1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Obat merupakan unsur penunjang dalam sistem pelayanan kesehatan, akan tetapi kedudukannya sangat penting dan tidak bisa tergantikan. Tidak hanya pada intervensi kuratif, akan tetapi juga pada preventif dan rehabilitatif.
Jaminan
ketersediaan obat merupakan salah satu strategi penting dalam pembangunan kesehatan seperti yang tertuang dalam Sistem Kesehatan Nasional tahun 2012. Sub sistem sediaan farmasi, alat kesehatan dan makanan menetapkan bahwa tujuan penyelenggaraannya adalah tersedianya sediaan farmasi, alat kesehatan, dan makanan yang terjamin aman, berkhasiat/ bermanfaat dan bermutu, dan khusus
untuk
obat
dijamin
ketersediaan
dan
keterjangkauannya
guna
meningkatkan derajad kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Pentingnya ketersediaan obat juga tergambar dalam salah satu strategi Kementerian Kesehatan yang tertuang dalam Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2010-2014, yaitu meningkatkan ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan obat dan alat kesehatan serta menjamin keamanan/khasiat, kemanfaatan, dan mutu sediaan farmasi, alat kesehatan, dan makanan. Ketiadaan obat ataupun ketersediaan obat yang kurang akan menurunkan kualitas pelayanan kesehatan, akan tetapi ketersediaan yang berlebih akan berakibat kepada inefisiensi anggaran. Menurut WHO, belanja obat merupakan bagian terbesar dari anggaran kesehatan, di beberapa negara maju biaya obat sekitar 10-15%, di negara berkembang sekitar 35-66 %, sedangkan di Indonesia sekitar 40%.
Besarnya
anggaran obat di Indonesia selain karena masih berorientasi kuratif, dikarenakan inefisiensi pengelolaan obat. Inefisiensi dalam pengelolaan obat bisa mencapai 70 %, penyebabnya adalah pemilihan obat yang kurang tepat, perhitungan kebutuhan obat yang kurang tepat, memilih obat yang relatif mahal, kualitas obat kurang baik,
1
2
penggunaan obat yang tidak rasional, penggunaan obat yang kurang tepat oleh pasien, dan obat kadaluarsa. Overstock (penyediaan obat yang berlebih) bisa diakibatkan oleh permasalahan dalam manajemen logistik, dampak kebijakan pemerintah, perubahan pola penyakit atau sebab lainnya lainnya. Obat overstock sangat berpotensi menjadi obat kadaluarsa. Dengan penerapan Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah, bidang kesehatan yang semula sentralisasi menjadi desentralisasi. Hal ini berpengaruh terhadap aspek teknis pengelolaan obat, seperti perencanaan, pembiayaan penyediaan obat, distribusi dan lainnya. Demikian juga dalam pengelolaan obat sebagai Barang Milik Negara maupun Barang Milik Daerah. Pemerintah Daerah baik Provinsi maupun Kabupaten/ Kota tidak hanya sebagai pengguna obat yang diadakan Pusat, akan tetapi menjadi pemilik obat sebagai kekayaan Daerah. Distribusi obat dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah, maupun sebaliknya, dan antar Pemerintah Daerah harus disertai dengan pemindahan kepemilikan obat antar satuan kerja sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Unit Pengelola Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Kabupaten/Kota mempunyai peranan penting untuk meningkatkan pelayanan kesehatan, khususnya di bidang pelayanan kefarmasian di Kabupaten/ Kota. Unsur pokok dalam menunjang pelayanan tersebut adalah terjaminnya ketersediaan obat di setiap lini pelayanan kesehatan sektor publik di wilayah kerjanya. Unit Pelaksana Teknis Farmasi dan Alat Kesehatan
Kota Yogyakarta
merupakan Unit Pengelola Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan di Kota Yogyakarta, membawahi 15 Puskesmas non perawatan, tiga Puskesmas perawatan, dan enam Pustu. OrganisasiUPT Farmasi dan Alat Kesehatan Kota Yogyakarta berada langsung dibawah tanggung jawab Kepala Dinas Kesehatan dan mempunyai tugas melaksanakan kegiatan teknis operasional dan/ atau kegiatan teknis penunjang di bidang perencanaan kebutuhan, pengelolaan dan pendistribusian obat dan alat kesehatan. Inefisiensi dalam pengelolaan obat akibat
3
overstock juga terjadi di Gudang Farmasi Kota Yogyakarta. Hal ini tentu merupakan masalah yang membutuhkan perhatian agar inefisiensi bisa dikurangi semaksimal mungkin. Manajemen obat overstock yang baik dan prosedur administratif dibutuhkan untuk menangani dan meminimalisir obat overstock di UPT Farmasi dan Alkes Kota Yogyakarta yang sesuai dengan prinsip-prinsip manajemen pengelolaan obat yang baik dan obat yang dikelola oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah juga harus mengikuti aturan pengelolaan Barang Milik Negara/ Daerah. Obat merupakan komoditi dengan karakter berbeda dibandingkan komoditi lainnya, selain berfungsi sebagai penunjang pelayanan kesehatan yang sangat penting, mempunyai aturan khusus dalam pengelolaannya,obat mempunyai masa kadaluarsa, dan setiap obat mempunyai profil farmakologinya sendiri. Manajemen obat overstock, prosedur administratif pengelolaan obat overstock dan Peraturan Perundangan tentang pengelolaan barang milik daerah seharusnya sesuai dengan kekhususan obat tersebut. Salah satu kebijakan Kementerian Kesehatan RI untuk meningkatkan efektifitas pemantauan ketersediaan obat khususnya obat program di daerah, adalah dengan mewajibkan Instalasi Farmasi melaporkan ketersediaan obatnya dengan online logistic system, sehingga permasalahan ketersediaan obat bisa dipantau real time, akan tetapi sampai saat ini hal tersebut tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan terkait beberapa kendala teknis. Kementerian Kesehatan RI menetapkan bahwa persediaan obat ideal di Instalasi Farmasi Kabupaten/ Kota adalah 18 bulan dalam satu tahun anggaran, sehingga ketersediaan obat diatas 18 bulan bisa dikategorikan sebagai overstock. Kebijakan Kementerian Kesehatan tentang manajemen overstock obat di tingkat Puskesmas adalah relokasi antar Puskesmas atau pengembalian ke Instalasi Farmasi , sedangkan untuk tingkat Kabupaten/ Kota dan Provinsi masih sebatas untuk obat program kesehatan pengadaan Pusat dengan relokasi antar Kabupaten/ Kota dengan difasilitasi Provinsi, relokasi antar Provinsi difasilitasi Pusat,
4
sedangkan Instalasi Farmasi mengelola obat dari berbagai sumber pengadaan, umumnya hasil pengadaan sendiri. Obat yang dikelola oleh instansi pemerintah, harus dikelola sesuai dengan aturan pengelolaan obat maupun pengelolaan barang milik daerah. UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara mendefinisikan Barang milik daerah adalah semua barang yang dibeli/ diperoleh atas beban APBD atau perolehan lain yang sah. Peraturan perundangan pengelolaan barang milik negara/daerah, baik yang dikeluarkan Pusat seperti Permendagri Nomor 17 Tahun 2007 maupun Perda Kota Yogyakarta Nomor 3 Tahun 2004 sebenarnya mengatur tentang pemindahtanganan barang, dimana salah satu alasan yang diperbolehkan oleh peraturan tersebut adalah karena berlebih ketersediaannya, hal ini berpotensi untuk menjadi dasar hukum bagi penanganan obat overstock dengan pemindahtanganan, baik dengan hibah,tukar menukar maupun penjualan, akan tetapi sejauh ini belum ada upaya untuk menerjemahkan hal tersebut menjadi peraturan yang lebih sesuai untuk penananganan obat overstock, dengan segala kekhususannya. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan dapat dirumuskan permasalahan penelitian yaitu berapa nilai obat overstock yang dikelola UPT Farmasi dan Alkes Kota Yogyakarta, dan bagaimana manajemen obat overstock, prosedur administratif pengelolaan obat dan aspek legal formal dalam penanganannya ? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Memberikan solusi penanganan obat overstock yang dikelola oleh UPT Farmasi dan Alkes Kota Yogyakarta. 2. Tujuan Khusus a. Mengetahui nilai obat overstock di UPT Farmasi dan Alkes Kota Yogyakarta dan seluruh Puskesmas yang berada di wilayah kerjanya.
5
b. Mengidentifikasi solusi manajemen obat overstock. c. Mengidentifikasi solusi administrasi dalam setiap tahapan pengelolaan obat untuk meminimalisir overstock. d. Mengidentifikasi solusi terkait aspek legal penanganan obat overstock . D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Menambah wawasan dan rujukan teoritis penanganan obat overstock di Instalasi Farmasi dari aspek teknis pengelolaan obat maupun pengelolaan Barang Milik Daerah sesuai peraturan perundangan yang berlaku. 2. Manfaat Praktis a. Memberikan solusi penanganan obat overstock di UPT Farmasi dan Alkes Kota Yogyakarta. b. Sebagai masukan bagi penyusunan peraturan/ kebijakan di bidang kesehatan maupun keuangan dalam rangka penanganan obat overstock di Instalasi Farmasi E. Keaslian Penelitian Penelitian tentang analisis dasar hukum, kebijakan dan peraturan penanganan obat overstock di UPT Farmasi dan Alkes Kota Yogyakarta sepengetahuan penulis belum pernah dilakukan. Penelitian sebelumnya tentang evaluasi penerapan Peraturan Daerah Kabupaten Gunungkidul nomor : 14 tahun 2000 terhadap ketersediaan obat yang dilakukan oleh Purwaningsih (2002) mempunyai persamaan dalam hal hubungan ketersedian dengan suatu peraturan, perbedaannya adalah kebijakan tersebut tidak terkait dengan pengelolaan obat sebagai Barang Milik Daerah. Penelitian lain oleh Sari (2013) tentang Evaluasi Ketersediaan Obat Esensial untuk anak di Instalasi Farmasi Kabupaten/ Kota di Yogyakarta, Evaluasi Ketersediaan Obat Malaria di Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat oleh Logita (2011), sama-sama melakukan evaluasi ketersediaan obat, persamaannya adalah penggunaan
indikator ketersediaan obat dalam melakukan analisa/
6
evaluasi, perbedaannya tidak membahas upaya penanganan obat dengan tingkat ketersediaan berlebih atau overstock.
Yohanna (2002) melakukan penelitian
tentang Analisis pengelolaan obat di Rumah Sakit
Umum Daerah Sorong,
penelitian ini bertujuan menganalisis dampak aspek pengelolaan obat terhadap manajemen. Persamaannya adalah menggunakan penilaian aspek pengelolaan obat sebagai dasar analisa, perbedaannya adalah pada penilaian terhadap aspek peraturan terhadap penanganan obat overstock.