1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ada sekitar 1,26 miliar perokok di seluruh dunia pada saat ini, dan 800 juta orang perokok tersebut tinggal di negara berkembang. Apabila tidak ada penanganan yang baik, maka akan ada 1,6 miliar perokok pada tahun 2020 dan mengakibatkan kurang lebih 770 juta anak menjadi perokok pasif karena orangtua atau orang di sekitarnya merokok. Kebiasaan merokok telah mengakibatkan 4,9 juta orang meninggal pada tahun 2000 dan jumlah tersebut dapat berlipat ganda di tahun 2020. Kematian di Asia akan meningkat dari 1,1 juta pada tahun 1990 menjadi 4,2 juta pada tahun 2020. Diperkirakan, 250 juta anak yang hidup pada saat ini akan meninggal akibat penyakit yang berhubungan dengan kebiasaan merokok. Indonesia yang setiap tahunnya membakar 215 miliar batang rokok merupakan negara dengan urutan ke-5 terbanyak dalam mengonsumsi rokok di dunia. Penduduk Indonesia usia di atas 15 tahun yang merokok juga meningkat menjadi 31,5% di tahun 2001 dari 26,9% pada tahun 1995 (Aditama, 2004). Asap rokok mengandung kurang lebih 7.000 bahan kimia, dan 70 di antara bahan kimia tersebut bersifat karsinogenik (CDC, 2010). Penggunaan tembakau mengakibatkan 70% kematian yang disebabkan oleh penyakit paru kronik, bronkitis kronik dan emfisema. Data yang berskala nasional tentang kerugian ekonomi akibat rokok di Indonesia tidak tersedia, namun dapat dihitung besarnya uang yang dibakar dalam bentuk rokok. Menurut WHO (2002), ada 215 miliar batang rokok yang dikonsumsi di Indonesia per tahun. Jika diasumsikan 1 batang rokok berharga Rp. 500,00 maka sebesar 107,5 triliun digunakan untuk membeli rokok dan dibakar untuk menimbulkan penyakit. Perilaku merokok berpengaruh buruk terhadap kesehatan, perekonomian rumah tangga dan menyebabkan kemiskinan. Kegiatan yang perlu dilakukan dalam penanggulangan masalah rokok antara lain adalah pengaturan iklan rokok, penulisan
2
peringatan di bungkus rokok, meninggikan cukai rokok, pemenuhan hak menghisap udara bersih bebas asap rokok, penelitian tentang rokok, pendekatan aspek hukum, penyuluhan, penanggulangan merokok pada anak dan remaja, pendanaan dan pengorganisaian dalam program penanggulangan perilaku merokok (Aditama, 2004). Pemerintah Republik Indonesia berupaya menangani masalah rokok melalui pendekatan aspek hukum dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) Repulik Indonesia Nomor 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan. Pasal 22 dalam PP tersebut menyatakan bahwa tempat umum, sarana kesehatan, tempat kerja dan tempat yang secara spesifik sebagai tempat proses belajar mengajar, arena kegiatan anak, tempat ibadah dan tempat umum dinyatakan sebagai kawasan tanpa rokok. Ketentuan tersebut lebih dikuatkan lagi dengan ditetapkannya Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009, yang pada pasal 113 disebutkan bahwa pengamanan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif diarahkan agar tidak mengganggu dan membahayakan kesehatan perseorangan, keluarga, masyarakat, dan lingkungan. Zat adiktif tersebut meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau, padat, cairan, dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya. Guna perlindungan terhadap terjadinya perokok pasif, pemerintah daerah wajib menetapkan kawasan tanpa rokok di wilayahnya. Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) telah mengatur perilaku merokok ini dengan menetapkan Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 5 Tahun 2007 tentang Pengendalian Pencemaran Udara. Pasal 11 dalam Peraturan Daerah tersebut menyatakan bahwa setiap orang dilarang merokok di kawasan dilarang merokok. Perda ini diberlakukan pada tahun 2009 dengan didahului dan peraturan gubernur dan peraturan bupati/walikota. Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 42 Tahun 2009 tentang Kawasan Dilarang Merokok telah ditetapkan dan peraturan bupati yang berkaitan dengan kawasan dilarang merokok sedang dalam proses menuju penetapan di masing-masing kabupaten/kota. Institusi kesehatan di Daerah Istimewa Yogyakarta hendaknya bersiap untuk penerapan perda tersebut dengan mulai menerapkan
3
sarana kesehatan sebagai kawasan dilarang merokok. Larangan merokok di sarana kesehatan berlaku untuk seluruh area atau dengan disediakan tempat tertentu untuk merokok merupakan suatu hal yang perlu dipikirkan juga. Perilaku merokok merupakan salah satu dari 8 indikator Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) tatanan institusi kesehatan di Kabupaten Kulon Progo. Hasil pengkajian PHBS tatanan institusi kesehatan pada tahun 2003 yang dilakukan Dinas Kesehatan Kabupaten Kulon Progo terhadap 27 institusi kesehatan di Kabupaten Kulon Progo menemukan sebanyak 74,07% institusi yang pegawainya perokok. Tahun 2008, setiap puskesmas yang ada di Kulon Progo mempunyai pegawai yang merokok. Jumlah pegawai yang merokok di masing-masing puskesmas dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 1. Jumlah pegawai puskesmas yang merokok di Kabupaten Kulon Progo Tahun 2008 No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21.
Puskesmas Samigaluh I Samigaluh II Kalibawang Nanggulan Girimulyo I Girimulyo II Kokap I Kokap II Pengasih I Pengasih II Sentolo I Sentolo II Lendah I Lendah II Temon I Temon II Wates Panjatan I Panjatan II Galur I Galur II
Status puskemas Rawat inap Rawat jalan Rawat jalan Rawat jalan Rawat jalan Rawat inap Rawat jalan Rawat ialan Rawat jalan Rawat jalan Rawat inap Rawat jalan Rawat inap persalinan Rawat jalan Rawat inap Rawat jalan Rawat jalan Rawat inap persalinan Rawat jalan Rawat jalan Rawat inap Jumlah
Jumlah pegawai 44 31 40 41 32 36 37 31 32 32 54 37 32 30 57 36 45 56 20 30 43 796
Jumlah perokok 11 3 12 2 3 11 5 10 3 8 10 8 5 2 9 5 10 2 3 5 7 134
4
Puskesmas adalah sarana kesehatan yang merupakan unit pelaksana teknis (UPT) dinas kesehatan kabupaten/kota, yang memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat, baik pelayanan kesehatan perorangan maupun pelayanan kesehatan masyarakat. Di Kabupaten Kulon Progo terdapat 21 puskesmas yang terdiri dari 5 puskesmas rawat inap, 2 puskesmas dengan rumah bersalin dan 14 puskesmas non rawat inap. Pegawai kesehatan yang bertugas di puskesmas tentunya sebagian besar waktu tugasnya berada di puskesmas dan berinteraksi secara langsung dengan masyarakat. Sikap dan perilaku petugas kesehatan, khususnya petugas kesehatan yang memiliki kebiasaan merokok, diharapkan mendukung upaya diterapkannya larangan merokok di sarana kesehatan. Larangan merokok di sarana kesehatan sudah merupakan realitas objektif yang tertulis dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia dan Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang telah diundangkan. Perda DIY Nomor 5 Tahun 2007 tentang Pengendalian Pencemaran Udara Pasal 11 ayat (1) menyatakan bahwa setiap orang dilarang merokok di kawasan dilarang merokok. Maksud dari kawasan dilarang merokok adalah ruangan atau area yang dinyatakan dilarang untuk merokok, meliputi tempat umum, sarana kesehatan, tempat kerja, dan tempat spesifik sebagai tempat proses belajar mengajar, area kegiatan anak, tempat ibadah dan angkutan umum. Sudah seyogyanya sarana kesehatan merupakan kawasan dilarang merokok. Pemberlakuan larangan merokok di sarana kesehatan bisa memberikan persepsi yang berbeda antara individu yang satu dengan yang lainnya dari realitas objektif. Hal ini tergantung pada proses individu mengatur dan mengintepretasikan kesankesan sensorik mereka guna memberikan arti bagi lingkungan mereka (Robbins & Judge, 2008). Gerakan penegakan kawasan dilarang merokok pada dasarnya merupakan sebuah gerakan moral yang bertujuan mengurangi meningkatnya komsumsi rokok. Namun, larangan untuk tidak merokok masih merupakan sesuatu yang kontroversial. Pada satu sisi lain pelarangan tersebut dipandang sebagai melanggar hak setiap orang untuk menikmati rokok dan di sisi ada hak orang lain untuk
5
terbebas dari polusi rokok (Hamdan, 2004). Setiap perokok memiliki riwayat merokok yang berbeda antara perokok yang satu dengan yang lain dan sebagai individu manusia tentu juga memiliki harapan mengenai semua yang berkaitan dengan dirinya, termasuk harapan dalam penerapan kawasan dilarang merokok. B. Perumusan Masalah Bagaimana persepsi pegawai perokok di puskesmas Dinas Kesehatan Kabupaten Kulon Progo terhadap pemberlakuan larangan merokok di sarana kesehatan? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum Tujuan umum penelitian ini untuk mengetahui persepsi pegawai perokok di puskesmas Kabupaten Kulon Progo terhadap pemberlakuan larangan merokok di sarana kesehatan. 2. Tujuan khusus a. Mengetahui perilaku dan riwayat merokok pegawai puskesmas yang merokok. b. Mengetahui persepsi pegawai puskesmas perokok terhadap perokok pasif. c. Mengetahui sikap pegawai puskesmas perokok terhadap pemberlakukan larangan merokok yang diterapkan. D. Manfaat Penelitian 1. Sebagai masukan bagi Bupati dan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Kulon Progo
dalam pemberlakuan larangan merokok di sarana kesehatan guna
mencegah terjadinya perokok pasif. 2. Penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan informasi dan pijakan bagi peneliti lain yang akan melakukan penelitian lebih lanjut.
6
E. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai rokok sudah banyak dilakukan. Namun, penelitian tentang pandangan dan sikap pegawai kesehatan puskesmas Dinas Kesehatan Kabupaten Kulon Progo terhadap pemberlakuan larangan merokok di sarana kesehatan sepengetahuan penulis belum pernah dilakukan. Penelitian mengenai rokok yang pernah dilakukan antara lain : 1. Yulianto (2007) melakukan penelitian mengenai efektivitas area bebas rokok terhadap sikap dan perilaku merokok pegawai puskesmas. Penelitian tersebut menggunakan metode kuantitatif dengan rancangan penelitian eksperimen semu dengan rancangan non randomized pretest – posttest control group design. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa ada pemanfaatan area khusus merokok oleh pegawai puskesmas dan ada perbedaan sikap dan perilaku merokok yang signifikan terhadap pemberlakuan area khusus merokok, baik pada kelompok intervensi maupun kelompok kontrol. Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian yang digunakan. Penelitian yang
dilakukan ini terletak pada metode yang
dilakukan ini menggunakan metode kualitatif.
Persamaannya terletak pada subjek penelitian, yaitu pegawai puskesmas dan berkaitan dengan area bebas rokok. 2. Azwar (2007) melakukan penelitian mengenai determinan perilaku merokok pada mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muhammadiyah Aceh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, menggunakan metode kuantitatif dengan rancangan cross sectional. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa ada hubungan antara kakak laki-laki, sikap terhadap merokok, paparan iklan rokok, dan kecanduan rokok dengan perilaku merokok mahasiswa FKM Unmuha. Faktor kecanduan terhadap rokok merupakan faktor dominan yang memicu perilaku merokok mahasiswa. Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian yang dilakukan ini terletak pada metode yang digunakan. Penelitian tersebut dilakukan dengan metode kuantitatif, sedangkan penelitian yang dilakukan ini dengan metode kualitatif. Persamaannya terletak pada tema penelitian, yaitu berkaitan dengan rokok.
7
3. Manurung (2004) melakukan penelitian mengenai pendidikan kesehatan oleh peer educator sebagai upaya pencegahan bahaya merokok pada peer group yang merupakan jenis penelitian eksperimen semu dengan rancangan pretest post-test control group design. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa ada perbedaan yang bermakna pada pengetahuan dan sikap peer group sebelum dan sesudah diberikan pendidikan kesehatan oleh peer educator. Ada perbedaan yang bermakna pada pengetahuan dan sikap kelompok eksperimen setelah mendapat pendidikan kesehatan oleh peer educator dengan kelompok kontrol. Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian yang dilakukan ini adalah terletak pada metode yang digunakan. Penelitian tersebut dilakukan dengan metode kuantitatif, sedangkan penelitian yang dilakukan ini dengan metode kualitatif. Persamaannya terletak pada tema penelitian, yaitu tema yang berkaitan dengan rokok. 4. Permana (2006), melakukan penelitian mengenai asertivitas stake holder terhadap area bebas rokok di lingkungan kantor Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta yang menggunakan metode kuantitatif, dengan hasil bahwa ada perbedaan asertivitas di antara stake holder terhadap area bebas asap rokok. Pengetahuan dan sikap berhubungan dengan asertivitas stake holder terhadap area bebas asap rokok. Jenis kelamin berhubungan dengan asertivitas stake holder dan perempuan lebih asertif dibandingkan dengan laki-laki. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan ini terletak pada metode yang digunakan. Penelitian tersebut dilakukan dengan metode kuantitatif, sedangkan penelitian yang dilakukan ini dengan metode kualitatif. Persamaannya terletak pada tema penelitian, yaitu tentang area bebas rokok.