipertangungjawabkan. Untuk mengejar keakurasian berita, narasumber menjadi salah satu faktor yang menentukan karena narasumber yang kompeten tentunya menjamin perolehan informasi yang akurat. Kedua, humanis. Dalam memberitakan bencana, jurnalis harus pula memperhatikan
aspek
manusia
(human
elements).
Jurnalisme
mesti
mengungkap dua hal dalam pemberitaannya, yaitu tentang manusia yang terlibat di dalamnya dan konteks yang melingkupinya. Dalam jurnalisme bencana, pewarta berita harus melindungi korban, kerabat, dan publik yang menjadi sasaran pemberitaannya. Ketiga, prinsip suara korban. Dalam liputan trauma pasca bencana media mestinya mampu mengungkapkan aspirasi para korban. Dalam hal ini, ruang editorial menjadi sarana media untuk menyuarakan aspirasi sekaligus menjadi wujud pembelaan media terhadap korban bencana.
63
Amiruddin. 2007. Media Dalam Liputan Bencana. Suara Merdeka, 26 Januari 2007
44
Keempat, jurnalisme bencana selayaknya mampu meletakkan peristiwa traumatik bencana ke dalam perspektif kemanusiaan yang lebih luas melalui pemberitaannya. Dalam meliput bencana, jurnalis tidak sekedar menempatkan diri sebagai pengumpul fakta yang terkejut sekaligus bangga dengan temuannya yang dia wartakan dalam setiap beritanya. Sudah semestinya jurnalis memikirkan teknik pencarian dan pengolahan berita yang dapat memberikan bingkai kemanusiaan. Dalam konteks ini patut mendapat perhatian tersendiri jika sentuhan kebudayaan setempat perlu dikedepankan sehingga perasaan korban tidak tersakiti. Kelima, jurnalis perlu mengungkapkan sisi lain dari peristiwa bencana atau sisi-sisi lain dari persoalan yang berlangsung di seputar masa pemulihan (recovery), yang kemungkinan luput dari pandangan publik. Informasi lanjutan semacam ini berguna sebagai tindak lanjut dari pemberitaan bencana yang sudah dilakukan media sekaligus memberikan kelengkapan cerita sehingga sebuah liputan tidak melulu berbau hard news. Model berita macam ini juga menjadi sarana informasi bagi publik untuk memberikan kejelasan dalam bersikap dan bertindak. Model pemberitaan in depth report atau reportase investigasi menjadi model yang dapat menerjemahkan advokasi terhadap korban bencana. Berdasarkan pada pemikiran tersebut, maka dibutuhkan pengombinasian antara media performance McQuail dengan model prinsip jurnalisme bencana Nazaruddin Muzayyin. Dari pendekatan tersebut, maka didapati model unit analisis dalam matriks sebagai berikut :
Tabel 1. 4 Unit Analisis Performa Media Kombinasi Prinsip Jurnalisme Bencana
Dimensi Unit Analisis Faktualitas
Sub Dimensi Unit Analisis
Detil
· Letak dan dasar penyusunan main point · Kepadatan, keragaman, dan kedalaman informasi · Readability
Koding Narasi Koding Narasi Koding Narasi dan
45
Dimensi Unit Analisis
Akurasi Kelengkapan
Netralitas
Sisi Lain Situasi Bencana
Sub Dimensi Unit Analisis
Detil
· 5W+1H · Sensasionalisme (Personalisasi Emosionalisme, Dramatisasi) · Stereotype · Juxtaposition · Linkage
Visual Koding Narasi Koding Narasi Koding Narasi Koding Narasi dan Visual Koding Narasi Koding Narasi & Visual Koding Narasi Koding Narasi Koding Narasi
Pemulihan (recovery)
Koding Narasi
· · ·
Checakbility Verifikasi terhadap fakta Relevansi sumber berita
·
Akurasi Penyajian
G. Metode Penelitian Pada penelitian kali ini, metode yang digunakan adalah metode analisis isi (content analysist). Isitilah analisis isi pertama kali muncul di Kamus Bahasa Inggris Webster apada tahun 1961 dan didefinisikan sebagai berikut : “analysis of the latent content of a body of communicated material material (as a book or film) through classification, tabulation, and evaluation of its key symbols and themes in order to ascertain its meaning and probable effect.”64
Dalam buku yang sama, Krippendorff mengembangkan definisi dari konten analisis sebagai sebuah teknik riset yang digunakan untuk mengambil sebuah kesimpulan yang valid dan dapat direplikasi dari sebuah teks dengan konteks penggunaannya. (content analysis is a research technique for making replicable and valid inferences from text (or other meaningful matter) to the contexts of their use). Maksud dari replikasi dari sebuah teks tidak lain penelitian dengan temuan tertentu bisa diulang dengan menghasilkan temuan yang sama pula. 64
Klaus Krippendorf. 2003. Content Analysis : An Introduction to Its Metodology. London. Sage
Publications. Hal. xvii
46
Hasil-hasil dari analisis isi sepanjang menggunakan bahan dan teknik yang sama menghasilkan temuan yang sama. Temuan yang sama ini berlaku untuk peneliti yang berbeda, waktu yang berbeda dan konteks yang berbeda. Sedangkan menurut Herbert J Gans seperti dikutip oleh Rahayu menyebut analisis ini adalah metode riset yang diaplikasikan untuk menilai pesan dari media. “a content analyst can observe recurring patterns in the news and can find a structure in its content”.65 Sejalan dengan Herbert J Gans, Holsti menjelaskan metode analisis isi merupakan suatu teknik untuk mengambil kesimpulan dengan mengidentifikasi berbagai karakteristik khusus suatu pesan secara objektif, sistematis, dan generalis. Objektif berarti menurut aturan atau prosedur yang apabila dilaksanakan oleh orang lain (peneliti) dapat menghasilkan kesimpulan yang serupa. Sekalipun dalam penelitian menggunakan peran dari manusia (human), tetapi tetap dilakukan pembatasan-pembatasan agar subjektifitas tidak muncul. Sistematis artinya penetapan isi atau kategori dilakukan menurut aturan yang diterapkan secara konsisten, meliputi penjaminan seleksi dan pengodingan data agar tidak bias, dan Generalis artinya temuan penelitian memiliki relevansi teoritis.66 Analisis isi berpretensi untuk melakukan generalisasi. Ini terutama jikalau analisis isi menggunakan sampel. Hasil dari analisis dimaksudkan untuk memberikan gambaran populasi. Sementara itu, Deacon et al. (1995: 115) mendefinisikan metode ini sebagai : research technique for the objective, systematic, and quantitative description of the manifest content of communication. Pada perkembangannya, dalam penelitian analisis isi dikenal metode analisis isi kualitatif. Kehadiran analisis isi kualitatif tidak terlepas dari kritik yang melingkupi analisis isi kuantitatif yang tidak mampu melihat konteks atau aspek
65
Rahayu. 2005. Menyingkap Profesionalisme Surat Kabar di Indonesia. Jakarta. Dewan Pers,
PKMBP, & Dept.Kominfo. Hal. 33 66
Ibid.
47
laten yang melingkupi teks media. Padahal pengolahan yang data murni memanfaatkan kerja computer sangat mungkin mengabaikan aspek laten yang dapat memberikan informasi penting bagi peneliti. 67 Maka dari itu muncullah analisis isi kualitatif yang melakukan analisis terhadap konten media laten dan manifes sekaligus melakukan kuantifikasi frekuensi yang tidak serumit metode kuantitatif. Artinya analisis isi kualitatif mampu melihat kecenderungan isi teks sekaligus memberikan telaah terhadap konteks yang melingkupinya. Seperti yang dijelaskan oleh Bernard Barelson yang mendefinisikan analisis isi sebagai metode yang obyektif, sistematik, dan mendesripsikan secara kuantitatif konten komunikasi yang tampak (manifest).”68 Lebih jauh, Berelson menjelaskan karakter analisis isi kualitatif, yaitu 1. Terdiri dari pernyataan-pernyataan kuantitatif yang masih kasar (rough). 2. Lebih melihat ada atau tidaknya unit kategori yang dicari dalam konten teks ketimbang melihat frekuensi. 3. Sampel yang dibutuhkan lebih sedikit atau lebih sederhana 4. Memiliki perbandingan non-konten yang lebih tinggi untuk melihat maksud komunikator. 5. Memiliki kategorisasi yang tidak sedetail, seformal, dan sesistematis analisis isi kuantitatif karena lebih menitikberatkan pada proses interpretasi. Hal ini berdampak pada lebih rumitnya rancangan riset yang nantinya akan dirancang peneliti. Pendapat
dari
Berelson
diperkaya
oleh
Phillip
Mayring
yang
mengemukakan beberapa konsep penting yang menjadi landasan penting dalam penerapan analisis isi kualitiatif. Pertama, material yang dianalisis dipahami sebagaimana konteks komunikasi yaitu tentang komunikator/transsmiternya, subjek dan latar belakang sosio-kulturalnya, karakteristik tekstual (yang 67
Klaus Krippendorf. 2003..Op.cit. Hal. 19
68
Bernard Berelson. 1952. Analysis Research. New York: Hafner Press. Hal. 18.
48
melingkupi leksikal, sintaksis, dan konteks nonverbal), komunikan/penerima pesan, dan siapa target grupnya. Kedua, coding rules dan pertanyaan yang terkait teori penelitian selanjutnya diturunkan dalam bentuk kategorisasi. Ketiga, walau berbentuk penelitian kualitatif namun peneliti mesti melakukan uji realibilitas dan tidak menutup diri dari analisis berbasis kuantitatif. 2. Objek Penelitian Objek penelitian pada penelitian kali ini adalah berita Breaking News. Dalam hal ini, berita yang dimaksud adalah berita Breaking News yang terdapat dalam dua stasiun televisi berita nasional yaitu Metro TV dan tvOne. Dipilihnya dua stasiun televisi tersebut bukannya tanpa alasan. Berdasarkan data yang dipublikasikan oleh AC Nielsen pada periode November 2010, berita bencana yang hadir di Metro TV dan tvOne merupakan sajian berita yang paling diminati oleh khalayak.
Tabel 1. 5 Perbandingan Rating Berita Metro TV dan tvOne pada periode Erupsi Merapi
Terlihat dalam tabel di atas, program breaking news menjadi salah satu berita spesial yang paling banyak ditonton sekaligus efektif menjangkau penonton berita. Terlihat Breaking News
Metro TV mencapai rating 1,5,
sedangkan Breaking News tvOne mencapai angka 2,0. Angka tersebut juga mendudukkan siaran berita bencana Metro TV dan tvOne melebihi stasiun televisi yang lain. Maka menjadi relevan jika 2 stasiun televisi tersebut dipilih
49
sebagai sampel, mengingat keduanya juga menjadi representasi dari stasiun televisi nasional bergenre berita. Kemudian mengenai pemilihan jumlah objek penelitian, dalam penelitian analisis isi, dikenal beberapa pilihan. Pilihan tersebut pada umumnya didasarkan pada tujuan dari penelitian itu sendiri. Eriyanto (2011 : 102) menjelaskan, setidaknya terdapat 4 alternatif atau konsideran dalam menentukan objek penelitian. Pertama, medium dan periode waktu memakai populasi. Penelitian ini memasukan semua medium dan semua periode waktu. Penelitian dengan menggunakan populasi ini pasti menyertakan isi dengan jumlah yang sangat besar. Karena itu, penelitian dengan menggunakan populasi ini umumnya dilakukan untuk kasus yang spesifik. Kedua, mediumnya memakai populasi, tetapi periode waktunya dibatasi (memakai sampel). Penelitian semacam ini umumnya dilakukan jika peneliti ingin mendalami suatu isu tertentu secara mendalam¸dan tidak ingin melihat dinamika atau trend dari isi. Peneliti mempunyai katerbatasan dalam menjangkau semua isu atau kasus, sehingga membatasi pada isu atau kasus tertentu saja. Periode kasus
kemudian
dibatasi,
dengan
asumsi
kasus
tertentu
sudah
merepresentasikan gejala yang ingin diamati. Ketiga, periode waktu diteliti semua (populasi), tetapi mediumnya yang dibatasi (memakai sampel). Penelitian ini umumnya dilakukan ketika peneliti meneliti suatu kasus dengan periode yang panjang. Peneliti lebih tertarik untuk mengetahui
dinamika
atau
perubahan
isi
sehingga
memilih
untuk
mengikutsertakan semua periode waktu. Tetapi pada saat bersamaan, peneliti membatasi mediumnya. Keempat, baik medium ataupun periode waktu sama-sama memakai sampel. Penelitian umumnya dilakukan jikalau kita meneliti kasus dalam periode yang panjang dan peneliti berhadapan dengan medium yang beragam pula. Peneliti ingin mengetahui trend isi (sehingga harus mengakomodasi periode
50
waktu) dan pada saat bersamaan juga ingin melihat perbedaan isi dari mediumnya. Berdasarkan
pilihan-pilihan
tersebut,
maka
penelitian
ini
akan
menggunakan model pemilihan objek penelitian yang keempat, yaitu mengambil sampel baik untuk medium dan waktunya. Tidak lain karena peneliti dihadapkan pada pemberitaan tentang Bencana Erupsi Gunung Merapi Yogyakarta yang beragam dari segi medium dan mempunyai rentang waktu relatif lama dalam pemberitaannya. Sesuai dengan tujuan awal penelitian, maka sampel waktu akan difokuskan pada berita pada masa terjadinya bencana erupsi Gunung Merapi yaitu pada tanggal 27 Oktober-2 November 2010. Dari pemilihan rentang waktu terjadinya bencana.
Maka objek penelitiandapat dilihat pada tabel sebagai
berikut : Tabel 1. 6 Objek Penelitian Berita Breaking News di Metro TV69
69
Tanggal
Durasi (Dalam Menit)
Judul Berita
27/10/2010
3:23
Pray For Indonesia : Kampung Mbah Maridjan Hancur
27/10/2010
7:55
Pray For Indonesia : Kondisi Pengungsian Memprihatinkan
27/10/2010
7:07
Pray for Indonesia : Penanganan Pasca Letusan dan Informasi Terkini Tentang Korban Erupsi
28/10/2010
9:25
Pray for Indonesia : Terjadi Lagi Letusan Merapi
29/10/2010
5:40
Pray for Indonesia : Letusan Mulai Menurun
30/10/2010
8:02
Merapi Meletus Lagi : Laporan Lalita Ganda Putri
30/10/2010
8:30
Pray for Indonesia : Terjadi Erupsi Pukul 01.00 WIB
30/10/2010
7:38
Merapi Meletus Lagi : Bandara Kembali Dibuka
1/11/2010
13:15
Merapi Meletus Lagi - Gunung Merapi Meletus Lagi
Dokumentasi Siaran Televisi, Komisi Penyiaran Indonesia Pusat.
51
Tabel 1. 7 Objek Penelitian Berita Breaking News di tvOne70 Tanggal Tayang
Durasi (dalam menit)
27/10/2010
7:25
Merapi Meletus : Laporan Pramita Andini, Reporter tvOne
27/10/2010
2:25
Merapi Meletus : Aliran Pengungsi Terus Berlangsung
27/10/2010
10:20
Pascaletusan Merapi : Evakuasi Jenazah Mbah Maridjan
27/10/2010
3:15
Merapi Meletus : Jenazah Mbah Mardijan Tiba di RS dr. Sardjito
28/10/2010
8:30
29/10/2010 1/11/2010
8:48 9:40
1/11.2010
2:35
2/11/2010
7:34
Judul Berita
Merapi Meletus : Laporan Pramita Andini, Reporter tvOne Merapi Meletus : Laporan Balques Manisang Merapi Meletus Lagi : Kronologi Letusan Merapi Merapi Meletus : Warga Lereng Merapi Bosan di Pengungsian Merapi Meletus : Laporan Pramita Andini, Reporter tvOne
3. Teknik Analisis Data Penelitian ini seperti disinggung di awal akan menggunakan analisis isi kualitatif. Analisis isi kualitatif sendiri seperti yang disampaikan oleh Phillp Mayring terbagi ke dalam dua model, yaitu : model deduktif dan induktif. Model deduktif berangkat dari asumsi
terhadap
fenomena penelitian yang
dihubungkan dengan teori-teori pendukung. Teori-teori tersebut nantinya digunakan untuk menentukan unit analisis dan unit kategori dalam penelitian. Bila digambarkan dalam bentuk alur bagan akan muncul penjelasan sebagai berikut :
70
Dokumentasi Siaran Televisi, Komisi Penyiaran Indonesia Pusat.
52
Gambar 1. 5 Alur Bagan Analisis Isi Deduktif71
Sementara itu, untuk model analisis isi induktif berawal dari pemahaman awal terhadap data dasar terkait dengan fenomena yang akan dikaji. Pada model ini, peneliti pada awalnya melakukan pengamatan untuk mengetahui gambaran mengenai objek penelitian. Hasil dari pengamatan ini kemudian menjadi dasar untuk peneliti dalam menentukan unit analisis dan unit kategori. Model induktif pada akhirnya memberikan kesempatan pada peneliti untuk melakukan check dan re-check atau bahkan melakukan perubahan terhadap unit kategori yang sudah dirumuskan. Bila dijelaskan dalam alur bagan akan muncul sebagai berikut :
71
Philip Mayring. 2000. Qualitative Content Analysis :Qualitative Social Research. Volume 1. No.2.
Art. Hal. 11
53
72
Gambar 1. 6 Alur Bagan Analisis Isis Induktif
Penelitian ini berangkat dari fenomena yang diamati oleh peneliti. Maka dari itu penelitian ini menggunakan metode analisis kualitatif melalui model induktif dengan pendekatan directed qualitative dan summative content analysis. Directed qualitative pada dasarnya merupakan inti dari model induktif di mana peneliti akan menjadikan fenomena atau data kasar yang diperolehnya sebagai dasar untuk menyusun unit kategori dan analisis. Sebagai langkah awal, peneliti akan menyaksikan beberapa rekaman liputan yang menjadi objek penelitian. Elemen-elemen yang ada dalam liputan tersebut kemudian diuraikan dan dipecah untuk menjadi unit analisis. Coding
sheet
digunakan untuk melihat performa media televisi dalam
menyajikan berita bencana. Setelah ditentukan masing-masing unit analisis dan kategorinya, maka penilain berikutnya berkaitan dengan bobot penentuan tingkat kualitas berita. Penelitian kali ini pada akhirnya menggunakan skoring skala yang membedakan 72
Ibid. Hal. 12
54
tingkat kategori kualitas dengan selang atau jarak tertentu yang mana jarak antar kategorinya sama. Secara sederhana, tingkat kualitas dari berita di bedakan dalam bentuk skala sebagai berikut : Tabel 1. 8 Skala Pengukur Kualitas Berita Skala Skoring 81-100 % 61-80 % 41-60 % 21-40 % 1-20 %
Kategori Sangat Baik Baik Cukup Buruk Sangat Buruk
4. Pengukuran Pengukuran (measurement) yang dimaksud dalam analisis ini berkaitan dengan definisi operasional yang telah ditentukan (Eriyanto, 2011 : 188). 73 Secara lebih spesifik, pengukuran adalah suatu prosedur kuantifikasi dimana peneliti memberikan angka (simbol) dari suatu objek dengan menggunakan aturan tertentu. Dalam analisis isi, dikenal dua kategori pengukurab. Pengukuran pertama berupa persentase yang dihitung berdasarkan distribusi frekuensi dan pengukoran kedua berdasarkan cross tabulation. Pada penelitian kali ini, peneliti akan memfokuskan pengukuran tabulasi frekuensi dari masing-masing kategori unit analisis. Hal ini dikarenakan penelitian ditujukan untuk menangkap dinamika penyampaian berita bencana dan tidak mengukur tren tertentu dari pemberitaan. Hasil dari tabel frekuensi tersebut, nantinya akan diolah dalam bentuk analisis kualitatif sehingga akan didapat gambaran detail mengenai performa berita bencana di televisi. 5.
73
Teknik Pengambilan Data
Eriyanto. 2011. Analisis Isi : Pengantar Metodologi Untuk Penelitian Ilmu Komunikasi dan Ilmu-
Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta : Prenada Media. Hal 118.
55
Ada dua jenis data yang digunakan dalam penelitian, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer merujuk pada data yang diperoleh langsung oleh peneliti dari sumber data. Sementara data sekunder merupakan data yang diperoleh peneliti dari pihak lainnya, misalnya rekaman video atau sumber pustaka. Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa rekaman liputan program “Breaking News” Metro TV dan tvOne yang didapat dari Perpustakaan Dokumentasi Siaran Komisi Penyiaran Indonesisa Pusat. (KPI Pusat) tentang bencana Merapi pada periode 27 Oktober 2010 hingga 2 November 2010
6. Uji Reliabilitas Salah satu ciri dari analisi ini adalah aspek objektifikas dan Kredibilitas. Terkait dengan aspek objektifitas dalam analisis isi, Eriyanto menjelaskan bahwa ada dua aspek penting yang berkaitan dengan objektifitas, yakni validitas dan reliabilitas. Validitas berkaitan dengan apakah analisisi isi mengukur apa yang benar-benar ingin diukur. Sementara reliabilitas berkaitan dengan apakah analisis isi akan menghasilkan temuan yang sama biarpun dilakukan oleh orang yang berbeda dan waktu yang berbeda.74 Analisis isi disebut reliabel jika menghasilkan temuan yang sama biarpun dilakukan oleh orang (dengan latar belakang dan kecenderungan yang berbeda). Biarpun latar belakang berbeda, temuan dari analisis isi haruslah sama. Hal ini karena analisis isi didasatkan pada penelitian yang objektif, dan menghilangkan bias atau kecenderungan subjektifitas dari peneliti. Untuk menghindari bias pada pengkodingan dan tetap memiliki kredibilitas atau validitas, peneliti dibantu oleh dua orang yang bertindak sebagai pengkoder yang mempunyai minat dengan tema penelitian yang dilakukan oleh peneliti. Hasil dari pengkodingan yang dilakukan pengkoder kemudian dilakukan
74
Ibid. Hal. 260
56
uji reliabilitas yang dilakukan oleh peneliti. Uji reliabilitas dalam statistik digunakan untuk mengetahui kesalahan dalam pengukuran. Reliabilitas merupakan indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur (kategorisasi) dapat dipercaya atau diandalkan bila dipakai lebih dari satu kali untuk mengukur gejala yang sama. Rumus yang dipakai dalam penelitian kali ini menggunakan model yang dikembangkan oleh R.Holsti. Rumus yang dimaksud yaitu :
CR =
2M N1+N2
Keterangan : CR
= Coefficient of reliability (koefisiensi reliabilitas)
M
= jumlah pernyataan yang disetujui oleh pengkoder
N1, N2 = jumlah pernyataan yang diberi kode oleh pengkode dan peneliti
Meskipun belum ada kesepakatan mengenai standar angka reliabilitas yang mutlak, menurut Harold Laswell angka 70-80 % banyak dipilih sebagai jumlah persentase atau kesesuain antara pemberi koding untuk menentukan kelayakan definisi operasional kategori unit analisis.
57