BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berdasarkan pernyataan sejumlah pengamat pemilu di berbagai media massa didapatkan suatu kecenderungan bahwa pemberitaan media massa terhadap pemilu dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) cenderung bersifat negatif (Rumah Pemilu, 2015; Haq, 2007; Amri & Ansari, 2013; Sendhikasari, 2013). Temuan tersebut juga sesuai dengan hasil riset singkat peneliti tentang pola pemberitaan pemilu pada Pemilu 2009 yang hasilnya memang secara umum kinerja KPU dalam pemberitaan media massa cenderung negatif. Yang dimaksud negatif di sini adalah sebagian besar pemberitaan mengangkat tema bahwa KPU sebagai penyelenggara pemilu mengalami banyak masalah, banyak melakukan kesalahan sehingga dapat disimpulkan bahwa KPU kurang mampu menyelenggarakan pemilu secara profesional dan sesuai dengan harapan publik. Jika pemberitaan-pemberitaan tersebut benar dan objektif, dapat diproyeksikan bahwa pemilu akan gagal dilaksanakan atau penuh dengan kekacauan yang “masif, terstruktur dan sistematis”. Pada kenyataannya pelaksanaan pemilu memang belum sempurna namun dapat dikatakan berjalan dengan cukup baik dan layak diterima hasilnya terbukti dengan diterimanya hasil pemilu walaupun tentu saja terdapat sejumlah sengketa hasil pemilu yang telah diselesaikan di Mahkamah Konstitusi1. Peneliti pernah mewawancarai sejumlah pelaksana pemilu 2009 di tingkat kecamatan dan desa di Kabupaten Gunungkidul. Mereka menyatakan bahwa pemberitaan di media cenderung berlebihan dan hanya menambah bahan bakar bagi pihak-pihak yang ingin menjadikan pemilu sebagai lahan masalah atau menggunakan isu pemilu demi kepentingan kelompoknya. Contohnya adalah gugatan oleh salah satu calon peserta pemilu legislatif 2009 dari daerah pemilihan DI
1
Dalam riset singkat tersebut didapatkan 123 kliping pemberitaan terkait Pemilu 2009, 80 kliping dari harian Kedaulatan Rakyat dan 43 kliping dari Kompas yang dikumpulkan oleh KPU Kabupaten Gunungkidul terkait berita-berita KPU di tingkat pusat, DI Yogyakarta dan KPU Kabupaten Gunungkidul. Dari sampel kliping tersebut didapatkan hasil bacaan bahwa sebagian besar tema pemberitaan bersifat negatif (dengan tema masalah, kekacauan, kesalahan, ketidaksiapan dan tema sejenis lainnya) bagi tahapan pemilu yang dilaksanakan oleh KPU dan tidak ada satupun pemberitaan yang memberikan liputan yang positif atau apresiasi di setiap tahapan. Padahal narasumber yang dikutip oleh awak media sebagian besar berasal dari penyelenggara pemilu seperti KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
1
Yogyakarta yang bagi para panitia pelaksana pemilu tidak dapat dimenangkan, namun mungkin dikarenakan pemberitaan yang tidak berimbang tentang betapa kacaunya pelaksanaan pemilu maka sang calon legislatif “terperdaya” untuk terus mengusahakan gugatan tersebut yang pada akhirnya hanya menghabiskan banyak dana, baik bagi sang penggugat itu sendiri atau bagi KPU untuk mengumpulkan data-data yang begitu banyak. Pada akhirnya kasus tersebut tidak dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi karena tidak memiliki bukti yang cukup. Hal ini juga terulang kembali pada pemilu 2014 di mana energi dan sumber daya bangsa ini dihabiskan untuk memperdebatkan hasil pemilu presiden, yang mungkin salah satu sebabnya adalah masih kurangnya kredibilitas dan reputasi KPU sebagai pelaksana pemilu yang profesional dan layak dipercaya hasil perhitungannya. Jika saja reputasi dan kredibilitas KPU sudah teruji, maka kemungkinan semakin kecil potensi sengketa hasil pemilu itu terjadi karena para pihak yang mengajukan keberatan akan sangat kesulitan mendapatkan bukti yang kuat untuk mendukung tuntutannya. Dengan
melihat
fenomena
tersebut,
maka
KPU
idealnya
perlu
memperhatikan manajemen komunikasi organisasinya terutama dalam aspek hubungan masyarakat (humas) dan lebih spesifik lagi pada aspek hubungan media. Aspek ini penting untuk semakin meningkatkan kinerja, citra, reputasi dan juga kredibilitas KPU sebagai penyelenggara pemilu dan lembaga pemerintah yang dapat dipercaya
(Soekartono,
2010;
Komisi
Pemilihan
Umum,
2014).
Sejak
direformasinya lembaga penyelenggara pemilu dengan dibentuknya KPU di tahun 1999, dapat dilihat suatu kecenderungan bahwa aspek hubungan media ini cukup mendapat perhatian dari KPU. Hal ini dapat dibuktikan dengan dibuatnya ruang khusus media center di seluruh KPU baik KPU kabupaten/kota dan juga KPU provinsi pada pemilu tahun 2009. Pembentukan media center merupakan salah satu awal yang baik bagi terjalinnya hubungan media
yang konstruktif. Karena banyak hal
yang
mempengaruhi bagaimana media massa lebih menekankan suatu isu dibandingkan isu lainnya. Dari sisi hubungan media, di antaranya adalah kedekatan atau intensitas kerjasama antara KPU dengan media massa dan awak media yang meliput pelaksanaan pemilu. Walaupun tentu saja awak media tidak begitu saja dengan mudah diarahkan untuk menampilkan berita yang mendukung lembaga, dikarenakan sifat dasar media yang diharapkan selalu bersikap kritis dan skeptis terhadap sumber 2
beritanya untuk menghasilkan pemberitaan yang mendorong kemajuan wawasan publik (Luhman, 2000). Namun hasil dari usaha awal yang prospektif tersebut sampai saat ini belum berhasil mengangkat tema-tema pemberitaan yang konstruktif bagi pelaksanaan pemilu. Contoh terbarunya adalah pada pemilu 2014 yang lalu ketika media ramairamai membicarakan kekisruhan DPT, media cenderung hanya mendapatkan informasi dari kalangan partai politik dan lembaga swadaya masyarakat (LSM), jarang terdengar mereka menyelidiki permasalahan tersebut ke para pihak yang mengerjakan pendataan DPT tersebut (yaitu panitia pendaftar pemilih dan operator di KPU). Selain itu jarang sekali media menampilkan berita yang jelas, mengapa DPT itu kacau, faktor apa saja yang menyebabkannya dan apa penjelasan KPU dan pihak terkait terhadap masalah DPT tersebut. Dari model pemberitaan hingar-bingar itu masyarakat hanya mendapatkan hiruk-pikuk masalah namun tidak mengetahui apa sebenarnya yang terjadi serta pilihan solusi apa yang dapat dilakukan. KPU sebagai penyedia informasi dan media massa sebagai penyebarnya tidak mampu memberikan wacana yang konstruktif tentang masalah pemilu tersebut, sehingga bisa jadi akan menghasilkan pemahaman masyarakat yang mungkin tidak tepat. Selain itu pemberitaan pemilu yang cenderung negatif, dalam jangka panjang akan membuat reputasi KPU sebagai penyelenggara pemilu semakin rendah dan bisa jadi membuat masyarakat menjadi semakin apatis serta enggan mengikuti proses demokrasi tersebut (Tulung, 2013). Secara kinerja kehumasan, apa yang terjadi pada pemberitaan tentang pemilu atau KPU dapat dikatakan disumbangkan oleh beberapa faktor kelemahan dalam aspek komunikasi (humas) dari KPU. KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu terkesan tidak responsif dalam memberikan informasi-informasi penting tahapan pemilu dan dalam menanggapi krisis atau masalah yang terjadi. KPU terlihat tidak mengembangkan hubungan media yang baik untuk dapat merespon pemberitaan yang negatif yang pada akhirnya langsung atau tidak langsung dapat mengganggu pelaksanaan pemilu. Padahal stigma (reputasi) penyelenggara pemilu selama 32 tahun Orde Baru berkuasa adalah sebagai tukang stempel kecurangan pemilu di mana jamak diketahui bahwa penyelenggara pemilu di berbagai tingkatan melakukan kecurangan demi kemenangan partai pendukung pemerintah (pada masa itu 3
kelompok pendukung pemerintah adalah Golongan Karya atau sekarang disebut dengan partai Golkar). Sehingga perlu usaha keras untuk mengikis stigma tersebut dan menunjukkan bahwa penyelenggara pemilu sekarang yaitu KPU merupakan lembaga yang memiliki kredibilitas dan profesionalitas yang semakin baik dan dapat dipercaya hasil pekerjaannya. Idealnya kinerja komunikasi, citra, reputasi dan kredibilitas lembaga KPU Kabupaten Sleman merupakan hasil dari usaha sistematis semua unsur dalam lembaga tersebut untuk mengkomunikasikan berbagai program dan informasi penting kepada masyarakat. Tanpa pelaksanaan manajemen komunikasi yang tepat, informasi internal antar bagian akan macet dan begitu pula kinerja lembaga secara keseluruhan, kinerja KPU tidak akan diketahui oleh masyarakat, program-program kerja tidak tersosialisasikan dengan baik kepada pemangku kepentingan, informasi eksternal macet yang tentu akan menghambat program kerja dan berbagai kekacauan lainnya. Oleh karena itu, posisi manajemen komunikasi idealnya mendapatkan porsi perhatian yang setidaknya mencukupi untuk dapat mendukung keberhasilan program kerja lainnya yang pada akhirnya meningkatkan citra dan reputasi lembaga sehingga meningkatkan kredibilitas lembaga (Argenti, 2009; Cornelissen, 2004). Salah satu aspek penting dalam manajemen komunikasi di lembaga adalah hubungan media. Hubungan media merupakan salah satu aspek penting bagi semua organisasi termasuk lembaga pemerintah. Bagi lembaga pemerintah tujuan yang hendak dicapai adalah kelancaran program kerja, kelancaran pelayanan publik dan penguatan kelembagaan melalui peningkatan kredibilitas, citra dan reputasi lembaga di hadapan publik (Garnett, 1992; Marek, 2003). Di sisi lain pemberitaan media massa merupakan wacana yang dominan dalam masyarakat. Meskipun media massa dengan pemberitaannya belum mampu menggiring opini masyarakat secara langsung, namun setidaknya dapat menggiring perhatian masyarakat terhadap masalah yang diangkat (Kleinnijenhuis et al, 2006). Jika media massa memberitakan isu A maka sebagian besar masyarakat akan memperhatikan topik A tersebut dan sebaliknya jika media memberitakan isu B maka sebagian masyarakatpun akan memperhatikan topik B tersebut yang sering diistilahkan dengan teori “agenda setting” (Cornelissen, 2004).
4
Selain faktor-faktor pentingnya media bagi lembaga pemerintah dalam fenomena-fenomena yang dibahas di atas, tema hubungan media yang merupakan aspek terpenting dalam hubungan masyarakat di lembaga pemerintah khususnya KPU dalam pengamatan peneliti belum banyak diteliti secara mendalam. Jika kita menelusuri google.com maka sebagian besar hasil riset yang dapat diakses masih berkutat pada aspek kehumasan secara umum pada lembaga pemerintah dan pemerintah daerah, atau jikapun terdapat sejumlah penelitian tentang hubungan media di lembaga pemerintah, sebagian besar menyasar pada lembaga-lembaga kementerian di pusat dan lembaga pemerintah daerah baik provinsi dan kabupaten/kota, contohnya adalah skripsi tentang kegiatan hubungan media yang dijalankan bagian Humas Pemerintah Kota Yogyakarta (Saputro, 2009). Dalam penelusuran tersebut, peneliti hanya mendapatkan sedikit sekali penelitian terkait humas KPU dan tercatat hanya satu penelitian berupa tesis terkait media center KPU itupun di tingkat KPU pusat saat menghadapi krisis logistik pada pemilu 2004 (Irawati, 2005), kemudian skripsi tentang program sosialisasi KPU di sejumlah KPU provinsi dan kabupaten baik dalam pemilu dan juga pemilukada (Devi, 2010; Rochmah, 2010). Selain itu, dengan melakukan penelusuran hasil penelitian elektronik di perpustakaan Universitas Gadjah Mada terdapat sejumlah penelitian terkait kehumasan dan khususnya hubungan media yang sebagian berbentuk skripsi di antaranya tentang hubungan media (media relations) di Kementerian Pekerjaan Umum (PU) (Novitasari, 2014). Tesis tentang penggunaan media sosial on line oleh praktisi humas di Yogyakarta (Pienrasmi, 2015). Skripsi tentang humas Badan Pemeriksa Keuangan terkait dengan Undang-undang keterbukaan informasi publik (Hidayati, 2014). Sehingga menurut saya penelitian tentang hubungan media di KPU Kabupaten Sleman ini cukup signifikan untuk dilakukan setidaknya sebagai tambahan konteks pengetahuan kehumasan di KPU Kabupaten Sleman yang mungkin saja memiliki perbedaan-perbedaan konteks dan masalah. B. Rumusan Masalah Dengan latar belakang masalah di atas, tesis ini berusaha menjawab dua pertanyaan yaitu: 1. Bagaimana pelaksanaan hubungan media KPU Kabupaten Sleman dalam pemberitaan pemilu 2014? 5
2. Faktor apa saja yang mempengaruhi proses pelaksanaan hubungan media tersebut? C. Tujuan Penelitian 1. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana sebenarnya kinerja hubungan media yang dilaksanakan oleh KPU pada saat Pemilu 2014 di mana momen tersebut merupakan salah satu momentum yang menentukan kinerja, kredibilitas dan reputasi lembaga. 2. Selain itu riset ini juga bertujuan mengetahui faktor-faktor internal dan eksternal apa saja yang mempengaruhi kinerja hubungan media yang dijalankan oleh KPU Kabupaten Sleman selama tahapan Pemilu 2014. D. Manfaat Penelitian 1. Dari penelitian ini diharapkan diperoleh tambahan pengetahuan tentang aktifitas hubungan media yang dijalankan oleh KPU Kabupaten Sleman sebagai lembaga pemerintah dan dialektikanya dengan awak media dalam masalah pola pemberitaan pemilu. Pengetahuan ini dapat dimanfaatkan sebagai tambahan bukti, referensi atau konteks bagi riset-riset serupa yang mencoba mengaitkan antara manajemen komunikasi lembaga pemerintah dengan arah pemberitaan. 2. Dari pengetahuan di atas, publik yang berminat dapat memperoleh manfaat praktis khususnya bagi pelaksana humas di lembaga pemerintah, terutama KPU di berbagai tingkatan tentang bagaimana idealita dan realita hubungan media yang dijalankan pelaksana pemilu untuk menghasilkan pemberitaan yang konstruktif bagi pelaksanaan pemilu dan membantu meningkatkan kredibilitas penyelenggara pemilu. Dengan memiliki modal pengetahuan tersebut, para pelaksana pemilu memiliki setidaknya pemahaman yang mencukupi untuk terus mengembangkan kompetensi pribadinya di bidang kehumasan dan hubungan media yang semakin optimal sesuai dengan yang diharapkan dalam teori-teori hubungan media. E. Kerangka Pemikiran E.1.
Humas
E.1.1 Definisi Grunig dan Hunt mendefinisikan istilah humas atau public relations (PR) sebagai sekumpulan tata kelola atau manajemen komunikasi organisasi terhadap publiknya (Grunig et al, 2002; Tench et al, 2009; Hunt & Grunig, 1994). Sedangkan Cutlip, Center dan Broom mendefinisikan humas sebagai fungsi manajemen yang 6
membangun dan menjalankan hubungan baik yang saling menguntungkan antara organisasi dengan publik yang berpengaruh terhadap kesuksesan dan kegagalan organisasi (dalam Watson & Noble, 2007). Dalam referensi lainnya ditambahkan sejumlah kata mencakup proses komunikasi, pengawasan dan fungsi-fungsi teknis komunikasi yang bersifat strategis dan menyeluruh dari suatu lembaga untuk menjalin komunikasi yang baik dan mendapatkan kesepahaman dengan semua pihak yang berkepentingan terhadap organisasi tersebut sehingga pada akhirnya memberikan dampak positif bagi organisasi (Harvard Business School Publishing Corporation & The Society for Human Resource Management, 2006). E.1.2 Cakupan. a. Humas Internal dan Eksternal Humas di organisasi besar seperti perusahaan multinasional telah berkembang menjadi manajemen komunikasi yang secara menyeluruh menangani berbagai masalah komunikasi lembaga baik eksternal dan internal. Humas internal merupakan fungsi komunikasi yang menangani berbagai masalah komunikasi di dalam internal lembaga seperti hubungan antara pimpinan dan pekerja, sosialisasi kebijakan organisasi kepada pekerja, memperkuat ikatan organisasi dengan pekerja melalui berbagai metode seperti pelatihan, rekreasi dan integrasi keluarga pekerja ke dalam organisasi (Novitasari, 2014, hal. 9). Singkatnya humas internal bertujuan mengoptimalkan kinerja pekerja dengan memperbaiki alur komunikasi di dalam organisasi untuk menghasilkan kinerja organisasi yang optimal. Jika alur komunikasi internal tidak optimal maka kecil kemungkinan humas eksternal dapat berjalan optimal karena kedua aspek komunikasi ini saling mempengaruhi. Sedangkan fungsi humas eksternal secara ringkas merupakan usaha organisasi mengelola komunikasi dengan berbagai pihak luar organisasi yang terkait atau pemangku kepentingan. Di dalam organisasi bisnis fungsi ini memiliki sejumlah sub fungsi seperti hubungan dengan media atau pers, investor, komunitas, pemerintah, publik, pemasaran dan lain sebagainya (Argenti, 2009). Selain itu fungsi kehumasan juga membantu bagian-bagian atau departemen lain di dalam organisasi yang mengalami masalah komunikasi (Hunt & Grunig, 1994). Humas memiliki posisi dan kewenangan yang tinggi serta strategis dalam struktur perusahaan modern (Argenti, 2009). Namun dalam prakteknya di organisasi-organisasi kecil dan menengah, apalagi di Indonesia fungsi humas ini seringkali masih ditempatkan di
7
bagian yang kecil dan lebih pada tugas-tugas protokoler dan hubungan eksternal (Novitasari, 2014). b. Kompetensi Kehumasan Manajerial dan Teknis Humas menurut Grunig dan Hunt merupakan paduan antara kemampuan teoritis
manajerial
kehumasan
dan
teknis-teknis
komunikasi
kehumasan.
Kemampuan teknis humas mencakup berbagai kemampuan teknis komunikasi seperti kemampuan liputan media, menulis pidato dan rilis pers, menulis dan mendesain brosur, memproduksi video iklan, negosiasi dengan pihak luar, berkomunikasi dengan masyarakat, melobi pihak pihak eksternal, mengadakan acara khusus dan menulis laporan tahunan. Sedangkan kemampuan manajerial atau teoritis humas mencakup kemampuan melakukan riset, perencanaan, sumbang-saran kepada pimpinan, evaluasi program dan kemampuan manajerial lainnya (Hunt & Grunig, 1994). Selain itu, dalam hal kompetensi kehumasan ini, perlu keseimbangan dan atau alokasi personil yang tepat untuk menghasilkan program humas yang optimal. Sekedar memiliki staf yang menguasai teknis-teknis kehumasan dan menjalankannya tanpa memperhatikan aspek manajerial kehumasan akan menghasilkan repetisi aktifitas teknis humas yang tidak didasarkan oleh pemikiran komunikasi yang menyeluruh. Hasil dari pelaksanaan teknik-teknik humas semata tidak akan menghasilkan program humas yang optimal karena publik yang dihadapi terus berubah sehingga diperlukan waktu jeda untuk melakukan riset, evaluasi dan perencanaan menyeluruh selanjutnya. Sedangkan sekedar menguasai kemampuan manajerial kehumasan juga hanya akan menghasilkan rencana program humas yang bagus di kertas namun gagal dalam prakteknya. c. Siklus Program Kerja Humas Menurut sejumlah ahli kehumasan (Argenti, 2009), berikut ini adalah beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk menghasilkan siklus program humas yang efektif baik bagi organisasi di antaranya: 1. Perencanaan atau menentukan tujuan yang jelas dan terukur, setiap organisasi memiliki alasan yang berbeda-beda saat berkomunikasi dengan publiknya sehingga penentuan tujuan yang jelas dan spesifik disertai dengan ukuran keberhasilan yang juga terukur akan mempermudah pelaksanaan program komunikasi tersebut. 2. Memperhitungkan sumber daya yang tersedia, yaitu mencakup: 8
a.
Anggaran, perlu diperhitungkan anggaran atau biaya suatu strategi komunikasi, tidak hanya biaya dalam jangka pendek namun yang lebih penting adalah akibat atau biaya jangka panjang dan juga biaya reputasi, citra serta kredibilitas lembaga.
b.
Sumber daya manusia, untuk menghasilkan program komunikasi yang sukses memerlukan sumber daya manusia yang setidaknya mencukupi dengan kompetensi yang cukup pula dan disesuaikan dengan kondisi yang dihadapi oleh organisasi tersebut.
c.
Waktu, organisasi idealnya mengalokasikan waktu yang tepat dengan kata lain
responsif
dalam
menjalankan
program
komunikasi
yaitu
mengalokasikan waktu sesuai dengan kondisi yang dihadapi oleh organisasi, dengan memprioritaskan kepentingan jangka panjang untuk meminimalisir bertumpuknya masalah di masa depan. Penumpukan masalah ini biasanya menghasilkan krisis yang lebih sulit dihadapi. 3. Evaluasi, organisasi perlu melakukan evaluasi hasil program sebagai dasar acuan untuk melakukan program komunikasi selanjutnya. Menakar posisi awal ini di antaranya dengan melakukan riset persepsi konstituen terhadap organisasi, sehingga diketahui persepsi terkini konstituen terhadap organisasi. Selanjutnya organisasi dapat melakukan program perbaikan atau peningkatan. E.1.3. Model Humas. Dalam kehumasan terdapat berbagai macam praktek humas yang masingmasing
memiliki
perbedaan.
Secara
ringkas
berbagai
variasi
tersebut
dikategorisasikan menjadi model-model kehumasan yang terdiri dari empat model humas. Model humas ini dikembangkan dan dipopulerkan oleh Grunig dan Hunt. Empat model kehumasan tersebut di antaranya: 1. Model publisitas (pers agentry/publicity). Model kehumasan yang memiliki tujuan utama propaganda atau penyebaran informasi organisasi kepada publik agar publik menyesuaikan diri dengan organisasi, sifat komunikasi di dalamnya satu arah dan di dalamnya kebenaran utuh tidak penting sehingga yang penting adalah agenda organisasi. 2. Model informasi publik (public information). Dalam model humas sebagai pelaksana informasi publik, humas bertujuan utama menyebarkan informasi kepada publik dengan alur komunikasi satu arah. Berbeda dengan model agen pers/publisitas, dalam model informasi publik 9
kebenaran informasi merupakan hal yang penting sehingga kredibilitasnya lebih baik. 3. Model timbal balik asimetris (two way asymmetric) atau persuasi ilmiah. Model ini menggunakan landasan riset ilmiah untuk mempengaruhi publik dan memberikan stimulus pemikiran kepada publik agar sesuai dengan agenda organisasi. Namun model ini masih dominan hanya dalam usaha merubah perilaku publik agar sesuai agenda organisasi namun kurang memberikan ruang terhadap perubahan perilaku organisasi untuk menyesuaikan diri dengan aspirasi publik. 4. Model timbal balik simetris (two way symmetric) Merupakan model humas yang paling ideal karena tidak hanya merupakan usaha merubah publik sesuai agenda organisasi namun juga memberikan input bagi organisasi untuk terus menyesuaikan diri dengan publiknya. Dengan kata lain humas dengan model ini merupakan media diskusi antara organisasi dan publiknya untuk mencapai kesepahaman bersama (dirangkum dari Hunt & Grunig, 1994; Putra & Sukarno, 2013). Di dalam setiap organisasi, sejumlah faktor yang sangat berpengaruh terhadap pilihan model dan bagaimana pelaksanaan kehumasan di antaranya adalah: 1. Kultur organisasi yang tepat. Kultur organisasi yang baik seperti karakter lembaga yang terbuka, kompetitif atau berbagai karakter organisasi yang positif lainnya serta kultur organisasi yang menempatkan reputasi dan kredibilitas lembaga sebagai salah satu hal yang terpenting akan menghasilkan program komunikasi yang setidaknya dipikirkan dan dirumuskan secara strategis. 2. Kepemimpinan yang memberikan akses dan perhatian terhadap aspek humas secara logis akan mendukung pelaksanaan program humas. Walaupun tipe kepemimpinan di berbagai lembaga seringkali bersifat unik sesuai dengan karakter pribadi pemimpin, faktor yang penting adalah apakah kepemimpinan tersebut sesuai dengan kondisi organisasi dan mendorong bawahannya memperhatikan aspek humas dan memperkuat kinerja komunikasinya. Umumnya karakter kepemimpinan yang terbuka dan responsif memiliki kecenderungan perhatian yang lebih tinggi terhadap aspek humas di dalam lembaganya. 3. Struktur organisasi yang mendukung berkembangnya kehumasan yang baik. Penempatan
fungsi
komunikasi
pada
posisi
yang
tepat
akan
sangat 10
mempengaruhi kinerja komunikasi dan pada akhirnya meningkatkan kinerja organisasi secara keseluruhan. Dalam sejumlah literatur kehumasan disebutkan semakin tinggi penempatan struktur fungsi komunikasi dalam suatu lembaga cenderung menghasilkan kinerja komunikasi yang optimal (Kurnia & Putra, 2004). 4. Anggaran dan sumber daya manusia yang mencukupi (empat poin ini disadur dari Vos & Westerhoudt, 2008; Argenti, 2009). Faktor-faktor di atas merupakan faktor-faktor yang sangat menentukan pilihan model, pelaksanaan dan juga keberhasilan program humas. Tanpa bersinerginya berbagai faktor tersebut, akan sulit menghasilkan program kerja humas yang sukses dan memberikan pengaruh positif bagi lembaga, seperti citra positif dan peningkatan kredibilitas lembaga.
E.2.
Humas Pemerintah Humas pemerintah secara definisi relatif serupa dengan definisi humas
organisasi umum seperti yang dinyatakan oleh Grunig dan Hunt, yaitu sebagai media komunikasi timbal-balik antara lembaga pemerintah dengan publik luas. Garnett (1992) menyatakan bahwa lembaga pemerintahan di berbagai level memiliki kewajiban memberitahu publik dan mendengarkan publiknya dengan kata lain humas pemerintah adalah penyebar informasi dan pendengar aspirasi publik. Dalam konteks negara maju seperti Amerika Serikat (AS) istilah PR lembaga pemerintah oleh publik Amerika Serikat-pun dikritisi oleh sebagian publik dan dianggap tidak tepat dalam menjembatani komunikasi antara publik dan lembaga pemerintah karena dikonotasikan memiliki pengaruh yang buruk bagi opini publik terhadap pemerintahan. Sehingga fungsi PR dalam pemerintahan AS menggunakan berbagai istilah lain seperti staf, pengelola atau ahli informasi publik, urusan publik, publikasi, komunikasi dan lain sebagainya. Namun secara garis besar fungsi kehumasan di dalamnya tetap dijalankan oleh lembaga pemerintah dengan perubahan istilah yang dianggap tidak terlalu „ofensif’ dan lebih bersifat memenuhi kepentingan publik (Turney, 2009). Sedangkan perkembangan humas di Indonesia sebagai jembatan komunikasi pemerintah dengan pihak luar secara sadar telah dijalankan sejak awal pembentukan negara. Walaupun tentu saja dengan berbagai keterbatasan dan berbagai perubahan 11
kondisi umum pemerintahan, humas pemerintah berjalan mengikuti dinamika yang terjadi. Di masa awal kemerdekaan bidang komunikasi digunakan sebagai media mengkomunikasikan usaha kemerdekaan dan diplomasi internasional serta konsolidasi kekuatan negara. Di masa Orde Baru peran komunikasi atau humas didominasi oleh pemerintahan untuk menstabilkan kondisi negara dan menguasai serta mengendalikan aliran informasi di masyarakat melalui Departemen Penerangan. Selain itu sejak tahun 1970-an dibentuk Badan Kordinasi Hubungan Masyarakat (Bakohumas) yang mengkordinasi humas antar departemen dan lembaga pemerintah di berbagai level baik pusat, provinsi dan kabupaten/kota (Kurnia dan Putra, 2004). Dalam perkembangan terbaru di era pasca Reformasi ketika demokrasi mulai ditegakkan, fungsi komunikasi dan humas di lembaga pemerintah mulai direvitalisasi melalui berbagai pembentukan tata perundangan tentang alur informasi publik dan reformasi birokrasi. Sehingga fungsi komunikasi pemerintah dan juga humas pemerintah sepertinya diarahkan kembali sesuai dengan definisi humas ideal, yaitu menjadi simpul komunikasi dua arah antara organisasi dengan publiknya. Walaupun dalam prakteknya humas pemerintah di sebagian besar lembaga pemerintah masih menerapkan komunikasi searah yang ditandai dengan dominannya penggunaan media massa sebagai saluran komunikasi dalam menyebarkan informasi kepada publik (Lubis, 2012). Humas
pemerintah
banyak
memiliki
kesamaan
dan
seringkali
dikomparasikan dengan humas di organisasi bisnis, namun dalam aspek tertentu memiliki sejumlah perbedaan dengan humas di lembaga bisnis. Sejumlah perbedaan tersebut di antaranya dalam hal yang mendasari pentingnya humas dan tujuan pelaksanaan humas. Dalam humas pemerintah, kegiatan humas lembaga pemerintah didasari oleh kewajiban pemerintahan yang demokratis terhadap publiknya dalam memberikan informasi, edukasi dan pemberdayaan publik serta yang paling penting adalah sebagai media komunikasi antara pemerintah dan masyarakat sebagai usaha untuk memenuhi kewajiban lembaga menjalankan misi utamanya yaitu melayani publik. Untuk itu humas di lembaga pemerintah memiliki sejumlah tujuan yang sedikit berbeda dari tujuan humas di lembaga bisnis, di antaranya: 1. Menjalin interaksi dengan publik dalam rangka membuat publik mengetahui kondisi lembaga pemerintah, mendidik dan memberdayakan publik terkait program-program kerja lembaga pemerintah yang melibatkan publik. 12
2. Melayani hak publik terhadap informasi dan menghasilkan kebijakan pemerintah yang transparan. 3. Dengan kinerja komunikasi yang baik akan menghasilkan citra positif, peningkatan reputasi dan kredibilitas lembaga. 4. Meningkatnya reputasi dan kredibilitas lembaga akan meningkatkan kepercayaan publik dan meningkatkan partisipasi publik terhadap kebijakan lembaga (disadur dari Vos & Westerhoudt, 2008). Dengan melihat tujuan komunikasi lembaga pemerintah di atas, diperoleh gambaran cakupan fungsi yang ditangani oleh fungsi kehumasan di lembaga pemerintah
di
antaranya
fungsi
pelayanan
informasi
publik,
fungsi
periklanan/kampanye, sosialisasi, pendidikan dan penyuluhan lembaga, hubungan media, komunikasi internal dan manajemen krisis. Semua fungsi kehumasan tersebut secara keseluruhan pada akhirnya juga terkait dengan identitas, citra, reputasi dan kredibilitas lembaga pemerintah (Garnett, 1992). Dalam perkembangan terbaru kehumasan di lembaga pemerintah di Indonesia, fokus utama fungsi humas di era terkini adalah penguatan fungsi akses komunikasi publik, hal ini ditandai dengan penguatan berbagai dasar peraturan dan infrastruktur untuk memberikan akses pelayanan publik yang lebih baik (Hidayati, 2014). Humas pemerintah sepertihalnya humas di organisasi bisnis memiliki dua cakupan pekerjaan yaitu humas atau komunikasi internal dan eksternal. Usaha-usaha fungsi humas internal di organisasi bisnis tersebut juga dilakukan oleh lembaga pemerintah seperti dalam pelatihan pegawai, acara-acara penguatan kelembagaan melalui pelatihan dan rekreasi untuk memperkuat ikatan internal organisasi, namun istilah „bagian‟ atau departemen mana yang mengerjakan humas internal tersebut seringkali lebih banyak dikerjakan oleh bagian sumber daya manusia atau bagian umum. Dalam organisasi pemerintah fungsi humas eksternal juga menerapkan pembagian sub fungsi-fungsi tersebut dengan variasi atau adaptasi istilah yang pada dasarnya komunikasi dengan pemangku kepentingan eksternal seperti hubungan antar lembaga, hubungan media, laporan kinerja kepada publik, respon masalah publik, meningkatkan penggunaan layanan lembaga, pendidikan dan kampanye serta pemberdayaan masyarakat (Lee et al , 2012). Pada umumnya fungsi eksternal inilah yang benar-benar ditangani oleh bagian humas di lembaga pemerintah, contohnya dalam memberikan pelayanan informasi publik, hubungan dengan lembaga lain, 13
sosialisasi dan penyuluhan program kerja kepada masyarakat dan pemberdayaan serta peningkatan partisipasi masyarakat terhadap program kerja lembaga. E.3.
Hubungan media Dengan merangkum sejumlah referensi kehumasan, hubungan media
merupakan salah satu bagian yang paling penting dan juga disebut sebagai asalmuasal fungsi kehumasan (Hunt & Grunig, 1994; Theaker, 2001). Definisi hubungan media menurut Grunig menekankan pada idealisme bahwa hubungan media merupakan jalinan hubungan baik antara praktisi humas dengan media massa dalam jangka panjang untuk menghasilkan liputan yang positif bagi lembaga dan publik. Sedangkan Cutlip, Center dan Broom (dalam Putra dan Sukarno, 2013) menyatakan hubungan media adalah spesialisasi dalam humas yang berfungsi membangun dan memelihara hubungan mutualisme antara organisasi dengan berbagai saluran komunikasi dalam hal ini media massa yang meliput di organisasi tersebut. Selain itu hubungan media dirumuskan sebagai usaha diseminasi informasi yang dilakukan oleh organisasi kepada pemangku kepentingan sesuai dengan agenda lembaga tersebut melalui kerjasama peliputan media massa profesional (Argenti, 2009). Definisi tersebut serupa dengan Jefkins (dalam Putra dan Sukarno, 2013) yang menyatakan
hubungan
media
adalah
usaha
humas
untuk
mendapatkan
publisitas/liputan media secara maksimal. Dalam hubungan media, salah satu acuan dalam menilai apakah program hubungan media tersebut berjalan dengan baik adalah pola pemberitaan lembaga yang sering disebut dengan publisitas baik atau publisitas buruk (good or bad publicity). Istilah ini dalam sejumlah riset dirumuskan sebagai arah (tone) atau sifat berita yang secara sederhana dapat dikategorikan berdasarkan judul atau tema utama ke dalam berita favourable, netral dan unfavourable, dengan kata lain berita positif, netral dan negatif (Hunt & Grunig, 1994). Dalam riset ini kategorisasi tersebut juga diperluas dengan memasukkan kategori kecenderungan seperti condong negatif atau condong positif untuk mengakomodir pesan-pesan berita yang mungkin tidak eksplisit dan ekstrim dalam menampilkan kata-kata kunci baik dalam judul dan juga tema berita. Hubungan media di lembaga pemerintah memiliki perbedaan dibandingkan dengan hubungan media di organisasi non pemerintah yang menghasilkan perbedaan 14
perlakuan media di dalamnya. Perbedaan tersebut di antaranya adalah bahwa hubungan media dengan lembaga pemerintah lebih asimetris dan cenderung dikuasai oleh lembaga pemerintah dikarenakan media massa sebagai institusi bisnis memiliki keterbatasan kekuasaan dan akses lainnya dibandingkan dengan lembaga pemerintah. Selain itu media massa juga sangat bergantung terhadap lembaga pemerintah dalam hal narasumber berita sehingga sebenarnya banyak faktor yang dapat memudahkan hubungan media lembaga pemerintah (Berita Kementerian, 2014; Lee et al, 2012). Namun di negara-negara penganut sistem demokrasi seperti Indonesia di masa ini, kesenjangan atau hegemoni lembaga pemerintah terhadap media massa semakin berkurang seiring dengan menguatnya nilai demokrasi dan aktifisme publik, sehingga lembaga pemerintah semakin perlu memperhatikan aspek hubungan medianya. Karena media massa di satu sisi bisa menjadi rekan kerja baik dalam menyebarkan informasi kelembagaan kepada publik seluas-luasnya namun di sisi lain dapat menyebarkan informasi negatif yang berakibat buruk bagi kredibilitas lembaga jika kinerja hubungan media suatu lembaga tidak berjalan baik. Tujuan hubungan media di lembaga pemerintah di antaranya adalah: 1. Berinteraksi dengan publik luas dan membuat publik luas paham dengan kebijakan yang diambil oleh suatu lembaga pemerintah serta membentuk kebijakan yang transparan. 2. Membangun dan mempertahankan kredibilitas lembaga pemerintah di mata publik di antaranya melalui perbaikan citra lembaga dan meningkatkan profil lembaga di media. Tidak seperti iklan atau advertorial, pemberitaan positif terhadap suatu lembaga memiliki kredibilitas yang lebih tinggi di mata publik. Sehingga hubungan media yang menghasilkan pemberitaan positif, jauh lebih efektif dalam meningkatkan kepercayaan publik dari pada iklan dan advertorial. 3. Merubah perilaku dari publik yang ditargetkan (sosialisasi, kampanye dan edukasi), di lembaga pemerintah seperti KPU, perubahan perilaku publik terhadap pemilu merupakan salah satu hal terpenting dalam menghasilkan pemilu yang berkualitas. Sejumlah perubahan sikap tersebut di antaranya adalah peningkatan partisipasi pemilih, peningkatan kualitas pemilih dan hasil pemilihan (pemilih cerdas, kampanye anti politik uang dan berbagai aspek lainnya). 15
4. Mempengaruhi keputusan politik dari lembaga lain yang terkait. Dalam hal ini KPU dengan lembaga negara lainnya terutama yang sangat berpengaruh bagi kinerja KPU. Profil media KPU yang kredibel akan mempengaruhi keputusan politik di berbagai level. Dengan perubahan sikap di lembagalembaga yang terkait dengan KPU seperti kepala daerah, pemutus kebijakan anggaran, legislatif pusat dan lembaga kepresidenan maka berbagai masalah yang dihadapi KPU akan mendapatkan dukungan yang optimal dari lembaga negara lainnya (disadur dari Vos & Westerhoudt, 2008; Theaker, 2001). Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, walaupun hubungan antara lembaga pemerintah dengan media massa memiliki ketimpangan terutama dalam hal akses kekuasaan dan ketergantungan media terhadap informasi dari lembaga pemerintah. Dalam perkembangan terkini khususnya di Indonesia ketika pemerintah telah menerapkan dan menegakkan demokrasi dan terus meningkatkan peran serta masyarakat dalam berbagai kebijakan publik, maka aspek hubungan media humas pemerintah perlu semakin diperkuat. Karena melalui medialah, lembaga pemerintah dapat dengan mudah dan seluas mungkin menyebarkan informasi kepada publik dan sekaligus mendapatkan respon atau reaksi publik terhadap suatu kebijakan untuk mendapatkan rumusan kebijakan yang komprehensif dan sesuai dengan aspirasi rakyat (Garnett, 1992). Agar lembaga memiliki hubungan media yang baik, lembaga tersebut harus memiliki pola pikir bahwa yang terpenting dalam hubungan media adalah hubungan baik jangka panjang antara praktisi atau aktor humas dengan awak media (Hunt & Grunig, 1994). Hubungan baik ini sebenarnya merupakan wujud strategi komunikasi komunikasi yang terintegrasi dan komprehensif meliputi rencana jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang (Argenti, 2009). Hubungan media yang baik juga membutuhkan sejumlah prasyarat sikap, baik dari sisi praktisi humas dan juga dari
awak
media.
Sikap-sikap
tersebut
diantaranya
saling
menghormati,
kesepahaman, saling percaya dan kemampuan saling mentoleransi berbagai keterbatasan antara kedua profesi yang saling membutuhkan tersebut (Hunt & Grunig, 1994).
16
Selain sikap-sikap tersebut, menurut Hunt dan Grunig (1994) terdapat setidaknya tiga hal yang harus dilakukan oleh praktisi hubungan media yang akan menghasilkan hubungan media yang optimal di antaranya: 1. Kemampuan dalam bekerjasama dan memberikan informasi yang baik kepada media. 2. Membangun kredibilitas agar dapat selalu diandalkan sebagai sumber berita yang terpercaya. 3. Membangun hubungan pribadi yang baik dengan awak media. Sedangkan secara teknis, menurut Grunig dan Hunt hubungan media mencakup sejumlah pekerjaan teknis hubungan media, di antaranya: 1. Konferensi pers, yaitu narasumber memberikan informasi kepada sekelompok wartawan, biasanya menanggapi suatu isu yang sedang hangat dibicarakan. 2. Press briefing (pengarahan kepada awak pers), yaitu pemberian informasi secara rutin oleh humas atau pejabat lembaga kepada wartawan tentang berbagai perkembangan terkini lembaga. 3. Kunjungan wisata bersama awak media, yaitu lembaga mengadakan kunjungan ke wilayah wisata dengan mengikutsertakan wartawan untuk menjalin ikatan pribadi yang lebih baik. 4. Siaran pers, yaitu memberikan informasi kepada awak media untuk dimuat di medianya, biasanya dalam bentuk tulisan baik cetak dan juga elektronik. 5. Acara khusus, saat menjalankan suatu acara khusus, lembaga mengundang dan memfasilitasi wartawan untuk turut serta dan meliput acara tersebut. 6. Jamuan makan bersama awak media, serupa dengan kunjungan wisata, jamuan makan dengan wartawan memberikan wadah bagi pimpinan dan wartawan untuk dapat menjalin hubungan baik. 7. Wawancara individual, yaitu pelaksanaan wawancara antara pimpinan dengan seeorang wartawan secara khusus untuk memberikan informasi yang terkesan eksklusif. 8. Wawancara atau temu bicara di radio dan atau televisi. 9. Serta kunjungan ke redaksi media, yaitu kunjungan pimpinan lembaga untuk audiensi kepada pimpinan dan redaksi media untuk menjalin kerjasama dengan instansi media.
17
Terdapat beberapa jenis media yang saat ini diperhatikan oleh masyarakat di antaranya adalah media cetak seperti koran, majalah, media suara seperti radio, media audio visual seperti televisi dan juga media yang terbaru yaitu media on line yang dapat bersifat tulisan, audio, visual dan bahkan interaktif (Parsons, 2008). Pemahaman aktor humas terhadap masing-masing jenis media perlu diperdalam untuk mendapatkan hubungan media yang efektif dan efisien karena kesalahan pemilihan mitra media massa dan kurang tepatnya target audiens akan sangat mempengaruhi cakupan pemangku kepentingan yang ingin dicapai oleh suatu kegiatan diseminasi informasi (Argenti & Barnes, 2009). Di masing-masing media ini terdapat berbagai perbedaan cara kerja pemberitaan yang perlu juga dipahami oleh praktisi humas dan hubungan media untuk dapat menghasilkan program hubungan media yang optimal, di antaranya pengetahuan tentang pangsa pasar media, filosofi dan idealisme media, aktor penentu munculnya pemberitaan dan berbagai aspek lainnya. F. Kerangka Konsep Penelitian ini bertujuan membahas pelaksanaan salah satu program yang terpenting bagi humas pemerintah yaitu hubungan media. Hubungan media adalah jalinan kerjasama antara aktor humas dengan media massa profesional untuk menghasilkan liputan yang positif bagi lembaga. Hubungan media dapat dikatakan merupakan inti pekerjaan humas berdasarkan sejumlah riset tentang humas lembaga pemerintah di berbagai tingkatan lembaga dan pemerintah daerah. Hubungan media mencakup setidaknya tiga prinsip agar dapat berjalan dengan optimal yaitu meliputi membangun kredibilitas pelaksana hubungan media agar dapat dipercaya sebagai sumber berita, mengembangkan hubungan pribadi yang baik antara humas dengan awak media dan kemampuan kerjasama yang dimiliki oleh humas dan lembaga. Untuk menggambarkan teknis pelaksanaan hubungan media dapat dilihat dari bagaimana proses pelaksanaan berbagai program hubungan media yang secara umum meliputi siklus pelaksanaan program kehumasan yaitu bagaimana fact finding atau riset awal dalam program hubungan media yang dijalankan. Kemudian bagaimana communicating/pelaksanaan atau implementasi program hubungan media seperti aspek perencanaan dan realisasi program (anggaran, SDM dan implementasi teknis). Yang terakhir adalah bagaimana evaluasi program hubungan media yang telah dijalankan sebagai dasar perencanaan selanjutnya.
18
Selain itu riset ini juga membahas berbagai faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi pelaksanaan hubungan media. Faktor-faktor tersebut mencakup faktor kelembagaan KPU secara umum dan juga kondisi khusus di KPU Kabupaten Sleman. Sejumlah faktor penting yang menentukan bagaimana kinerja dan proses dalam program hubungan media tersebut di antaranya adalah kultur organisasi, persepsi pimpinan terhadap kegiatan hubungan media yang mencakup bagaimana persepsi, pemahaman, pengertian dan penerapan para aktor kunci KPU Kabupaten Sleman terhadap hubungan media. Hasil dari persepsi aktor utama hubungan media tersebut akan mempengaruhi bagaimana posisi humas dalam struktur organisasi. Kelanjutan dari pemahaman pimpinan dan penempatan humas sebagai pengelola hubungan media tersebut akan tercermin dalam model perencanaan dan pelaksanaan alokasi sumber daya mencakup SDM dan anggaran. Bagan 1 Pelaksanaan Hubungan Media Faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan hubungan media
Teknis Hubungan Media:
Prinsip hubungan media:
Siklus Program Hubungan Media
Membangun kredibilitas humas
Perencanaan / riset Awal
Mengembangkan hubungan pribadi
Pelaksanaan: alokasi anggaran, SDM dan waktu
Kemampuan kerjasama
Evaluasi
konferensi pers press briefing kunjungan wisata siaran pers acara khusus
output liputan
jamuan/media gathering wawancara individual dialog interaktif media visit
Tabel 1 Kerangka Konsep N o. 1.
Konsep
Penjelasan
Indikator
Hubungan media
2.
Membangun kredibilitas aktor humas
Jalinan hubungan baik dan kerjasama antara humas dengan media massa profesional untuk menghasilkan liputan positif bagi lembaga. Keadaan karakter pribadi dan tingkat usaha untuk menguasai informasi kelembagaan agar dapat dipercaya oleh media massa
Membahas bagaimana: kredibilitas, hubungan pribadi dan kemampuan kerjasama aktor humas dalam hubungan media serta membahas bagaimana pelaksanaannya. Aspek ini dapat dilihat dengan membahas bagaimana profil, sifat dan karakter aktor, arti penting hubungan media bagi aktor dan penguasaan informasi. 19
3.
Mengembang kan hubungan pribadi
4.
Kemampuan kerjasama
5.
Siklus program hubungan media
6.
Output hubungan media
7.
Faktor yang mempengaruhi
sebagai narasumber berita. Jalinan komunikasi personal/non formal antara humas dengan awak media dalam rangka mempererat kerjasama profesional. Tingkat profesionalisme humas dalam menjalin kerjasama dengan awak media dan menjalankan program-program teknis hubungan media. Merupakan bentuk ideal pelaksanaan hubungan media mencakup fact finding – implementasi (communicating) – evaluasi.
Hasil dari kegiatan hubungan media yang secara sederhana dapat dinilai dengan meneliti pola peliputan yang dilakukan oleh media. Berbagai kondisi yang mempengaruhi pelaksanaan hubungan media mencakup faktor internal organisasi dan eksternal.
Bagaimana implementasi dalam menjalin hubungan secara pribadi dengan awak media, keterbukaan dan komunikasi interpersonal Membahas bagaimana keahlian humas dalam memberikan informasi dan melaksanakan kegiatan teknis hubungan media
Membahas bagaimana pelaksanaan riset awal, implementasi program mencakup perencanaan dan realisasi program (anggaran, personil dan waktu), serta evaluasi sebagai bahan perencanaan lanjutan. Bagaimana pola dalam sampel pemberitaan bagi KPU Kabupaten Sleman (cenderung negatif, netral atau positif). Dalam aspek ini akan membahas apa saja dan bagaimana kondisi internal lembaga dan eksternal yang terkait dalam mempengaruhi pelaksanaan hubungan media.
G. Metodologi Penelitian G.1.
Pendekatan dan Metode Penelitian. Penelitian ini bersifat kualitatif yaitu tidak sebatas meneliti data-data yang
ada namun juga mencoba menggali berbagai hal yang mungkin saja mendasari munculnya data tersebut terutama terkait dengan subjektifitas aktor-aktor yang ada di dalam proses yang diteliti. Sedangkan metode penelitian yang akan digunakan adalah penelitian deskriptif yang akan berusaha menggambarkan proses di dalam program hubungan media yang dijalankan KPU Kabupaten Sleman. Metode deskriptif ini digunakan untuk lebih memperdalam bagaimana interaksi di dalam proses hubungan media tersebut sebagai cerminan atau proyeksi atas kinerja komunikasi kelembagaan secara keseluruhan dengan mendeskripsikan semua proses yang terjadi dan membandingkan idealita hubungan media dengan realitas hubungan
20
media yang terjadi di KPU Kabupaten Sleman (Novitasari, 2014, hal. 30-39; Pienrasmi, 2015, hal. 20-35). G.2.
Objek Penelitian Objek penelitian dalam riset ini di antaranya dokumentasi-dokumentasi
terkait organisasi KPU kemudian kaitannya dengan hubungan media di KPU Kabupaten Sleman seperti data perencanaan dan realisasi anggaran dan data-data lainnya serta sampel kumpulan kliping pemberitaan tentang KPU Kabupaten Sleman di Kedaulatan Rakyat, Harian Jogja dan Radar Jogja. Selain itu, data-data tertulis tersebut juga diperkuat dengan wawancara dan observasi terhadap aktor-aktor penting dalam program hubungan media di antaranya ketua dan anggota KPU Kabupaten Sleman, pejabat sekretariat yang membidangi humas, keuangan, SDM dan perencanaan serta staf pelaksana humas. G.3.
Teknik Pengumpulan Data
a. Pembacaan terhadap dokumen-dokumen, yaitu analisa terhadap dokumentasi program hubungan media yang dijalankan oleh KPU Kabupaten Sleman meliputi: i.
Latar belakang organisasi (sejarah, asas, visi dan misi, dasar pemikiran dan berbagai aspek terkait lainnya) dari KPU sebagai penjelasan konteks dasar kultur
komunikasi
yang
hendak
dibangun
yang
mungkin
saja
membedakannya dari lembaga pemerintah lainnya. ii.
Kebijakan umum atau dasar peraturan pelaksanaan yaitu bagaimana kebijakan umum terkait hubungan media, aturan tertinggi sebagai dasar hukum hubungan KPU dengan media, arahan dari KPU pusat, KPU provinsi, struktur organisasi KPU dalam mengelola aspek komunikasi lembaga, serta pemahaman pimpinan terhadap pentingnya hubungan media.
iii.
Perencanaan, di antaranya tentang perencanaan porsi anggaran dan personil terhadap aspek hubungan media.
iv.
Penerapan dan realisasi, kondisi riil penerapan hubungan media yang dijalankan oleh KPU Kabupaten Sleman.
v.
Dan keluaran (output), hasil dari usaha hubungan media yang mewujudkan dirinya dalam bentuk pemberitaan media massa yang akan diambil dari sampel pemberitaan.
vi.
Serta berbagai faktor baik pendukung dan penghambat di dalam proses tersebut. 21
Kemudian analisa dokumentasi hasil program hubungan media, peneliti akan mengumpulkan dan menganalisa sejumlah sampel dokumentasi pemberitaan tertulis terutama berupa kliping dan dokumentasi berita media cetak, pemilihan kliping tersebut dilakukan untuk setidaknya menghasilkan proyeksi atau cerminan pola pemberitaan pemilu 2014 yang muncul di media lokal Kabupaten Sleman. Tidak digunakannya media televisi dan radio dikarenakan kesulitan teknis untuk merekam dan menyimpan bukti-bukti hasil pemberitaan. Analisa terhadap data pemberitaan tersebut dilakukan dengan menggunakan sudut pandang humas KPU Kabupaten Sleman untuk mengetahui kecenderungan seberapa banyak kemunculan berita pemilu yang positif, cenderung positif, netral, cenderung negatif dan yang negatif berdasarkan judul berita dan juga tema berita secara keseluruhan. Melalui kliping-kliping atau dokumentasi berita tersebut, peneliti juga akan mencari siapa saja yang menjadi narasumber dalam berita tersebut. Hal ini untuk mengetahui sebaran narasumber yang digunakan oleh awak media terhadap munculnya pola pemberitaan yang ada dan mengetahui aktor humas mana saja yang terlibat aktif dalam hubungan media sebagai sumber berita. b. Wawancara, setelah pembacaan terhadap dokumentasi-dokumentasi di atas dilanjutkan dengan wawancara terhadap aktor-aktor kunci hubungan media di KPU Kabupaten Sleman untuk mendapatkan bagaimana persepsi mereka terhadap pentingnya komunikasi, humas dan khususnya hubungan media bagi kepentingan lembaga. Selain persepsi dari wawancara tersebut juga didapatkan bagaimana peran aktor humas tersebut dalam hubungan media selama periode tersebut. Wawancara tersebut sebagai bahan pembanding atas data-data dokumen yang telah didapatkan sebelumnya. Dengan wawancara ini maka akan diketahui apa saja yang mungkin menjadi faktor atau konteks munculnya data dokumen yang ada. c. Observasi, sebagai penguat serta untuk memvalidasi data-data dokumentasi dan wawancara, dilakukan observasi partisipatif secara langsung yaitu observasi oleh peneliti yang juga mengikuti proses tersebut secara langsung dan tidak sekedar melakukan observasi dari jauh terhadap proses komunikasi di dalam programprogram hubungan media serta berbagai proses terkait di dalamnya untuk melihat bagaimana interaksi antar aktor di dalam proses hubungan media tersebut. Observasi ini diperlukan untuk membuktikan terutama hasil wawancara terhadap 22
aktor yaitu apakah apa yang dinyatakan oleh aktor tersebut sesuai dengan tindakan atau implementasinya di lapangan. G.4.
Teknik Analisis Data
a. Reduksi data, pengumpulan data terutama terkait dengan data dokumentasi baik kliping berita dan juga dokumentasi program kerja hubungan media di KPU Kabupaten Sleman merupakan hasil dari pengerucutan berbagai data yang dikumpulkan. Dalam hal kliping berita, pengumpulan berita dibatasi dan disaring hanya pada berita yang bertemakan pemilu di Kabupaten Sleman dengan katakata kunci Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Sleman, pemilu di Kabupaten Sleman dan semua organisasi penyelenggara pemilu di bawahnya. Pengerucutan ini untuk mendapatkan konteks berita yang memiliki keterkaitan paling erat dengan lembaga KPU Kabupaten Sleman. b. Penyajian data disajikan dengan kalimat yang deskriptif untuk kemudian ditambahkan dengan hasil analisa dari peneliti dalam melihat data-data yang ada. Hasil analisa tersebut merupakan hasil konfirmasi dengan data-data lain yang muncul. c. Pengambilan kesimpulan, hasil dari rangkuman data-data serta hasil verifikasi dan validasi data-data tersebut dianalisa dan dirumuskan menjadi kesimpulan dan juga saran-saran. G.5.
Uji Keabsahan Data Keabsahan data dalam riset ini didapatkan dengan melakukan konfirmasi
atau verifikasi antar data yang didapatkan. Contohnya dalam menganalisa pola pemberitaan akan dikonfrontir dengan persepsi aktor-aktor kunci hubungan media di KPU Kabupaten Sleman untuk mendapatkan kesepahaman atau kesepakatan terhadap analisa yang disimpulkan oleh peneliti. G.6.
Lokasi dan Waktu Penelitian
a. Lokasi. Lokasi penelitian dilaksanakan di kantor KPU Kabupaten Sleman Jalan Merbabu no. 19 Denggung Sleman. b. Waktu. Penelitian ini telah dimulai sejak pengumpulan sampel data-data kliping berita terkait pemilu dan KPU Kabupaten Sleman di media koran harian Kedaulatan Rakyat, Harian Jogja dan Radar Jogja sejak Januari 2014 sampai dengan Juli 2014. Pembatasan pengambilan sampel pada jangka waktu tersebut dilakukan dengan dasar 23
pemikiran bahwa pada masa itu merupakan masa pelaksanaan Pemilu 2014 di mana akan tersedia banyak berita terkait pemilu dan juga KPU Kabupaten Sleman, sehingga pengumpulan kliping berita akan lebih mudah dilakukan dan hasil sampel diharapkan dapat semakin memperkuat argumentasi penelitian ini. Sedangkan pengumpulan data lainnya seperti wawancara dan pengumpulan data tambahan akan dilakukan pada Juli 2015. Untuk pelaksanaan observasi dilakukan selama tahapan Pemilu 2014 dengan cara terus mengikuti dan mencatat interaksi antar aktor dalam hubungan media.
24