BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) merupakan wujud dari kewajiban sebuah perusahaan untuk melindungi pekerja berdasarkan amanah undang-undang (UU). UU No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja serta UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan menjelaskan bahwa setiap perusahaan memiliki kewajiban untuk menjaga kesehatan dan keselamatan kerja karyawannya. Peraturan Pemerintah Nomor 50 tahun 2012 tentang Penerapan SMK3 menjelaskan bahwa setiap perusahaan yang memiliki 100 pekerja atau lebih atau yang dalam kerjanya mengandung resiko bahaya berupa kecelakaan kerja, ledakan, kebakaran, dan pencemaran serta penyakit akibat kerja diwajibkan menerapkan SMK3 (Ramli, 2013). Meskipun telah memiliki dasar hukum yang mewajibkan perusahaan untuk menerapkan SMK3, angka kecelakaan kerja dirasa cukup tinggi. International Labour Organization (ILO) pada tahun 2012 mencatat angka kematian di dunia karena penyakit akibat kerja sebanyak 2 juta kasus tiap tahun. Selanjutnya pada tahun 2013, 1 pekerja di dunia meninggal setiap 15 detik akibat kecelakaan kerja dan sebanyak 160 pekerja mengalami sakit akibat kerja (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2014). Di Indonesia, angka kecelakaan kerja yang dipublikasikan oleh Pusat Data Ketenagakerjaan (Pusdatanaker, 2015) masih cukup tinggi yaitu sebanyak 14.519 kasus pada triwulan ke empat tahun 2014. Menurut penelitian yang dilakukan oleh DuPont Company pada tahun 2000, kecelakaan kerja didominasi oleh unsafe behaviour dan hanya 4% yang disebabkan oleh unsafe condition (Affandy, 2014). Di sisi lain, penerapan SMK3 semata-mata merupakan pendekatan organisasional dan manajerial untuk menciptakan budaya keselamatan dalam perusahaan (Cooper, 2001). Hal ini ditegaskan oleh Bosak et al. (2013) bahwa peraturan-peraturan K3 pada perusahaan dapat menjadi beban tambahan bagi pekerja selain beban target produksi yang harus dipenuhi. Untuk itu, diperlukan pendekatan lain yang lebih
1
2
berfokus pada bagaimana “memenangkan” hati dan pikiran pekerja untuk bekerja dengan sehat dan selamat agar tidak terjadi human error pencetus kecelakaan ataupun penyakit akibat kerja tanpa menjadi beban tambahan. Pendekatan ini dikenal dengan safety climate atau iklim keselamatan kerja. Iklim keselamatan kerja merupakan salah satu leading indicator dari penerapan SMK3 pada perusahaan.
Iklim keselamatan kerja ini diyakini
merupakan salah satu sumber dari perilaku selamat dan sehat dalam bekerja (Cooper, 2001).
Hal ini dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Affandy (2014) yang menemukan bahwa iklim keselamatan kerja memiliki peran penting dalam mengatur perilaku pekerja agar mampu bekerja secara aman pada perusahaan.
Iklim keselamatan kerja juga berpengaruh terhadap kepatuhan
pekerja terhadap peraturan K3 khususnya dalam penggunaan alat pelindung diri (Prihatiningsih dan Sugianto, 2010). Penguatan iklim keselamatan kerja ini dapat memperkuat pula perilaku keselamatan kerja (Bronkhorst et al., 2015). Sehubungan dengan produktivitas kerja, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi menyebutkan bahwa telah terjadi kehilangan 71 juta jam-orangkerja serta kerugian laba sebesar 340 milyar rupiah pada tahun 2012 akibat kecelakaan kerja (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2014). Jika saja faktor human error dapat ditekan dengan iklim keselamatan kerja yang baik, maka kerugian yang muncul akibat kecelakaan tersebut dapat diminimalisir. Akhirnya, tujuan penerapan SMK3 yang paling akhir yaitu terciptanya produktivitas kerja yang tinggi dapat tercapai. Beberapa penelitian terdahulu telah menginvestigasi hubungan antara penerapan SMK3 dengan produktivitas kerja di berbagai negara, seperti pada penelitian di Ghana yang dilakukan oleh Adjotor (2013) yang membuktikan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara penerapan SMK3 dengan produktivitas kerja di beberapa perusahaan di berbagai sektor industri di Ghana. Selain itu, penelitian di Zimbabwe oleh Katsuro et al. (2010) membuktikan bahwa masalah-masalah yang berkaitan dengan K3 di industri makanan menurunkan produktivitas kerja karyawan. Di Indonesia, penelitian yang dilakukan oleh Djunaidi dan Abidin (2015) membuktikan bahwa kecelakaan kerja memberikan
3
kontribusi pengaruh yang signifikan dalam penurunan produktivitas sebesar 67,2%. Di sisi lain, belum banyak penelitian di Indonesia yang membuktikan bagaimana hubungan antara SMK3, iklim keselamatan kerja, dan produktivitas kerja karyawan pada perusahaan. Penelitian yang akan dilakukan diharapkan dapat menjawab atau membuktikan hubungan tersebut. Penelitian yang akan dilakukan juga dilandaskan pada kepentingan perusahaan. PT X merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang manufaktur yang memproduksi sarung tangan golf untuk diekspor. Jumlah karyawan pada PT X lebih dari 100 orang dan proses produksi yang dilakukan memiliki potensi untuk terjadinya kecelakaan kerja seperti terpotong mesin pemotong kulit, tertusuk jarum jahit, terjatuh, terpapar alat kerja panas, kebakaran, dan sebagainya. Terdapat pula potensi penyakit akibat kerja yang dikarenakan bising, suhu panas, kelelahan mata, serta masalah ergonomi (Wisnubroto dan Rukmana, 2015). Hal tersebut membuat PT X memenuhi persyaratan untuk masuk ke dalam perusahaan yang wajib menerapkan SMK3. Pada tahun 2006, PT X memperoleh penghargaan zero accident sebagai lagging indicator keberhasilan penerapan SMK3. Hasil audit pada tahun-tahun setelah itu tidak mencerminkan prestasi penerapan SMK3 yang baik. Penilaian penerapan SMK3 semata-mata dilakukan berdasarkan lagging indicator tanpa memperhatikan leading indicator yang sesuai dengan instrument audit SMK3 Nasional berdasarkan PP No. 50 tahun 2012. Berdasarkan wawancara yang dilakukan terhadap ketua Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja (P2K3) selama studi pendahuluan pada bulan Februari 2016 di PT X, dikemukakan bahwa capaian penerapan SMK3 secara internal tidak diketahui pasti.
Hal ini disebabkan oleh kurangnya evaluasi
penerapan SMK3 secara berkala oleh perusahaan secara internal.
Selain itu,
aturan-aturan K3 dirasa belum merasuk ke jiwa karyawan sepenuhnya. Pihak manajemen telah berusaha untuk mencari cara agar peraturan K3 dapat dipatuhi oleh karyawan dengan menerapkan sistem punishment bagi karyawan yang tidak mematuhi peraturan K3, namun hal ini tidak disetujui oleh pihak serikat pekerja perusahaan.
4
Selama bekerja, karyawan sering melakukan pelanggaran-pelanggaran peraturan K3 dengan alasan agar pekerjaannya cepat selesai. Sebagai contoh, manajemen melakukan rekayasa teknik pada mesin jahit dengan memasang needle protector guna melindungi pekerja untuk dari tertusuk jarum jahit saat kurang berkonsentrasi, namun needle protector tersebut sering dilepas oleh karyawan. Needle protector tersebut dianggap mengganggu keleluasaan bekerja sehingga dapat membuat target kerja terhambat. Observasi yang dilakukan peneliti juga memperoleh bukti ketidakpatuhan karyawan dalam menggunakan APD, yaitu masker hanya digunakan saat ada supervisi yang dilakukan oleh ketua P2K3 atau anggotanya yang merangkap sebagai paramedis perusahaan. Terkait dengan produktivitas kerja karyawan, manajemen menjelaskan setiap karyawan pada unit produksi memiliki target produksi harian yang harus dipenuhi. Capaian target produksi tersebut terkadang terhalang berbagai hal, di antaranya adalah kondisi kesehatan karyawan yang tidak optimal serta kecelakaan kerja yang menimpa karyawan.
Hal ini dipertegas dengan ditemukannya
karyawan unit produksi yang datang ke klinik perusahaan dengan keluhan pusing dan lemas, bahkan tidak dapat melanjutkan pekerjaan karena harus diantar pulang oleh paramedis perusahaan untuk beristirahat di rumah, juga ada yang harus dirujuk ke rumah sakit terdekat. Ketua P2K3 menjelaskan bahwa hal tersebut sangat menghambat produktivitas kerja karyawan sebab pekerjaan karyawan yang sakit tersebut mau tidak mau harus ditanggung oleh karyawan lain dalam satu bagian.
Hal ini tentu membuat beban tambahan bagi rekan kerjanya serta
memperlambat target produksi. Berdasarkan temuan-temuan di atas, maka dapat disimpulkan permasalahan terkait SMK3, iklim keselamatan kerja, dan produktivitas kerja karyawan di PT X Kabupaten Sleman adalah: (1)
Tidak melakukan evaluasi penerapan SMK3
secara seksama dan berkelanjutan, (2)
Iklim keselamatan kerja dirasa tidak
sepenuhnya merasuk kepada diri karyawan, (3) Karyawan tampak tidak patuh terhadap peraturan K3, (4) Peraturan K3 dianggap menambah beban produksi, (5) Ditemukan lost-time work akibat kondisi kesehatan karyawan yang tidak optimal yang mengganggu capaian target produksi perusahaan.
5
Uraian di atas membuat penelitian ini penting untuk dilakukan guna mencari dasar pemecahan masalah-masalah yang ada. Perlu dilakukan pengkajian ulang tentang bagaimana penerapan SMK3 yang telah dilakukan oleh perusahaan. Perlu juga dinilai bagaimana iklim keselamatan kerja di perusahaan sebagai bukti ilmiah yang menegaskan bahwa penerapan SMK3 ini “menyentuh” hati dan pikiran karyawan sehingga mampu bekerja dengan aman agar tidak terjadi kelelahan kerja, penyakit akibat kerja, kecelakaan kerja, atau hal-hal yang tidak diinginkan lainnya. Implikasi akhir dari keseluruhan penerapan SMK3 ini adalah pada produktivitas kerja karyawan sesuai dengan standar yang diharapkan oleh perusahaan. B. Perumusan Masalah Bagaimana capaian penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) dan hubungan iklim keselamatan kerja dengan produktivitas kerja karyawan di PT X Kabupaten Sleman? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui capaian penerapan SMK3 dan hubungan iklim keselamatan kerja dengan produktivitas kerja karyawan di PT X Kabupaten Sleman. 2. Tujuan Khusus a. Mengetahui capaian penerapan SMK3 di PT X Kabupaten Sleman. b. Menganalisis hubungan iklim keselamatan kerja dengan produktivitas kerja karyawan unit produksi di PT X Kabupaten Sleman. D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara praktis dan teoritis kepada: 1. Perusahaan Hasil penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi dalam pengembangan perusahaan. Berbagai informasi terkait dengan pengembangan aspek SMK3
6
baik secara sistem maupun iklim keselamatan kerja diharapkan dapat digunakan
oleh
para
pembuat
kebijakan
perusahaan
dalam
usaha
pengembangan perusahaan. Selain itu, hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan referensi dalam usaha peningkatan produktivitas kerja karyawan. 2. Instansi Pemerintah Pemerintah, khususnya melalui Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Sleman diharapkan dapat menjadikan hasil penelitian ini sebagai salah satu referensi yang digunakan untuk pertimbangan membuat kebijakan di dunia ketenagakerjaan, khususnya yang berkaitan dengan SMK3. 3. Peneliti Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan serta keterampilan peneliti dalam melakukan penelitian, menilai penerapan SMK3, menilai iklim keselamatan kerja, menilai produktivitas kerja, serta hal-hal lain yang diperoleh melalui setiap tahapan dalam penelitian ini. Hal ini akhirnya diharapkan dapat diterapkan di tempat kerja untuk menyelesaikan berbagai persoalan terkait K3.
E. Keaslian Penelitian Terdapat beberapa penelitian terdahulu yang mirip dan sekaligus menjadi referensi dalam penelitian ini, di antaranya: 1.
Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) dan Faktor yang Berpengaruh dengan Kejadian Kecelakaan Kerja di PT Mega Andalan Kalasan Kabupaten Sleman oleh Abidin (2015). Penelitian ini membuktikan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan K3, masa kerja, dan penggunaan APD dengan kejadian kecelakaan kerja. Penelitian yang dilakukan Abidin (2015) memiliki kemiripan dengan penelitian yang akan dilakukan yaitu pada variabel SMK3. Di sisi lain, Abidin (2016) tidak memasukkan variabel iklim keselamatan kerja serta produktivitas kerja ke dalam penelitiannya.
7
2.
Pengaruh Faktor Iklim keselamatan kerja Kerja terhadap Perilaku Aman dalam Bekerja Karyawan Divisi Concentrating PT. Freeprort Indonesia oleh Affandy (2014). Penelitian ini menjelaskan bahwa faktor iklim keselamatan kerja berupa relationship dan training berpengaruh signifikan terhadap perilaku aman dalam bekerja. Penelitian yang akan dilakukan berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Affandy (2014), dimensi iklim keselamatan kerja yang digunakan adalah khusus untuk perusahaan manufacturing sedangkan Affandy melakukan penelitian di industri pertambangan. Selain itu,
penelitian
Affandy
tidak
memasukkan
variabel
SMK3
untuk
menggambarkan bagaimana capaian penerapan SMK3 di perusahaan yang menjadi tempat penelitiannya. 3.
The Effect of Occupational Safety and Health on Labour Productivity: A Case Study of Some Selected Firms in The Greater Accra Region of Ghana oleh Adjotor (2013). Dengan metode case control, penelitian ini menjelaskan bahwa pengaruh marjinal dari kesehatan dan keselamatan pekerja terhadap produktivitas karyawan adalah sebesar 21% dan 27%. Variabel pada penelitian Adjotor mirip dengan variabel pada penelitian yang akan dilakukan yaitu SMK3 dan produktivitas pekerja. Perbedaannya, penelitian Adjotor tidak memasukan variabel iklim keselamatan kerja sebagai salah satu cara penilaian pencapaian penerapan SMK3 berdasarkan persepsi pekerja pada variabel bebas. Metode case control pada penelitian Adjotor pun tidak diterapkan pada penelitian ini, penelitian yang akan dilakukan adalah menggunakan metode pengambilan data secara cross sectional.
4.
Impact of Occupational Health and Safety on Worker Productivity: A Case of Zimbabwe Food Industry yang dilakukan oleh Katsuro et al. (2010). Melalui pengisian kuisioner, observasi, dan wawancara, penelitian ini membuktikan masalah-masalah yang berkaitan dengan K3 di industri makanan menurunkan produktivitas kerja karyawan. Variabel pada penelitian tersebut mirip dengan variabel pada penelitian yang akan dilakukan yaitu SMK3 dan produktivitas pekerja. Perbedaanya, penelitian yang akan dilakukan mempertimbangkan aspek iklim keselamatan kerja sebagai salah satu indikator pencapaian
8
penerapan SMK3 yang dipersepsikan oleh karyawan dan digunakan dalam mempertimbangkan produktivitas kerja karyawan.