BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Negara berkembang diasosiasikan dengan masalah instabilitas. Pada umumnya, instabilitas terjadi multifacet: kondisi sosial, ekonomi, dan politik. Dalam konteks modernitas, negara berkembang masih memperlihatkan keterbatasannya disandingkan dengan negara industri, terutama soal perekonomian dan demokrasinya. Walaupun penyebutan “negara berkembang” selalu terkait politik global, terdapat sebab-sebab objektif yang melandasi. Seperti masih lemahnya struktur ekonomi, kelembagaan, integrasi nasional, korupsi, dan sistem politik-pemerintahan. Kebanyakan literatur menempatkan aspek ekonomi dan politik sebagai tolok-ukur eksistensi sebuah negara. Teori siklus kapitalis (capitalist cycle) melihat perekonomian— khususnya produksi—selalu akan mengalami perulangan. Pola siklus ini berulang mulai dari munculnya pertumbuhan, peningkatan produksi, ledakan dan kelebihan produksi (overproduction), krisis, resesi, kemudian pulihnya kondisi (recovery). Jika krisis yang berkembang menjadi resesi tidak mampu dikendalikan, maka terjadilah apa yang disebut depresi.1 Persoalannya adalah, bagaimana jika siklus semacam ini terjadi di negara berkembang, yang aspek-aspek materialnya masih rapuh? Pada fase krisis (biasanya ditandai anjloknya nilai komoditas dan melambungnya harga barang konsumsi), instabilitas politik yang tidak segera diatasi akan mengakibatkan kegagalan administrasi negara. Dampak lanjutannya bisa ditebak: menyebarnya konflik sosial. Krisis adalah kondisi yang harus dihadapi baik sebagai bagian siklus (secara proyektif) maupun keadaan faktual-akumulatif (secara retrospektif). Namun, keduanya memiliki hulu masalah bahwa krisis disebabkan karena sudah tidak sesuainya lagi bagian-bagian dalam sistem (struktur politik, ekonomi, dan sosial). Di sisi lain, krisis menjadi semacam “hantu” yang bisa kapan saja menghancurkan struktur nasional dan mengubah tatanan multinasional tertentu. Burma (1988) dan Thailand (2005) menggambarkan krisis negara berkembang di 1
M. Dawam Rahardjo, Orde Baru dan Orde Transisi (Yogyakarta: UII Press, 1999), hal. 96.
kawasan yang rentan perebutan pengaruh Barat dan Timur. Konflik Mesir (2011) sebagai rangkaian
gelombang
Arab
Spring,
menjadi
contoh
perselisihan
antarkelompok
memperebutkan kekuasaan, yang meluas hingga krisis. Indonesia sendiri (pada 1965-1969 dan 1998), adalah contoh kompleks tentang kondisi krisis negara berkembang. Pada umumnya, krisis yang terjadi pada sebuah negara berawal dari kerapuhan sistem yang telah terjadi secara laten, berakumulasi, dan mengakibatkan hancurnya salah satu aspek strategis negara bersangkutan. Seperti jatuhnya perekonomian, perpecahan elit politik, atau konflik sosial. Kekacauan di satu aspek melebar hingga tingkat nasional dan mempengaruhi yang lain. Burma, misalnya, diawali konflik sosial menahun, menimbulkan jatuhnya ekonomi nasional dan mempengaruhi peta politiknya. Thailand dipicu represivitas aparat negara dengan sistem oligarkinya, yang menghasilkan konflik sosial dan depresi ekonomi. Sebagai sebuah alur kronologis, banyak jalur yang bisa mengarah pada kondisi krisis. Pertanyaan pentingnya kemudian, bagaimana negara melokalisir kehancuran di satu aspek sebelum mempengaruhi aspek lain? Beberapa negara dapat mencegah gejala krisis dengan menghadirkan represi dan kebijakan “tangan besi”. Beberapa yang lain, melibatkan pihak internasional dalam mengatasi krisis domestik. Ketidakmampuan finansial di satu sisi dan kencangnya tekanan internasional adalah sebab utama masuknya asing dalam penanganan krisis dalam negeri. Bagaimana sebuah negara melewati masa krisis adalah soal pilihan yang akan ditempuh. Akhirnya, mau tidak mau, kepemimpinan menjadi faktor determinan tentang cara dan arah kebijakan yang dipilih untuk melalui krisis. Ada tiga kecenderungan pemimpin negara dalam penanganan negara krisis. Pertama, mengglobalkan krisis domestik (globalizing domestic issue). Ini adalah kecenderungan negara-negara industri dalam mengamankan stabilitas domestiknya. Tindakan ini bisa dimungkinkan karena mereka mempunyai pengaruh dan infrastuktur ekonomi-politik yang telah saling terhubung antarnegara. Contohnya bisa dilihat dari langkah politik Presiden G.W. Bush yang mengumumkan bahwa krisis finansial AS (2007) akan berdampak global. Dengan sokongan dunia internasional, AS dapat meminimalisir dampak negatif krisis domestiknya. Hal serupa dilakukan Soeharto untuk menyelamatkan Indonesia dari dampak krisis Asia 1997. Namun, tidak sanggup mempengaruhi kebijakan antarnegara karena posisi Asia Tenggara (terutama Indonesia) yang lemah. Daripada mempengaruhi, krisis justru menarik lembaga donor internasional untuk masuk dalam kebijakan domestik. Kedua, tindakan keras aparat negara kepada publik (state repression). Hal ini dilakukan untuk meredam perlawanan sosial sehingga terdapat ruang stabil bagi negara untuk
memperbaiki sektor yang terkena krisis. Represivitas negara bisa saja terjadi pada negara industri yang telah mapan tatanan sosial-politiknya,2 walaupun memang lebih sering terjadi di negara berkembang. Perbedaannya, di negara industri, tindakan represi dipilih sebagai alternatif terakhir; berjangka pendek dan tidak terlalu mengubah struktur pemerintahan dan kebijakannya (kecuali di era 1960-an saat muncul tren gerakan sosial New Left di berbagai negara).3 Di negara berkembang, represivitas cenderung mengarah kondisi zero sum game antara negara dan rakyatnya. Jika gerakan rakyat menang, struktur politik berubah. Sebaliknya, jika negara menang, rezim akan lebih kokoh. Ketiga, kompromi antara negara dengan tuntutan publiknya (intranasional) atau tekanan asing (internasional). Kompromi negara bisa jadi awal perubahan struktur yang fundamental. Hasil akhirnya bisa berupa diakomodasinya tuntutan publik, masuknya rekomendasi lembaga donor internasional, hingga pergantian pemerintahan. Pada yang disebut terakhir ini, telah banyak pengalaman dialami negara berkembang untuk melewati krisis. Bagaimanapun, “badai pasti akan berlalu”. Kondisi krisis memiliki gejalanya, eskalasi, puncak, dan titik-balik menuju kondisi stabilnya kembali. Perihal pentingnya adalah: “bagaimana kapten mengarahkan kapal dan awaknya untuk melewati badai”. Sejarah krisis Indonesia 1998 memperlihatkan bahwa kepemimpinan memilih menyesuaikan bentuk kapal (dari otoriter menjadi demokratis), membuang pemberat untuk mencegah tenggelam (mengganti formasi pemerintahan), sekaligus membenarkan kerusakan kapal (kebijakan pembenahan sektoral). Tidak banyak kajian yang meneliti penanganan krisis nasional dengan fokus kepemimpinan negara. Kekosongan kajian semacam ini agaknya menjadi hal yang “wajar” karena krisis pada umumnya dilihat sebagai kejatuhan sektor-sektor yang tidak mampu diatasi pemerintahnya. Konsekuensinya adalah bantuan dari pihak-pihak di luar negara. Sedangkan, kepemimpinan nasional hanya dilihat sebagai bagian kecil dari faktor pendorong stabilitas.
2
Contoh represivitas negara industri sebagai pilihan terakhir untuk meredam krisis adalah pembungkaman protes aktivis pada kasus Seattle (November 1999). Para aktivis, pada saat itu melakukan demonstrasi besar-besaran, menjadi salah satu demonstrasi terbesar dalam sejarah AS. “Protes Seattle” menjadi sebuah perlawanan aktivis anti-globalisasi terhadap kebijakan negara yang dipandang sebagai potensi berbahaya. Aktivis menolak kebijakankebijakan WTO, IMF, dan Bank Dunia—hal yang sama artinya menolak skema kebijakan ekonomi negara-negara industri dan menjatuhkan citra AS sebagai negara penyelenggara rapat lembaga internasional. 3 Rusia pada krisis ekonomi 2008 melakukan apa yang dinamakan “alokasi modal” (capital allocation) yang dengan kebijakan pada sistem negara sosialis (yang secara teknis politiknya berjalan secara totaliter) dapat dilakukan sebagai hal yang wajar. Dalam hal ini, Visser & Kalb (2010) menyebutnya sebagai “state capture by enterprises”, dengan sistem ekonomi-politik Rusia yang menampilkan irisan besar persamaan kepentingan dan aktor antara negara dan swastanya. Lihat Oane Visser & Don Kalb, “Financialised Capitalism Soviet Style? Varieties of State Capture and Crisis”, dalam Archives Européennes de Sociologie 51.2 (Aug 2010).
Kelangkaan kajian semacam ini konteksnya hampir sama dengan kelangkaan kajian tentang struktur ekonomi negara Eropa Selatan dan Eropa Timur. Negara-negara tersebut tidak memiliki kategorisasi generik: negara maju atau berkembang. Sebabnya, mereka adalah bagian dari Uni Eropa: regionalisme yang mengesankan kemajuan dan modernitas. Sedangkan, kawasan Afrika, Asia, dan Amerika Selatan dengan struktur ekonomi relatif sama, disebut “underdeveloped dan developing countries”. Dalam sejarah Indonesia, Konferensi Jenewa (1967) adalah awal periode structural adjustment program (SAP) oleh perusahaan multinasional: mengubah struktur regulasi nasional untuk memudahkan kepentingan ekonomi dan permodalan korporasi asing. Kemajuan ekonomi Indonesia mencapai titik balik pada pertengahan 1980-an dengan anjloknya harga minyak dunia. Di sisi lain, utang luar negeri yang menumpuk sejak awal Orde Baru (dengan “Pembangunanisme”-nya) turut memperparah dampak ekonomi. Kondisi akhir 1980-an dan awal 1990-an membuat pemerintah berbenah. Namun, langkah stabilisasi dengan jalan otoriter dirasakan sebagai pembatasan hak asasi, yang mengakumulasi kebencian pada pemerintah. Presiden Soeharto yang di awal jabatannya disambut publik, ternyata menampilkan masalah yang lebih buruk dari rezim Soekarno. Gaya politik Soeharto menyeimbangkan kekuatan antarkelompok (balance of power) sangat efektif untuk mengakumulasi kekuasaan. Tidak perlu mengontrol, cukup menciptakan arena yang terpusat di dirinya.4 Namun, hal ini melahirkan sistem politik-pemerintahan yang sakit, dengan membiarkan masing-masing kelompok bekerja korup. Jatuhnya Soeharto sebagai figur sentral, mau tidak mau memunculkan chaos politik. Akhir Mei 1998 adalah momen yang ditunggu rakyat Indonesia. Mundurnya Presiden Soeharto menjadi tuntutan dari gelombang aksi jalanan sejak beberapa bulan sebelumnya. Namun, mekanisme naiknya wapres sebagai konsekuensi mundurnya presiden menyisakan ketidakpuasan publik. Di sini, Habibie dihadapkan pada puncak krisis. Dalam konteks Indonesia yang sedang berada pada kondisi chaos, istilah “masa transisi” adalah konsekuensi politik bagaimana negara merespon tuntutan publik dalam kondisi di mana legitimasi kepresidenannya “hanya” sebagai Pelaksana Tugas (Plt.).
4
Denys Lombard menjelaskan mengenai karakteristik klasik politik di Indonesia, yang sangat mempengaruhi tradisi politik hari ini, yaitu politik konsentris. Kerajaan yang pusat pemerintahannyanya di keraton tetap bisa mengontrol seluruh wilayah kekuasaannya hingga terluar dengan membuat semacam manajemen “politik konflik” untuk menimbulkan keseimbangan. Lihat Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya. Warisan KerajaanKerajaan Konsentris, terj. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008).
Menariknya, masa pemerintahan Habibie yang hanya berlangsung singkat (Mei 1998Oktober 1999) menjadi periode pemerintahan dengan produktivitas regulasi tertinggi. Kebijakan era Habibie menjadi pondasi sistem pemerintahan hari ini. Produk perundangan seperti, UU No. 2/1999 tentang Parpol, UU No. 3/1999 tentang Pemilu, dan UU No. 4/1999 tentang Susunan Kedudukan DPR/MPR adalah regulasi yang dasarnya masih tetap dijadikan landasan administrasi negara Indonesia.5 Dalam otonomi daerah, diberlakukan dasar hukum desentralisasi: mengganti UU No. 5/1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah dengan UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Restrukturisasi lain dilakukan melalui 12 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR) serta reformasi ekonomi makro dan perbankan. Hal menarik berikutnya adalah kenyataan bahwa ketokohan Habibie lahir dari teknokrasi Orde Baru. Pada masanya, arah pembangunan Soeharto (Pelita/Repelita) dan kompetensi Habibie dianggap sebagai perpaduan ideal.6 Praktis, Habibie tampak sebagai “tangan kanan” dan orang kepercayaan Soeharto. “Pensiunnya” Soeharto dari politik nasional membuat Habibie naik panggung tanpa political security (Soeharto) sebagaimana masa kejayaan Orde Baru. Kompleksitas dalam melakukan analisis tentang kepemimpinan negara krisis ini ada pada dua hal. Pertama, rentang waktu pemerintahan Habibie yang singkat dengan dinamika tinggi. Sementara krisis multidimensional yang terjadi menuntut pembenahan segala bidang. Kedua, posisi Habibie sebagai presiden Plt., dan stigma sebagai sisa Orde Baru. Dengan hal ini, penanganan krisis tidak memungkinkan melalui pola manajemen sektoral bertahap (phasebased policy). Kebijakan sektoral pemerintahan Habibie dijalankan secara paralel, walaupun secara teknis memiliki urutannya tersendiri (timeframe-based policy).
B. RUMUSAN MASALAH Pemerintahan singkat B.J. Habibie sebagai Plt., membuktikan keberhasilan melewati krisis. Paling tidak, dapat dicatat restrukturisasi regulasi dan pemulihan rupiah. Dua hal
5
Regulasi yang digunakan hari ini sudah berganti. Beberapa diantaranya sudah diperbarui lebih dari sekali. Namun, struktur regulasi yang ada sebenarnya lebih sebagai perbaikan-perbaikan yang masih berada dalam kerangka regulasi masa pemerintahan Habibie tersebut. 6 Pembangunan sektoral menjadi platform pemerintahan. Kondisi ini berbeda dengan era Soekarno yang lebih menekankan pembangunan politik—pada perkembangannya jatuh karena isu sentralistisnya Soekarno dan buruknya perekonomian. Pemerintahan Soeharto menampilkan antitesis dari gaya politik Soekarno.
tersebut adalah pokok tuntutan publik (demokratisasi dan perbaikan ekonomi)—di samping tugas utama presiden Plt., yaitu mengantar pada pemerintahan baru hasil Pemilu. Dalam kajian ini, kepemimpinan ditempatkan sebagai faktor determinan dalam pemulihan krisis. Kajian ini akan menjawab pertanyaan pokok “Bagaimana kepemimpinan B.J. Habibie dijalankan pada masa transisi dalam kondisi krisis?”. Kajian dibagi dalam beberapa bab pembahasan yang menjawab pertanyaan turunan dari pokok di atas. Pertama, apa yang menjadi bangunan politik Orde Baru dan apa bentuk kelembagaannya? Bab ini penting sebagai penjembatan masuk pembahasan tentang langkahkebijakan pemerintahan transisi. Sebab, Presiden Habibie harus berurusan dengan stuktur politik-pemerintahan peninggalan Orde Baru ini dalam masa jabatannya. Kelak, Habibie harus mengkonsolidasi struktur tersebut dalam kepentingan kebijakan penanganan krisis, dan di sisi lain, struktur ini adalah sasaran utama dari kritikan publik. Kedua, apa langkah Habibie di bulan-bulan awal kepresidenannya? Pada rentang ini, tantangan Habibie adalah problem legitimasi dan gejolak publik, sekaligus mempersiapkan prakondisi kebijakan penanganan krisis. Lalu, di mana pilihan Habibie, lebih mengakomodasi sistem lama demi pengamanan politiknya, atau mengambil resiko dengan mengakomodasi tuntutan publik? Ketiga, bagaimana Habibie melakukan konsolidasi kelembagaan internal pemerintah dalam pembenahan ekonomi nasional? Masih berjalannya pemerintahan Habibie mau tidak mau memperlihatkan penerimaan atas posisinya. Namun, pembenahan ekonomi adalah pekerjaan besar dengan belum sinergisnya kerja para menteri dalam kondisi penuh dinamika dan tekanan. Bagaimana Habibie memanfaatkan momentum politik dalam konteks kebijakan krisis dan resiko-resikonya? Keempat, apa langkah yang dilakukan Habibie pada masa akhir pemerintahannya (menjelang SU MPR 1999)? Tekanan politik meningkat kembali. Dalam konteks rencana Pemilu selanjutnya, Habibie adalah incumbent, yang artinya berpeluang besar dipilih kembali sebagai presiden. Namun, mengapa kebijakan pelepasan Timor-Timur yang resiko politiknya tinggi menjadi pilihan?
C. TUJUAN PENELITIAN
Secara umum, kajian ini bertujuan memahami kepemimpinan Habibie pada masa transisi Indonesia 1998-1999. Secara khusus, kepemimpinan akan dinilai dari bagaimana pola tindakan personal, kebijakan kelembagaan, dan respon (dari aras atas dan bawah). Maka, kajian akan memperoleh gambaran mengenai: 1) polemik pergantian pemerintahan dan dampak krisis keuangan yang membawa pada kondisi krisis multisektor di Indonesia; 2) tuntutan publik yang menjadi tekanan pada pemerintahan Habibie, berikut pada relasi aktor dan kepentingan yang terlibat; dan 3) model kepemimpinan Habibie dari langkah dan kebijakannya.
D. KERANGKA PEMIKIRAN Jabatan kepresidenan Habibie perlu dilihat secara proporsional: menjabat pelaksana tugas (Plt). Oleh karena itu, beberapa penjelasan tentang masa Orde Baru akan menjembatani menuju analisis tentang pemerintahan Habibie. Tugas utama kepresidenan Habibie adalah transisi pemerintahan menuju Pemilu selanjutnya. Namun, dengan konteks politik 1998, beban pemerintahan Habibie akhirnya bukan sekadar transisi administratif, melainkan menyentuh juga soal demokratisasi dan pemulihan ekonomi. Sistem dan kondisi politik mempengaruhi mekanisme kebijakan;7 dari perilaku, struktur, hingga tujuan pemerintah.8 Dalam kebijakan publik, Simon menyebut hal ini sebagai rasionalitas terikat (bounded rationality).9 Sehingga, kajian ini menempatkan publik (kritik media massa, aksi demonstrasi, dan respon-respon dalam bentuk lain) sebagai faktor yang mempengaruhi kepemimpinan (langkah dan kebijakan pemerintahan) Habibie.
7
Hubungan antara politik dan kebijakan lihat dalam David Easton, A Framework for Political Analysis (Englewood Cliffs, N.J.: Prentice-Hall, Inc., 1965a); dan David Easton, Systems Analysis of Political Life (New York : John Wiley and Sons, Inc., 1965b). 8 Lihat Easton (1965b: 19) dan (1965a: 50). Sedangkan, gagasan mengenai hubungan politik dan birokrasi telah banyak dilakukan sejak 1980-an. Hubungan tersebut menjadi salah satu faktor determinan dalam formasi kelembagaan pemerintahan. Lihat Jenny Stewart & Russell Ayres, “Systems Theory and Policy Practice: An Exploration”, dalam Policy Sciences 34.1 (Mar 2001), hal: 79; M.M. Atkinson & W.D. Coleman. “Policy Networks, Policy Communities, and the Problems of Governance”, dalam Governance 5.2 (1992), hal: 154-180; dan G. Teubner, Law as An Autopoietic System (Oxford: Blackwell, 1993), hal: 75. 9 Kritik mengenai pendekatan rasional dalam kebijakan publik mulai dikemukakan oleh Simon (1947, 1997) yang mengatakan bahwa rasionalitas manusia sangat dipengaruhi oleh keterbatasan personal dan adanya faktor eksternal (tekanan sosial). Pengambil kebijakan cenderung memilih alternatif yang mengakomodir beberapa tujuan. Analisis Simon secara fundamental mengubah perspektif konsep proses kebijakan. Pemahaman umum adalah hasil kebijakan merupakan agregasi tindakan individu. Simon (1957) mengemukakan bahwa rasionalitas kebijakan justru diukur dari isu dan masalah yang dapat dipecahkan kebijakan tersebut. Lihat dalam H.A. Simon, Administrative Behavior: A Study of Decision Making Process (New York: Macmillan, 1947); H.A. Simon, Models of Man (New York: Wiley, 1957); dan H.A. Simon, Administrative Behavior: A Study of Decision Making Process. 4th Edition (New York: Free Press, 1997).
Mengenai penanganan krisis, terdapat kecenderungan logika yang menempatkan krisis layaknya bencana alam. Implikasinya adalah respon kebijakan yang bermodel tahapan. Di luar itu, kecenderungannya adalah memaknai krisis sebagai momentum politik. Logika ini menimbulkan respon kebijakan yang akomodatif.10 Dua model respon kebijakan pemerintah tersebut mempunyai perbedaan yang sangat mendasar: 1) kebijakan terstruktur dan phasebased policy dengan disiplin (mungkin mengarah pada otoriter); dan 2) kebijakan yang terkesan acak, paralel, mempertimbangkan momentum/waktu (timeframe) yang akomodatif (menyesuaikan faktor-faktor eksternal). Namun, melihat apa yang terjadi pada rentang 1998-1999 (konteks transisi, dinamika politik, dan faktor Habibie), kebijakan penanganan krisis mengambil kedua model (phasebased dan timeframe-based). Sehingga, kajian ini membagi analisis pada tiga periode waktu, yaitu awal, tengah, dan akhir kepemimpinan Habibie.
Gambar. Periodisasi Langkah dan Kebijakan Habibie
10
Masa Awal (“first 100 days”)
Masa Tengah
Masa Akhir
- Pembentukan Kabinet - Perombakan pejabat - Langkah politis lain (tapol, dll)
- Pembenahan ekonomi - Persiapan restrukturisasi regulasi
- Stabilitas sosial - Persiapan pemerintahan baru
Kecenderungan kebijakan politik
Kecenderungan kebijakan sosial
Lihat L. Comfort, Managing Disaster: Strategies and Policy Perspectives (Durham: Duke University, 1988); Ali Farazmand, Handbook of Crisis and Emergency Management (NY: T&F, 2001); Ali Farazmand, “Learning from Katrina Crisis: A Global and International Perspective with Implications for Future Crisis Management,” dalam Public Administration Review 67, SI (Dec 2007); Ali Farazmand, “Bureaucracy and the Administrative System of the Ancient World-State Persian Empire: Implications for Modern Administration”, dalam Farazmand, Ali (Ed.), Bureaucracy and Administration (Boca Raton: Taylor & Francis, 2009); I. Mitroff, Crisis Leadership: Planning for the Unthinkable (NY: John Wiley, 2004); C. Perrow, Normal Accidents: Living with High Risk Technologies (NY: Basic Books, 1984); M.K. Pinsdorf, All Crises are Global (New York: Fordham University Press, 2004); S.D. Sagan, The Limits of Safety: Organizations, Accidents, and Nuclear Weapons (Princeton: Princeton University Press, 1993); S. Schneider, Flirting with Disaster: Public Management in Crisis Situations (NY: M.E. Sharpe, 1995); S.K. Schneider, “Administrative Breakdowns in the Governmental Response to Hurricane Katrina”, dalam Public Administration Review, 65.5 (2007); W.L. Waugh, Living with Hazards, Dealing with Disasters: An Introduction to Emergency Management (NY: M.E. Sharpe, 2000).
Masing-masing periode waktu (timeframe) memiliki kecenderungan prioritasnya (phased). Pembentukan Kabinet dan pergantian pejabat strategis (termasuk di militer) misalnya, adalah kebijakan yang memperlihatkan prioritas pada stabilitas politik (meredam gejolak publik). Kebijakan tersebut disusul dengan pembebasan tokoh politik serta pembebasan pers dan demonstrasi. Pada periode setelahnya (tengah), kebijakan pembenahan perekonomian dilakukan dengan konsolidasi kelembagaan, pembentukan badan-badan ad hoc, dan manajemen resiko kebijakan. Stabilitas sosial adalah kecenderungan kebijakan akhir pemerintahan. Persetujuan Habibie dalam pelaksanaan referendum dilakukan pada akhir kepemimpinannya. Personalitas Habibie dalam situasi ekonomi-politik 1998-1999 akan dilihat sebagai keterkaitan dalam bounded rationality. Dalam praktiknya, hal ini muncul dalam bentuk komunikasi politik, kebijakan (langkah personal dan kelembagaan), infrastruktur politik (latar belakang dan jaringan), pemikiran (pandangan dan konsep tentang negara), dan pelaksanaan kebijakan-kebijakan reformasi.
E. TINJAUAN PUSTAKA 1. Kepemimpinan dalam Instabilitas Secara umum, kepemimpinan dipahami dari bagaimana seseorang menggunakan otoritasnya mempengaruhi/menggerakkan tindakan pihak lain dalam tujuan tertentu. Tentang kepemimpinan, dua hal yang menjadi perhatian analis, yaitu “proses” dan “hasil”. Dua hal itu akan menghasilkan kesimpulan yang seringkali berbeda dalam menilai pemimpin. Sudut pandang “kepemimpinan dari proses” memunculkan penjelasan tentang personalitas (inspirasi, karisma, dan karakter), motif dan tujuan, koordinasi, dan interaksi. Teori perilaku (behavioral theory) dan teori sifat (trait theory) sering dijadikan landasan dalam sudut pandang ini. Banyak sarjana melakukan kajian dalam sudut pandang ini, seperti tulisan
Chemers (2009); Ackerman & Humphreys (1990); Arvey, dkk., (2006); dan Avolio, dkk., (2003).11 Sedangkan, memandang “kepemimpinan dari hasil” memunculkan pembahasan tentang langkah dan kebijakan pemimpin dalam tatanan tertentu (titik-titik waktu dan kondisi saat kepemimpinan berjalan). Karya yang termasuk dalam sudut pandang ini populer pasca 1940-an, yang cenderung melihat kepemimpinan sebagai bagian dari kondisi politik. Asumsi dasarnya, kepemimpinan sangat bersifat kualitatif dan kontekstual. Pemimpin yang berhasil dalam satu waktu dan kondisi, belum tentu akan memiliki keberhasilan yang sama pada waktu dan kondisi lain. Pada akhirnya, kepemimpinan bukan hanya persoalan personalitas pemimpin, melainkan erat kaitannya dengan konteks. Membicarakan kepemimpinan sama artinya membicarakan rentang waktu dan kondisi tertentu. Beberapa pemikiran dapat dilihat pada tulisan Bird (1940); Stogdill (1948); dan Mann (1959).12 Dalam sebuah sistem politik-pemerintahan, kepemimpinan adalah faktor determinan bagaimana situasi diarahkan. Sayangnya, kepemimpinan lebih sering ditinjau dalam kondisi normal (mapan atau stabil). Meninjau kepemimpinan dalam kondisi normal memiliki dua implikasi. Pertama, kepemimpinan dipahami sebagai proses satu arah. Pemimpin diposisikan sebagai faktor tunggal yang mempengaruhi kondisi. Konsekuensi teoretiknya, kondisi krisis tidak akan mampu ditangani hanya oleh pemimpin.13 Ini bisa menjelaskan bagaimana pada krisis Asia 1997, misalnya, besar pengaruh Bank Dunia dan IMF mengarahkan penyesuaian struktural (regulasi dan kelembagaan) pada sektor ekonomi (domain Bank Dunia dan IMF).14 Kedua, kepentingan ekonomi-politik yang bermunculan menjadi pintu masuk pihak luar untuk mempengaruhi kebijakan domestik. Kaitannya erat dengan implikasi pertama, yaitu asumsi
11
Banyak sarjana melakukan kajian dalam sudut pandang ini. Misalnya, Martin M. Chemers, An Integrative Theory of Leadership (New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Inc., 2009); P.L. Ackerman & L.G. Humphreys, “Individual Differences in Industrial and Organizational Psychology”, dalam Handbook of Industrial and Organizational Psychology, Vol. 1, Second Edition (AS: Consulting Psychologists Press, 1990); R.D. Arvey, dkk., “The Determinants of Leadership Role Occupancy: Genetic and Personality Factors”, dalam The Leadership Quarterly, 17 (2006); B.J. Avolio, dkk., “Leadership Models, Methods, and Applications”, dalam Handbook of Psychology: Industrial and Organizational Psychology, Vol. 12 (AS: John Wiley & Sons Inc., 2003); J.A. Conger & R.N. Kanungo, Charismatic Leadership in Organizations (AS: Sage Publications, Inc., 1998). 12 C. Bird, Social Psychology (New York-London: D. Appleton-Century Company, Inc., 1940); R.M. Stogdill, “Personal Factors Associated with Leadership” dalam Journal of Psychology, 25 (1948); dan R.D. Mann, “A Review of the Relationship Between Personality and Performance in Small Groups”, dalam Psychological Bulletin, 56 (1959). 13 Pola intervensi negara industri terhadap negara berkembang melalui lembaga donor dan cara-cara lain dapat dilihat sekilas pada buku Noam Chomsky, How the World Works, terj. (Jakarta: Bentang Pustaka, 2015). 14 Bisa dilihat dalam Adrian Bazbauers, “Reviving the Neoloberal Discourse: The Bank Dunia Responds to Aeast Asia in Crisis”, dalam Journal of Third World Studies 31.2 (Fall 2014). Jerat neoliberalisme pada krisis di negara berkembang, lihat dalam Ilene Grabel, “Neoliberal Finance and Crisis in the Developing World”, dalam Monthly Review 53.11 (Apr 2002).
bahwa krisis hanya bisa dilalui jika sebuah negara mau dibantu dan mengikuti rekomendasi lembaga donor. Beberapa pemimpin berhasil memulihkan krisis di negaranya dengan lebih mengandalkan kebijakan domestiknya sendiri. Misalnya, Nelson Mandela (Presiden Afrika Selatan) yang melakukan program rekonsiliasi etnis sebelum kebijakan pembenahan dan pembangunan.15 Hal yang hampir sama dilakukan oleh Jean-Bertrand Aristide (Presiden Haiti) yang berhasil menyatukan suara rakyat untuk membangun negara.16 Namun, kebanyakan pemimpin negara yang sedang mengalami krisis, legitimasinya lemah di mata rakyat. Lemahnya legitimasi publik inilah yang seringkali berujung pada terbentuknya “masyarakat resiko”. Ulrich Beck (1992) mengamati bahwa dalam masyarakat resiko ada kekhawatiran tentang keamanan pribadi dan kolektif yang sangat dipengaruhi agenda politik. Masyarakat resiko ditandai kesenjangan antara harapan warga dan upaya pemimpin menangani krisis. Iklim sosial-psikologis dan politik membuat kebijakan pemimpin akan ditanggapi dengan ketidakpercayaan.17 Lain halnya dengan Boin & Hart, yang tidak menjelaskan kepemimpinankrisis. Fokusnya pada persoalan harapan publik, yaitu penjaminan keamanan, persiapan pemimpin pada kondisi terburuk, himbauan yang dilakukan pemimpin pada publik, dan manajemen krisis.18 Penjelasan Boin & Hart menjadi contoh khas kajian kepemimpinan-krisis yang ada: menekankan pada “manajerialisme” untuk keluar dari krisis. Akibatnya, kebijakan negara diterapkan layaknya menangani perusahaan bangkrut: perlu campur tangan pihak luar (konsultan, auditor, evaluator). Buku yang ditulis oleh John Perkins adalah salah satu karya paling kontroversial: membedah “hubungan gelap” antara perekonomian, krisis, kepemimpinan, serta kepentingan negara industri dan korporasi multinasional. Dengan posisi Perkins sebagai mantan konsultan Bank Dunia dan IMF, buku ini menjadi semacam “pengakuan dosa”. Perkins menjelaskan perannya
memanipulasi
program
penyesuaian
struktural
(Structural
Adjustment
Program/SAP) di negara berkembang. Robinson, dalam bukunya Indonesia: The Rise of Capital (1986)19 melihat bagaimana pengaruh negara industri pada negara berkembang dalam
15
Namun, kondisi di Afrika Selatan memang berbeda dengan kondisi Indonesia pada 1998. Telah sejak lama Mandela didukung oleh publik mayoritas dan kekuatan politik warga kulit putih semakin menurun. Infrastruktur ekonomi di Afrika Selatan juga telah terbentuk, sehingga “pekerjaan rumah” Mandela lebih pada rekonsiliasi etnis 16 Namun, kekuatan sosial Aristide pada akhirnya ditakuti AS. Hal yang bisa ditebak, Aristide disingkirkan AS. 17 Ulrich Beck, Risk Society: Towards a New Modernity (London: Sage Publications, 1992). 18 Arjen Boin & Paul ‘t Hart, “Public Leadership in Times of Crisis: Mission Impossible?”, dalam Public Administration Review 63.5 (Sep/Oct 2003). 19 Diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dalam Richard Robinson, Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme di Indonesia, terj. (Jakarta: Komunitas Bambu, 2012).
konsep teori ketergantungan (dependency theory). Dalam bukunya yang sempat dilarang beredar di Indonesia semasa Orde Baru ini, kepentingan korporasi negara industri dan program bantuan lembaga donor membentuk subordinasi perekonomian negara berkembang, termasuk Indonesia. Perkins mempopulerkan istilah “bandit ekonomi” (economic hitmen), yang melakukan segala cara untuk mengubah kebijakan negara target melalui kekuatan modal. Misalnya, penyingkiran Presiden Panama Omar Torrijos dan Presiden Ekuador Jaime Roldos. Dalam bukunya, Perkins menjelaskan cara kerja lembaga donor dan korporasi multinasional di negara berkembang—terutama dalam krisis. Pertama, laporan “fiktif” yang kepada Bank Dunia dan IMF. Laporan yang manipulatif dengan angka mempesona, sebagai “alasan formal” mengucurkan utang luar negeri kepada negara-negara berkembang. Kedua, pembangkrutan negara-negara pengutang.20 Walaupun Perkins jelas-jelas eksponen dari sistem gelap tersebut, nyatanya masih terdapat beberapa penolakan terhadap isi bukunya. Tulisantulisan ahli politik Noam Chomsky senada dengan Perkins. Dalam How the World Works (2015), dikatakan bahwa krisis menjadi pintu masuk dari lembaga donor internasional— instrumen negara industri—untuk masuk. Tingkatannya beragam: dari invervensi keuangan, kebijakan publik, hingga kepemimpinan (menjatuhkan/mempromosikan). Kita bisa ambil contoh kawasan Amerika Selatan, yang banyak pemimpin negaranya adalah hasil “konsesi” negara-negara industri. Jika kepemimpinan tidak selaras dengan kepentingan industri, maka krisis menjadi hal yang wajar menimpa negara. Pada akhirnya, negara krisis harus menerapkan kebijakan penanganan (crisis handling) domestiknya. Umumnya, dua alternatif yang muncul: 1) pemerintahan darurat (otoriter dan represi); atau 2) akomodasi pada tuntutan publik. Korea Selatan dan Taiwan pada krisis 1970an, sebagai contoh, menampilkan penerapan dua alternatif tersebut.21 Restrukturisasi ekonomipolitik dilakukan pemerintah Korea Selatan dengan menutup saluran politik rakyatnya; artinya, stabilisasi dilakukan dengan otoriter. Stabilisasi otoriter dilakukan karena pilihan kebijakan pemulihan ekonomi padat modal lebih riskan terhadap ketidakstabilan. Hal sebaliknya dilakukan Taiwan, dengan membuka saluran politik elemen sosialnya.
2. Perubahan Politik di Negara Berkembang
20
Lihat John Perkins, Pengakuan Bandit Ekonomi, terj. (Jakarta: Ufuk Publishing House, 2007). Jei Guk Jeon, The Political Economy of Crisis Management in the Third World: A Comparative Study of South Korea and Taiwan (1970s), dalam Pacific Affairs 67.4 (Winter 1994/1995). 21
Perubahan politik di negara berkembang sering dipicu kepentingan kelompok tertentu sehingga lebih tampak sebagai “penggulingan” daripada sekadar “pergantian” kekuasaan. Penolakan terhadap pemerintahan junta militer di Burma (sejak 1988), represi rezim Shinawatra di Thailand terhadap kelompok muslim (2005), politik apartheid di Afrika Selatan (1990-1994), perang sipil di Aljazair (1990-an), perang ideologi di Eropa Timur dan Amerika Selatan (sejak pasca Perang Dunia II), dan chaos politik di Mesir (sejak 1950-an) adalah beberapa kasus perubahan politik abad ke-21. Penggulingan kekuasaan di Mesir (rangkaian Arab Spring) adalah kasus khas negara berkembang yang menarik, karena Mesir adalah negara yang terbilang mulai mengarah pada industrialisasi. Pada 2005, Presiden Hosni Mubarak mengubah peraturan Pemilu dalam aturan multikandidat. Sehingga, untuk pertama kalinya (sejak 1952) rakyat Mesir bisa memilih pemimpin dari berbagai kandidat. Namun, kebebasan memilih disertai berbagai pembatasan. Para tokoh politik tidak bisa masuk proses Pemilu, memuluskan kemenangan kembali Mubarak. Hal ini memicu perlawanan massa di awal 2011, dengan 3 minggu demonstrasi besar menurunkan Mubarak. Pada Juni 2012, Mohamed Morsi menang dari calon independen (Mubarak melarang Ihwanul Muslimin mengajukan calon). Karena campur tangan militer di pemerintahan, pada Juni 2013 massa kembali menjatuhkan Morsi. Kasus Mesir menjadi contoh pergantian kepimimpinan di negara “semi-modern” gesekan politik kelompok yang kental.22 Altbach melihat adanya hubungan langsung antara gerakan massa oleh mahasiswa pada politik-pemerintahan negara berkembang. Gerakan mahasiswa di negara-negara berkembang secara efektif memicu perubahan sosial-politik. Kampus menduduki posisi sosial yang penting. Dalam Politik dan Mahasiswa (1988),23 dijelaskan alasan mengapa gerakan mahasiswa negara berkembang sering mempengaruhi politik pemerintahan secara langsung karena sedikitnya lembaga dan struktur politik seperti di negara maju. Kelompok mahasiswa mengorganisir diri dan membuat saluran politik sendiri. Gerakan mahasiswa dalam politik secara langsung dilihat sah dan biasa. Walaupun dalam banyak kasus, kegiatan politik mahasiswa sering ditunggangi kekuatan politik di atasnya (partai atau militer).
Hicham Bou Nassif, “Wedded to Mubarak: The Second Careers and Financial Rewards of Egypt’s Military Elite, 1981-2011”, dalam The Middle East Journal 67.4 (2013); Talal Asad, “Fear and the Ruptured State: Reflections on Egypt after Mubarak”, dalam Social Research, suppl. Special Issue: Egypt in Transition 79.2 (2012); Judy Barsalou, “Post-Mubarak Egypt: History, Collective Memory, and Memorialization” Middle East Policy 19.2 (2012); dan David Faris, “Egypt After Mubarak: Liberalism, Islam, and Democracy in the Arab World”, dalam Middle East Policy 16.2 (2009). 23 Philip G. Altbach (Ed.), Politik dan Mahasiswa, terj. (Jakarta: Gramedia, 1988). 22
Berbeda pada Afrika Selatan (mulai 1980-an), di mana politik apartheid berdampak pada instabilitas pemerintahan. Banyak implementasi kebijakan mengalami kebuntuan di tingkat elit karena sentimen kulit putih dan kulit hitam dalam pemerintahan, dan di tingkat bawah pada organ-organ pemudanya. Bebasnya Mandela dari penjara (pada 1990) adalah awal jaman baru Afrika Selatan. Mandela menyatukan etnis-etnis Afrika Selatan, dan di tingkat elit menjalin hubungan dengan masyarakat kulit putih. Hal tersebut menjadi prioritas kebijakan karena para elit kulit putih adalah pemegang sumber daya ekonomi Afrika Selatan. Politik rekonsilisasi membawa negara pada kondisi yang jauh lebih stabil.24 Kejelasan status aksi massa dalam rangkaian demonstrasi pergantian pemerintahan adalah sesuatu yang penting. Banyak di antara gerakan mahasiswa yang muncul akibat rangkaian gelombang demonstrasi di negara-negara tetangga.25 Gerakan Kiri Baru (New Left) pada 1960-an di banyak negara dan Arab Spring sejak akhir 2010 di negara sekitar Arab adalah faktor eksternal yang mempengaruhi kemunculan dan bentuk gerakan kelompok intelektual. Namun, kerusuhan 1998 di Indonesia—walaupun tidak sepenuhnya—adalah gelombang ketidakpuasan publik yang minim pengaruh eksternal (bukan bagian gerakan ideologis global). Korupsi Orde Baru menjadi isu gerakan massa pada 1998. Depresi ekonomi sering disebut sebagai faktor penyebab perubahan di sebuah negara— terutama negara berkembang. Perubahan ekonomi dapat dengan mudah menjadi pemicu perubahan di sektor lain: sosial, politik, dan keamanan. Terdapat beberapa buku yang melihat mengenai pengaruh jatuhya perekonomian terhadap kondisi dalam negeri, salah satunya buku kumpulan penelitian berjudul Reformasi: Crisis and Change in Indonesia (1999).26 Terdapat fakta menarik yang membedakan krisis di Indonesia dan negara lain. Krisis Indonesia 1998 yang dipicu krisis ekonomi Asia Tenggara memunculkan “ledakan demokrasi” yang telah lama ditahan otoritarianisme Orde Baru. Menariknya, pada saat krisis di Indonesia—negara paling terdampak—saat itu ditangani dengan cara demokratis, krisis di negara tetangga (Thailand, Malaysia, dan Singapura) ditangani dengan kebijakan tangan besi. Di masa pemerintahan transisi Indonesia, kebijakan dasar penanganan krisis pun (reformasi politik, kelembagaan, dan pembenahan ekonomi) dilakukan dengan jalur-jalur kompromistis dan politis, seminimal
24
Terdapat banyak karya yang menjelaskan mengenai kondisi Afrika Selatan dan Nelson Mandela saat itu. Salah satu yang sangat ilustratif adalah film Invictus (2009), dan tulisan Mandela sendiri dalam Nelson Mandela, Langkah Menuju Kebebasan: Surat-Surat dari Bawah Tanah, terj. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993) 25 Lihat penjelasan-penjelasan singkat dari aksi massa melawan negara, salah satunya dalam buku Yozar Anwar, Pergolakan Mahasiswa Abad ke-20 (Jakarta: Sinar Harapan, 1981). 26 Lihat Arief Budiman, dkk., (Eds.), Reformasi: Crisis and Change in Indonesia (Australia: Monash Asia Institute, 1999).
mungkin menimbulkan penolakan.27 Perbedaan tersebut menjadi perbedaan pilihan kebijakan crisis handling, antara akomodasi dan represi.
3. Tuntutan Publik terhadap Pemerintah Perubahan politik dari aras bawah hampir selalu diawali gerakan mahasiswa dan kelompok intelektual. Walaupun seringkali terjadi, tuntutan publik yang berkembang menjadi gerakan rakyat bukan hanya milik negara berkembang. Pada negara adidaya, beberapa kasus besar gerakan mahasiswa pun pernah terjadi. Misalnya Revolusi Mahasiswa Berkeley (1964), Peristiwa Perancis 1968, gerakan Students for a Democratic Society di AS, dan aksi pembunuhan di Kent State University, dan sebagainya. Altbach, dkk., memperlihatkan karakter gerakan mahasiswa yang menampilkan radikalisme praktik ideologi. Di AS misalnya, model gerakan mahasiswa lebih menyerupai lembaga swadaya masyarakat (LSM). Arus ideologi Kiri Baru (New Left) yang populer menumbuhkan aksi protes di berbagai negara mulai akhir 1960-an, berakibat pada rangkaian radikalisme kampus. Ideologi populer ini sukses menarik dukungan para dosen, peneliti, wartawan, dan kelompok studi untuk turun ke jalan. Di Italia, dengan sistem politik yang lebih keras, melahirkan taktik lebih radikal dan anarkis: senjata api, teror, dan gerakan bawah tanah.28 Altbach menekankan dua fungsi gerakan mahasiswa sebagai agen dari perubahan. Pertama, agen perubahan politik. Kedua, agen perubahan sosial. Kedua fungsi tersebut dalam praktiknya beragam, tergantung konteks politik. Di AS, gerakan mahasiswa muncul sebagai reaksi atas kebijakan pemerintah menginvasi Vietnam. Mahasiswa mengakumulasi modal dengan penguatan “unit bisnis” organisasinya. Kekuatan modal mahasiswa ini memunculkan independensi dari institusi kampus. Keleluasaan mengadakan aksi damai, format organisasi yang rapi, dan gerakan sistematis membentuk citra positif untuk mempengaruhi opini publik.29
27
Mengingat kondisi kacau masih kencang, tindakan reformasi dan restrukturisasi lembaga dan perusahaan negara tidak bisa dilakukan dengan keras. Beberapa langkah kebijakan dapat dilihat pada R. McLeod, “From Crisis to Cataclysm? The Mismanagement of Indonesia’s Economic Ailments”, dalam The World Economy 21.7 (1998); dan Mark McGillivray & Oliver Morrissey, “Economic and Financial Meltdown in Indonesia: Prospects of Sustained and Equitable Economic and Social Recovery”, dalam Arief Budiman, dkk. (Eds.), Reformasi: Crisis and Change in Indonesia (Australia: Monash Asia Institute, 1999). Terdapat satu contoh buku yang menjelaskan secara agak mendetail bagaimana langkah penggabungan Bank Mandiri pada tengah 1998 pada buku catatan CEO Bank Mandiri, Robby Djohan, Leading in Crisis: Praktik Kepemimpinan dalam Mega Merger Bank Mandiri (Jakarta: Penerbit Bara, 2006). 28 Altbach (1988). 29 Walaupun dalam beberapa kasus, terjadi huru-hara yang berakhir pada bentrok fisik antara mahasiswa dan aparat.
Hal ini relevan dengan kesimpulan Altbach bahwa di negara industri, peran masyarakat di bidang sosial lebih menonjol dibanding negara berkembang (lebih menonjol dalam politik). Di Burma, gerakan mahasiswa bergabung dengan kelompok-kelompok etnis.30 Burma sendiri merupakan negara khas Asia Tenggara dengan banyak etnis yang masing-masingnya berpolitik. Kekacauan selama puluhan tahun kelompok etnis menuntut merdeka.31 Di Indonesia, pada masa sama, catatan harian Soe Hok Gie menggambarkan pengaruh sosialpolitik mahasiswa di tingkat nasional.32 Dalam buku serupa yang ditulis hampir bersamaan, Ahmad Wahib menulis pemikiran Islamnya dalam konteks reformasi HMI.33 Dengan relasi antara Wahib dan Nurcholis Madjid (tokoh pemuda saat itu) di HMI, 34 perdebatan mengenai Islam-politik memunculkan sikap politik kontoversial: “Islam yes, partai Islam no”. Gerakan Kiri Baru tidak berpengaruh langsung di Indonesia. Pada 1960 hingga 1970an, Indonesia mengalami ketidakstabilan ekonomi dan politik. Gerakan massa yang terjadi bukan merupakan praktik dari ideologi kontemporer, melainkan sebagai penyuara derita rakyat. Dalam sejarahnya, gerakan mahasiswa di Indonesia dapat dikategorisasikan dalam tiga masa: periode awal (Angkatan 1908 dan Angkatan 1928); periode kemerdekaan (Angkatan 1945); dan periode baru (Angkatan 1966). Periode awal adalah perkembangan nasionalisme dan anti-kolonialisme. Termasuk dalam kelompok ini adalah pelajar STOVIA (sekolah kedokteran bentukan pemerintah Hindia-Belanda), Boedi Oetomo/BO (berdiri pada 1908), model partai (misalnya Indische Partij/IP pada 1914), dan organisasi kedaerahan (Jong Java, Jong Sumateranen Bond, Jong Celebes, dan lainnya yang pada 1928 melahirkan Sumpah Pemuda). Pasca Sumpah Pemuda, semangat anti-kolonialisme mulai diterjemahkan dalam aksi provokatif. Pada Angkatan 1945, seluruh rakyat melakukan perlawanan terhadap pemerintahan kolonial. Angkatan 1966 mengambil garis pemisah dengan pemerintah karena rezim Soekarno dinilai korup.35 Pada masa ini banyak organisasi mahasiswa dan pemuda dibentuk parpol sebagai underbouw. Peta besarnya karena ketidakpuasan politik kelompok anti-PKI. HMI (berdiri pada 1947), PMKRI (1950), GMKI (1950), GMNI (1954), CGMI (1956), Gemsos
30
Burma adalah negara yang memiliki karakteristik hampir sama dengan Indonesia dari sisi jumlah etnis yang tinggi. Pada tahun 1960-an, perebutan kekuasaan terjadi. 31 Lihat otobiografi Aye Saung, Catatan-Catatan dari Bawah Tanah, terj. (Jakarta: LP3ES, 1991). 32 Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran (Jakarta: LP3ES, 2011). Banyak dijelaskan sidang-sidang mahasiswa dan pertemuan kelompok mahasiswa dan tokoh politik. 33 Ahmad Wahib, Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib (Jakarta: LP3ES & Freedom Institute, 2003). HMI adalah organisasi gerakan mahasiswa terbesar dan punya pengaruh di Indonesia. 34 Pada waktu itu, HMI menjadi organisasi mahasiswa Islam terbesar. 35 Lihat Taufik Abdullah (Ed.), Pemuda dan Perubahan Sosial (Jakarta: LP3ES, 1974); dan juga Taufik Abdullah, Tentang Pemuda dan Pembangunan (Jakarta: Leknas, 1972).
(1955), dan PMII (1960) terbentuk.36 Tuntutan pergantian pemerintahan dilakukan dengan aksi gabungan organisasi seperti KAMI, KAPI, KAPPI, KASI, dan lain-lain. Kemunculan organisasi tidak lepas dari konteks Pemilu 1955.37 Hubungan partai-ormas-mahasiswa lumrah menjadi gaya politik saat itu.38 Dukungan publik pada pemerintahan Soeharto tidak berlangsung lama. Tahun 1970-an muncul kampanye “Golput” (tidak memilih) pada Pemilu 1972 dan penolakan proyek pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) akibat indikasi korupsi. Pada 1974 terjadi “Malapetaka 15 Januari” (Malari 1974), yang sebelumnya diawali kebencian publik terhadap kedekatan rezim dengan Jepang dalam bisnis yang merugikan negara. Tahun 1978, pemerintah menerapkan
NKK/BKK
(Normalisasi
Kehidupan
Kampus/Badan
Koordinasi
Kemahasiswaan), melarang mahasiswa berpolitik. Mendekati 1998, semangat organisasi gerakan mahasiswa era 1960-an bangkit kembali yang dijawab dengan represi pemerintah. Tahun 1998 menjadi puncak kekacauan dengan didudukinya gedung DPR/MPR oleh mahasiswa. Beberapa kampus yang tidak aktif dalam gerakan dicibir kampus lain.39 Menarik dicatat bahwa mendekati puncak kekacauan, aksi mahasiswa akhirnya didukung kelompok militer.40
4. Preferensi dalam Pengambilan Kebijakan Pada saat dirilis pemerintah, sebuah kebijakan otomatis menjadi konsumsi publik, baik sebagai dampak kebijakan (terkait stakeholders, target hasil, dan kelompok terdampak), maupun sebagai bahan analisis pengamat sebagai dasar perubahan kebijakan selanjutnya. Dalam pengambilan kebijakan, banyak hal menjadi pertimbangan. Dua perspektif pengambilan kebijakan: “bidang” (technocratism) dan “kepemimpinan” (leadership). Walaupun dua
36
Rata-rata kelahiran organisasi pergerakan mahasiswa terjadi pada 1960-an, yang pada akhirnya tampak bahwa pembentukannya dijadikan alat menjatuhkan Soekarno. Sebagian besar dari organisasi tersebut masih eksis hingga sekarang. Lihat catatan yang ditulis pada Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran (Jakarta: LP3ES, 2011). 37 Untuk analisis sejarah dan politik di periode ini berkaitan dengan Pemilu 1955, lihat M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, terj. (Jakarta: Serambi, 2001). 38 Lihat Herbert Feith, Sukarno-Militer dalam Demokrasi Terpimpin (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995). 39 Wawancara dengan mantan aktivis mahasiswa di Universitas Airlangga (Surabaya) dan Universitas Negeri Padang (Padang). 40 Kesaksian beberapa aktivis era 1998. Pada kenyataannya, militer Indonesia secara politik tidak pernah terlepas dari momen pergantian pemerintahan sebagai elemen pendukung walaupun secara tersirat. “Pragmatisme” politik ini pada satu sisi disebabkan oleh tersebarnya unit bisnis kelompok militer sehingga tatanan politik yang stabil selalu dijadikan prioritas.
perspektif ini adalah sebuah kesatuan dalam proses kebijakan, sering masing-masing punya logikanya sendiri. Logika teknokratis berada dalam argumen akademis, sedangkan logika kepemimpinan (pengambil
kebijakan/kepala
negara)
berada
dalam
argumen
politis.
Kebijakan
pemberian/pencabutan subsidi bahan bakar minyak, misalnya. Preferensi pengambilan kebijakan sudah terlihat sejak tahap respon isu.41 Kelompok teknokrat dalam pemerintahan merespon sesuai bidang (ekonomi, finansial, diplomasi, sosial, dan teknologi) dan unit kerjanya (struktur birokrasi). Sedangkan, pada proses perumusan regulasi, kepentingan politik (akses sumber daya karena penerapan kebijakan) menjadi satu layer tersendiri. Di sinilah kemudian terjadi pertautan antara pemimpin politik (eksekutif) dan kumpulan politisi (legislatif) dengan otoritasnya masing-masing. Layer berikutnya adalah tanggapan positif (reception) dan negatif (critics) dari publik tentang substansi dan implementasi kebijakan. Proses ini berjalan dialektis dan siklis. Tanggapan publik (termasuk stakeholders) akan menjadi masukan kembali melalui layer teknorat. Legitimasi politik pemimpin menjadi faktor determinan kebijakan: tahap inisiatif, negosiasi parlemen, hingga pelaksanaannya. Dalam contoh subsidi bahan bakar minyak, akan terdapat beberapa rekomendasi dari berbagai kelompok teknokrat tentang perhitungan angka, pemilihan teknologi, dampak finansial, efek ekonomi masyarakat dan perindustrian, hingga cost and benefit pada iklim internasional tertentu. Pada layer inilah, logika leadership berbeda dengan teknokrasi. Misalnya pada pertimbangan stabilitas sosial, dampak politik bagi stakeholders, pengamanan simpul politik (bisnis militer, politisi, dan birokrat), citra pemerintah, hingga pada spekulasi bahwa kebijakan subsidi bukan dijadikan target melainkan pintu masuk (prakondisi) bagi pelaksanaan kebijakan lain yang lebih besar.42
F. METODE PENELITIAN Kajian dilakukan dengan metode kualitatif, melihat hubungan antarvariabel untuk memperoleh ilustrasi konteks. Dalam kajian politik, konteks terdiri dari dua hal utama, yaitu relasi aktor dan kondisi. Relasi aktor dibentuk oleh latar belakang personal (asal daerah,
41
James D. Thompson, Organisations in Action: Social Science Bases of Administrative Theory (New York: McGraw-Hill, 1967). 42 Jonathan Gideon Koppel, “The Politics of Quasi-Government: Hybrid Organizations and Control of Public Policy”, sebagai Disertasi di University of California, Berkeley (2000).
keluarga, pekerjaan, okupasi politik/partai, okupasi organisasi, dll). Sedangkan, kondisi dijelaskan dari aspek historis, aktor dan kepentingannya, serta momentum/waktu.43 Karena kajian bermaksud melihat bagaimana pemerintahan Habibie berjalan, diperlukan ketersediaan informasi mengenai: 1) personal Habibie (misal: Presiden, Plt, Orde Baru, cendekiawan muslim, dst); dan 2) kondisi/K (misal: rentang 1998-1999, masa krisis, masa transisi, dst). “Sebuah kondisi” (K) adalah hubungan antarvariabel yang mencakup relasi aktor (k1), relasi isu (k2), rentang waktu (k3), dsb—sederhananya disebut dengan istilah “konteks”. Sehingga, secara umum, kajian ini akan sering menekankan pada penjelasan struktur. Fenomenologi (politik) dijadikan logika penelitian, menempatkan latar belakang setiap aktor (atau lembaga) sebagai pertimbangan penting dalam melakukan analisis. Dalam kerangka semacam ini, realitas sosial menjadi suatu hal yang dipengaruhi konstruksi sosial, bersifat relatif, dan kontekstual.44 Penelusuran data diambil dari sumber model sekunder.
Pertama, literatur tentang dinamika ekonomi-politik Indonesia dalam rentang akhir masa Orde Baru hingga akhir pemerintahan Habibie;
Kedua, tulisan yang beredar di media massa pada rentang waktu tersebut. Pada umumnya, koran-koran saat itu “relatif” mengeluarkan berita kritik. Hal ini mengingat bahwa riskan bagi perusahaan media mengambil posisi mendukung pemerintahan dengan resiko dicap sebagai “koran pemerintah” (karena Habibie belum pasti menjabat kembali pada Pemilu selanjutnya). Republika adalah koran yang konsisten menjadi “corong” pemerintah dalam sosialisasi kebijakan. Perusahaan ini didirikan jaringan ICMI, organ yang dipimpin Habibie sejak berdirinya. Sedangkan, koran Merdeka cenderung selalu mengkritik keras, karena kedekatannya dengan oposisi (kubu Megawati). Selain kedua koran itu, yang lain cenderung mengambil sikap tengah. Suara Karya, koran yang dekat dengan Golkar, keberpihakannya berubah-ubah mengingat Keluarga Besar Golkar telah dibubarkan dan arah politiknya lebih cair. Penggunaan berita media massa dibatasi sebagai data untuk menggambarkan situasi di sekitaran periode pemerintahan transisi; dan
43
Ketiga, buku dan tulisan Habibie.
Lihat Uwe Flick, An Introduction to Qualitative Research, 2nd edition (London: Sage, 2002); dan N.K. Denzin & Y.S. Lincoln (Eds.), The Sage Handbook of Qualitative Research, 3rd edition (CA: Sage, 2005). 44 Lihat T. Luckman (Ed.), Phenomenology and Sociology (New York: Penguin, 1978); dan Albert Schutz, The Phenomenology of the Social World (Evanston, IL: Northwestern University Press, 1967).
G. SISTEMATIKA ISI Bab pertama berisi latar belakang, pertanyaan dasar, dan kerangka pikir kajian. Bab kedua berisi penjelasan tentang bangunan politik dan akhir masa pemerintahan Soeharto. Bab ini akan menjelaskan terutama tentang bagaimana Soeharto membentuk rangkaian jaring pengaman politiknya, terdiri dari doktrim “Pembangunanisme”, ekses politik militer dalam dwifungsi dan jaringan bisnisnya, dan pendukung politik dalam payunh Golongan Karya (Golkar). Selanjutnya, bagian ini akan membahas rentang waktu sekitaran perubahan presiden pada 1998. Bab ketiga menganalisis kenaikan Habibie serta respon publik yang melakukan tekanan pada jabatan kepresidenannya (masalah legitimasi). Persoalan legitimasi politik akan mempengaruhi potensi gejolak lanjutan. Di sisi lain, langkah di masa awal kepemimpinan bisa menjadi tolak ukur arah kebijakan selanjutnya. Bagian keempat berisi bahasan tentang restrukturisasi regulasi dan kelembagaan yang dilakukan Presiden Habibie. Dilewatinya “100 hari pertama” menunjukkan bahwa legitimasi politik Habibie cukup kuat. Masa setelahnya adalah perubahan substansial, yang dilakukan dalam: langkah pembenahan sistem dan pembenahan ekonomi. Pertanyaan pada rumusan masalah menjawab bagaimana relasi aktor dalam reformasi kelembagaan. Bagian terakhir membahas masa sebelum SU MPR dalam dua konteks: akhir masa transisi Indonesia dan akhir jabatan Presiden Habibie. Peluangnya besar dalam pencalonan kembali, sehingga memunculkan pertanyaan bagaimana Habibie membangun dukungan politik sekaligus melakukan pembenahan nasional. Kasus Timor-Timur juga akan membuka gambaran mengenai pertimbangan kepemimpinan negara krisis dalam pilihan besar yang riskan. Dalam banyak hal, referendum menjadi penjelasan teori ketergantungan antara Indonesia sebagai negara berkembang dengan negara industri dan donor internasional (PBB dan IMF).