BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Bhineka Tunggal Ika merupakan ideologi Negara Indonesia yang secara eksplisit
mengakui adanya perbedaan budaya, adat istiadat, suku bangsa dan agama. Ideologi ini memiliki makna mendalam dalam menentukan karakter Negara Indonesia sebagai masyarakat plurar dan toleran. Berdasarkan dari pengertian Bhineka Tunggal Ika, maka Indonesia merupakan Negara kesatuan yang mengakui keaslian identitas daerah masing – masing dengan tetap memiliki satu jiwa yang sama. Pengakuan pemerintah Indonesia akan identitas daerah tersebut tertuang dalam kebijakan otonomi daerah. Kebijakan mengenai otonomi daerah telah ada pada masa pemerintahan Soeharto (Orde Baru). Hal ini dibuktikan dengan terbitnya Undang-undang No. 5 Tahun 1974. Undang-undang ini meletakkan dasar-dasar sistem hubungan pusat-daerah yang dirangkum dalam tiga prinsip; Desentralisasi, Dekonsentrasi, dan Tugas Pembantuan. UU No. 5 Tahun 1974 adalah suatu komitmen politik, namun dalam prakteknya yang terjadi adalah sentralisasi yang dominan dalam perencanaan maupun implementasi pembangunan Indonesia. Salah satu fenomena paling menonjol dari pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1974 ini adalah ketergantungan Pemerintah daerah (Pemda) yang relatif tinggi terhadap pemerintah pusat. Di sisi yang lain, pemerintah Orde Baru memobilisasi isu Suku Ras Agama dan Antar golongan (SARA) untuk mengendalikan masyarakat melalui bahasa dan etnisitas. Sepanjang masa berkuasanya pemerintah Orde baru, Negara berusaha menyeragamkan perbedaan – perbedaan budaya demi kepentingan “ pembangunan nasional” (misalnya, demi mempromosikan pariwisata). Jadi, ada ruang bagi perbedaan – perbedaan etnis asalkan tak membahayakan ‘kepentingan nasional’ (Maunati, 2006:2). Klimaks dari besarnya kesenjangan antara beberapa daerah terutama di luar jawa dengan pusat adalah jatuhnya rezim orde baru pada tahun 1998. Upaya serius untuk melakukan desentralisasi di Indonesia pada masa reformasi dimulai di tengah-tengah krisis
1
2
yang melanda Asia. Pemerintahan Habibie yang memerintah setelah jatuhnya rezim Soeharto harus menghadapi tantangan untuk mempertahankan integritas nasional. Pada masa ini, pemerintahan Habibie memberlakukan dasar hukum desentralisasi yang baru untuk menggantikan Undang-Undang No. 5 Tahun 1974, yaitu dengan memberlakukan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dalam pelaksanaan otonomi daerah, pemerintah di daerah berwenang untuk menyelenggarakan semua urusan yang diserahkan oleh pemerintah pusat, dengan prinsip negara kesatuan artinya tidak bertentangan dengan kebijaksanaan pemerintah pusat. Tetapi dari beberapa kewenangan tersebut pemerintah pusat menarik beberapa kewenangan kembali untuk di urusi oleh pemerintah pusat, diantaranya kewenangan tentang bidang pertanahan, industri, dan perdagangan serta sebagian kewenangan bidang kesehatan dan pendidikan. Semua penarikan kewenangan tersebut diantaranya diawali dengan adanya UU sektoral, Peraturan Pemerintah (PP), hingga Surat Edaran Menteri. Dan puncak penarikan dari beberapa kewenangan tersebut ketika beredarnya revisi UU 22/1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah. Revisi tersebut kemudian melahirkan UU 33/2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU 34/2004 tentang Perimbangan Keuangan
Pusat
–
Daerah
(Hasayangan,https://www.academia.edu/8311971/
Otonomi_Daerah_dalam_ Era_Reformasi). Perubahan mengenai otonomi daerah selanjutnya adalah dengan terbitnya UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, pada tanggal 15 Oktober 2004. UU ini secara otomatis menggantikan atau merevisi UU No.22 tahun 1999. Sebenarnya antara kedua undang-undang tersebut tidak ada perbedaan prinsipal karena keduanya sama-sama menganut asas desentralisasi. Perhatian dari UU No. 32 tahun 2004 adalah tentang pembentukan daerah dan kawasan khusus, pembagian urusan pemerintahan, penyelenggaraan pemerintahan, kepegawaian daerah, perda dan peraturan kepala daerah, perencanaan pembangunan daerah, keuangan daerah, kerja sama dan penyelesaian perselisihan, kawasan perkotaan, desa, pembinaan
dan
pengawasan,
pertimbangan
dalam
kebijakan
otonomi
daerah
3
(Ardimovic,http://hitamandbiru.blogspot.com/2011/01/perbandingan-undang-undangnomor-22.html#ixzz3x2VNCWIA). Sebulan sebelum Joko Widodo dilantik menjadi presiden, DPR RI mengesahkan RUU Pemerintahan Daerah yang terbaru pada tanggal 23 September 2014. Undang-Undang tersebut merupakan pecahan dari Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 yang memecah kedalam tiga Undang-Undang, selain Undang-Undang Desa dan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah. Lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, merupakan kesepakatan antara Komisi II DPR RI dengan Kementerian Dalam Negeri pada awal tahun 2010 silam untuk memecah kedalam tiga Undang-Undang Pemerintahan Daerah sebelumnya (Muslimin,https://www.academia.edu/10066140/ Menafsir_Undang-Undang_Pemda_Terbaru). Substansi dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 adalah memperkuat kewenangan pemerintah provinsi sebagai wakil pemerintah pusat di daerah (Pasal 91). Sebelumnya, melalui UU No 32 Tahun 2004, kepala daerah yang melakukan pelanggaran disiplin dan tidak tertib sangat susah sekali untuk mendapatkan sanksi. Salah satu kewenangan yang diberikan kepada gubernur adalah kewenangan pemberian sanksi bagi kepala daerah di wilayahnya yang tidak disiplin. Selain itu, kepala daerah yang masih merangkap jabatan sebagai ketua/pengurus partai didaerah tempat yang bersangkutan menjabat, maka dapat diberhentikan secara permanen. Termasuk dalam hal ini tidak diperbolehkan menjadi pengurus suatu perusahaan (swasta, BUMN/D) dan menjadi pengurus yayasan karena akan mendapatkan sanksi pemberhentian sementara selama tiga bulan oleh presiden
(Pasal
77)
(Muslimin,https://www.academia.edu/10066140/Menafsir
UndangUndangPemdaTerbaru). Revisi Undang – undang mengenai otonomi daerah yang dilakukan oleh pemerintah, pada hakikatnya adalah agar setiap daerah bisa mendapatkan kesempatan untuk menampilkan identitas lokal yang ada di masyarakat di daerahnya. Berkurangnya wewenang dan kendali pemerintah pusat mendapatkan respon tinggi dari pemerintah daerah dalam menghadapi masalah yang berada di daerahnya sendiri untuk meningkatkan kemandirian daerahnya. Dengan melakukan otonomi daerah, maka kebijakan-kebijakan pemerintah akan lebih tepat sasaran, hal tersebut dikarenakan pemerintah daerah cenderung lebih mengerti keada-
4
an dan situasi daerahnya, serta potensi-potensi yang ada di daerahnya dari pada pemerintah pusat. Selain itu, dengan sistem otonomi daerah pemerintah akan lebih cepat mengambil kebijakan-kebijakan yang dianggap perlu saat itu, tanpa harus melewati prosedur di tingkat pusat. Setiap daerah tentu memiliki potensi sumber daya alam, ataupun potensi budaya yang berbeda-beda. Keberagaman ini memaksa tiap pemerintah daerah untuk dapat menunjukkan ciri khas dari daerahnya. Dengan diberlakukannya UU otonomi daerah, diharapkan pemerintah daerah lebih leluasa dalam mengeksplorasi segala potensi yang ada. Potensi ini nantinya akan dapat menjadi ciri khas dari daerah tersebut. Pengelolaan ciri khas yang matang dapat menghasilkan bentuk identitas daerah. Akan tetapi, kepekaan dalam pengelolaan potensi sumber daya tersebut tidak semudah membalikan telapak tangan. Pada era globalisasi saat ini, eksistensi atau keberadaan kesenian rakyat berada pada titik nadir. Di Indonesia, analisis budaya menyebut terjadinya neo-Feodalisme dalam ekonomi, politik, dan kebudayaan sehingga demokrasi pun dihayati dengan semangat nilai feudal dan paternalistic. Transformasi budaya menghasilkan involusi budaya dimana dualisme feodal dan modern terus menerus menjadi kendala proses integrasi budaya maupun nilai (Sutrisno dan Putranto, 2005: 71). Tekanan dari pengaruh luar terhadap kesenian rakyat ini dapat dilihat dari pengaruh berbagai karya-karya kesenian populer dan juga karya-karya kesenian yang lebih modern lagi yang dikenal dengan budaya pop. Kesenian-kesenian populer tersebut lebih mempunyai keleluasan dan kemudahan-kemudahan dalam berbagai komunikasi baik secara alamiah maupun teknologi. Selain itu, aparat pemerintah nampaknya lebih mengutamakan atau memprioritaskan segi keuntungan ekonomi (bisnis) ketimbang segi budayanya, sehingga kesenian rakyat semakin tertekan lagi. Sesungguhnya, bagi kesenian rakyat Indonesia, kesempatan untuk mengadaptasi berbagai seni dari luar sangat cukup terbuka, karena kekayaan kesenian yang dimiliki bangsa Indonesia sangat memadai untuk dikembangkan ke dunia Internasional. Untuk menuju kepada tindakan ini harus ada upaya atau perbaikan perbaikan yang perlu diperhatikan agar kemasan kesenian tradisional bangsa Indonesia
5
dapat diterima dan berkembang secara global, walaupun tetap mengacu pada kekuatan nilai-nilai asli dan kearifan lokal (local wisdom). Koentjaraningrat berpendapat bahwa seperti masyarakat Indonesia kebuda-yaan berfungsi : 1) sebagai system gagasan dan perlambang yang memberi identitas kepada warga Negara Indonesia, dan 2) sebagai suatu system gagasan dan perlambang yang dapat dipakai oleh semua warga Negara Indonesia yang bhineka untuk saling berkomunikasi dan dengan demikian dapat memperkuat solidaritas (Liliweri, 2011: 159). Seni dan budaya bangsa Indonesia yang memiliki kekuatan etnis dari berbagai macam daerah juga tidak dapat lepas dari pengaruh kontak budaya ini. Sehingga untuk melakukan penyesuaian terhadap perubahan – perubahan diperlukan pengembangan yang bersifat global, namun tetap bercirikan kekuatan local, etnis atau sesuai dengan kearifan lokal. Keberagaman budaya yang dimiliki dalam tiap daerah di Indonesia tentu menjadi potensi yang besar. Perhatian pemerintah dan kepedulian dari masyarakat terhadap kebudayaan tersebut juga turut andil dalam pengelolaannya. Salah satu kebudayaan yang sampai sekarang ini bertahan dan kalau boleh dikatakan berkembang adalah Reyog. Reyog merupakan seni pertunjukan rakyat berbentuk kolasal yang telah dikenal oleh masyarakat di Indonesia. Cerita legenda yang melingkupi keberdaan kesenian reyog menjadi daya tarik tersendiri. Reyog lahir dalam masyarakat bukan hanya sebagai sebuah hiburan semata, akan tetapi sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Reyog merupakan potensi kebudayaan yang dimiliki oleh kabupaten Ponorogo. Ponorogo merupakan sebuah kabupaten yang terletak di Provinsi Jawa Timur. Ponorogo sendiri memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah. Secara geografis Kabupaten Ponorogo terdiri atas dataran rendah dan tinggi yang membentang seluas 1.371,78 km. Berdasarkan dari situs resmi Dinas Pariwisata Kabupaten Ponorogo diketahui bahwa, Ponorogo memiliki beberapa kebudayaan yang masih bertahan yaitu; reyog, gajah –
6
gajahan, kelingan dan wayang kulit. Akan tetapi, nuansa budaya reyog begitu terasa ketika mejejakkan kaki ke Kabupaten Ponorogo. Hidangan pembuka yang ditampilkan pemerintah Ponorogo pada saat kita memasuki wilayahnya, ketal sekali unsur budaya reyog. Gerbang masuk Kabupaten Ponorogo ditampilkan dengan relief para pemain dan pengiring gamelan kesenian reyog. Unsur kebudayaan reyog terus mendominasi begitu kita masuk lebih lanjut ke daerah Ponorogo. Patung – patung yang berada di tengah perempatan jalan kota menggambarkan para pemain pendukung dari Reyog. Alun – alun sebagai pusat kota pun tidak luput menjadi media dominasi kebudayaan reyog. Hal ini terlihat dengan adanya sebuah panggung besar yang di bangun secara permanen di pinggir alon – alon yang digunakan sebagai tempat pertunjukan rakyat. Patung- patung yang menggambarkan sosok Prabu Klana Sewandano, Pujangganong, Warok, dan Jathilan berdiri apik sebagai bagian dari panggung tersebut. Perubahan yang ditampilkan oleh pemerintah Ponorogo dalam memperkuat identitasnya terjadi pada saat era Bupati Markum Singodimeja (Simatupang, 2013: 187). Dalam bukunya yang berjudul “Pergelaran, sebuah mozaik penelitian seni – budaya”, reyog menjadi salah satu seni – budaya Indonesia yang menarik bagi Simatupang untuk diteliti. Dalam buku tersebut disebutkan bahwa bagaimana Reyog telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam diri Ponorogo. Cerita asal usul dan karakter tokoh warok yang menjadi bagian penting dalam perjalanan kesenian reyog. Pada era Bupati Markum Singodimejo (tahun 1994-2004) menjadi gong adanya perubahan yang siginifikan terhadap kebudayaan reyog. Semboyan yang digunakan untuk menggam-barkan daerah Ponorogo pada waktu itu adalah REOG (Simatupang, 2013: 187). Kata REOG sebenarnya merupakan akronim dari kata Resik, Endah, Omber dan Gilang Gumilar. Istilah REOG ini merupakan symbol daerah yang dicanangkan pada era orde baru. Lebih lanjut disampaikan oleh Simatupang penggunaan kata REOG sebagai identitas cultural Kabupaten Ponorogo tidak serta merta berjalan secara mulus. Protes atas penggunaan kata REOG pernah disampaikan oleh Mbah Kamituwo Kucing yang merupa-
7
kan sesepuh Warok di Kabupaten Ponorogo. Berdasarkan pemahaman Mbah Kamituwo Kucing penghilangan huruf Y dari kata REYOG berarti sama saja menghilangkan Ywang Agung, dan hal ini merupakan tindakan yang tidak dibenarkan (Simatupang, 2013: 187). Eksistensi dari kebudayaan reyog sebagai identitas daerah Ponorogo, tampaknya masih terus bertahan sampai dengan era kepemimpinan dari Bupati H. Amin (2010-2015). Hal ini terbukti dari visi yang dicanangkan yaitu; “Masyarakat Ponorogo Yang Sejahtera, Aman, Berbudaya, Berkeadilan Berlandaskan Nilai-nilai Ketuhanan Dalam Rangka Mewujudkan Rahyuning Bumi Reyog”. Penggunaan kata “Rahayuning Bumi Reyog” menjadi penegas atas identitas budaya Kabuapten Ponorogo. Ponorogo menjadi tempat (Bumi) lahir dan berkembangnya kesenian reyog. Penggunaan kata Reyog sebagai bagian dari simbol yang ingin ditonjalkan oleh kabupaten Ponorogo, membawa aura tersendiri terhadap kesenian reyog. Gong yang di bangun pada era Bupati Markum tersebut merupakan suatu bentuk perjalanan penguatan identitas cultural kabupaten Ponorogo. kebudayaan reyog yang terus dilestarikan oleh para pemimpin setelahnya menjadi bagian dari proses perjalanan pembentukan identitas Ponorogo. Berbicara mengenai identitas, maka akan membawa kita kepada proses perjalanan dari reyog sendiri. Reyog pada jaman 1950 – 1980, nyatanya telah menjadi media komunikasi yang efektif bagi partai politik pada saat itu untuk mengerahkan massa. Hal ini bisa dilihat lewat penelitian yang disampaikan oleh Suriril Mukarromah dan Shinta Devi I.S.R dengan judul ”Mobilisasi Massa Partai melalui Seni Pertunjukan Reog di Ponorogo Tahun 1950 – 1980”. Hasil penelitian ini melihat peran pemerintah pada setiap masanya berpengaruh dalam perkembangan kesenian reyog di Ponorogo. Eksisistensinya yang mengandung nilai – nilai historis, filosofis, religius, kreatif dan edukatif menjadikan hiburan rakyat yang legendaris. Berdasarkan dari hasil penelitian tersebut, tergambarkan dominasi negara yang kuat dalam kesenian reyog. Reyog berada dalam kedudukan “power less”.
8
Hegemoni yang kuat pada saat ini adalah dengan terbitnya buku “Pedoman Dasar Kesenian Reyog Ponorogo dalam Pentas Budaya Bangsa”. Buku ini diterbitkan oleh Pemerintah Kabupaten Ponorogo. Buku ini berisi pedoman dasar dalam pertunjukan kesenian reyog, baik dari segi penampilan, jumlah pemain, gerak tarian maupun alur cerita. Menurut pemerintah Kabupaten Ponorogo, buku ini mempunyai tujuan untuk memberikan pedoman dasar dalam berbagai atraksi sebagai kerangka landasan yang dapat dipedomani oleh berbagai kesenian Reyog Ponorogo dimanapun berada (Pemerintah Kabupaten Ponorogo, 2013:1). Penyelenggaran Festival Reyog nasional setiap setahun sekali pada saat grebek suro dan hari jadi Kabupaten Ponorogo memebawa nuasa dominasi negara yang kuat. Panggung permanen juga dibangun di pinggir alun alun Ponorogo untuk dijadikan tempat pemetasan reyog. Penelitian selanjutnya adalah yang dilakukan oleh Yulianto, Andhika Dwi (2013) dengan judul skripsinya “Komodifikasi Pertunjukan Festival Reog Ponorogo (Dinamika Perubahan Pertunjukan Reog Ponorogo dalam Industri Pariwisata)”. Hasil penelitian ini adalah 1) komodifikasi di Kabupaten Ponorogo telah menjadikan keberadaan reog menjadi semakin terkenal. 2) Reog telah memunculkan penyederhanaan versi besar reog, versi Bantarangin yang dipatenkan dalampertunjukan festival reog. 3) Munculnya rambu-rambu yang harus ditaati dalam setiap pementasan reog. 4) Proses industri pariwisata dalam reog Ponorogo telah melahirkan kelas antar pemain, dimana pemain reog tergabung dalam paguyuban yang fokus dalam festival dengan pemain yang tergabung dalam paguyuban reog obyog yang tampil saat acara(tanggapan) hajatan di Kabupaten Ponorogo. 5) Munculnya industri pariwisata dalam reog telah memunculkan kreasi-kreasi antara kelompok reog dengan kelompok reog lain. Kesinambungan antara Kota Ponorogo, kesenian Reyog dan juga sosok warok tidak bisa lepas dari proses sejarah budaya yang melingkupinya. Seni Reyog sebagai warisan leluhur mempunyai makna historis yang mendalam dalam menunjang keberadaan Kabupaten Ponorogo. Tradisi warok sebenarnya terbangun dari keinginan menggali
9
identitas dan jati diri masyarakat Ponorogo. Warok sendiri nampaknya juga terdapat keterkaitan yang cukup rapat dengan Ponorogo itu sendiri. Warok Ponorogo berarti orang yang selalu tampil sebagai pribadi yang selalu menjaga diri dari segala hal yang menyebabkan diri menjadi hina; raga yang sudah berada dalam “kesempurnaan” inilah yang terus diperbaiki dan ditingkatkan untuk menuju “reh kamuksan sejati”, (Kurnianto,2009). Penelitian yang dilakukan oleh Rido Kurnianto dan Nurul Iman dengan judul “Dinamika Pemikiran Islam Warok Ponorogo” termuat dalam blog santoso.blogspot.com. Konsep tentang warok terus mengalami perubahan, seiring dengan dilakukannya reinterpretasi dan redefinisi berdasar peran yang dimainkan oleh warok itu sendiri. Konsep warok yang melegenda dari aspek olah kanuragan telah berubah ke arah substansi peran pembangunan masyarakat yang dilakukan. Sehingga identitas warok tak sebatas hanya dimiliki oleh komunitas warok kanuragan, tetapi menjadi siapapun yang memiliki peran sentral bagi pembangunan masyarakat. Fenomena terakhir, warok dari kalangan Muslim, yakni Kiai Syukri dari pondok modern Darussalam Gontor dan Kiai Ma’shum dari pondok modern Arrisalah Slahung diakui masyarakat sebagai warok Ponorogo disebabkan kontribusi mereka dalam pembangunan keberagamaan (Islam) masyarakat. Hingga saat ini berkembang dua identitas warok, yakni warok kanuragan dan warok Muslim. Penelitian ini tertarik untuk mengambil sisi lain sosok warok. Hal ini dilakukan karena mengingat warok Ponorogo yang dikenal selama ini, seolah tidak mungkin untuk melakukan karya di bidang pemikiran Islam. Bahkan yang berkembang selama ini, warok selalu akrab dengan pencitraan sosok negatif disebabkan bayang-bayang sisi gelap kehidupannya, berkaitan dengan sikap jumawah dan penyimpangan seksual. Pengertian dan sosok warok hingga saat ini masih menjadi kontroversi, siapakah yang sebenarnya pantas disebut warok. Kadang ia diterjemahkan sebagai sosok yang dikenal sebagai seseorang yang "menguasai ilmu" (ngelmu) dalam pengertian Kejawen. Ia juga sering berperan sebagai pemimpin lokal informal dengan banyak pengikut. Dalam pentas, sosok warok lebih terlihat sebagai pengawal/punggawa raja Klana Sewandana (warok
10
muda) atau sesepuh dan guru (warok tua). Dalam pentas, sosok warok muda digambarkan tengah berlatih mengolah ilmu kanuragan, digambarkan berbadan gempal dengan bulu dada, kumis dan jambang lebat serta mata yang tajam. Sementara warok tua digambarkan sebagai pelatih atau pengawas warok muda yang digambarkan berbadan kurus, berjanggut putih panjang, dan berjalan dengan bantuan tongkat. Manusia di satu pihak merupakan hasil dari kebudayaan, artinya manusia itu lahir, dibesarkan dan dididik dalam kebudayaan tertentu. Namun di lain pihak manusia juga merupakan agen pembaharuan kebudayaannya, artinya manusia dengan kemampuannya, entah itu kemampuan intelektual, kemampuan emosional, kemampuan spiritual maupun kemampuan moralnya, mampu mengkonstruksikan kebudayaan yang baru. Hal ini juga berlaku dalam proses perkembangan identitas Warok. Hasil penelitian Azizah, Rida. 2008. Peranan Warok Reog Ponorogo dalam Pewarisan Nilai Moral dan Budaya bagi Masyarakat di Kabupaten Ponorogo ini menunjukkan bahwa (1) sejarah munculnya Warok dalam Reog Ponorogo ada dua versi. Pertama, Warok muncul bersamaan dengan jathil yang membawa gong pada saat mengiringi Prabu Klana Sewandana yang hendak mempersunting Dewi Sanggalangit putri dari Kerajaan Kediri. Kedua, munculnya Warok adalah membonceng pada kesenian reog, (2) kriteria seseorang yang berstatus sebagai seorang Warok dapat dikelompokkan menjadi dua. Pertama, Warok memiliki tipologi dan profil, berpakaian khas Ponorogo (Penadon) dengan warna khas baju hitam celana hitam, beserta atribut-atribut sebagai pelengkapnya. Warok mempunyai wibawa, disegani dan dihormati oleh masyarakat. Selain itu Warok juga sebagai pemimpin sekaligus pemain barongan yang mengerti arti hidup dan kehidupan. Dilihat dari tataran ilmu, Warok adalah figur yang kebak ilmu, artinya menguasai ilmu baik lahir maupun batin. Selain itu, Warok juga memiliki ilmu kesaktian dan ilmu kekebalan badan. Kedua, jalan (lelaku) yang harus ditempuh seseorang untuk mencapai Warok terlebih dahulu harus bisa memenuhi 9 (sembilan) syarat pokok, yaitu: berhati bersih dan berpikir positif; sopan santun; jujur, tidak berkata kotor dan berhati-hati; mengurangi keinginan nafsu; berjiwa perwira; adil, bijaksana dan tidak membeda-bedakan; suka menolong tanpa pamrih; sabar; tidak sombong. Selanjutnya seseorang harus melaksanakan
11
Tapa Brata. Terakhir melakukan puasa dari tahap awal, tengah, sampai akhir. (3) perilaku Warok yang menggambarkan nilai-nilai moral di masyarakat antara lain diekspresikan dengan Hasta Brata (delapan laku kepemimpinan), bergaya hidup sederhana yang tidak memikirkan kepentingan duniawi dan selalu mengutamakan kepentingan masyarakat disamping kepentingannya sendiri. Selain itu Warok selalu bersikap jujur, sopan santun dan berhati-hati dalam berucap dan bertingkah laku, berani membela kebenaran, tidak sombong, rendah hati, selalu berfikir jernih dan berani bertanggung jawab, (4) peranan Warok dalam mewariskan nilai moral dan budaya bagi masyarakat di Kabupaten Ponorogo yaitu: sebagai teladan dan panutan bagi masyarakat; sebagai pemimpin, guru serta pembimbing; sebagai pengajar/pelatih, baik dalam membuat perlengkapan reog maupun melatih tari reog; dan sebagai penggerak massa untuk aktif dalam kegiatan kemasyarakatan sekaligus sebagai pengarah, penunjuk, dan pembimbing. Penelitian terdahulu lainnya adalah dengan judul “ Mistisme Warok Ponorogo” oleh Puspito Hadi. Menambah referensi peneliti mengenai sosok warok di Ponorogo. Hasil dari penelitian ini, diketahui bahwa kehidupan warok Ponorogo yang diwarnai oleh batin dan kejiwaan dengan hidup berngelmu. Ngelmu merupakan pengtrapan pelaku. dalam mempertebal ajaran warok Ponorogo berlaku amalan – amalan atau lelaku yang berhubungan dengan spiritualnya. Japa Mantra, Tapa Brata, Dan Bandha Donyo hanya sarana untuk mencapai kebenaran sejati. Ujung – ujungnya adalah bisa memperoleh Emating Manpatitus, Manunggaling Kawulo Gusti, Sangkan Paraning Dumadi, yaitu yang berarti akhir kehidupan yang penuh kedamaian. Mistisme warok Ponorogo lebih menekankan pada aspek hidup yang ideal (urip utomo). Unsure yang terpenting dalam ajaran mistisme Warok Ponorogo adalah konsep “ Mangerang Gesang “ yang mempunyai arti hidup seperti Tuhan pada skala kecil. Hal ini dikarenakan menurut paham mistis yang dianut pada dasarnya manuasia ada karena kuasa Tuhan Yang Maha Esa. Mistik pada warok Ponorogo cenderung pada mistis yang bersifat kejawen. Terdapat perbedaan dalam mistis Warok Ponorogo diantaranya adalah 1) “ Ngelmu kanuragan berpangkal dari syetan dan roh”, tujuannnya adalah mencari kepuasan hidup dan kebahagiaan pribadi. Larangannya adalah melanggar ilmu. Ilmu kanuragan disebut juga sihir hitam. 2) “Ngelmu
12
kautamaan berpangkal dari sukma manusia yang tujuannya mencari kebahagian hidup untuk bersama”. Larangannya adalah wewaring bebrayan. Melanggar larangan ngelmu. Ngelmu tersebut adalah ngelmu keutamaan yang berarti sihir putih. 3) “Ngelmu kesempurnaan berpangkal dari daya gaib Gusti” yang tujuannya adalah mendapatkan kebahagiaan kekal. Larangannya adalah wewaling bebrayan dan pepacuhing pangeran yang mempunyai tujuan akhir adalah bersatu dengan Sang Pencipta. Ketiga penelitian tersebut, melihat bagaimana warok terus mengalami revolusi seiring dengan perubahan yang terjadi di lingkungan masyarakat. Warok yang dianggap sebagai tokoh sentral dalam kehidupan kesenian maupun bermasyarakat terus mengalami reintepretasi dan redefinisi. Warok dianggap sebagai sosok komunikator yang mempunyai peran dalam setiap periode pasang surut dari kebudayaan reyog. Kehadiran dari sosok warok dalam kesenian warok tidak lepas dari sejarah asal usul dari reyog tersebut. Berdasarkan dari latar belakang tersebut, penelitian ini ingin mengetahui media – media komunikasi yang dilakukan oleh pemerintah Ponorogo dalam mensosialisasikan Reyog sebagai identitas daerahnya. Dengan menggunakan metode penelitian descriptif kualitatif, penelitian ini diharapkan dapat menemukan gambaran yang detil dengan menggunakan metode wawancara dan dokumentasi. Berdasarkan pemaparan latar belakang tersebut dapat ditetapkan kata-kata kunci penelitian ini, yaitu; identitas, media komunikasi dan komodifikasi. B.
Rumusan Masalah Berangkat dari fenomena yang terjadi di atas, maka dibutuhkan penelitian yang
mendalam mengenai Reyog dan warok sebagai media komunikasi identitas Ponorogo. Rumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu: 1. Bagaimana hegemoni yang dilakukan oleh Pemerintah daerah Ponorogo terhadap Reyog dan warok? 2. Bagaimana komodifikasi yang terjadi terhadap kesenian reyog dan warok? 3. Bagaimana reyog dan warok menjadi media komunikasi identitas Ponorogo?
13
C.
Tujuan Penelitian Sesuai dengan permasalahan yang telah dirumuskan dan agar penelitian nantinya
memiliki arah untuk kegunaan tertentu, maka perlu ditetapkan tujuan penelitian, yaitu: 1. Mendiskripsikan dan menganalisa hegemoni yang dilakukan oleh
Pemerintah
daerah Ponorogo terhadap Reyog dan warok 2. Mendiskripsikan dan menganalisa bentuk komodifikasi yang terjadi terhadap kesenian reyog dan warok 3. Mendiskripsikan dan menganalisa reyog dan warok menjadi media komunikasi identitas Ponorogo
D.
Manfaat Penelitian Sesuai dengan tujuan penelitian yang telah dipaparkan sebelumnya, maka dengan
diadakannya penelitian mengenai Reyog dan warok sebagai media komunikasi identitas Ponorogo ini diharapkan mampu memberikan kontribusi dan kegunaan, antara lain: 1. Manfaat penelitian ini secara teoretis diharapkan mampu menjadi salah satu referensi dalam memperoleh serta menambah kajian teori komunikasi, terutama dalam konteks media komunikasi sebagai bagian dari pembentukan identitas. 2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam sejumlah analisis mengenai fenomena sosial dan isu-isu yang berkaitan dengan identitas budaya di Indonesia.