BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit menular yang ditemukan hampir di seluruh belahan dunia terutama di negara-negara tropis dan subtropis baik yang endemis maupun yang epidemik (Wen et al., 2010). Dalam lima puluh tahun terakhir, insiden DBD mengalami peningkatan 30 kali lipat (WHO, 2012). Diperkirakan sebanyak 3,97 juta orang berada di 128 negara endemis (Brady et al., 2012), 390 juta infeksi dengue terjadi setiap tahun dan 70% orang yang terkena DBD berada di wilayah Asia (Bhatt et al., 2013). Demam berdarah merupakan penyakit terbesar di Asia Tenggara dan telah hiperendemis dalam beberapa dekade. Data WHO menunjukkan bahwa Indonesia sebagai peringkat pertama di Asia Tenggara dan peringkat kedua dunia setelah Brazil pada tahun 2004-2010 untuk jumlah rata-rata kasus DBD (WHO, 2012). Pada umumnya penyakit DBD meningkat karena faktor lingkungan dan praktik pencegahan yang tidak konsisten, peningkatan urbanisasi, mobilisasi, peningkatan jumlah penduduk, pengolahan sampah yang buruk, infrastruktur kesehatan yang tidak memadai, dan kurangnya sumber daya untuk mengendalikan vektor (Orjuela, et al., 2012; Edillo et al., 2015). Di Provinsi Jawa Tengah, kasus DBD masih merupakan permasalahan yang serius. Hal ini terbukti dengan 35 kabupaten/kota yang ada di provinsi tersebut
sudah
pernah
terjangkit
DBD.
Pada
Tahun
2014,
angka
kesakitan/Incidence Rate (IR) DBD di Provinsi Jawa Tengah sebesar 36,2/100.000 penduduk, angka ini menurun dibanding tahun 2013 (41,21/100.000 penduduk) tetapi, belum mencapai target nasional yaitu <20/100.000 penduduk (Kementerian Kesehatan RI, 2014 ; 2015). Setiap penderita DBD yang dilaporkan akan dilakukan tindakan perawatan, penyelidikan epidemiologi di lapangan, serta upaya pengendalian. Angka kesakitan DBD selama lima tahun terakhir dapat dilihat pada gambar berikut : (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2014).
1
2
Gambar 1. Angka Kesakitan/Incidence Rate (IR) DBD di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010-2014 Angka kematian/Case Fatality Rate (CFR) DBD tahun 2014 sebesar 1,44%, angka ini lebih tinggi dibandingkan tahun 2013 (1,2%) dan masih lebih tinggi daripada target nasional (<1%). CFR DBD selama lima tahun terakhir dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 2. Angka Kematian atau Case Fatality Rate (CFR) DBD di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010-20014 Kabupaten Banjarnegara merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Tengah yang dalam 5 tahun terakhir terus menerus mengalami peningkatan kasus DBD. Pada tahun 2011, jumlah penderita DBD sebanyak 100 kasus (IR 10,1/100.000 penduduk), tahun 2012 sebanyak 129 kasus (IR 13/100.000 penduduk), tahun 2013 sebanyak 134 kasus (IR 13,5/ 100.000 penduduk), tahun 2014 sebanyak 141
kasus (IR 14,43/ 100.000 penduduk), dan tahun 2015
3
sebanyak 197 orang (IR 17/ 100.000) (Dinas Kesehatan Kab Banjarnegara, 2013; 2014; 2015). Di awal tahun 2016, Kabupaten Banjarnegara telah mengalami KLB DBD dengan peningkatan jumlah kasus DBD yang sangat mencolok yaitu sebanyak 230 kasus hingga minggu pertama bulan April 2016. Berikut grafik angka kesakitan/incidence rate (IR) penyakit DBD di Kabupaten Banjarnegara tahun 2011- 2015.
Gambar 3. Angka kesakitan/Incidence Rate (IR) penyakit DBD di Kabupaten Banjarnegara Tahun 2011- 2015 Kasus DBD di Puskesmas non inap di Kabupaten Banjarnegara paling banyak ditemukan di Puskesmas Banjarnegara I dengan jumlah kasus tahun 2014 sebanyak 24 (IR 71,93/100.000 penduduk), tahun 2015 sebanyak 17 kasus (IR 52,37/100.000 penduduk), dan meningkat secara drastis hingga minggu pertama bulan April 2016, yaitu sebanyak 36 kasus (IR 110,89/100.000 penduduk). Pada pukesmas rawat inap, kasus DBD paling banyak ditemukan di Puskesmas Wanadadi 1 dengan jumlah kasus tahun 2014 sebanyak 30 kasus (IR 14,88/100.000 penduduk), tahun 2015 sebanyak 11 kasus (IR 28,49/100.000 penduduk), dan minggu pertama bulan April 2016 sebanyak 11 kasus (IR 52,23/100.000 penduduk). Rumah Sakit Umum Daerah Hj Anna Lasmanah merupakan rumah sakit umum daerah (RSUD) Kabupaten Banjarnegara yang paling banyak merawat kasus DBD di Kabupaten Banajarnegara. Jumlah kasus DBD yang mendapat perawatan, baik rawat jalan maupun rawat inap dalam 5 (lima) tahun terakhir terus
4
mengalami peningkatan. Pada tahun 2012 jumlah seluruh kasus DBD sebanyak 37 kasus, tahun 2013 sebanyak 66 kasus, tahun 2014 sebanyak 83 kasus, tahun 2015 sebanyak 85 kasus, dan hingga minggu pertama bulan April 2016 sebanyak 114 kasus (Instalasi Rekam Medis RSUD Hj Anna Lasmanah Banjarnegara, 2016). Tingginya angka kesakitan DBD disebabkan karena adanya iklim tidak stabil dan curah hujan yang cukup banyak pada musim penghujan. Hal ini merupakan sarana perkembangbiakan yang cukup potensial bagi nyamuk Aedes Aegipty. Selain itu, kegiatan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) yang tidak maksimal oleh masyarakat juga dapat memicu timbulnya Kejadian Luar Biasa (KLB) penyakit DBD. Berbagai upaya penanggulangan dan pengendalian penyebaran telah dilakukan oleh Dinas Kesehataan setiap tahunnya melalui program pemutusan rantai penularan dengan melakukan gerakan PSN, fogging, dan pengendalian vektor penyakit DBD dengan teknik serangga mandul yang dilakukan pada bulan November 2015, namun belum diperoleh hasil yang memuaskan. Peningkatan kasus DBD merupakan ancaman yang cukup besar untuk kesehatan masyarakat dan menyebabkan kerugian ekonomi yang besar (Kyle 2008 dalam Halasa et al., 2012). Dampak dari DBD dapat diukur dari biaya langsung, seperti alokasi dana yang tidak direncanakan untuk menanggulangi KLB DBD, biaya perawatan medis, seperti biaya rawat inap dan rawat jalan serta biaya tidak langsung, seperti peningkatan pengeluaran rumah tangga untuk membeli obat nyamuk dan obat-obatan, penurunan pendapatan rumah tangga karena kehilangan hari kerja (Lloyd , 2003). Hasil penelitian di Asia Tenggara menunjukkan bahwa total beban ekonomi tahunan untuk penyakit DBD sebesar US $ 950 juta dan Indonesia adalah negara dengan beban ekonomi tertinggi, yaitu sebesar US $ 323.163 atau 34% dari total keseluruhan biaya (Shepard, et al., 2013). Hasil penelitian lainnya yang dilakukan di RSUD Tarakan Provinsi DKI Jakarta menunjukkan total biaya yang dikeluarkan selama menderita penyakit DBD sebesar Rp892.067 (Allosomba, 2004). Hasil penelitian di Brazil menunjukkan biaya medis langsung penyakit
5
demam berdarah dengue setara 2,5% pendapatan per kapita penduduk sebesar US $ 210,084 (Machado et al., 2014). Hasil Penelitian di India menunjukkan total rata-rata setahun biaya medis langsung sebesar US $ 548 juta dengan rincian 82% biaya untuk pasien rawat inap dan 18% biaya untuk pasien rawat jalan. Beban ekonomi penyakit sekitar $ 111 juta atau setara dengan $ 0.88 pendapatan per kapita penduduk (Shepard et al., 2014). Sementara hasil penelitian di Meksiko menunjukkan bahwa beban ekonomi akibat penyakit DBD sebesar US $ 170 juta atau setara dengan $ 1,56 pendapatan per kapita penduduk (Undurraga et al., 2015). Penelitian ini dilaksanakan berdasarkan jumlah kasus DBD yang terus mengalami peningkatan, dengan tujuan untuk mengetahui berapa besar biaya yang dikeluarkan oleh pasien/keluarga akibat penyakit DBD. Informasi ekonomi ini berguna
untuk membantu menyadarkan
masyarakat
tentang
pentingnya
melakukan pemberantasan sarang nyamuk dengan mengetahui besaran biaya yang ditimbulkan oleh penyakit DBD yang dapat menjadi ancaman bagi perekonomian masyarakat. Informasi tersebut juga dapat meningkatkan upaya penyelarasan kebijakan pengendalian DBD di Kabupaten Banjarnegara agar dapat target nasional maupun regional dapat tercapai. Apabila pemberantasan DBD dilakukan secara konsisten, maka jumlah kasus DBD akan menurun sehingga bermanfaat untuk melindungi masyarakat dari penyakit DBD, serta tercapainya eliminasi dengue. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Berapakah besar biaya kesakitan yang dikeluarkan untuk penyakit DBD berdasarkan perspektif pasien/keluarga di Rumah Sakit dan Puskesmas di Kabupaten Banjarnegara tahun 2016.
6
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui biaya yang disebabkan oleh penyakit demam berdarah dengue berdasarkan perspektif pasien/keluarga di rumah sakit dan Puskesmas Kabupaten Banjarnegara tahun 2016. 2. Tujuan Khusus a.
Mengetahui besar biaya langsung penyakit DBD berdasarkan perspektif pasien/keluarga di rumah sakit dan Puskesmas di Kabupaten Banjarnegara tahun 2016.
b.
Mengetahui besar biaya tidak langsung penyakit DBD berdasarkan perspektif pasien/keluarga di rumah sakit dan Puskesmas di Kabupaten Banjarnegara tahun 2016.
c.
Mengetahui biaya kesakitan Penyakit DBD berdasarkan perspektif pasien/keluarga di rumah sakit dan Puskesmas di Kabupaten Banjarnegara tahun 2016.
d.
Mengetahui variasi biaya kesakitan DBD berdasarkan karakteristik penderita, kepemilikan asuransis kesehatan, penggunaan fasilitas layanan kesehatan, dan sosio-demografi keluarga penderita DBD yang dirawat di Rumah Sakit dan Puskesmas di Kabupaten Banjarnegara tahun 2016 D. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini antara lain :
1. Bagi Pemerintah a. Dapat digunakan sebagai bahan advokasi kepada pihak pembuat kebijakan dalam rangka meningkatkan sumber daya yang terkait dengan pembiayaan program pengendalian DBD. b. Dapat digunakan sebagai bahan evaluasi dan perencanaan dalam pencapaian program pengendalian DBD di Kabupaten Banjarnegara.
7
2. Bagi RSUD/Puskesmas Dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi pengambil keputusan di rumah sakit dan Puskesmas tentang besar biaya yang dibebankan kepada penderita DBD untuk pengobatan. 3. Bagi masyarakat Memberikan informasi tentang besarnya kerugian ekonomi yang akan dikeluarkan masyarakat akibat menderita DBD, sehingga meningkatkan kesadaran masyarakat dalam upaya pengendalian terhadap penyakit DBD. 4. Bagi Peneliti a. Menambah wawasan dan pengalaman dalam melakukan penelitian, terutama penelitian terkait biaya yang dikeluarkan akibat penyakit DBD. b. Memperoleh jawaban atas pertanyaan penelitian. E. Keaslian Penelitian 1. Allosomba (2004) melakukan penelitian dengan judul “Cost of Ilness Demam Berdarah Dengue di RSUD Tarakan DKI Jakarta Tahun 2004” yang bertujuan untuk mendapatkan gambaran biaya yang ditimbulkan oleh penyakit demam berdarah (cost of ilness) pada penderita DBD yang dirawat inap di kelas III RSUD Tarakan, Jakarta, baik biaya langsung maupun biaya tidak langsung dengan menggunakan perspektif pasien. Penelitian ini menghitung biaya-biaya yang dikeluarkan oleh penderita DBD pasien demam berdarah rawat inap, baik langsung maupun tidak langsung dalam mencari pengobatan baik sebelum, selama, maupun setelah keluar dari rumah sakit. Persamaan dengan penelitian ini yaitu sama-sama menghitung biaya-biaya yang dikeluarkan pasien baik langsung maupun tidak langsung dengan menggunakan studi prospektif. Perbedaannya adalah pada penelitian opportunity cost atau pendapatan yang hilang pada anak sekolah dan ibu rumah tangga dihitung. 2. Shepard et al, (2014) melakukan penelitian dengan judul “Economic and Disease Burden of Dengue Illness in India” yang bertujuan untuk mengestimasi beban penyakit dan biaya medis langsung kasus demam berdarah dengan menggunakan data empiris. Metodologi dalam penelitian ini
8
memperkirakan biaya medis langsung dari episode demam berdarah berdasarkan studi retrospektif, memperkirakan jumlah kasus DBD berdasarkan kasus kabupaten, dan memperkirakan biaya rata-rata kasus demam berdarah. Persamaan dengan penelitian ini adalah sama-sama memperkirakan biaya medis langsung dari episode demam berdarah. Perbedaannya yaitu penelitian ini menggunakan studi prospektif. 3. Machado et al, (2014) melakukan penelitian dengan judul “Direct Costs Of Dengue Hospitalization In Brazil” yang bertujuan untuk menggambarkan biaya langsung kasus demam berdarah dengue di rumah sakit. Metode penelitian yang digunakan yaitu menganalisis biaya langsung penyakit demam berdarah dengan menggunakan studi sensus cross sectional retrospektif pada pasien demam berdarah yang dirawat di rumah sakit swasta dan pemerintah. Persamaan dengan penelitian ini yaitu sama-sama mengestimasi biaya langsung penyakit demam berdarah. Perbedaannya yaitu variabel, tempat dan waktu penelitian. Penelitian ini hanya menghitung biaya langsung pada kasus demam berdarah yang dirawat dirumah sakit pemerintah dan puskesmas, dan studi penelitian dalam penelitian ini adalah prospektif.