BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Riset audiens ini menjadi kajian yang menarik untuk selalu dikembangkan, karena lingkup kajian audiens tidak hanya sebatas pada kajian ilmu komunikasi media, tetapi juga dapat memberikan kontribusi pada keilmuan yang lainnya. Melalui riset audiens akan dapat meningkatkan jumlah penjualan, dapat digunakan untuk mengukur penerimaan audiens pada tayangan iklan, untuk mengetahui perilaku audiens terhadap suatu tayangan, untuk membantu pengiklan sebelum melakukan media buying, dan yang terakhir melalui riset audiens dapat dijadikan untuk evaluasi dalam pengelolaan media (McQuail, 1997:15). Seperti penelitian yang pernah dilakukan oleh Russell and Puto, yang berjudul Rethinking Television Audience Measures: An Exploration into the Construct of Audience Connectedness. Dalam penelitiannya tersebut Russell dan Puto (1999) berusaha mengembangkan riset audiens dengan mengembangkan konsep audience connectedness yang diaplikasikan untuk melihat keterhubungan audiens terhadap program televisi sebagai media efektif untuk melakukan product placement. Konsep yang dikembangkan oleh Russell dan Puto tersebut diharapkan dapat dijadikan rekomendasi para praktisi yang akan melakukan media buying untuk pemasangan iklan media. Pendekatan yang digunakan adalah kualitatif eksploratif dan telah menemukan proposisi baru dari konsep audience connectedness. Bahwa tingkat keterhubungan (connectedness) audiens terhadap suatu tayangan program televisi dapat terjadi karena adanya keterhubungan karakter yang dimunculkan pada program yang dikonsumsi. Ketika media dan audiens sudah menciptakan connectedness, maka akan memberikan kemudahan pada marketer ataupun advertiser dalam upaya melakukan product placement. Pada akhir penelitian yang dilakukan oleh Russell dan Puto (1999) tersebut merekomendasikan penelitian kedepan dapat memformulasikan komponen yang dapat membentuk audience connectedness. Sehingga dari hasil formulasi tersebut dapat digunakan untuk
1
mengukur tingkat audience connectedness dalam tayangan atau program pada suatu media. Maka dari itu, pada penelitian ini akan melengkapi hasil penelitian sebelumnya untuk berkontribusi pada perkembangan riset audiens. Menurut Mytton (2007: 17), hasil riset audiens menjadi bagian penting untuk pengembangan media dan program media. Bahkan tidak hanya itu, hasil riset audiens dapat dijadikan pula sebagai sumber informasi dalam membantu proses kreatif pembuatan program. Pengembangan kajian penelitian ini tidak hanya sebagai pelengkap
penelitian
sebelumnya.
Penelitian
ini
juga
berusaha
untuk
mengembangkan konsep audience connectedness untuk diaplikasikan di media yang bukan bersifat profit atau komersial untuk menarik para advertiser/marketer. Konsep audience connectedness pada penelitian ini akan diaplikasikan di media komunitas, yang berbentuk radio komunitas. Mengapa peneliti memilih media komunitas bukan komersial untuk dijadikan objek penelitian? Perkembangan radio komunitas di tengah konglomerasi media mainstream di Indonesia menjadi media alternatif bagi sebagian masyarakat dalam mewujudkan demokratisasi media. Namun pertumbuhan radio komunitas di daerah-daerah ini bukan tanpa masalah. Masalah utama adalah ijin penyiaran, hanya terdapat 20% stasiun radio komunitas yang mendapatkan ijin resmi untuk beroperasi. Bahkan di kota Yogyakarta pertumbuhan radio komunitas yang sering menjadi objek penelitian hingga tahun 2011 belum ada yang mengajukan perijinan. Sedangkan jumlah stasiun penyiaran komunitas di Indonesia sendiri tidak ada angka pasti, karena keberadaan radio komunitas yang ada tidak terdokumentasi dengan baik oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Kementrian Komunikasi dan Informasi atau di Jaringan Radio Komunitas Indonesia (JRKI). Pada penelitian ini, peneliti mendapatkan data mengenai radio komunitas dari beberapa sumber. Pada tahun 2003, KPID Jawa Barat mencatat ada 500 stasiun radio komunitas yang beroperasi di seluruh Indonesia. Pada tahun 2005 jumlah stasiun radio komunitas meningkat menjadi 680 dan menurut JRKI jumlah tersebut kembali meningkat menjadi 700 pada tahun 2006. Namun data terakhir yang diperoleh dari JRKI menunjukkan 2
adanya penurunan pada tahun 2009 menjadi hanya 372 stasiun radio yang tercatat (Nugroho, Putri, & Laksmi, 2012). Kemudian yang menjadi tantangan berat pula ketika radio komunitas tersebut sudah berdiri adalah upaya untuk mempertahankan dan menjaga eksistensi di tengah masyarakat. Upaya stasiun radio komunitas tersebut sangat bergantung pada media dan partisipasi masyarakat atau komunitasnya. Yaitu menjaga komitmen partisipasi komunitas atau masyarakat agar tetap konsisten untuk berpartisipasi ataupun terlibat dalam pengelolaan stasiun radio komunitas yang sudah berjalan. Maka dari itu untuk mempertahankan komitmen masyarakat atau anggota komunitas, pengelola radio maupun yang terlibat dalam manajemen program harus dapat menciptakan dan membangun hubungan dengan audiens (audience connectedness). Mengingat apa yang disampaikan oleh Shrum (2003) bahwa dalam melakukan pengembangan media tidak hanya dengan melihat dari berapa banyak audiens yang menggunakan dan mengkonsumsi media tertentu. Lebih dari itu, penting untuk memperhatikan berapa tingkat intensitas keterhubungan audiens terhadap program serta keberadaan media dan bagaimana kontribusi program yang dikonsumsi tersebut memberikan pengaruh pada kehidupan audiens secara personal maupun sosial. Gielgud dalam Mytton (2007: 17) menyatakan tentang tujuan dari dilakukannya riset audiens. Bahwa hasil riset audiens memiliki orientasi untuk memberitahu para pembuat atau produser program tayangan tentang apa yang harus dilakukan. Hal ini yang kemudian menjadikan pandangan Gielgud menjadi perhatian yang menarik bagi para peneliti atau pengamat media. Bahwa hasil penelitian tentang riset audiens akan dapat membantu mereka dalam melakukan kegiatan manajemen untuk mengalokasikan sumber daya yang paling baik untuk dapat memenuhi kewajiban pelayanan kepada masyarakat. Tidak hanya itu, hasil dari riset audiens dapat dijadikan pula sebagai sarana untuk memaksimalkan efektivitas penyebaran informasi melalui program siaran, yang kemudian dapat memberikan kontribusi pada kehidupan audiens.
3
Radio komunitas yang dimaksud pada penelitian ini adalah radio Marsinah FM. Radio ini merupakan satu-satunya radio komunitas yang menaungi komunitas buruh di Indonesia, khususnya pada buruh perempuan. Marsinah FM yang berdiri sejak tahun 2012 ini didirikan oleh Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP) yang berada di PT. Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Cakung Jakarta. Radio komunitas Marsinah FM yang ada sekarang ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada para buruh perempuan tentang hak dan kewajiban buruh, informasi yang mendukung kegiatan buruh, serta diharapkan dapat dijadikan sebagai media hiburan. Dimana audiens sudah menjadikan program-program Marsinah FM sebagai sarana untuk mendapatkan informasi dan media berinteraksi dengan anggota komunitas buruh lainnya sehingga dapat membantu meningkatkan kualitas kehidupan mereka. Fenomena ini sama halnya hubungan antara konsumen dengan merek. Hubungan antara audiens dengan program yang berkelanjutan dari waktu ke waktu, akan dapat menghasilkan perasaan komitmen, keintiman, dan afektif terhadap program (Fournier, 1998). Maka dari itu penting bagi Marsinah FM untuk tetap menjaga hubungan dengan para audiens, agar eksistensi radio komunitas ini tetap terjaga. Tidak hanya itu, pada akhirnya peran dan fungsi Marsinah FM akan dapat dirasakan betul oleh komunitasnya.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan penjelasan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang diajukan adalah: Komponen apa saja yang dapat membentuk audience connectedness pada radio komunitas Marsinah FM dan bagaimana hubungan antara partisipasi di radio dengan komponen audience connectedness pada Marsinah FM?
C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengidentifikasi komponen pembentuk audience connectedness pada radio komunitas Marsinah FM.
4
2. Untuk melakukan analisis terhadap hubungan antara partisipasi audiens di dalam radio dengan komponen audience connectedness pada Marsinah FM.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Akademis Hasil penelitian ini yang mengidentifikasi komponen pembentuk keterhubungan
audiens
(audience
connectedness)
terhadap
media
diharapkan dapat memberikan sumbangan pada kajian riset audiens dalam ilmu komunikasi media dan diharapkan dapat membantu bagi para pengamat kajian komunikasi media dalam mengembangkan kajian tentang pengelolaan/manajemen media yang melibatkan keberadaan audience dalam proses penelitiannya. 2. Manfaat Praktis Hasil dari penelitian ini yang mengidentifikasi komponen pembentuk audience connectedness, diharapkan dapat dijadikan bagi peneliti untuk mengetahui
derajat
tingkat
keterhubungan
audiens
(audience
connectedness) pada radio komunitas, yang pada akhirnya akan dapat membantu pengelola radio dalam menyusun program dan menjaga eksistensi keberadaan radio komunitas itu sendiri.
E. Kerangka Pemikiran Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi dan menjelaskan komponen pembentuk audience connectedness pada radio komunitas Marsinah FM. Upaya untuk mengidentifikasi komponen pembentuk keterhubungan audiens (audience connectedness), peneliti akan mengadopsi teori dan konsep tentang audiens yang berhubungan dengan audience connectedness pada radio komunitas, yang selanjutnya dapat diformulasikan ke dalam dimensi pengukuran secara tepat.
5
1. Keterhubungan Audiens (Audience Connectedness) Menyadari terbatasnya pengukuran dalam riset audiens, Russell dan Puto (1999)
kemudian
berusaha
mengembangkan
konsep
keterhubungan
(connectedness) sebagai pengukuran yang lebih variatif dan dapat digunakan untuk mengukur intensitas keterhubungan antara audiens dengan media. Pada akhirnya akan dapat memberikan evaluasi pada industri media dari sudut pandang audiens dalam proses pengembangan manajemen serta produksi. Tujuan dalam penelitian ini adalah melakukan identifikasi terhadap komponen pembentuk keterhubungan audiens (audience connectedness) pada radio komunitas. Dimana komponen pembentuk tersebut dapat dijadikan instrument untuk mengukur intesitas tingkat keterhubungan audiens (audience connectedness) pada radio komunitas. Pada akhirnya hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi pengelola media dalam merumuskan dan membuat kebijakan dalam pengembangan serta pengelolaan radio komunitas itu sendiri. Keterhubungan audiens (audience connectedness) merupakan intensitas hubungan yang terjadi antara audiens dengan media yang dikembangkan dengan melihat pengalaman serta alasan audiens dalam menggunakan dan mengkonsumsi suatu media sampai memberikan pengaruh pada kehidupan pribadi serta sosialnya. Dari hasil penelitian Russell dan Puto (1999) audiens televisi komersial memiliki keterhubungan dengan media dipengaruhi akibat dari tayangan yang disampaikan tersebut relevan atau memiliki kesamaan dan keterlibatan dengan identitas dirinya. Sementara pada audiens radio komunitas, keterhubungan (connectedness) ini dapat terbentuk
karena
adanya
keterlibatan
langsung
audiens
dalam
proses
penyelenggaraan dan produksi program siaran. Seperti yang disampaikan oleh Girard (2007: 2) dan Wigston (2001: 429), karakteristik khusus yang membedakan radio komunitas adalah komitmen setiap audiens untuk berpartisipasi dan terlibat disemua tingkatan, mulai dari sebagai produser, manajer, direktur, bahkan sebagai pemilik stasiun. Sedangkan pada media komersial, partisipasi audiens hanya terbatas pada program tertentu melalui saluran terbuka. Inilah yang kemudian keterlibatan dan keterhubungan (connectedness) dapat terbentuk dengan sendirinya pada diri audiens yang menjadi bagian dari anggota radio komunitas itu sendiri. 6
Tingginya tingkat keterhubungan audiens (audience connectedness) pada radio komunitas akan muncul apabila keberadaan media dan program yang diproduksi dapat memberikan kontribusi berupa penguatan terhadap identitas diri secara personal ataupun sosial. Serta dapat memberikan kontribusi terhadap kehidupan sehari-hari dari audiens/pendengar. Seperti yang sudah dijelaskan oleh Association of Community Radio Broadcasters (AMARC, 2007), keberadaan stasiun radio komunitas harus mampu menginformasikan, mencerminkan selera komunitas, dan harus dapat membantu menyelesaikan permasalahan kehidupan sehari-hari dari komunitasnya. Selain itu ditegaskan pula oleh Frase dan Estrada (2001: 57) bahwa program siaran berita di radio komunitas dirancang untuk menyenangkan, menghibur dan memberikan pencerahan bagi pendengarnya serta selalu berupaya untuk memfasilitasi perubahan, kemajuan sosial dan kondisi hidup komunitasnya yang lebih baik. Sehingga pendengar akan merasakan kontribusi keberadaan dari radio komunitas secara langsung. Ketika kondisi seperti ini dapat dipenuhi oleh radio komunitas, maka secara tidak langsung akan membentuk keterhubungan antara keberadaan stasiun komunitas tersebut dengan audiensnya. Tidak hanya itu, eksistensi keberadaan stasiun radio komunitas tersebut juga akan dapat dipertahankan di tengah persaingan media mainstream. Kemudian mengapa tingginya tingkat keterhubungan audiens (audience connectedness) pada suatu media ini menjadi bagian penting? Sebab besarnya tingkat keterhubungan (connectedness) pada audiens akan memberikan pengaruh dalam pengolahan dan peningkatan kualitas program media yang akan diproduksi (Russell, Norman, dan Heckler, 2004). Pada penelitian pertama untuk mengembangkan konsep keterhubungan audiens (audience connectedness), Russell dan Puto (1999) melakukan identifikasi pada pola perilaku audiens. Yaitu pola perilaku yang menunjukkan adanya keterhubungan audiens dengan program televisi komersial. Hasil identifikasi yang dilakukan oleh Russell dan Puto (1999) ini meliputi: 1. Self definition, yang mana dibentuk dari konstruksi media yang ditunjukan dalam perilaku audiens untuk mendapatkan pengakuan. 7
Artinya apa yang ditampilkan media menunjukan representasi dari kehidupan audiens. Jadi di sini audiens melakukan identifikasi terhadap dirinya melalui tayangan yang disampaikan oleh media tertentu dan memberikan pengaruh pada kehidupan audiens, karena keberadaan media atau tayangan yang disiarkan tersebut memiliki kesamaan atau relevan dengan kondisi dirinya. Self definition ini diwujudkan dalam bentuk perilaku audiens dengan memberikan pujian (adoration) serta perilaku ketagihan (addiction)
akibat
dari menggunakan dan
mengkonsumsi suatu media. 2. Creative Engagement, dapat terbentuk akibat dari tayangan yang disampaikan oleh media dapat menciptakan emosi tersendiri bagi audiens hingga menimbulkan fantasy pada dirinya. Salah satu fantasy diwujudkan oleh audiens melalui fan fiction yaitu dengan membuat cerita fiksi berdasarkan kisah, karakter atau setting yang ditampilkan dalam tayang program media. Pada kondisi seperti ini terkadang sejumlah audiens sebagai fan fiction menyertakan penulisnya sebagai karakter cerita, namun ada pula yang tidak. Dalam fan fiction tersebut terkadang audiens juga berimajinasi dengan karakter yang ditampilkan. 3. Socialization, bahwa audiens sering kali menggunakan tayangan program yang disiarkan sebagai dasar atau bahan untuk melakukan interaksi sosial. Bahkan beberapa audiens menyatakan faktor utama yang memotivasi mereka menggunakan dan mengkonsumsi media karena mencari pengalaman yang dapat mendekatkan diri dalam berinterkasi dengan teman, keluarga, ataupun kolega. Pada hasil penelitian Russell dan Puto (1999) dijelaskan bahwa audiens akan merasa jadi partisipan pasif terutama pada saat melakukan focus group discussion jika tidak menggunakan ataupun mengkonsumsi program media. 4. Ritualization, kondisi dimana audiens akan mencari kesenangan dengan menggunakan dan mengkonsumsi media, karena hal ini sudah menjadi aktivitas keseharian atau kegiatan ritual audiens. Keterhubungan 8
audiens dalam ritualization ini ditunjukan dengan pengorbanan audiens dalam menggunakan waktunya untuk mengkonsumsi media. Bahkan untuk memenuhi kegiatan ritual ini, mereka rela untuk mengorbankan aktivitas lainnya yang semestinya mereka lakukan. 5. Paraphernalia, ditunjukan dengan kesediaan atau pengorbanan audiens untuk
membeli dan mengoleksi berbagai perlengkapan yang
berhubungan dengan tayangan yang ditampilkan dalam media, ada yang ditunjukan pula dengan membentuk fan club. Namun hasil identifikasi yang dilakukan oleh Russell dan Puto (1999) tersebut tidak bisa dijadikan referensi dalam penelitian ini. Sebab pertama yang paling mendasar adalah secara kontekstual obyek penelitian ini dengan penelitian Russell dan Puto (1999) berbeda. Jika pada penelitian ini obyek penelitian ada pada media komunitas khususnya berbentuk radio. Sedangkan pada penelitian Russell dan Puto obyek penelitian ada pada media komersial. Sehingga jika hasil penelitian Russell dan Puto tersebut dikontekstualisasikan pada penelitian ini tidak bisa, karena karakteristik antara media komersial dengan media komunitas juga berbeda. Perbedaan mendasar antara media komunitas dan media komersial menurut Fraser dan Estrada (2001: 4) adalah bahwa ketika penyiaran komersil dan penyiaran publik memperlakukan pendengar atau audiens sebagai objek, sedangkan radio komunitas memperlakukan mereka (audiens) sebagai subjek dan partisipan. Kemudian perbedaan lain seperti yang dijelaskan oleh Rachmiatie (2007: 43) antara media konvensional dengan media komunitas adalah sebagai berikut.
Tabel 1.1 Perbedaan Media Massa Konvensional dengan Komunitas Unsur-unsur 1. Kepemilikan
Media Massa Media Komunitas Konvensional - Kelompok, negara, - Warga komunitas perorangan 9
2. Tujuan Sasaran
dan - Informasi, hiburan, - Informasi, pendidikan, pendidikan dan bimbingan/guidance, kepentingan hiburan tetapi tidak komersial/bisnis. komersial/mencari laba - Khalayak luas, publik - Komunitas yang bersifat sasaran, khusus, klien terbatas. 3. Konten/Isi - Aneka informasi, bersifat - Informasi yang terpilih universal, menyentuh sesuai dengan kondisi dan kepentingan berbagai kepentingan komunitas segmentasi khalayak - Isi dirancang oleh - Isi dirancang oleh lembaga media bersama lembaga media anggota komunitas 4. Karaktersitik - Disiarkan/distribusi - Penyiaran/distribusi Operasional secara luas terbatas - Cenderung satu arah - Bersifat interaktif - Feedback cenderung - Feedback cenderung tertunda langsung - Sistem operasioanl rumit - Sistem lebih sederhana dan mahal dan murah 5. Pengawasan - Bergantung pada sistem - Anggota komunitas dan dan negara, bisa pemerintah, perwakilan yang ditunjuk Pertanggung pasar/konsumen, atau oleh warga jawaban komisis dewan khusus Sumber: Rachmiatie (2007) Alasan yang kedua adalah fokus penelitian yang berbeda, dimana Russell dan Puto memfokuskan penelitian pada identifikasi pola perilaku yang menunjukkan adanya keterhubungan pemirsa televisi. Artinya di sini Russell dan Puto (1999) memfokuskan penelitiannya pada tindakan yang dilakukan viewer atau audience yang dapat menggambarkan konsep keterhubungan audiens (audience connectedness). Sementara pada penelitian ini memfokuskan pada komponen yang membentuk terjadinya keterhubungan audiens (audience connectedness) pada radio komunitas. Pada identifikasi komponen yang membentuk keterhubungan audiens (audience connectedness) pada radio komunitas yang diperlukan adalah melakukan identifikasi terhadap kebutuhan (needs) dan kepentingan (interests) audiens dalam menggunakan dan mengkonsumsi radio komunitas tersebut. Identifikasi kebutuhan (needs) dan kepentingan (interests) dari pendengar radio komunitas ini menjadi bagian penting. Hal ini dikarenakan pada prinsipnya radio komunitas dibentuk atas dasar memenuhi kebutuhan komunitasnya dan untuk 10
menyuarakan kepentingan komunitas yang sering kali dibungkamkan oleh kaum elit. Jadi ketika stasiun radio komunitas itu mampu memenuhi kebutuhan dan menyuarakan kepentingan komunitasnya bukan tidak mungkin akan membentuk keterhubungan audiens (audience connectedness). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Tavhiso (2009) tentang Sustainability Challenges Facing Community Radio dijelaskan pula bahwa keberadaan stasiun radio komunitas akan tetap bisa bertahan apabila stasiun radio mampu membangun hubungan dengan para pendengar/audiens dengan menyajikan program-program yang sesuai dengan kebutuhan (needs) dan kepentingan (interests) komunitasnya. Sebab keterhubungan audiens pada radio komunitas ini dapat terbentuk ketika ada kebutuhan dan kepentingan pendengar/audiens dapat dipuaskan atau dipenuhi oleh media komunitasnya. Penjelasan lain dari Broadcasting Commission of Ireland (BCI), bahwa keberadaan radio komunitas sebagai stasiun komunitas, dimana kepemilikan dan pemrograman di bawah kewenangan masyarakat yang menjadi bagian dari komunitas dan pemrograman yang diproduksi harus merefleksikan kepentingan (interests) dan kebutuhan (needs) pendengar/audiens yang menjadi bagian dari komunitas tersebut
agar dapat
menciptakan hubungan dengan anggota
komunitasnya. Simmering and Fairbairn (2007: 10) juga menjelaskan bahwa stasiun radio komunitas yang merupakan akar rumput kelompok masyarakat, keberadaannya harus dapat melayani kebutuhan (needs) dan juga kepentingan (interests) dari kelompok komunitasnya agar dapat menciptakan keterhubungan diantara keduanya. Yaitu keterhubungan antara radio komunitas dengan kelompok komunitas. Seperti beberapa penjelasan sebelumnya tentang radio komunitas, The Canadian Radio-Television and Telecommunications Commission (CRTC) juga memberikan penjelasan bahwa dalam mendirikan radio komunitas, programprogram yang diproduksi harus bisa merefleksikan kebutuhan dan kepentingan dari komunitas (Price-Davies dan Tacchi, 2001). Sehingga di sini upaya untuk melakukan identifikasi terhadap komponen pembentuk keterhubungan audiens (audience connectedness) adalah dengan 11
mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan audiens dalam menggunakan radio komunitas dan juga identifikasi kepentingan seperti apa yang ingin dicapai dengan adanya radio komunitas. Proses identifikasi kebutuhan (needs) dari audiens yang menggunakan radio komunitas inilah yang kemudian menjadikan peneliti untuk mengadopsi teori uses and gratification dan konsep kepentingan pada radio komunitas dari McQuail. Tentunya ini merupakan dukungan dari Russell, Norman, dan Heckler (2004), yang menyarankan bahwa dalam melakukan identifikasi pembentuk keterhubungan audies, peneliti dapat mengadopsi teori uses and gratification. Teori tersebut yang melihat sudut pandang kajian komunikasi dari sisi audiens dapat digunakan untuk mengidentifikasi kebutuhan yang mendorong audiens sebagai individu dalam menggunakan media dan menjadi terhubung dengan media tertentu. Pada konsep kebutuhan pada penelitian ini didefinisikan sebagai
2. Uses and Gratification dalam Radio Komunitas Dalam teori uses and gratifications, yang dicetuskan oleh Elihu Katz, Michel Gurevitch, dan Hadassa Hass, mengasumsikan audiens sebagai individu mempunyai kebutuhan-kebutuhan dan keinginan-keinginan yang dapat dipenuhi dengan menggunakan media massa, baik itu didapat melalui berlangganan, membaca, menonton, atau mendengarkan (West and Turner, 2010). Pada teori Uses and Gratification yang menjadi permasalahan utama bukanlah bagaimana media mengubah sikap dan perilaku audiens, tetapi bagaimana media memenuhi kebutuhan pribadi dan sosial audiens. Jadi dalam teori ini penekanan ada pada audiens sebagai individu aktif yang sengaja menggunakan media untuk mencapai tujun tertentu (Effendi, 2003: 289). Dalam konteks radio komunitas pun audiens ditempatkan sebagai audiens aktif. Audiens aktif yang dimaksud adalah aktif dalam berpartisipasi penyelenggaraan radio komunitas, baik itu dalam pemrograman, manajemen, dan juga pembiayaan stasiun radio. Ketika sekelompok audiens yang menjadi bagian dari anggota radio komunitas tersebut bersikap aktif dalam penyelenggaraan, maka akan dapat membentuk rasa memiliki dan terhubung akan keberadaan media komunitas tersebut (Wigston, 2001: 430). 12
Bagi audiens, rasa memiliki dan terhubung dengan keberadaan radio komunitas ini dapat terbentuk karena adanya kebutuhan (needs) serta kepuasan (gratification) yang diperoleh pada saat menggunakan dan mengkonsumsi program yang diproduksi. Seperti yang dijelaskan dalam teori uses and gratification bahwa audiens memilih menggunakan media tertentu didasari dengan adanya motif atau dorongan atas kebutuhan yang ingin dipuaskan dengan mengkonsumsi media tertentu. Tokoh dari pencetus teori uses and gratification Katz, Gurevitch, and Haas (1973) dalam West and Turner (2010) merumuskan alasan audiens menggunakan media karena adanya kebutuhan (needs) yang ingin dipenuhi, yaitu keterhubungan dengan orang lain (connection with others) dan keterpisahan dengan orang lain (separation from others). Dari dua kategori kebutuhan tersebut selanjutnya dapat diidentifikasi dengan melakukan penelitian kepada audiens yang mencakup aspek pencarian informasi (acquiring information or knowledge), kesenangan (pleasure), status, memperkuat hubungan (strengthening relationships), dan pelarian diri (escape). Sedangkan Rubin (1981) dalam West and Turner (2010) merumuskan sembilan kategori alasan audiens dalam menggunakan televisi, yaitu meliputi untuk menghabiskan waktu luang (to pass time), untuk menciptakan hubungan pertemanan (for companionship), untuk mendapatkan kesenangan (excitement), untuk melepaskan diri (escape), untuk mendapatkan kenikmatan (enjoyment), sebagai sarana interaksi sosial (social interaction), untuk relaksasi diri (relaxation), untuk mendapatkan informasi (information), dan untuk belajar tentang konten tertentu (to learn about a specific content). Namun demikian banyak kritik yang muncul pada teori uses and gratification. Teori uses and gratification yang melihat motif penggunaan media dari sisi psikologis audiens saja tidak cukup. Sebab di sini dalam proses memilih untuk menggunakan media terkadang audiens dipengaruhi oleh aspek sosial dan ini seringkali diabaikan untuk dijadikan pertimbangan dalam melakukan penelitian. Kritik ini juga disampaikan oleh Elliott dalam Ruggerio (2000), teori uses and gratification yang berfokus pada konsumsi audiens terhadap media ini terlalu bersifat individualistik. Sehingga akan sulit untuk menjelaskan alasan audiens 13
dalam mempertimbangkan implikasi sosial dari penggunaan media yang dikonsumsi. Kritik lainnya, masih adanya ketidakjelasan antara konsep sentral seperti latar belakang sosial dan psikologis, kebutuhan, motif, perilaku, dan konsekuensinya (Severin and Tankard, dalam Ruggerio, 2000). Maka dari itu dalam jurnal Uses and Gratifications Theory in the 21st Century yang ditulis oleh Thomas Ruggerio (2000) berusaha menjelaskan tentang perkembangan dan membangun kembali teori uses and gratification. Sebab menurut Linn, teori uses and gratification merupakan salah satu teori yang paling berpengaruh dalam bidang penelitian komunikasi. Selain itu, kekuatan utama dari teori uses and gratification adalah kemampuannya untuk memungkinkan peneliti dalam menyelidiki situasi komunikasi, yang dapat dilihat dari beberapa kebutuhan psikologis, motif psikologis, saluran komunikasi, dan isi komunikasi (Ruggerio, 2000). Upaya untuk membangun teori uses and gratification ini, Samuels (dalam Ruggerio, 2000) menyarankan, sebaiknya kebutuhan fisiologis dan psikologis seperti aktualisasi diri, kebutuhan kognitif (seperti rasa ingin tahu), kebutuhan estetika, dan pengalaman individu dalam menggunakan media, dapat dijadikan pertimbangan
dalam
mengidentifikasi
faktor
yang
mendorong
individu
menggunakan media tertentu. Sedangkan Lull (1995) menambahkan bahwa seseorang menggunakan media tertentu dikarenakan adanya kebutuhan yang ingin dipenuhi yang dipengaruhi oleh budaya. Pengaruh budaya ini didasarkan pada pengalaman sosial budaya individu dalam kehidupan di lingkungannya. Dari sini kemudian Thomas Ruggerio melakukan identifikasi alasan audiens dalam menggunakan media, yang tidak hanya terfokus pada alasan yang merujuk pada kondisi psikologis individu, tetapi juga dengan mempertimbangkan latar belakang sosial dari individu sebagai audiens. Berikut faktor-faktor yang mendorong audiens menggunakan media tertentu menurut Ruggerio (2000), yang meliputi: 1. Motivasi menggunakan media karena pengalihan (diversion), yaitu motivasi yang mendorong individu menggunakan media karena sebagai 14
pelarian dari rutinitas atau pelepasan emosi yang sedang dialami, untuk mendapatkan kesenangan. 2. Motivasi menggunakan media karena keperluan sosial (social utility), bahwa yang memotivasi audiens menggunakan media karena adanya keinginan untuk berhubungan dengan keluarga, teman, dan masyarakat. 3. Motivasi menggunakan media karena identitas pribadi (personal identity), bahwa audiens menggunakan media karena adanya dorongan untuk aktualisasi diri, memperkuat sikap, keyakinan, dan nilai-nilai yang dianut dalam lingkungan kelompoknya. 4. Motivasi menggunakan media karena pengawasan (surveillance), bahwa audiens menggunakan media tertentu karena adanya kebutuhan yang ingin dipenuhi, yaitu untuk belajar tentang satu komunitas, mencari tahu tentang peristiwa yang relevan dengan kondisi lingkungannya dan masyarakat, ataupun urusan politik yang sedang terjadi di lingkungannya. Namun di sini yang menjadi kekurangan dalam identifikasi yang dilakukan oleh Thomas Ruggerio adalah tidak memasukkan kebutuhan kogntif (cognitive) sebagai faktor yang mendorong audiens menggunakan media. Padahal kebutuhan kognitif menjadi masukan dari Samuels (1984) dalam melakukan identifikasi alasan audiens menggunakan media. Maka dari itu di sini peneliti akan menambahkan kebutuhan kognitif sebagai motif audiens dalam menggunakan media. Merujuk pula dari hasil identifikasi Ardianto dan Erdiyana (2005), yang menjadikan kebutuhan kognitif sebagai kebutuhan individu dalam penggunaan media. Kebutuhan akan pengetahuan (cognitive) ini didasarkan pada keinginan untuk memahami dan menguasai lingkungan, bahwa individu menggunakan media karena adanya kebutuhan mencari informasi, pengetahuan, dan juga pemahaman. Pada penelitian ini akan merujuk pada identifikasi penggunaan media yang telah dirumuskan oleh Ruggerio (2000), karena jika merujuk pada pendapat Katz, Gurevitch, and Haas (1973) dan Rubin (1981), alasan audiens menggunakan media cenderung dari sudut pandang personal. Sementara ini menjadi titik kekurangan 15
yang dikritik untuk pengembangan teori uses and gratification. Sehingga penelitian ini akan merujuk pada identifikasi yang dilakukan oleh Ruggerio (2000) yang telah menggabungkan alasan personal dan latar belakang sosial dari alasan audiens menggunakan media. Selain itu, peneliti juga akan menambahkan kebutuhan akan pengetahuan (cognitive) yang di sarankan oleh Samuels (1984) serta Ardianto dan Erdiyana (2005). Namun demikian identifikasi alasan audiens menggunakan media yang dirumuskan oleh Thomas Ruggerio serta Ardianto dan Erdiyana tersebut tidak mengklasifikasikan secara jelas jenis media apa yang diteliti. Apakah masuk dalam kategori media komersial, publik, atau komunitas. Maka dari itu peneliti akan mengulas empat alasan audiens menggunakan media yang dirumuskan oleh Ruggerio tersebut dengan mengkontekstualisasikan dalam penggunaan radio komunitas. Adapun kebutuhan (needs) audiens sebagai individu yang dapat membentuk keterhubungan (connectedness) dengan radio komunitas adalah sebagai berikut: 1. Kebutuhan akan pengalihan Bahwa audiens menggunakan media sebagai sarana pelarian diri dari segala rutinitas, bersantai, mengisi waktu luang, dan meluapkan emosi sehingga akan mendapatkan kesenangan. Merujuk pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Herawati, Listiorini, dan Manurung (2005) yang melakukan identifikasi motif audiens menggunakan radio komunitas ditunjukkan salah satu alasan audiens memilih mengkonsumsi program siaran di media tersebut karena untuk melepaskan emosi dari segala aktivitas yang telah dilakukan. Apalagi jika audiens yang merupakan bagian dari anggota radio komunitas tersebut berada di lingkungan yang penuh dengan tekanan. Maka bukan tidak mungkin keberadaan radio komunitas akan membantunya dalam melepaskan segala kepenatan dengan meluapkan segala emosi, yang dapat disuarakan melalui program interaktif. Yaitu program yang menjadi andalan atau ciri khas dari radio komunitas. 2. Kebutuhan akan keperluan sosial 16
Dimana audiens menggunakan media karena adanya keinginan untuk melaksanakan tugas sosial, membantu dalam melakukan hubungan dengan keluarga, teman, dan masyarakat, mencari bahan pembicaraan dalam melakukan interaksi sosial. Radio komunitas yang menempatkan audiens sebagai individu aktif untuk berpartisipasi terlibat dalam pengelolaan dan penyelenggaraan program radio, maka di sini akan terjadi proses interaksi antara audiens yang satu dengan yang lainnya untuk membantu dalam proses produksi program. Hal ini ditunjukkan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Tembo (2010) yang berjudul Using Community Radio to Enhance Rural Development: A Case Study of Radio Chikaya. Salah satu yang mendorong audiens untuk memilih menggunakan radio komunitas Chikaya adalah karena adanya keinginan untuk melakukan hubungan sosial (social relationship). Mengingat radio komunitas yang menyajikan informasi lebih bersifat interaktif dengan keterlibatan khalayak sasaran dalam aktivitas on air dan off air yang cukup tinggi, semakin memicu audiens untuk termotivasi menggunakan radio komunitas. Kebutuhan akan keperluan sosial inilah yang kemudian dapat menciptakan keterhubungan antara audiens dengan radio komunitas. 3. Kebutuhan akan identitas personal Bahwa audiens menggunakan media karena adanya dorongan untuk aktualisasi diri, memperkuat sikap, keyakinan, dan nilai-nilai yang dianut dalam lingkungan kelompoknya. Motif audiens ini sejalan dengan prinsip radio komunitas yang kehadirannya memang bertujuan untuk menjaga identitas lokal komunitasnya (Herawati, Listiorini, dan Manurung, 2005). Pada dasarnya setiap diri individu memiliki keinginan untuk beraktualisasi diri. Melalui radio komunitas, audiens yang merupakan bagian dari anggota komunitas, aktualisasi diri ini sangat mungkin untuk dilakukan dengan menjadi volunteer dalam proses penyelenggaraan program, yang mana secara tidak langsung akan mendapat pengakuan dari masyarakat atau lingkungan komunitasnya 17
(List, 2002: 81). Kegiatan aktualisasi diri ini dapat diperlihatkan dengan menunjukkan kemampuannya di bidang penyiaran (broadcasting), penulisan berita jurnalistik, foto jurnalistik, dan lain sebagainnya. Ketika stasiun radio komunitas mampu memberikan kesempatan kepada para audiens yang notabennya sebagai pengelola media untuk terlibat dan mengaktualisasikan diri, maka dari sini akan membantu media dalam membentuk keterhubungan dengan audiens. 4. Kebutuhan akan monitoring kondisi lingkungan Audiens menggunakan media tertentu karena adanya kebutuhan yang ingin dipenuhi, yaitu untuk mendapatkan solusi dari permasalahan yang dialami, belajar lebih dalam tentang komunitas tertentu, mencari tahu tentang peristiwa yang relevan dengan kondisi lingkungannya dan memperoleh rasa aman akan urusan politik yang sedang terjadi di lingkungannya. Dalam kebutuhan akan monitoring kondisi lingkungan, menurut Ruggerio (2000) audiens memiliki kebutuhan untuk belajar akan komunitasnya. Hal ini sangat sejalan dengan keberadaan radio komunitas, bahwa melalui stasiun komunitas yang didirikan bersama dari komunitas, oleh komunitas, dan untuk komunitas akan memberikan kemudahan bagi audiens dalam mempelajari lingkungan komunitasnya sendiri. Selain itu dengan menggunakan radio komunitas, akan memudahkan audiens dalam memenuhi kebutuhan yang relevan, baik secara personal ataupun sosial. Kemudian dengan adanya radio komunitas, masyarakat yang merupakan bagian dari anggota stasiun komunitas tersebut dapat secara mudah mendapatkan informasi politik ataupun pemerintahan yang memberikan pengaruh pada kehidupannya. Hal ini tentunya selaras dengan keberadaan radio komunitas yang notabennya didirikan untuk menyuarakan kepentingan komunitas (AMARC, 2007). 5. Kebutuhan akan pengetahuan Kebutuhan ini didasarkan pada keinginan untuk memahami dan menguasai lingkungan, bahwa individu menggunakan media karena 18
adanya kebutuhan mencari informasi, pengetahuan, dan juga pemahaman.
Radio
komunitas
didirikan
untuk
menyediakan
pemrograman yang dapat membantu dalam pengembangan dan kemajuan sosial masyarakat atau komunitasnya (Fraser and Estrada, 2001: 4 dan Girard, 2007: 1). Ini yang kemudian stasiun komunitas perlu menciptakan program yang dapat mencerdaskan komunitasnya, dengan memberikan informasi yang relevan dengan kondisi yang dibutuhkan. Selain itu, radio komunitas juga perlu menghasilkan pemrograman yang memiliki kemiringan khusus pada dunia pendidikan yang dimaksudkan untuk dapat mendukung perubahan dan pembangunan di lingkungan komunitas atau masyarakatnya. Ketika kebutuhan akan pengetahuan ini dapat diberikan oleh radio komunitas kepada audiens-nya, maka bukan tidak mungkin keterhubungan audiens (audience connectedness) dapat terbentuk. Dalam penelitian ini, teori uses and gratification akan dijadikan sebagai landasan teori dalam melakukan identifikasi komponen pembentuk keterhubungan audiens (audience connectedness) pada radio komunitas. Alasan peneliti mengadopsi uses and gratification karena teori ini melihat sudut pandang audiens sebagai individu yang aktif. Pada kondisi ini, individu sebagai audiens bersikap aktif dalam memutuskan media mana yang akan digunakan untuk memenuhi keinginan atau kebutuhan (wants or needs) yang ingin dipuaskan. Kemudian dalam konsep audience connectedness, posisi audiens juga sebagai audiens aktif dalam menggunakan media yang relevan dengan diri personal ataupun sosial dari audiens (Russell and Puto, 1999). Audiens memutuskan memilih menggunakan media tertentu ini bukan tanpa alasan, terdapat kebutuhan yang mendorongnya untuk menggunakan media tertentu. Pada akhirnya proses menggunakan dan mengkonsumsi media tersebut akan membentuk keterhubungan antara dirinya (audiens) dengan keberadaan media itu sendiri. Jadi di sini makna kebutuhan penggunaan media yang akan dijadikan konsep untuk mengidentifikasi komponen pembentuk audience connectedness lebih bersifat individual. Hal ini mengingat 19
teori yang digunakan untuk identifikasi kebutuhan penggunaan media adalah teori uses and gratification. Dimana teori tersebut memang melihat sudut pandang kebutuhan penggunaan media dari sisi audiens sebagai individu. Jadi pada titik inilah teori uses and gratification diadopsi dalam melakukan identifikasi komponen yang membentuk keterhubungan audiens (audience connectedness) dari sudut pandang audiens sebagai individu. Selain alasan tersebut, dalam penelitian yang berjudul The Consumption of Television Programming: Development and Validation of the Connectedness Scale, Russell, Norman, and Heckler (2004) menyarankan untuk mengadopsi teori uses and gratification dalam melakukan
identifikasi
keterhubungan audiens
komponen (audience
yang
dapat
connectedness)
membentuk dengan
terjadinya
media.
Sebab
keterhubungan audiens ini dapat terjadi karena adanya kebutuhan yang ingin dipenuhi dengan media tertentu dan keberadaan media tersebut sesuai dengan kondisi diri audiens baik secara personal ataupun sosial.
3. Kepentingan (Interests) Pada Radio Komunitas Selain konsep kebutuhan (needs) yang akan dijadikan identifikasi terhadap komponen pembentuk keterhubungan audiens (audience connectedness) pada radio komunitas, peneliti juga akan menggunakan konsep kepentingan (interests). Jika konsep kebutuhan pada penelitian ini lebih bersifat individual. Sedangkan konsep kepentingan (interests) pada penelitian ini lebih bersifat kolektif. Mengapa pada konsep kepentingan (interests) lebih bersifat kolektif? Hal ini dikarenakan pada konsep kepentingan lebih melihat audiens radio komunitas sebagai sekelompok komunitas yang berkumpul mendirikan stasiun komunitas dalam rangka mencapai tujuan politis untuk mencapai visi komunitas. Misalnya adalah penguatan eksistensi komunitas yang selama ini dianggap sebagai kelompok minoritas dalam masyarakat terhadap kelompok dominan (McQuail, dalam Masduki, 2005). Selain itu, pada prinsipnya stasiun media komunitas didirikan salah satunya adalah karena adanya kesadaran kolektif dari suatu kelompok komunitas untuk mendukung kepentingan dalam rangka mencapai tujuan tertentu (Masduki, 2004). 20
Maka dari itu radio komunitas hadir adalah untuk melayani dan mendukung kepentingan komunitas. Mengingat kembali bahwa berdirinya radio komunitas yang didasarkan pada asas demokrasi, bahwa didirikan oleh komunitas, dari komunitas, dan untuk komunitas, maka dalam pelaksanaannya keberadaan radio komunitas harus mampu dijadikan sebagai media yang mendukung kepentingan komunitas. Hal ini pun ditegaskan dalam Undang-Undang Penyiaran No. 32 Tahun 2002, bahwa lembaga penyiaran komunitas merupakan lembaga penyiaran yang berbentuk badan hukum Indonesia, didirikan oleh komunitas tertentu, bersifat independen, dan tidak komersil, dengan daya pancar rendah, luas jangkauan terbatas, serta untuk melayani kepentingan komunitasnya Ketika konsep kepentingan komunitas menjadi unsur penting dalam mendukung keberadaan radio komunitas, maka secara tidak langsung konsep ini dapat dijadikan sebagai bahan dalam melakukan identifikasi komponen pembentuk keterhubungan audiens (audience connectedness) pada radio komunitas. Jika sebuah stasiun radio komunitas mampu mempromosikan kepentingan masyarakat, dan mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam pemilihan dan pemberian pemrograman maka akan dapat menciptakan hubungan kedekatan antara masyarakat dengan keberadaan stasiun radio itu sendiri (Open Society Foundation, 1999; Fraser dan Estrada, 2001: 4; dan Girard, 2007: 1). Kemudian kepentingan masyarakat yang seperti apa yang wajib dipenuhi oleh stasiun radio komunitas? Ditegaskan oleh Denis McQuail (dalam Masduki, 2005: 146) keberadaan stasiun radio komunitas tidak sekedar sebagai media pemberi informasi, tetapi harus mampu mendukung dan menyampaikan apa yang menjadi kepentingan komunitasnya. Kepentingan yang ada di dalam radio komunitas dapat dipenuhi dengan (1) memberikan pelayanan informasi isu-isu universal, tidak sektoral dan primordial, (2) pengembangan budaya interaksi yang pluralistik, (3) penguatan eksistensi kelompok minoritas dalam masyarakat, misalnya dengan mendukung apa yang menjadi kepentingan komunitasnya, (4) bentuk fasilitas atas proses menyelesaikan masalah menurut cara pandang lokal. Ketika hal tersebut mampu dipenuhi atau dikerjakan oleh stasiun radio komunitas, maka akan membantu 21
keberadaan radio komunitas tersebut dalam mempertahankan hubungan dengan pendengarnya. F. Kerangka Konsep Penelitian Berdasarkan pada kerangka pemikiran yang sudah dijelaskan sebelumnya, maka dibutuhkan indikator kerangka konsep penelitian. Indikator kerangka konsep penelitian ini digunakan untuk menyusun arah dan desain penelitian. Selain itu, indikator konsep penelitian juga akan dijadikan sebagai acuan dalam menyusun instrument penelitian. Adapun indikator yang akan dijadikan sebagai elemen dalam melakukan identifikasi komponen pembentuk audience connectedness pada radio komunitas Marsinah FM adalah sebagai berikut: 1. Kebutuhan (needs) Konsep kebutuhan (needs) adalah tujuan individu untuk memenuhi apa yang menjadi keinginannya yang dapat memberikan kontribusi pada dirinya (Irenees, 2011). Sementara pada penelitian ini konsep kebutuhan tersebut dimaknai sebagai tujuan yang ingin dicapai oleh individu sebagai audiens media untuk memenuhi apa yang menjadi keinginannya sehingga dapat mendukung atau berkontribusi bagi kehidupannya. Sehingga dari sini kebutuhan (needs) dikonseptualisasikan sebagai komponen pembentuk keterhubungan audiens dengan radio komunitas Marsinah FM yang lebih bersifat individual. Dimana dengan adanya kebutuhan dalam penggunaan radio komunitas inilah yang kemudian dapat menciptakan keterhubungan antara pendengar sebagai individu dengan keberadaan stasiun radio komunitas
tersebut.
Adapun
beberapa
kebutuhan
(needs)
audiens/pendengar dalam menggunakan radio komunitas Marsinah FM adalah sebagai berikut: a) Kebutuhan
akan
pengalihan,
dikonseptualisasikan
sebagai
komponen pembentuk keterhubungan audiens/pendengar yang bersifat individual terhadap radio komunitas Marsinah FM yang disebabkan adanya kebutuhan untuk melepaskan diri dari segala rutinitas, bersantai, mengisi waktu luang, dan meluapkan emosi 22
yang dapat dipenuhi dengan menggunakan dan mengkonsumsi, serta mengikuti kegiatan off air yang diselenggarakan radio komunitas tersebut. b) Kebutuhan akan keperluan sosial, dikonseptualisasikan sebagai komponen pembentuk keterhubungan audiens/pendengar yang bersifat individual terhadap radio komunitas Marsinah FM yang disebabkan adanya kebutuhan untuk melaksanakan tugas sosial, membantu dalam melakukan hubungan dengan keluarga, teman, dan masyarakat, mencari bahan pembicaraan dalam melakukan interaksi sosial yang ada pada diri pendengar, yang dapat dipenuhi dengan menggunakan dan mengkonsumsi radio komunitas Marsinah FM tersebut. c) Kebutuhan akan identitas diri, dikonseptualisasikan sebagai komponen pembentuk keterhubungan audiens/pendengar yang bersifat individual terhadap radio komunitas Marsinah FM yang disebabkan adanya kebutuhan untuk aktualisasi diri, memperkuat sikap, memperkuat nilai personal, dan mengidentifikasi diri dengan kelompok lain yang dapat dipenuhi dengan menggunakan radio komunitasnya. d) Kebutuhan
akan
monitoring
kondisi
lingkungan,
dikonseptualisasikan sebagai komponen pembentuk keterhubungan audiens/pendengar
yang
bersifat
individual
terhadap
radio
komunitas Marsinah FM yang disebabkan adanya kebutuhan untuk melakukan pemantauan atas yang dilakukan perusahaan, belajar lebih dalam tentang komunitasnya, mencari tahu tentang peristiwa yang relevan dengan kondisi lingkungannya dan memperoleh rasa aman akan urusan politik yang sedang terjadi dan memberikan pengaruh di lingkungannya dengan menggunakan radio komunitas. e) Kebutuhan
akan
pengetahuan,
dikonseptualisasikan
sebagai
komponen pembentuk keterhubungan audiens/pendengar yang bersifat individual terhadap radio komunitas Marsinah FM yang 23
disebabkan
adanya
kebutuhan
untuk
mencari
informasi,
pengetahuan, dan juga pemahaman yang dapat dipenuhi dengan menggunakan radio komunitas. 2. Kepentingan (Interests) Konsep kepentingan (interests) dimaknai sebagai tujuan dari suatu kelompok untuk mencapai keinginan bersama yang di dalamnya memiliki unsur politis (Schmitter, 2006). Pada penelitian ini, kepentingan (interests) dikonseptualisasikan sebagai komponen pembentuk keterhubungan audiens (audience connectedness) pada Marsinah FM yang memiliki unsur politis dan bersifat kolektif yang disebabkan keberadaan stasiun radio komunitas tersebut dapat dijadikan sarana untuk mendukung apa yang menjadi keinginan komunitas. Yaitu keinginan dalam menyuarakan perlawanan kepada para pengusaha di PT. Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Cakung Jakarta dan juga menyuarakan perlawanan kepada pemerintah. Pada penelitian ini yaitu untuk mendukung dan menyuarakan Kesejahteraan dan Kesetaraan kaum buruh. Dimana dengan kemampuan Marsinah FM untuk dijadikan media dalam mendukung kepentingan buruh perempuan yang tergabung di dalam Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP) inilah yang kemudian dapat membentuk keterhubungan (connectedness) antara pendengar dengan keberadaan stasiun radio komunitas tersebut.
G. Model Analisis Berdasarkan penjelasan kerangka konsep di atas, maka peneliti merumuskan model analisis pada penelitian ini adalah sebagai berikut Bagan 1.1 Model Analisa Penelitian Kebutuhan akan pengalihan Kebutuhan akan keperluan sosial Kebutuhan akan identitas diri
Kebutuhan akan monitoring kondisi lingkungan Kebutuhan akan pengetahuan
Komponen Pembentuk Audience Connectedness pada 24 Radio Komunitas
H. Definisi Operasional Komponen pembentuk audience connectedness pada penelitian sebagai variabel bebas atau variabel independen. Dimana dioperasionalisasikan sebagai skor pernyataan responden atas komponen yang membentuk keterhubungan antara dirinya dengan keberadaan radio komunitas Marsinah FM. Untuk mengidentifikasi komponen pembentuk audience connectedness peneliti merujuk pada dua komponen penting yang perlu diperhatikan oleh radio komunitas dalam membangun hubungan dengan anggota komunitasnya atau pendengarnya dengan merujuk pada Tavhiso (2009) dan Broadcasting Commission of Ireland (BCI), yang meliputi pemenuhan kebutuhan (needs) dan menyuarakan kepentingan (interests). Untuk mengidentifikasi pemenuhan kebutuhan (needs) dalam penggunaan media, peneliti mengadopsi teori uses and gratification dengan merujuk pada Samuels (1984), Ruggerio (2000), serta Ardianto dan Erdiyana (2005). Sedangkan untuk mengidentifikasi komponen kepentingan (interests) akan merujuk dari McQuail (dalam Masduki, 2005). Tabel 1.2 Kategori Komponen Pembentuk Audience Connectedness Dimensi Kebutuhan (Needs)
Item Kebutuhan akan pengalihan
Kebutuhan akan keperluan sosial
1. 2. 3. 4. 1.
Indikator melepaskan diri dari segala rutinitas untuk bersantai untuk mengisi waktu luang untuk meluapkan emosi kebutuhan untuk melaksanakan tugas sosial
Skala Likert
Likert
25
Kebutuhan akan identitas diri
Kebutuhan akan monitoring kondisi lingkungan
Kebutuhan akan pengetahuan
Kepentingan (Interests)
Kepentingan dalam menyuarakan perlawanan
2. membantu dalam melakukan hubungan dengan keluarga, teman, dan masyarakat 3. membantu mencari bahan pembicaraan dalam melakukan interaksi sosial 1. untuk memperkuat identitas diri 2. kebutuhan untuk aktualisasi diri 3. untuk memperkuat sikap dan nilai personal 4. untuk mengidentifikasi diri dengan kelompok lain 1. kebutuhan untuk melakukan pemantauan atas yang dilakukan perusahaan 2. untuk belajar lebih dalam tentang komunitasnya 3. mencari tahu tentang peristiwa yang relevan dengan kondisi lingkungannya 4. memperoleh rasa aman akan urusan politik yang mempengaruhi lingkungannya 1. kebutuhan untuk mencari informasi 2. untuk mencari pengetahuan 3. untuk memperoleh pemahaman 1. kepentingan untuk menyampaikan perlawanan kepada para pemilik pabrik. 2. kepentingan untuk menyuarakan perlawanan kepada pemerintah
Likert
Likert
Likert
Likert
Untuk membantu dan menganalisis data mengenai indikator atas jawaban yang diberikan responden tentang komponen pembentuk keterhubungan audiens (audience connectedness) terhadap radio Marsinah FM maka dibuat sistem skoring di dalam kuesionernya. Sistem skoring tersebut diukur dengan menggunakan skala likert. Melalui skala likert diharapkan peneliti dapat mengetahui derajat persetujuan atau ketidak setujuan terhadap masing-masing serangkaian pernyataan yang ada di 26
dalam kuesioner (Malhotra, 2005: 298). Skala likert dalam penelitian ini terdapat lima alternatif jawaban yaitu: sangat setuju, setuju, ragu-ragu, tidak setuju dan sangat tidak setuju. Pada penelitian ini, tiap alternatif jawaban diberi skor dengan penilaian nilai sebagai berikut: a. Sangat Setuju (SS)
mendapat skor 4
b. Setuju (S)
mendapat skor 3
c. Ragu-ragu (RR)
mendapat skor 2
d. Tidak Setuju (TS)
mendapat skor 1
e. Sangat Tidak Setuju (STS)
mendapat skor 0
Sedangkan untuk mengetahui hubungan antara partisipasi responden di radio terhadap komponen keterhubungan audiens (audience connectedness), maka akan dilakukan dengan menggunakan uji chi square. Beberapa data yang menunjukkan partisipasi responden di radio yang akan digunakan untuk uji hubungan dengan komponen pembentuk keterhubungan audiens (audience connectedness), meliputi lama responden bergabung di FBLP, keterlibatan responden dalam pendirian radio Marsinah FM, posisi responden dalam pengelolaan Marsinah FM, keaktifan responden dalam berpartisipasi dengan radio Marsinah FM, keaktifan responden dalam mendengarkan siaran Marsinah FM, dan kesediaan responden dalam meluangkan waktu untuk mengkonsumsi informasi Marsinah FM. I.
Hipotesis Penelitian Dari operasionalisasi konsep di atas selain menguji komponen pembentuk
audience connectedness, juga akan dilakukan pengujian terhadap relasi atau hubungan antara partisipasi responden di radio dengan komponen pembentuk audience connectedness. Adapun hipotesis penelitian yang diajukan adalah sebagai berikut: Hipotesis 1 H0
: tidak terdapat hubungan antara lama bergabung di FBLP dengan keterhubungan audiens pada radio Marsinah FM
Ha
: terdapat hubungan antara lama bergabung di FBLP dengan keterhubungan audiens pada radio Marsinah FM 27
Hipotesis 2 H0
: tidak terdapat hubungan antara keterlibatan dalam pendirian radio dengan keterhubungan audiens pada Marsinah FM
Ha
: terdapat hubungan antara keterlibatan dalam pendirian radio dengan keterhubungan audiens pada Marsinah FM
Hipotesis 3 H0
: tidak terdapat hubungan antara posisi responden dalam pengelolaan radio dengan keterhubungan audiens pada Marsinah FM
Ha
: terdapat hubungan antara posisi responden dalam pengelolaan radio dengan keterhubungan audiens pada Marsinah FM
Hipotesis 4 H0
: tidak terdapat hubungan antara keaktifan responden berpartisipasi di dalam radio dengan keterhubungan audiens pada Marsinah FM
Ha
: terdapat hubungan antara keaktifan responden berpartisipasi di dalam radio dengan keterhubungan audiens pada Marsinah FM
Hipotesis 5 H0
: tidak terdapat hubungan antara keaktifan responden mendengarkan radio setiap harinya dengan keterhubungan audiens pada Marsinah FM
Ha
: terdapat hubungan antara keaktifan responden mendengarkan radio setiap harinya dengan keterhubungan audiens pada Marsinah FM
Hipotesis 6 H0
: tidak terdapat hubungan antara kesediaan responden dalam meluangkan waktu khusus untuk menikmati radio dengan keterhubungan audiens pada Marsinah FM
Ha
: terdapat hubungan antara kesediaan responden dalam meluangkan waktu khusus untuk menikmati radio dengan keterhubungan audiens pada Marsinah FM
J.
Metodologi Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
kuantitatif, dengan paradigma positivistik. Metode yang digunakan adalah metode 28
riset survei, yaitu dengan menggunakan kuesioner sebagai instrumen pengumpulan datanya. Tujuan penggunaan metode survei dalam penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi dari sejumlah responden tentang apa yang membentuk dirinya menjadi terhubung dengan radio Marsinah FM. Jenis survei yang digunakan adalah survei deskriptif, dimana peneliti bermaksud untuk menjelaskan terjadinya gejala
sosial tentang komponen yang
membentuk terjadinya
audience
connectedness pada radio komunitas Marsinah FM yang dilengkapi dengan data statistik. Pada akhirnya akan diketahui komponen pembentuk audience connectedness pada radio komunitas. Selanjutnya setelah diketahui komponen pembentuk audience connectedness akan dilakukan uji hubungan antara partisipasi responden di radio dengan komponen pembentuk keterhubungan audiens (audience connectedness) pada radio komunitas Marsinah FM. 1. Populasi dan Sample Penelitian Populasi pada penelitian ini adalah seluruh anggota Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP) di PT. Kawasan Berikat Nusantara (KBN) yang berada di kawasan daerah Cakung Jakarta Utara. Dimana seluruh anggota FBLP tersebut berstatus sebagai anggota radio komunitas buruh perempuan Marsinah FM. Jumlah total anggota FBLP pada tahun 2014 yang akan menjadi populasi penelitian ini sebanyak 300 orang anggota buruh perempuan. Sedangkan teknik sampling yang digunakan adalah dengan purposive sampling. Dimana peneliti memberikan kriteria terhadap pendengar Marsinah FM yang akan dijadikan responden. Jumlah sample penelitian ini ditetapkan dengan menggunakan rumus slovin (Kriyantono, 2006).
Keterangan: n
= ukuran sampel
N
= ukuran populasi
e
= kelonggaran pengambilan sampel yang dapat ditolelir, (1%, 2%, 3%, 4%, 5%, atau 10%), mengingat ini sebuah penelitian sosial, 29
maka dalam penelitian ini digunakan kelonggaran ketidaktelitian sebesar 5%. 300
n=
1 + (300 x 0,05²) 300
n=
1 + 0,75 171,42 dibulatkan menjadi 171
n=
Dari perhitungan dengan menggunakan rumus slovin, diketahui jumlah sample pada penelitian ini sebanyak 171. Langkah selanjutnya adalah penentuan kriteria responden. Adapun responden yang dipilih adalah mereka yang terdaftar sebagai anggota aktif FBLP dan mendengarkan Marsinah FM serta berada pada rentan usia 19 sampai 39 tahun. Hal ini dikarenakan pada usia 19 sampai 39 tahun adalah usia produktif potensial dari manusia.
2. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini data yang digunakan dan diperoleh melalui beberapa sumber yaitu :
1. Data Primer Adalah data yang diperoleh secara langsung oleh peneliti melalui kuesioner. 2. Data Sekunder Adalah data yang diperoleh peneliti untuk menghimpun informasi yang dapat mendukung dalam memformulasikan komponen-komponen pembentuk audience connectedness pada radio komunitas Marsinah FM. Adapun data sekunder yang digunakan oleh peneliti meliputi buku, jurnal, dan dokumentasi dari pengelola Marsinah FM.
3. Uji Validitas dan Reliabilitas Uji validitas digunakan untuk mengukur akurasi instrument atau alat pengukuran, sehingga akan diketahui sejauh mana perbedaan antar skor dari hasil 30
observasi menunjukan perbedaan yang sebenarnya antar objek atau responden pada karakteristik yang di ukur. Sedangkan uji reliabilitas pada penelitian ini digunakan untuk mengetahui kredibilitas indikator yang diajukan melalui kuesioner, tentang seberapa jauh suatu indikator konsisten (tidak berubah) dan dapat digunakan dalam penelitian (Rahayu, 2008: 67). Untuk meguji tingkat konsistensi dari setiap item pertanyaan penelitian, maka peneliti melakukan pengujian melalui nilai alpha cronbach yang digunakan untuk melihat angka korelasi. Sebuah item pertanyaan dikatakan memiliki tingkat konsistensi apabila skor corrected item-total correlation lebih besar dari skor r-tabel. Pada penelitian ini terdapat 42 pertanyaan, maka nilai degree of freedom (df) adalah 34-2 yaitu 32. Jika nilai df 32 maka skor r-tabel dengan significant 0,05 adalah 0,225. Berikut adalah data dari hasil uji validitas dan reliabilitas kuesioner yang diujikan kepada 30 responden. Tabel 1.3 Hasil Uji Validitas Pertanyaan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27
Koefisien Korelasi ® 0,580 0,621 0,632 0,804 0,765 0,831 0,766 0,855 0,830 0,842 0,900 0,836 0,850 0,883 0,894 0,707 0,758 0,704 0,645 0,607 0,616 0,682 0,703 0,651 0,441 0,733 0,622
Keterangan Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid 31
28 29 30 31 32 33 34
0,689 0,705 0,902 0,864 0,772 0,857 0,885
Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid
Sumber: Data dari hasil olah peneliti
4. Teknik Analisis Data Merujuk pada De Vaus (2004), teknik analisis data yang akan digunakan dalam penelitian ini meliputi statistik deskriptif dan teknik multivariate. a. Statistik Deskripstif Statistik deskriptif digunakan untuk menggambarkan peristiwa, perilaku atau objek tertentu lainnya. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yang pertama adalah distribusi frekuensi yang akan digunakan untuk melakukan analisis profil responden dan data dari hasil kuesioner. Selain itu peneliti akan menggunakan analisis crosstabs untuk mengetahui keterhubungan antara berbagai pertanyaan dalam kuesioner yang dapat mendukung dalam analisis hasil penelitian. Serta analisis chi square untuk mengetahui hubungan dari beberapa data responden dengan komponen keterhubungan audiens (audience connectedness). b. Teknik Multivariate Teknik multivariate yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah analisis faktor yaitu metode analisis tentang penemuan dimensi baru yang digambarkan melalui pengumpulan variabel-variabel yang mendasari penelitian. Analisis faktor digunakan untuk mengetahui indikator-indikator apa yang dominan yang menjadi komponen pembentuk audience connectedness pada radio Marsinah FM. 5. Limitasi Penelitian Pada penelitian ini hanya terpusat pada satu variabel penelitian saja, yaitu komponen pembentuk audience connectedness. Mengingat konsep dari audience connectedness yang masih terbatas, maka upaya peneliti untuk mengidentifikasi 32
komponen pembentuk audience connectedness pada radio komunitas hanya didasarkan pada konsep-konsep dari teori uses and gratification dari Ruggerio (2000) serta Ardianto dan Erdiyana (2005) dan kepentingan dari Mc.Quail (dalam Masduki, 2005).
33
34