BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Sejak ditetapkannya Standar Pendidikan Dokter Indonesia dan Standar Kompetensi Dokter Indonesia oleh Konsil kedokteran Indonesia sebagai amanah dari Undang Undang Republik Indonesia No.29 tahun 2004, pendidikan kedokteran di Indonesia mendapatkan tantangan untuk merubah
paradigm
belajar
mengajar
dan
kemudian
menerapkan
paradigma baru tersebut dalam suatu kurikulum pendidikan dokter yang diharapkan akan memperbaiki kualitas belajar mengajar dan luaran pendidikan dokter (Konsil-Kedokteran-Indonesia, 2006). Sebagai suatu implikasi yuridis dari diterapkannya standar pendidikan dokter tersebut, pada tahun 2007 hampir semua institusi pendidikan dokter di Indonesia mulai merancang dan menerapkan kurikulum baru (Soebono, 2009). Penerapan standar ini menyebabkan tidak ada batasan pola kurikulum seperti kurikulum pendidikan dokter sebelumnya (KIPDI I dan KIPDI II), sehingga tiap institusi mendapatkan peluang untuk merancang kurikulum selain untuk memenuhi kebutuhan kompetensi dokter nasional, juga mendapatkan kebebasan untuk mengadopsi local wisdom ataupun keunikan dari institusinya masingmasing. Oleh karena itu kemudian muncullah nama-nama kurikulum baru yang beragam. Namun demikian, untuk membedakan secara prinsip dengan kurikulum yang sebelumnya berbasis disiplin ilmu (KBD), kurikulum yang baru dibuat ini kemudian lebih dikenal dengan istilah kurikulum berbasis kompetensi (KBK), karena memang hampir semuanya menentukan kompetensi sebagai sasaran belajar sentral dari segenap aktivitas belajar mengajar siswa di pendidikan dokter tersebut. Hal ini untuk
menjawab
perubahan-perubahan
yang
terjadi
dalam
dunia
kesehatan, teknologi informasi, ekspektasi masyarakat terhadap standar layanan medis serta standar mutu pendidikan dokter (Jamieson et al., 2005, Harden, 2005).
1
Dalam rangka menaati Peraturan KKI yang berupa standar Pendidikan Profesi Dokter dan Standar Kompetensi Dokter, Fakultas Kedokteran
Universitas
Brawijaya
(FKUB)
menerapkan
kurikulum
berbasis kompetensi (KBK) pada tahun 2007, yaitu dua tahun saat tulisan ini dibuat. Namun demikian sejak diimplementasikan pada tahun 2007, evaluasi tentang bagaimana perubahan kurikulum tersebut memberikan dampak pada kualitas peserta didik, atau yang lebih umum dampak terhadap lingkungan pendidikan belum dilakukan oleh institusi. Selama ini evaluasi akademik di institusi pendidikan masih mengandalkan IPK mahasiswa. Meskipun sistem penjaminan mutu internal telah dilakukan, namun karena menggunakan sistem evaluasi mutu akademik berbasis evaluasi diri dari Badan Akreditasi Nasional untuk Perguruan Tinggi (BANPT), hasil evaluasi tersebut tidak banyak memberikan masukan obyektif bagi penyelenggara pendidikan untuk melihat secara lengkap hasil implementasi KBK (AIPKI, 2009). Menurut hasil evaluasi pada rapat kritisi tentang sistem akreditasi nasional dan EPSBED di FKUB disebutkan bahwa hal ini disebabkan karena borang/sistem evaluasi dari BAN-PT tersebut masih bersifat generik untuk program studi di perguruan tinggi. Lebih spesifik, borang evaluasi tersebut dinilai belum dapat memfasilitasi penerapan student directed
learning
dalam
kurikulum
dengan
variasi
metode
pembelajarannya, metode evaluasi yang berbasis kriteria, evaluasi tingkat stress
mahasiswa
dan
manajemennya,
kualitas
interaksi
dosen-
mahasiswa serta lingkungan pendidikan yang terbentuk dari pelaksanaan kurikulum tersebut baik untuk pendidikan preklinik maupun klinik yang merupakan
aspek
utama
dalam
implementasi
kurikulum
yang
berpengaruh pada capaian hasil belajar. Selain itu posisi BAN yang menjadi lembaga pemberi harkat akreditasi, menyebabkan proses evaluasi yang ada cenderung tidak berjalan alamiah dan tidak mencerminkan kondisi yang sebenarnya. Bahkan dengan adanya akomodasi terhadap muatan kurikulum lokal, semakin menguatkan dibutuhkannya suatu format evaluasi yang lebih baik lagi dan sesuai untuk
2
semua kondisi unik tiap institusi ini. Oleh karena itu pengembangan perangkat evaluasi kurikulum yang sederhana, yang dapat secara efektif dapat menilai kualitas pelaksanaan kurikulum sekaligus memberikan informasi akurat mengenai kekuatan dan kelemahan yang menjadi modal untuk perbaikan pendidikan dokter, merupakan kebutuhan mendesak bagi institusi pendidikan kedokteran. Lingkungan
pendidikan
(Educational
Environment/
Academic
Environment) merupakan istilah untuk menggambarkan situasi dan keadaan yang ada dalam suatu institusi pendidikan. Perhatian terhadap peran lingkungan pendidikan terhadap kualitas pendidikan merupakan salah isu penting yang terus berkembang dalam dunia pendidikan, baik pendidikan dasar maupun pendidikan tinggi, termasuk di dalamnya pendidikan profesi seperti pendidikan dokter (Tableman, 2004, Genn, 2001a). Dalam bidang psikologi pendidikan, penilaian lingkungan pendidikan telah banyak digunakan untuk memprediksi keberhasilan peserta didik dalam meraih prestasi akademik selama masa studi dan pencapaian kompetensi setelah lulus (Cavanaugh and Simmons, 1997, Genn, 2001a). Secara eksplisit beberapa ahli pendidikan bahkan memberikan
justifikasi
bahwa
lingkungan
pendidikan
merupakan
parameter dari pelaksanaan suatu kurikulum (Robins et al., 1996, Roff and Mayya, 2004, Roff et al., 2001b, Genn, 2001a, Genn, 2001b). Hetti Till, seorang peneliti di bidang lingkungan pendidikan kedokteran Kanada, berkesimpulan bahwa hasil evaluasi terhadap iklim pendidikan yang merupakan aspek operasional dari lingkungan pendidikan (Roff and McAleer,
2001),
merupakan
sumber
informasi
untuk
melakukan
perencanaan institusional dan manajemen sumber daya dalam insitusi pendidikan kedokteran (Till, Hetti, 2005). Institusi membutuhkan informasi semacam ini untuk memberikan data yang akurat dalam upaya menciptakan pendidikan yang berkelanjutan melalui pengembangan dan perbaikan kurikulum. Hal ini terlebih disebabkan oleh karena kurikulum bukanlah
semata-mata
sekumpulan
perencanaan
kegiatan
belajar
mengajar, namun kurikulum juga merupakan representasi dari yang
3
dirasakan, dilakukan dan dipersepsi oleh guru dan siswa (Coles, 1998, Genn, 2001a). Oleh karena itu, dapat dipahami bila WFME menjadikan kualitas lingkungan pendidikan sebagai salah satu aspek dari standar kualitas pendidikan dokter masa depan (WFME, 2003a) Dundee Ready Educational Environment Measures (DREEM) merupakan salah satu dari beberapa instrumen yang dikembangkan untuk mengevaluasi lingkungan pendidikan dalam konteks pendidikan dokter (Roff S, et al., 2004). DREEM dinyatakan sebagai instrumen yang dapat diaplikasikan untuk semua kondisi pendidikan dokter di banyak negara karena telah digunakan untuk mengevaluasi lingkungan pendidikan pada negara-negara di lima benua (Bassaw et al., 2003, Roff et al., 2001a, Roff et al., 1997, Till, 2005b). Dalam kritik terhadap penggunaan DREEM sebagai evaluasi kekuatan dan kelemahan pelaksanaan kurikulum, dipandang
perlu
kiranya
mengevaluasi
kondisi
lingkungan
yang
diharapkan yang ingin dicapai yang ditentukan oleh pimpinan fakultas/ program studi kedokteran sehingga akan terlihat kesenjangan yang ada antara kondisi faktual dengan kondisi yang diharapkan yang seharusnya dicapai, karena institusi adalah penentu kebijakan utama untuk melakukan perubahan kurikulum (Miles and Leinster, 2007, Miles and Leinster, 2009). Hal ini diasumsikan akan dapat meningkatkan nilai evaluasi untuk perkembangan istitusi di masa mendatang. Selain itu, DREEM belum pernah digunakan untuk membandingkan lingkungan pendidikan pada institusi yang sedang dalam proses transisi pelaksanaan kurikulum seperti yang sedang terjadi di Indonesia. Sementara, evaluasi lingkungan pendidikan kedokteran di Indonesia merupakan hal yang masih jarang dilakukan, apalagi dimanfaatkan untuk pengembangan kurikulum dan institusi secara berkelanjutan. Oleh karena itu dipandang perlu kiranya dilakukan suatu penelitian untuk mengevaluasi lingkungan pendidikan dokter di Indonesia sebagai akibat diterapkannya kurikulum baru dengan menggunakan DREEM.
4
B. Rumusan Masalah 1.
Bagaimana
kualitas
lingkungan
pendidikan
pada
institusi
pendidikan dokter di FKUB dalam masa transisi penerapan KBK yang dinilai dengan DREEM? 2.
Bagaimana kualitas kekuatan dan kelemahan KBK dan KBD di FKUB bila ditinjau dengan DREEM?
C. Tujuan Penelitian 1.
Mengetahui kualitas lingkungan pendidikan dokter yang sedang berada dalam masa transisi penerapan KBK dinilai dengan DREEM
2.
Mengetahui kekuatan dan kelemahan pelaksanaan KBK pada pendidikan dokter di FKUB ditinjau dengan DREEM dari perspektif mahasiswa, dosen dan pimpinan.
D. Manfaat penelitian Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini antara lain 1.
Secara keilmuan hasil penelitian diharapkan dapat memperkaya khazanah literatur ilmiah dalam bidang pendidikan kedokteran khususnya tentang evaluasi kurikulum dan lingkungan pendidikan
2.
Secara aplikatif, dari hasil penelitian ini akan dapat diketahui kemungkinan pengembangan instrumen penilaian lingkungan pendidikan untuk melengkapi format evaluasi diri institusi sebagai bagian dari jaminan kualitas penyelenggaraan pendidikan serta perbaikan berkelanjutan dari institusi pendidikan dokter
3.
Secara praktis hasil penelitian ini dapat digunakan oleh institusi tempat dilaksanakannya penelitian untuk melakukan evaluasi diri dalam rangka perbaikan kurikulum dan kualitas pendidikan
5
E. Keaslian Penelitian Peneltian Lingkungan pendidikan merupakan salah satu bidang yang mendapatkan perhatian para ahli pendidikan. Instrumen evaluasi terhadap lingkungan pendidikan ini telah berkembang baik untuk lingkungan pendidikan pra sekolah hingga perguruan tinggi (Tableman, 2004, Emillia, 2008). Perkembangan penelitian lingkungan pendidikan dalam konteks pendidikan kedokteran berjalan lambat selama 30 tahun terakhir. DREEM
merupakan
salah
satu
diantara
instrumen
yang
dikembangkan untuk mengevaluasi lingkungan pendidikan kedokteran. Nilai skor DREEM telah digunakan sebagai deskriptor untuk menyatakan kualitas lingkungan pendidikan dokter di Thailand (Pimparyon et al., 2000) Nepal dan Nigeria (Roff et al., 2001a), Inggris dan Kanada (Till, 2004), Irlandia, Indonesia, Malaysia (Zamzuri et al., 2004), Norwegia, Swedia, Venezuela, dan India (Bassaw et al., 2003) Sri Lanka, Oman (Al-Zigdali, 1999) serta Yaman (Al-Hazimi et al., 2004). DREEM
dikembangkan
dengan
mempertimbangkan
konstruksi
instrument penelitian lingkungan pendidikan yang telah ada sebelumnya (Roff et al., 1997). Penelitian uji kesahihan dan keandalan DREEM telah dilakukan dan memberikan hasil yang memuaskan. Selain itu DREEM dinyatakan mewakili skala generik dari iklim / lingkungan pendidikan dokter dan culture free (Jamaiah, 2008, Roff et al., 2001b). Beberapa penelitian evaluasi kurikulum telah menggunakan DREEM sebagi parameter dari dampak dilaksanakannya kurikulum (ROff, 2005). Dalam konteks ini, DREEM telah digunakan untuk membandingkan lingkungan pendidikan dan iklim pendidikan dari persepsi mahasiswa terhadap pelaksanaan kurikulum baru baik dalam satu institusi atau antar institusi (Al-Hazimi et al., 2004, Roff, 2005a). Hasilnya menunjukkan bahwa DREEM memberikan informasi tentang keadaan aktual dari institusi pendidikan dokter baik dari segi kekuatan dan kelemahan yang menjadi dasar bagi dilakukannya perbaikan secara komprehensif. Melalui modifikasi konteks persepsi ideal dan aktual dari yang dirasakan dan dialami oleh mahasiswa (Miles and Leinster, 2007), DREEM dapat
6
memberikan
informasi
yang
lebih
bermanfaat
untuk
perbaikan
pelaksanaan kurikulum. Iklim pendidiikan merupakan apa yang dipersepsikan oleh dosen dan pendidik (Genn, 2001a), karena itu Miles dan Leinster (2009) menggunakan DREEM untuk mengevaluasi lingkungan pendidikan dari persepsi mahasiswa dan dosen. Mereka berdua merekomendasikan bahwa perbaikan kurikulum tidak hanya dilakukan pada mahasiswa tapi juga pada dosen. Mengingat bahwa perancangan kurikulum juga berkaitan erat dengan kebijakan pimpinan institusi. Maka dipandang perlu untuk melakukan evaluasi kurikulum dengan melihat persepsi mahasiswa, dosen dan pimpinan institusi baik dari konteks ideal dan aktual agar didapatkan
informasi
yang
lebih
akurat
untuk
perbaikan
yang
berkesinambungan. Pada penelitian ini DREEM digunakan untuk mengevaluasi pelaksanaan kurikulum baru dari persepsi mahasiswa, dosen dan pimpinan sebagai perbandingan antara kondisi ideal dan kondisi faktual sehingga diharapkan selain membedakan kualitas pelaksanakan kurikulum lama dan baru, juga penelitian ini diharapkan memberi manfaat dalam pengambilan kebijakan untuk perencanaan pendidikan oleh pimpinan dan manajemen pendidikan kedokteran. Melihat bahwa selama ini belum ada penelitian yang menggunakan disain seperti ini, dengan ini peneliti menjamin bahwa penelitian ini terjamin keasliannya dan dapat dipertanggungjawabkan.
7