BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemerintah berkewajiban melindungi seluruh masyarakat Indonesia dengan segenap kemampuannya, terutama melindungi hak hidup masyarakat Indonesia. Untuk mewujudkan cita-cita tersebut Pemerintah Indonesia perlu memperhatikan kebutuhan dasar masyarakat terutama masyarakat yang tidak mampu. Sebagai upaya menjamin kebutuhan dasar, hidup yang layak bagi masyarakat, Pemerintah Indonesia menerapkan program Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Program ini dimaksudkan agar setiap warga negara mendapatkan jaminan untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar yang layak. Serta meningkatkan martabatnya menuju terwujudnya kehidupan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur (Pemerintah RI, 2004). Kesejahteraan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur, selain terpenuhinya kebutuhan akan sandang dan papan juga terbebas dari gangguan kesehatan. Sebagai upaya menjamin kebutuhan kesehatan masyarakat, pemerintah telah membuat Sistem Kesehatan Nasional (SKN). Menurut SKN, kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif baik secara sosial maupun ekonomi (Pemerintah RI, 2012) Kewajiban pemerintah adalah menjamin kesehatan seluruh masyarakat Indonesia tanpa adanya perbedaan status miskin atau kaya. Untuk itu Pemerintah Indonesia menjalankan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Jaminan kesehatan yang dimaksud adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan. Manfaat tersebut diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah (Thabrani, 2014). Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) merupakan sebuah badan yang dibentuk oleh negara untuk melaksanakan Undang-Undang Sistem Jaminan SosialNasional(UU,SJSN). 1
2
BPJS melaksanakan tugasnya secara independen di bawah presiden. BPJS bertugas menyelenggarakan jaminan sosial ketenagakerjaan dan jaminan kesehatan bagi masyarakat Indonesia yang membayar iuran baik dibayar secara perorangan, pemberi kerja, maupun dibayar pemerintah. BPJS sampai saat ini melayani
157.063.862
peserta.
BPJS
bertujuan
untuk
mewujudkan
terselenggaranya pemberian jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap Peserta dan/atau anggota keluarganya (Pemerintah RI. 2011a). Masyarakat mempunyai hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu dan aman, baik pelayanan kesehatan yang bersifat promotif, preventif, kuratif, maupun rehabilitatif. Puskesmas dan klinik yang merupakan gate keeper dalam memberikan pelayanan klinis kepada masyarakat, harus dapat menyediakan pelayanan klinis tingkat pertama yang aman dan bermutu (Thabrani.H. 2014). Pengelolaan kesehatan diselenggarakan melalui pengelolaan administrasi kesehatan, informasi kesehatan, sumberdaya kesehatan, upaya kesehatan, pembiayaan kesehatan, peran serta dan pemberdayaan masyarakat. Bidang kesehatan juga memerlukan dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pengaturan hukum kesehatan secara terpadu dan saling mendukung guna menjamin tercapainya derajat kesehatan yang setinggi-tingginya (Perpres RI 27, 2012). Dinas Kesehatan merupakan perangkat daerah yang melaksanakan tugas pemerintah di bidang kesehatan, wajib menjamin kesehatan seluruh masyarakat tanpa harus membedakan masyarakat yang mampu membayar pelayanan kesehatan maupun yang tidak di wilayahnya. Dinas Kesehatan sebagai penyelenggara upaya kesehatan di daerah, berkewajiban menyediakan fasilitas kesehatan untuk menjamin kesehatan masyarakat baik individu, keluarga, maupun kelompok masyarakat yang ada di wilayah kerjanya. Kegiatan tersebut diikuti dengan kegiatan pembinaan dan pengawasan pelaksanaan program JKN di daerah Kabupaten/Kota dan kepala Puskesmas secara berjenjang dan secara fungsional sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Kemenkes RI,2014a).
3
Peran Dinas Kesehatan dalam melakukan pembinaan dan pengawasan sangatlah mendukung pelaksanaan program BPJS, terutama peran Kepala Dinas Kesehatan sebagai top manager. Peran Kepala Dinas Kesehatan adalah untuk menggali informasi-informasi tentang bagaimana program BPJS kesehatan yang dijalankan dengan melalui pengawasan langsung sebagai upaya menemukan permasalahan-permasalahan yang ada di lapangan sehingga bila terjadi ketimpangan dalam pelaksanaan program kesehatan dapat dicarikan solusi penyelesaiannya (Rumapea et al., 2013). Terdapat berbagai macam situasi yang membutuhkan pengawasan, beberapa di antaranya adalah; a) Situasi tak terduga yang membuat pelaksanaan tidak sesuai dengan prosedur atau perencanaan, b) Masalah yang timbul karena ketidakmampuan tenaga pelaksana, c) Kegagalan prinsip yang memerlukan perubahan strategi pada saat perancangan program, agar kegagalan strategi pelaksanaan yang menyeluruh dapat dihindari di masa mendatang, d) Kegagalan produk karena masalah teknis (Hasanbasri, 2012). Pelayanan rujukan kesehatan dilaksanakan secara berjenjang dimulai dari pelayanan kesehatan tingkat pertama. Pelayanan kesehatan tingkat kedua, hanya dapat diberikan atas rujukan dari pelayanan kesehatan tingkat pertama. Pelayanan kesehatan tingkat ketiga hanya dapat diberikan atas rujukan dari pelayanan kesehatan tingkat kedua atau tingkat pertama, kecuali pada keadaan gawat darurat, kekhususan permasalahan kesehatan pasien, pertimbangan geografis, dan pertimbangan ketersediaan fasilitas. Sistem rujukan diselenggarakan dengan tujuan memberikan pelayanan kesehatan secara bermutu, sehingga tujuan pelayanan dapat tercapai tanpa harus menggunakan biaya yang mahal (Kemenkes RI, 2012a). Sejak diberlakukannya SJSN yang dituangkan dalam Undang–Undang Nomor 40 Tahun 2004, upaya kesehatan masyarakat sudah menjadi lebih baik, hal ini ditandai dengan terselenggaranya jaminan kesehatan masyarakat melalui progran JKN yang dikelola oleh BPJS. Program BPJS dimulai tanggal 1 Januari 2014. Dalam perjalanannnya selain meraih berbagai macam keberhasilan, juga masih banyak ditemui berbagai kekurangan seperti, belum bagusnya penerapan
4
sistem rujukan baik secara vertikal maupun horizontal (Abdullah & Kandou, 2014). Hasil penelitian di Kabupaten Buleleng Singaraja Provinsi Bali, bahwa kurangnya pemahaman pasien Keluarga Miskin (Gakin) tentang kartu sehat, pasien Gakin mencari kartu sehat setelah dirawat di Rumah Sakit sehingga petugas Puskesmas dan Rumah Sakit tidak melaksanakan prosedur sesuai pedoman diantaranya, merujuk dan menerima rujukan tidak sesuai dengan kriteria jenis penyakit sesuai pedoman (Eksasila, 2005). Secara nasional angka rujukan Puskesmas sangat tinggi, lebih dari 50 persen, hal ini menyebabkan tingginya biaya yang harus dikeluarkan oleh BPJS. Dari evaluasi dan monitoring yang dilakukan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) terhadap implementasi JKN pada semester I tahun 2015, angka persentase Puskesmas yang melakukan rujukan pada peserta BPJS tergolong tinggi, yakni mencapai 55 persen. Menurut DJSN, penyebab angka rujukan yang tinggi disebabkan oleh beberapa faktor antara lain faktor Fasilitas Kesehatan (Faskes) yang kurang memadai, sumber daya manusia yang terbatas di Puskesmas menjadi salah satu alasannya, seperti ketersediaan obat yang minim, pembagian jasa medis tenaga kesehatan yang belum optimal, dan lainnya. Fajriadinur melihat jumlah rujukan periode Januari-Februari tahun 2015 yakni 2,2 juta (15,3 persen) rujukan dari 14,6 juta kunjungan ke Puskesmas. Walau persentase rujukan itu lebih rendah dari 2014, tapi ada rujukan yang mestinya tidak perlu karena bisa ditangani di Puskesmas, jumlahnya mencapai 214.706 rujukan. “Itu kunjungan yang kasusnya non spesialistik, mestinya dapat ditangani di Puskesmas” (Chazali Situmorang, 2015). Kota dan Kabupaten Bima merupakan bagian dari Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan jumlah peserta BPJS Kabupaten Bima sebanyak 260.779. Sementra peserta BPJS Kota Bima yaitu 81.058. Fasilitas pelayanan kesehatan yang ada di Kota dan Kabupaten Bima terdiri dari
Rumah Sakit, klinik, Puskesmas,
Puskesmas Pembantu, Polindes, praktek dokter swasta, Posyandu.
praktek bidan dan
5
Kota dan Kabupaten Bima memiliki tenaga kesehatan apabila dilihat dari rasio perbandingan dokter dengan jumlah peserta BPJS masih cukup jauh dari ideal yang seharusnya rasio antara dokter dengan peserta BPJS adalah 1 : 3000 , kenyataan yang terjadi di Kota dan Kabupaten Bima perbandingan antara dokter yang ada rata – rata 1: 5.790. Pelaksanaan program BPJS secara serentak dimulai awal tahun 2014. Namun pelaksanaannya belum begitu bagus seperti yang diharapkan, salah satu indikatornya adalah angka rujukan yang masih tinggi bila dibandingkan dengan standar rujukan yang ditetapkan oleh tim kendali mutu BPJS kurang dari 12%. Angka rujukan kasus di Kota dan Kabupaten Bima cukup tinggi seperti yang Belum maksimalnya fungsi Dinas Kesehatan di Kota dan Kabupaten Bima dalam upaya pemenuhan kebutuhan fasilitas kesehatan, kebutuhan obat dan kekurangan tenaga merupakan kendala dan menjadi alasan bagi Puskesmas melaksanakan rujukan. Tugas pengawasan terhadap pelaksanaan program BPJS terutama pemantauan sistem rujukanya, belum berjalan dengan baik. Tidak adanya anggaran untuk menjalankan fungsi pengawasan juga menjadi kendala bagi Dinas Kesehatan dalam melakukan kegiatan pembinaan dan pengawasan khusus pelaksanaan sistem rujukan pasien BPJS. Rakernas dengan tema ”Peran Dinas Kesehatan” yang dilaksanakan oleh Kemenkes bersama Asosiasi Dinas Kesehatan (Adinkes) dan Asosiasi Fasilitas Kesehatan regional barat dalam komisi VII terungkap tentang tidak adanya dana operasional khusus untuk Dinas Kesehatan dalam melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan program BPJS di Puskesmas (Kemenkes RI, 2015). Angka rujukan Puskesmas milik Pemerintah Kota Bima dan Kabupaten Bima Tahun 2014 dan Tahun 2015 rata–rata diatas angka standar 12%, sementara angka rujukan non spesialis rata-rata diatas 5%. Hal ini menunjukan bahwa upaya penekanan terhadap angka rujukan masih belum sesuai dengan harapan. Sementara tim kendali mutu BPJS telah menargetkan rujukan non spesialis zona aman yang di targetkan adalah 5% dari total rujukan Puskesmas dengan angka utilisasi 150% (BPJS, 2015).
6
Hasil wawancara awal dengan beberapa dokter di Puskesmas di Kota dan Kabupaten Bima, didapatkan jawaban tentang pelaksanaan rujukan di Puskesmas tidak seperti yang diharapkan. Narasumber yang diwawancara menyatakan bahwa adanya sebagian proses rujukan pasien BPJS tidak sesuai dengan indikasi medis. Rujukan terhadap pasien BPJS kadang dilakukan berdasarkan pertimbanganpertimbangan lain. Pertimbangan tersebut seperti kurangnya fasilitas penunjang dan tidak tersedianya obat-obatan tertentu, seperti antibiotik, anti depresan, anti bisa ular. Contoh lainnya adalah kekurangan oksigen dan penunjang diagnostik seperti alat pemeriksaan THT, alat pemeriksaan mata. Selain itu juga rujukan diberikan atas permintaan pasien yang kadang memaksa harus dirujuk. Dari beberapa informasi yang didapat penulis menganggap bahwa hal ini merupakan suatu masalah yang berdampak pada sistem pembiayaan kesehatan. Pengendalian biaya melalui manajemen utilisasi dan sistem rujukan serta meningkatkan kualitas pelayanan di Puskesmas merupakan kunci keberhasilan Managed Care. Banyak faktor yang mempengaruhi proses rujukan di Puskesmas Kota Bima dan Kabupaten Bima antara lain disebabkan oleh berbagai masalahmasalah diatas. Hal ini perlu dilakukan suatu upaya yang serius oleh berbagai pihak antara lain Pemerintah sebagai regulator, BPJS sebagai penyelenggara program, fasilitas kesehatan sebagai pemberi pelayanan dan juga masyarakat sebagai penerima pelayanan kesehatan. Semua komponen tersebut harus dapat bekerjasama dalam upaya pengendalian mutu dan pengendalian biaya sehingga SKN bisa berjalan sesuai rencana Undang-Undang (Kemenkes RI, 2012b). Pengendalian rujukan merupakan salah satu upaya yang diharapkan oleh BPJS sebagai upaya kendali mutu dan kendali biaya. Sistem ini diharapkan dapat memberikan keuntungan bagi semua pihak. Misalnya, pemerintah sebagai penentu kebijakan kesehatan (policy maker), manfaat yang akan diperoleh di antaranya, membantu penghematan dana dan memperjelas sistem pelayanan kesehatan. Bagi masyarakat sebagai pemakai jasa pelayanan akan meringankan biaya pengobatan karena pelayanan yang diperoleh sangat mudah. Bagi pelayanan kesehatan (health provider), mendorong jenjang karier tenaga kesehatan, selain meningkatkan
7
pengetahuan maupun keterampilan, serta meringankan beban tugas (Abdullah & Kandou, 2014). B. Perumusan Masalah Memperhatikan latar belakang, maka dapat dibuat suatu rumusan masalah “Bagaimanakah peran masing-masing Dinas Kesehatan dalam memperkuat pelaksanaan sistem rujukan berjenjang di Puskesmas Kota dan Kabupaten Bima”? C. Tujuan Penelitian 1.
Tujuan Umum Untuk mengetahui bagaimana peran Dinas Kesehatan terhadap penguatan sistem rujukan berjenjang pasien BPJS di Puskesmas milik Pemerintah Kota Bima dan Kabupaten Bima.
2.
Tujuan Khusus a. Mengidentifikasi cara perencanaan kebutuhan anggaran, SDM, obat, Alkes dan SOP oleh Dinas Kesehatan Kota Bima dan Kabupaten Bima untuk Puskesmas b. Mengidentifiakasi peran organizing berkaitan dengan SDM, obat, Alkes dan SOP sistem rujukan berjenjang pasien BPJS kesehatan oleh Dinas Kesehatan Kota Bima dan Kabupaten Bima di Puskesmas. c. Mengidentifiakasi peran actuating Dinas Kesehatan Kota Bima dan Kabupaten Bima terhadap pelaksanaan sistem rujukan berjenjang pasien BPJS kesehatan di Puskesmas. d. Mengidentifikasi peran monitoring dan evaluasi yang dilakukan Dinas Kesehatan Kota Bima dan Kabupaten Bima terhadap pelaksanaan sistem rujukan berjenjang pasien BPJS kesehatan di Puskesmas. e. Mengidentifikasi angaran pelaksanaan sistem rujukan berjenjang pasien BPJS Kesehatan di Puskesmas milik Pemerintah Kota dan Kabupaten Bima. f. Mengidentifiakasi kecukupan SDM kesehatan di Puskesmas milik Pemerintah Kota Bima dan Kabupaten Bima.
8
g. Mengidentifikasi
ketersediaan obat, alat kesehatan dan fasilitas
penunjang pelayanan kesehatan di Puskesmas milik Pemerintah Kota Bima dan Kabupaten Bima. h. Mengidentifikasi penggunaan SOP sistem rujukan berjenjang pasien BPJS kesehatan pada Puskesmas milik Pemerintah Kota dan Kabupaten Bima. D. Manfaat Penelitian Secara umum penelitian ini dapat dijadikan sebagai masukan atau tambahan informasi bagi pengambil kebijakan baik di tingkat pusat, daerah, maupun di tingkat Puskesmas dan juga bagi peneliti lain yang akan melakukan penelitian yang serupa. 1.
Tingkat Pusat Dalam penelitian ini berusaha menggali informasi-informasi yang mendalam tentang bagaimana peran Dinas Kesehatan terhadap sistem rujukan BPJS di Puskesmas milik Pemerintah Kota dan Kabupaten Bima, dimana hasilnya dapat menjadi bahan masukan bagi pemerintah pusat sebagai bahan kajian agar regulasi-regulasi yang sudah dibuat sebelumnya bisa lebih lengkap.
2.
Tingkat Daerah Dari penelitian ini, diharapkan bisa menjadi bahan masukan bagi daerah Kota dan Kabupaten Bima, dalam upaya mendukung pelaksanaan sistem rujukan berjenjang pasien BPJS, karena selain Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah juga dapat membuat regulasi tentang bagaimana sistem rujukan berjenjang diwilayahnya sebagai upaya mensukseskan program JKN.
3.
Dinas Kesehatan dan Tingkat Puskesmas Untuk Dinas Kesehatan dapat menjadi masukan dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya sebagai perencana (planning), pengatur (organizing), pelaksana (actuating), memantau (monitoring) dan evaluasi terhadap program dan sumber daya yang ada di wilayah kerjanya. Untuk tingkat Puskesmas, diharapkan dengan adanya hasil penelitian ini dapat menjadi
9
bahan masukan bagi petugas di Puskesmas dalam pengambilan keputusan rujukan kepada pasien BPJS. 4.
Peneliti Penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan literatur bagi penelitian terkait berikutnya. E. Keaslian Penelitian Sepengetahuan peneliti, penelitian tentang, “Peran Dinas Kesehatan
Terhadap Pelaksanaan Sistem Rujukan Berjenjang Pasien BPJS Di Puskesmas Kota Dan Kabupaten Bima” belum pernah dilakukan. Penelitian terkait sebelumnya yang pernah dilakukan antara lain adalah : 1.
Eis Sulastri (2011), “Evaluasi Pelaksanaan Rujukan Ibu Bersalin Pengguna Kartu Sehat Oleh Bidan di Rumah Sakit Umum Daerah Praya Kabupaten Lombok Tengah”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan rujukan ibu bersalin pengguna kartu sehat oleh bidan di Rumah Sakit Umum Daerah Praya Kabupaten Lombok Tengah.” Metode penelitian menggunakan metode evaluasi dengan rancangan cross sectional. Tehnik pengambilan sampel menggunakan consecutive sampling. Sampel dalam penelitian ini adalah Ibu bersalin pengguna kartu sehat yang dirujuk ke Rumah Sakit, evaluasi dilakukan pada aspek Input, proses dan output. Analisa data menggunakan analisa secara kuantitatif dengan analisa univarian, bivarian dengan uji chi –square, dan analisa multivarian menggunakan uji regresi logistic.
2.
Ignasiusluti (2012), “Kebijakan Pemerintah Daerah Dalam Meningkatkan Sistem Rujukan Kesehatan Daerah Kepulauan Di Kabupaten Lingga Provinsi Kepulauan Riau”. Tujuan penelitian untuk mengetahui bagaimana sistem rujukan didaerah kepulauan di Kabupaten Lingga. Metode yang digunakan adalah study kasus. Subjek penelitian adalah Kepala Puskesmas/dokter Puskesmas, perawat/bidan pendamping, supir ambulance/puskel Laut, keluarga pasien.
10
3.
Penelitian ini adalah “Peran Dinas Kesehatan Terhadap Penguatan Sistem Rujukan Berjenjang Pasien BPJS di Puskesmas Kota dan Kabupaten Bima”. Latar belakang penelitian ini adalah tingginya angka rujukan Puskesmas diatas standar 12%. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peran Dinas Kesehatana Kota dan Kabupaten Bima dalam pelaksanaan sistem rujukan berjenjang pasien BPJS di Puskesmas milik Pemerintah Kota dan Kabupaten Bima. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif deskriptif jenis studi kasus dengan subyek penelitian adalah 46 responden yang terdiri dari 10 orang dari Dinas Kesehatan, 30 orang dari Puskesmas dan 6 orang dari instansi terkait.