1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Konsepsi seks dan etika Islam adalah konsep yang “menyelamatkan” dan memposisikan seks sebagai entitas sakral (suci). Perkembangan peradaban modern yang gencar dengan komersialisasi dan menganggap segala sesuatu sebagai komoditi, sering mengarah kepada dekadensi moral, mereduksi seks pada dataran biologis dan virtual semata karena menganggap seksualitas sebagai hubungan yang transhistoris (kaidahnya berlaku sepanjang sejarah), konstan, dan asosial, itulah sebuah paradigma yang kemudian dibongkar oleh Michel Foucault. Penelitian ini menggunakan metodologi postrukturalisme, yang berusaha menemukan relevansi pemikiran Michel Foucault vis-a-vis etika Islam dengan menjelaskan bagaimana Michel Foucault membongkar wacana
seks
dengan
mengimplementasikan
gagasan-gagasan
yang
mengintegrasikan seks dengan relasi kuasa (power relation), ketika membongkar konsep kekuasaan Karl Marx, serta berusaha menyampaikan gagasan bagaimana merekonstruksi etika masyarakat melalui seks. Pemikiran seks Michel Foucault lebih didasarkan kepada bagaimana terbentuknya “norma” seks dan bagaimana seks menjadi lahan problematisasi atas berjalannya kekuasaan, sehingga untuk menilik relevansinya dengan etika Islam bukanlah dengan membandingkan bagaimana norma seks menurut Islam dengan bagaimana norma seks menurut Michel Foucault, melainkan dengan menganalisis sejauh mana wacana seksualitas itu mempengaruhi masyarakat. Artinya, menilik relevansinya dengan etika Islam lebih kepada “usaha untuk menafsirkan realitas”, bukan mengadili pemikiran Michel Foucault. Penelitian ini menghasilkan temuan bahwa ternyata terdapat persamaan prinsipil bahwa seksualitas merupakan wacana dan media efektif untuk mengembalikan dekadensi moral yang terjadi di masyarakat, dengan catatan bahwa Michel Foucault lebih terfokus kepada konstruksi pemikiran
2 filosofis sementara dari sisi ajaran Islam lebih banyak ditemukan normanorma seksualitas yang memerlukan pembongkaran dan penafsiran lebih lanjut agar dapat melacak akar gagasan dari pemberlakuan norma-norma tersebut bagi seluruh umat manusia. Pembongkaran dan pelacakan harus dilakukan agar moralitas masyarakat dapat dikembalikan kepada eksistensinya yang sejati, yaitu eksistensi yang menyelamatkan. Teori Foucault, dalam asumsi penelitian ini, memiliki relevansi degan kehidupan dunia modern. Artinya, teori ini dapat diterapkan dalam fenomena sehari-hari, maupun yang sedang ramai dibicarakan publik akhir-akhir ini, seperti: pengedaran VCD toilet (yang mengintip
aktivitas sejumlah selebritis di toilet), munculnya buku The
Jakarta Undercover: Sex in the City, maupun Sex in “the cost”, serta kontroversi goyang Inul—hanyalah contoh kecil dari fenomena publisitas wacana seksual yang massif di dunia modern. Mengapa seks penting dibicarakan ? Seks merupakan tema universal, di mana manusia diidentifikasi pertama kali, bukan dari nama, ideologi, ataupun gagasannya, melainkan jenis kelaminnya. Bahkan ajaran agama menunjukkan bagaimana agama Islam memberi kedudukan penting kepada seks.1 Setiap tradisi mengakui betapa pentingnya menciptakan tatanan masyarakat yang diturunkan dari pandangannya mengenai seks. Nenek moyang manusia telah memberi penghargaan positif terhadap seks, misalnya dapat
dilihat
peninggalannya
dalam
bangunan
monumental.
Relief
“arupadhatu” dalam bagian bawah candi Borobudur di Magelang Jawa Tengah, memperlihatkan pose-pose bersebadan, ketika mengajarkan kesucian yang dicapai melalui pengalaman seksual. Kompleks candi Sukuh di Sukoharjo Jawa Tengah, terdapat candi kecil berbentuk phallus (penis) sebagai pralambang kejantanan yang harus ditegakkan, semuanya mengarah kepada seks yang harus dihormati secara suci. Eksistensi manusia seutuhnya 1
Hubungan seks dalam bermacam-macam peristiwa diterangkan al-Qur’an, mengenai: larangan bersetubuh ketika wanita sedang menstruasi (QS. 65:19), berhubungan seks pada bulan Ramadhan (QS. 2:187), tetapi tidak berlaku saat melakukan ibadah haji di Mekkah (QS. 2:197). (Djoko Luknanto, “Qur’an dan Seks”, www.isnet,org/~djoko/islamdanseksualitas.html).
3 sangat ditentukan oleh pandangannya mengenai seks. Allah mewajibkan manusia agar memperhatikan hal tersebut, sesuai Firman-Nya:
ﺐ ِ ﺼ ْﻠ ﻦ اﻟ ﱡ ِ ﻦ َﺑ ْﻴ ْ ج ِﻣ ُ ﺨ ُﺮ ْ ( َﻳ6)ﻖ ٍ ﻦ ﻣَﺎ ٍء دَا ِﻓ ْ ﻖ ِﻣ َ ﺧِﻠ ُ (5)ﻖ َ ﺧِﻠ ُ ن ِﻣ ﱠﻢ ُ ﻈﺮِا ْﻟِﺈ ْﻧﺴَﺎ ُ َﻓ ْﻠ َﻴ ْﻨ (7)ﺐ ِ وَاﻟ ﱠﺘﺮَا ِﺋ Artinya: “… maka hendaklah manusia memperhatikan dari apa ia diciptakan. Dia diciptakan dari “air yang terpancar”, yang keluar di antara bagian seksual daripada laki-laki dan perempuan.” (QS. 86:5-7)2 Seks dalam badan manusia menurut al-Qur’an dinamakan sulb, daerah seks dalam badan wanita disebut tara’ib (kata jamak)3. Penelitian ini berawal dari kenyataan empiris yang terjadi dalam ungkapan seksualitas masyarakat modern, artinya, melihat fenomena yang terjadi, kemudian dianalisis dengan teori seksualitas Michel Foucault, kemudian melihat sejauhmana titik perbedaan-persamaan maupun kelebihankekurangan teori tersebut dari perspektif etika Islam. Adapun unsur yang menentukan ekspresi seksualitas masyarakat itu didapatkan dari tiga hal: pertama: institusi perkawinan menjadi pagar untuk menjamin hubungan dan tingkah laku seks yang halal; kedua, peran gender juga menentukan tingkah laku seksual dalam masyarakat. masyarakat yang didominasi oleh kaum pria biasanya juga memberi lebih banyak hak-hak seksual padakaum pria dibanding dengan wanita; dan ketiga, kepercayaan tentang standar normal dan hakekat alam manusia juga menentukan ekspresi seksualitas masyarakat. 4 Wacana seksualitas harus ditangani sebagai persoalan serius dalam masyarkat, karena pandangan para ahli tampaknya sepakat mengakui prihatin dengan dekadensi moralitas masyarakat yang terjadi dari dan berhubungan dengan seksualitas. Indikasi yang paling jelas, mungkin dari tingkat 2
Departemen Agama Republik Indonesia, al-Qur`an dan Terjemahnya, CV. Wicaksana, Semarang, 1994, hlm. 1048 3 Penjelasan tersebut dapat ditelusuri dalam Ibn Katsir, Tafsir Ibnu Katsir Qur’an (Holy Qur’an), ed. 6. 50., Sakhr, 1997., di sana dijelaskan bahwa sulb dan taraib adalah alat peraga dari seksualitas. Kata pertama diperuntukkan pada pria dan kata kedua difokuskan pada wanita dari kedua alat bersetubuh (coitus) tersebut-lah anak dilahirkan (pihak wanita). 4 Virgo Handojo, “Budaya dan Seksualitas Masyarakat”, Indonesia Media, Juli 2000, http://www.indonesiamedia.com/rubrik/parenting/parenting00juliy.html
4 kriminalitas seksual, misalnya yang biasa ditayangkan dalam acara kriminalitas di stasiun televisi swasta, seperti program Patroli, Buzer, dan diekspos koran-koran kuning di Indonesia untuk meningkatkan oplah. Akses kebebasan yang kebablasan itu tampak di Indonesia ketika budaya massa yang terlanjur memiliki percepatan sendiri (masyarakat dibanjiri informasi yang membludak tanpa banyak berkesempatan untuk merenungkan), membuat apa yang digemari orang, sering dianggap lumrah. Seks-pun digambarkan secara stereotype. Apa yang muncul kemudian adalah akses informasi yang berkaitan dengan seks, dan inilah yang turut memicu kasus kebobrokan mental, misalnya terungkap dalam fakta: peredaran VCD porno semakin bebas meskipun angka aborsi pertahun mencapai 1,5 juta”5, 86% masyarakat kota dapat menerima seks pranikah”6. Seksualitas (wacana seks) bergeser menjadi pornografi, kemudian pornografi justru masuk ke dalam wilayah yang dilindungi dalam kebebasan informasi, karena berkaitan dengan soal kepantasan dan dampak dari materi yang tersaji di wilayah publik. Mengajarkan seks, tepatnya mendudukkan wacana seks pada posisinya adalah tugas penting, termasuk kepada para penyandang cacat karena jika tidak mengajarkan seks kepada anak, mereka akan mendapatkannya dari berbagai sumber, majalah, film, atau dari temannya, tetapi informasi ini mempunya sifat berpihak atau salah salah, dan itu berbahaya. Seperti halnya anak normal, penyandang tunagrahita (cacat mental, mental disabilities) juga perlu mendapatkan pendidikan seks untuk menghindari terjadinya eksperimen tersembunyi yang dapat mengakibatkan kesulitan pada masa mendatang. Fenomena ini sangat mengkhawatirkan, mengingat eksperimen yang tersembunyi itu bisa menjadi problem laten. Untuk menghindari terjadinya eksperimen tersembunyi yang dapat mengakibatkan rasa bersalah, malu, takut, atau kesulitan lainnya pada masa dewasa nanti. Selain itu pendidikan seks juga perlu untuk membangun komunikasi, saling pengertian antara manusia
2001
5
Harian Suara Merdeka, “Pornografi Legal dengan VCD Bajakan”, Selasa, 21 Agustus
6
Harian Kompas, Kamis, 20 Desember 2002
5 berbeda jenis kelamin.7 Hal ini berarti bahwa mempersoalkan seks adalah tema yang sangat penting bagi terciptanya masa depan yang lebih baik. Berbeda dengan fenomena dalam pendidikan tradisional di pesantren, misalnya, sekalipun usia seorang santri masih belum dewasa (immature) sudah dibekali dengan pendidikan seks tentang menstruasi, persalinan, hubungan suami-istri, dan sebagainya. Oleh karenanya pelajaran semacam itu dikategorikan sebagai ilmu-ilmu wajib (hukum Islam) bagi setiap muslim. Manfaatnya bukan sekedar bagi pengembangan kepribadian melainkan dalam hubungan sosial. Kegagalan memahami pendidikan seks secara benar, akan termanifestasi dengan meningkatnya jumlah perceraian dan perselingkuhan, penyimpangan maupun kejahatan seksual. Seks itu disimpangkan makna dan pengertiannya dalam kehidupan modern. Angka penyimpangan dan kejahatan seksual selalu menggelisahkan masyarakat, sementara usulan materi pendidikan seks di sekolah sendiri masih dalam tataran diskursif. Padahal, persepsi tentang seks yang benar sering tidak disampaikan, seks selalu dikonotasikan dengan hubungan kelamin, masih dianggap tabu, tidak bisa didiskusikan, sehingga konsep seks yang benar tidak tersampaikan. Moralitas manusia yang dekaden disebabkan karena mendudukkan seksualitas secara salah kaprah, sehingga harus dikembalikan kepada perspektif tentang seks yang benar, dengan pendekatan penyadaran yang bisa membongkar persepsi masyarakat terhadap seks, karena kesalahan tindakan selalu berawal dari epistemologi (cara berpikir) yang keliru. Kondisi demikian membutuhkan epistemologi yang bisa mendekonstruksi kebekuan pemahaman masyarakat mengenai seks. Michel Foucault berpendapat bahwa moralitas manusia dapat dikembalikan dengan seks. Michel Foucault berpendapat, wacana seksualitas adalah ajang problematisasi bagi teori hubungan kekuasaan (power relation), ini dilakukannya untuk merevisi teori kekuasaan marxisme. Kekuasaan tidak 7
Harian Pikiran Rakyat, “Seks: Membendung Moralitas Masyarakat dari Rumah”, http://www.pikiran-rakyat.com/pracetak/09-2001/01/0306.html
6 lagi memusat, melainkan menyebar, dan bukti penyebaran kekuasaan itu paling riil dan konkret terlihat dalam wacana seksualitas. Persoalannya, cara Michel Foucault menganalisis memiliki sejumlah kelebihan yang sangat relevan ketika dianalisis dari perspektif etika Islam. Metode yang digunakan Michel Foucault adalah arkeologi, genealogi (yang diturunkan dari teori genealogi moral Nietzsche), dan hermeneutika (mengenai metodologi ini akan dijelaskan pada Bab III). Michel Foucault menggali dan melihat praktek-praktek moral dalam perkembangan sejarah masa lampau dan bagaimana semua peristiwa masa lampau ini dibaca dan dilihat dari perspektif kini dan sini. Usaha ini disebut problematisasi, yaitu upaya menganalisis wacanawacana historis dan meneropong peristiwa-peristiwa tertentu secara detail, mengapa suatu aktivitas, keputusan, atau hal yang dianggap benar dalam suatu masyarakat kadang dianggap berbahaya pada situasi lain? Moralitas menurut Michel Foucault dilihat sebagai kerangka nilai dan tingkah laku yang ditawarkan kepada individu melalui pelbagai agensi preskriptif, seperti: keluarga,lembaga pendidikan (sekolah), gereja, dan lain-lain. Ini yang disebut kode moral (moral code). Ada banyak cara yang digunakan untuk mengarahkan individu agar bermoral. Michel Foucault mengarahkan perhatiannya secara khusus kepada seks untuk dapat memahami etika dan moral. Ia tidak mengajak perhatian kita kepada praktek dan aktus seksual itu, melainkan sejarah seksualitas yang menurutnya baru muncul pada abad ke-19. Michel Foucault ingin memperlihatkan bagaimana pengalaman dibentuk dalam masyarakat modern Barat yang memungkinkan seseorang untuk mengenal diri sebagai subyek seksualitas yang dapat berlaku untuk bidang-bidang pengetahuan yang berbeda dan berhubungan dengan sistem kuasa dan paksaan. Singkatnya, moralitas atau etika lahir dari refleksi tentang seksualitas, keinginan, serta kenikmatan. Setiap tindakan seksual membuat seseorang menyadari dirinya sebagai makhluk seksual, menyadari relasi dengan orang lain dalam perspektif kuasa sebab di mana ada keinginan, di sana ada kuasa. Setiap praktek seksual
7 yang dilakukan, sebenarnya orang yang melakukannya telah menyadari kebebasan, tanggung jawab, dan pilihan moral. Setiap orang, menurut Michel Foucault harus memiliki attitude (sikap, condite) yang moderat serta menahan diri dari godaaan. Teori Michel Foucault kemudian dikenal dengan teknologi diri atau konstitusi diri, di mana seseorang dapat menjadi obyek sekaligus subyek yang menguasai dirinya. Teori seksualitas yang ditentang Michel Foucault adalah periode Victorian, periode yang sangat represif dan puritan, gabungan antara kekuasaan borjuasi dan kesucian Gereja yang tertutup, di mana kekuasaan menyatu dengan hukum, tabu, dan larangan. Seks dalam masa itu selalu dikontrol agar terpusat pada moralitas Kristiani: heteroseksual, marital, dan antardewasa. Politik dan bahasa represif terhadap sekspun digelar. Penelitian Michel Foucault menunjukkan, pada saat itu, wacana seks tidaklah tertutup, melainkan justru menyebar. Terjadi proliferasi (perkembangan) wacana seksualitas karena ada rangsangan institusional yang disebut biopower. Biopower adalah usaha teknologi untuk menghasilkan subyek swa-kendali menggunakan logika panopticon (penjara cincin). Sekali masyarakat menyepakati wacana, maka ada pengawasan yang tidak tampak tetapi sangat kuat represinya, membuat subyek terbelenggu dalam wacana itu. Seks tidak lagi dilenyapkan, melainkan dikenai, dianalisis, dan dinilai. Gereja lantas tidak lagi sekedar memperhatikan penyimpangan seksual saja (misalnya: homoseks, domestic violence, dan marital rape) melainkan melakukan infiltrasi yang lebih dalam, yaitu sebagai majelis korektor yang bertugas mengembalikan subyektivitas seksual seseorang kepada jalan yang benar. Seks yang semula bersifat privat menjadi publik, dari bersifat moral menjadi administratif. Konsepsi agama dan tradisi manusia tentang seks adalah keselamatan (salvation), bukan kebebasan (freedom). Pengertian itu telah disimpangkan dalam
dunia
modern
yang
salah-kaprah
dalam
memahami
seks.
Mengembalikan moralitas melalui seks merupakan wacana filsafat yang sangat menarik. Michel Foucault menciptakan konsepsi seks yang
8 mengembalikan moralitas manusia sebagai telaah filsafat. Kemungkinan ini sangat terbuka karena filsafat dalam hal ini sangat mungkin berperan sebagai counter-paradigm (paradigma tandingan) terjadinya pendangkalan makna akibat gencarnya arus komersialisasi seks dan mengembalikan seksualitas pada nilai dan kedudukannya yang esensial dalam diri manusia. Menilik pandangan tersebut, seksualitas diharapkan muncul secara komprehensif sampai ke pelbagai relasinya, sebagaimana Michel Foucault menganalisis kemungkinan-kemungkinan relasi seksualitas dengan kekuasaan. Michel Foucault memiliki otoritas keilmuwan yang mengesankan tetapi gagasannya belum begitu populer. Michel Foucault berkonfrontasi dengan Karl Marx dalam teori kekuasaan, berhasil menjelaskan beroperasinya mesin-mesin kekuasaan yang tersebar secara produktif, memperkenalkan metodologi menyingkap segala sesuatu, serta mengkonstruksi bangunan filsafat yang sinergis antara kekuasaan, pengetahuan, wacana, seks, dan moralitas sesuatu yang belum pernah dilakukan filosof sebelumnya. Pandangan seksualitas yang ditentang Michel Foucault adalah reaksi terhadap pandangan kaum esensialis yang menganggap bahwa seksualitas memiliki ciri yang tetap (constant), asosial, transhistoris (lintas sejarah), dan cenderung direduksi pada dimensi biologis-fisisnya saja. Michel Foucault berpandangan sebaliknya: seksualitas baik pada sisi biologis maupun ideologis tidak bisa hanya didefinisikan sebagai sesuatu yang tetap karena seksualitas dibentuk secara sosial (socially constructed). Ia melihat seksualitas sebagai agregasi hubungan-hubungan sosial (pria-wanita, negara-sipil) yang secara khusus terkait dengan rezim kekuasaan yang mengatur praktik-praktik seksual.8 Pandangan seks sebagai semacam penyakit adalah sebuah kekeliruan besar yang kemudian antara lain melahirkan sikap tidak adil terhadap seks itu sendiri
dengan
melepaskan
faktor-faktor
kausatif
mengapa
terjadi
pembungkaman dan pelepasan wacana seksualitas serta kemunafikan 8
FX. Rudy Gunawan, Mendobrak Tabu: Sex Kebudayaan dan Kebejatan Manusia, Galang Press, Yogyakarta, 2000. hlm. 53
9 masyarakat di sisi lainnya. Pandangan ini jugalah yang mengukuhkan sikap seolah-olah alergi dan tabu membicarakan seks, padahal di sisi lain, seks disodorkan secara massif melalui budaya massa. Islam memberikan perhatian efektif terhadap persoalan seksual dan berusaha membicarakan seksualitas secara terbuka dan netral, tidak terbatas pada sudut pandang halal-haram saja mengingat lingkup etika adalah sangat luas, dalam artian harus mebebaskan diri dari pembatasan-pembatasan yang tidak netral dan tidak adil. Seksualitas harus didudukkan dengan nilai-nilainya sendiri karena Islam juga berpandangan bahwa seks menentukan eksistensi manusia seutuhnya. Segala yang telah diberikan Allah bersifat menyelamatkan dan agama memberikan pegangan mengenai semua itu. Singkatnya, pandangan Michel Foucault berusaha menghilangkan kerak-kerak interpretasi masyarakat mengenai seks dan mengembalikan keutuhan eksistensi manusia dengan seks pula. Bangunan pemikiran ini sangat relevan dengan etika Islam. B. Deskripsi Operasional 1. Lingkup Penelitian Penelitian ini merupakan upaya untuk menyampaikan gagasangagasan Michel Foucault tentang seks kemudian menemukan relevansinya dengan etika Islam tentu saja melakukan redefinisi, merefleksi, danmengevaluasi secara mendasar fenomena-fenomena penting dalam realitas kehidupan seksual masyarakat. 2. Penjelasan Istilah Ada tiga kata kunci (keyword) yang perlu dijelaskan untuk mempertegas pengertian judul di atas, yaitu seks, Michel Foucault dan etika Islam. Pengertian mengenai istilah-istilah tersebut menjadi tidak memadai jika hanya dicari dari leksikon ataupun ensiklopedi untuk melihat etimologi (kaidah asal-usul) istilah tersebut karena mengingat bahwa pengertian yang baik harus ditilik pula dari sisi terminologi (peristilahan), bagaimana kata tersebut diterapkan.
10 a. Seks Seks berasal dari bahasa latin sexus, berarti jenis kelamin, yaitu, identitas biologis yang secara kodrati dimiliki seseorang. Pengertian tersebut meluas tergantung konteks penggunaannya dan tidak jarang pula digunakan dalam konteks yang berkonotasi negatif. Seks memiliki perbedaan pengertian dari gender. Gender merupakan bentukan sosial (socially constructed) sehingga dapat berubah sesuai kondisi sosial yang melingkupi. Seks bersifat kodrati, terberikan (given), dan biologis, sementara gender bersifat bentukan sosial (socially constructed) dan berubah makna. Penjelasan kamus asing sering mengartikan sex (seks) yang dibaurkan dengan pengertian gender. Sex n 1 gender, sexuality. 2 carnal knowledge, coition, coitus, congress, consummation of marriage, copulation, coupling, fornication, inf going to bed, incest, intercourse, intimacy, love making, masturbation, mating, orgasm, perversion, rape, seduction, sexual intercourse, sexual relations, union, have sex (with), be intimate (with), consummate marriage (with), make love (to), mate (with), ravish, sl. screw, seduce, unite (with)”9 Pada tempat lain, seks_ berarti, Sex — n. 1 each of the main groups (male and female) into which living things are categorized on the basis of their reproductive functions. 2 sexual instincts, desires, etc., or their manifestation 3. colloq. sexual intercourse 4 (attrib.) of or relating to sex or sexual differences —v 1 determine the sex of 2 (as sexed adj.) having a specified sexual appetite (highly sexed). [Latin, sexus]”10 Pengertian tersebut tampaknya kurang memadai, mengingat definisi dari seks, haruslah sejalan dengan pengertian leksikal seks11, sedangkan menurut Michel Foucault yang menjadi obyek penelitian ini. seks (sexe): seks baginya, tidak sebagaimana adanya, bukan wujud real dan tunggal sesuai dengan definisi yang diberikan kepadanya 9
Alan Spooner, Oxford Thesaurus, Clarendon Press, Oxford, 3rd edition, 1996, hlm. 441 Pocket Oxford Dictionary, at entry “sex”, Oxford University Press, 1994 11 Hal ini dimaksudkan antara pengertian umum (definisi) harus sesuai (berangkat) dari pengertian dasar (makna harfiyah) 10
11 dalam wacana. Seks bukanlah realitas awal dan seksualitas bukanlah hanya dampak sekunder, melainkan sebaliknya, seks di bawahi secara historis oleh seksualitas. Jangan menempatkan seks di sisi realitas dan seksualitas di sisi gagasan kabur dan ilusi.”12 Seks dalam pengertian Michel Foucault (untuk menghindari kekaburan dengan gender yang sama-sama socially constructed) adalah konsep seks yang filosofis dan tidak semata-mata berorientasi sosial, sehingga definisi Michel Foucault tersebut secara tidak langsung membawa pengaruh terhadap wacana gender, meskipun penelitian ini bukanlah penelitian gender. Menilik
pengertian-pengertian
yang
telah
disampaikan
sebelumnya, pengertian seks dalam penelitian ini, tidak memfokuskan perhatian pada tema-tema gender ataupun feminisme, bahkan tidak membahas seks dalam kaitannya dengan kesehatan biologis, melainkan seks sebagai wacana sosial. b. Michel Foucault Michel Foucault adalah filosof Perancis neo-Marxis yang berada di batas simpang strukturalisme dan postrukturalisme, antara modernisme dan posmodernisme. Michel Foucault menelanjangi mekanisme dan teknik-teknik kekuasaan dengan menekuni arsip-arsip tua tentang orang gila, seksualitas, dan penjara. Obyek perbincangan Michel Foucault berkisar pada bagaimana kekuasaan/ pengetahuan berlangsung,kritik sejarah dengan teknik arkeologi, disiplin tubuh, dan wacana, dan konflik etno-agama. Michel Foucault memiliki minat yang sangat besar di bidang sastra, filsafat sejarah, sosiologi, politik, psikologi, psikiatri, pegobatan, linguistik, semiotik, kriminologi, dll. Meskipun ia tidak menyukai semua sebutan tentang itu, karena, setiap
12
Michel Foucault, Seks dan Kekuasaan: Sejarah Seksualitas (diterjemahkan dari Histoire de la Sexualité, Bibliothéque des Histoires, Gallimard, Paris, 1993, (1976)), Gramedia, Jakarta, cet. 2, 2000, hlm. 204
12 pengkategorian hanyalah merupakan blackmail (tuduhan) terhadap dirinya.13 c. Etika Islam Adapun istilah etika Islam yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari pengertian etika menurut Islam. Istilah etika secara bahasa diturunkan dari ethikos (Yunani) yang berasal dari ethos yang berarti: penggunaan, karakter, kebiasaan, kecenderungan sikap. Pengertian etika biasanya merujuk kepada: “1) analisis konsep-konsep seperti: harus, mesti, tugas, aturan-aturan, moral, benar, salah, tanggungjawab, dan lain-lain; 2) pencarian ke dalam moralitas atau tindakan-tindakan moral; 3) pencarian kehidupan yang baik secara moral”.14 Etika merupakan cabang filsafat yang bertolak dari akal pikiran, bukan dari agama. Inilah letak perbedaannya dengan akhlak dalam pandangan Islam. Islam memandang ilmu akhlak sebagai suatu ilmu pengetahuan yang mengajarkan mana yang baik dan mana yang buruk berdasarkan ajaran Allah dan Rasul-Nya. Ajaran etika Islam sesuai dengan firman Alah dan sabda Rasul-Nya. Ajaran etika Islam sesuai dengan fitrah dan akal pikiran yang lurus. Perbedaan etika Islam dari etika filsafat adalah: 1. Etika Islam mengajarkan dan menuntun manusia kepada tingkah laku yang baik dan menjauhkan diri dari tingkah laku yang buruk. 2. Etika Islam menetapkan bahwa yang menjadi sumber moral, ukuran baik buruknya perbuatan, didasarkan kepada ajaran Allah SWT (al-Qur’an) dan ajaran Rasul-Nya (sunnah). 3. Etika Islam bersifat universal dan komprehensif dapat diterima oleh seluruh umat manusia di segala waktu dan tempat.
13
Ign. Bambang Sugiharto, Michel Foucault: Antara Modernisme dan Posmodernisme, http://filsafatkita.f2f.com/foucault.html 14 Achmad Charis Zubair, Kuliah Etika, Rajawali Press, Jakarta, 1990, hlm. 30
13 4. Dengan ajaran-ajarannya yang praktis dan tepat, cocok dengan fitrah (naluri) dan akal pikiran manusia (manusiawi), maka etika Islam dapat dijadikan pedoman oleh seluruh manusia. 5. Etika Islam mengatur dan mengarahkan fitrah manusia ke jenjang akhlak yang luhur dan meluruskan perbuatan manusia di bawah pancaran sinar petunjuk Allah SWT menuju keridlaan-Nya. Dengan melaksanakan etika Islam niscaya akan selamatlah manusia dari pikiran-pikiran dan perbuatan yang keliru dan menyesatkan. Etika Islam mengatur dan mengarahkan fitrah manusia ke jenjang akhlak yang luhur dan meluruskan perbuatan manusia di bawah pancaran sinar petunjuk Allah SWT. Menuju keridhaan Allah, dengan melaksanakan etika Islam niscaya akan selamatlah manusia dari pikiran-pikiran dan perbuatan yang keliru dan menyesatkan.15 C. Pokok Masalah Penelitian dilakukan berdasarkan persepsi yang menghasilkan suatu masalah, tidak berawal dari kekosongan.16 Permasalahan dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana konsepsi seks menurut Michel Foucault? 2. Bagaimana relevansi konsepsi seks menurut Michel Foucault dengan etika Islam? D. Tujuan dan Manfaat Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui konsepsi seks menurut Michel Foucault 2. Untuk mengetahui relevansi konsepsi seks menurut Michel Foucault dengan etika Islam 15
Hamzah Ya’qub, Etika Islam: Pembinaan Akhlakul Karimah: suatu Pengantar, CV. Diponegoro, Bandung, 1993, hlm. 13-14 16 “Masalah adalah lebih dari sekedar pertanyaan dan jelas berbeda dari tujuan. Masalah adalah suatu keadaan yang bersumber dari hubungan antara dua factor atau lebih yang menghasilkan situasi yang membingungkan”. (Dr. Lexy J. Moleong, MA., Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, cet. 5, 1994, hlm. 62
14 Sedangkan manfaat penelitian ini adalah: 1. Akan membuka deskripsi yang utuh konsepsi seks menurut Michel Foucault dan relevansinya dengan etika Islam 2. Terbukanya pemahaman masyarakat terhadap seks, sehingga dapat meminimalisir kekerasan maupun pelecehan seksual terhadap sesama manusia, terutama kaum wanita. E. Kajian Pustaka Persoalan seks merupakan persoalan universal, didekati dari pelbagai perspektif. Sebelum penelitian ini, telah banyak penelitian yang berkaitan dengan seks dan Michel Foucault, di antaranya adalah sebagai berikut: Para sarjana muslim klasik yang menuliskan kitab-kitab fiqh, sebagian besar selalu berbicara mengenai seks ketika memasuki terma-terma seperti: menstruasi, kaifiyah berhubungan badan, pernikahan, kehamilan, dan tata cara berpakaian. Diskursus seks menjadi bagian penting dari religiusitas seseorang. BF. Musallam secara serius telah menulis Seks dan Masyarakat dalam Islam yang diterbitkan oleh Cambridge University Press. Buku ini menuliskan bagaimana konsepsi Islam tentang seks dalam masyarakat. Tetapi belum menjelaskan seks dalam pengertian yang filosofis. Dalam posisi lain, Murtadha Muthahhari dengan perspektif syi’i, menuliskan butir-butir pemikirannya dalam Etika Seksual dalam Islam, berisi penjelasan tentang perintah dan larangan Islam serta makna di balik perintah-perintah itu. Ada tendensi woman centric (wanita sebagai obyek kajian) yang menyudutkan dan pemilahan moral. Kedua pemikir tersebut mencerminkan bagaimana kecenderungan pemikir Islam yang cenderung menjelaskan seks dalam bingkai “perintah dan larangan” serta cenderung menyudutkan—terutama— pihak wanita. Perbincangan mengenai hakekat seks memang bernada filosofis, tetapi belum bisa menjelaskan seks sebagai suatu tema filsafat. Hal senada juga disampakan oleh Michel Foucault dalam Seks dan Kekuasaan, di sana ia menguak keterpurukan system yang ada, di mana ia berusaha mendudukkan seks sesuai dengan kodratnya, yaitu setiap manusia
15 mempunyai hak untuk itu, sehingga pelecehan atau penyimpangan seks tidak akan terjadi. Dengan kata lain ia berkeinginan untuk mengembalikan seks sesuai proporsinya. Ali Akbar dalam karyanya Seksualitas Ditinjau dari Hukum Islam, juga membicarakan bagaimana seks di tinjau dari Islam, sehingga kekuatan nilai-nilai moral yang di bawa Islam-lah sebagai pisau analisis dalam membahas seks. Dan ternyata Islam sangat menjunjung tinggi seks, sebagai suatu anugerah dati Tuhan dan setiap insan mempunyai kewajiban untuk menjunjungnya. Demikian juga dengan tulisan-tulisan kesehatan yang termuat di penerbitan berkala (majalah dan tabloid, misalnya) cenderung menjelaskan seks secara biologis dan profan. Ada nada minor dan ketidakseriusan dalam memperbincangkan seks, karena hanya mereproduksi tema-tema “seks” yang kurang mengarah kepada usaha perbaikan moral. Topik yang diangkat, misalnya: teknik bersenggama yang aman, penyimpangan seksual, domestic violence, keperawanan, tips dan makanan yang bisa membangkitkan gairah, dan lain-lain. Tema yang diekspos dalam rubrik “konsekstasi” (konsultasi seks), laporan utama, hanya bersifat mereproduksi wacana seks sebagai komoditi yang marketable. Hal senada juga tidak jauh berbeda dengan buku-buku tradisional (yang berasal dari suatu tradisi budaya) seringkali menyangkut seksualitas, seperti Serat Centhini, Kama Sutra, dan lain-lain sudah bersifat filsafat, tetapi tidak secara khusus berfilsafat dengan seks. Buku-buku itu masih jarang diakses publik dan masih terbawa semangat tradisi lokal. Literatur tersebut menjadi pijakan penulis untuk mengangkat tema penelitian ini karena belum ada yang mengangkat. F. Kerangka Teori Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian literer murni yang menggunakan metode pos-strukturalisme sebagai metode mayor. Metode ini akan
ditopang
pengoperasiannya
oleh
metode-metode
lain.
Metode
16 postrukturalisme adalah metode yang mempertanyakan kebenaran sebuah teori. Teori yang dipermasalahkan dalam hal ini adalah norma-norma bentukan mengenai seksualitas yang secara negatif tidak relevan dengan etika Islam. Norma ini dibahas Michel Foucault dalam karya-karyanya. Tugas peneliti dengan demikian adalah menemukan analisis komparatif dan analisis eksplisit (yaitu antara teori seks modern/ tradisional dengan Foucault, dan antara Foucault dengan etika Islam). Melihat dari hasil temuan (penggunaan dari metode komparatif) yang kadang bersifat implisit dan juga eksplisit, maka sebagai alat bantu dalam menganalisis data tersebut adalah berangkat dari grounded theory17, terutama teori Michel Foucault tentang seks. Adapun sebagai tahapan-tahapan penelitian ini, penulis menggunakan metode sebagai berikut: 1. Tahap Pengumpulan Peneliti dalam tahapan ini berusaha menyeleksi data-data yang valid dan relevan berhubungan dengan seks dan Michel Foucault. Sumber data yang dikumpulkan memiliki klasifikasi sebagai berikut: a. Sumber Data Primer (primary source), yaitu, data yang sangat mendukung dan pokok dalam penelitian ini, dalam hal ini karya-karya Michel Foucault, terutama buku Seks dan Kekuasaan: Sejarah Seksualitas, Disiplin Tubuh, Menggugat Sejarah Ide, dan Kegilaan dan Peradaban. b. Sumber Data Sekunder (secondary source), yaitu data yang berorientasi pada data yang mendukung dengan cara menemui dengan pihak yang lain, tidak langsung diperoleh dari subyek penelitian.18
17
Grounded theory berarti, “teori berdasar data”. Lihat “Teori birokrasi dari Weber dan bunuh diri dari Durkheim dapat bertahan puluhan tahun karena teori tersebut ditemukan berdasar data; berbeda dari teori konflik dari Lewis Coser atau Darendorf atau teori kelas dari Marx, yang disusun secara deduktif dapat membawa para penganutnya jauh tersesat. Pandangan, sikap, dan gagasan dapat menjadi bahaya besar bagi penyusunan teori.” (Prof. Dr. Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, Rake Sarasin, Yogyakarta, cet. 7, 1996, hlm. 87) 18 Saifudin Anwar, MA. Metode Penelitian, Pustaka Pelajar Offset, Yogyakarta, 1998 hlm. 91
17 Data sekunder yang dimaksudkan dalam hal ini adalah karya yang berhubungan dengan pemikiran seks Michel Foucault dalam kaitannya dengan etika Islam. Adapun untuk melihat dan memahami dari pemikiran Michel Foucault, penulis menggunakan metode pendahuluan sebagaimana di bawah ini: a. Metode Telaah Pustaka (Library Research), yaitu: “membaca dan memahami referensi penelitian”. Referensi tersebut didapatkan dari primary source—berupa buku, artikel, penerbitan berkala (majalah, koran, serta jurnal ilmiah), dokumen yang di download dari internet, serta transkrip wawancara yang pernah dilakukan Michel Foucault) maupun secondary source—berupa tulisan-tulisan yang membahas pemikiran Michel Foucault. b. Metode deskripsi, yaitu: “mensistematisasikan data yang telah terkumpul dalam suatu penjelasan terperinci” yang sudah cukup menjelakan suatu teori sehingga sifatnya tidak mentah dan bukan sekedar mengumpulkan, karena peneliti terlibat sepenuhnya dalam pemilahan data diserta argumentasi yang mendukung. Teori ini dipergunakan dalam memahami teori seks Michel Foucault. 2. Tahap Analisis Data Tahap berikutnya adalah menganalisis dan menyimpulkan data. Metode-metode pada tahapan ini adalah: a. Analisis Komparatif dan Analisis Eksplisit Secara definitif, metode analisis komparatif dan analisis eksplisit adalah, analisis yang menggunakan logika perbandingan. Komparasi yang dibuat adalah komparasi fakta-fakta replikatif. Komparasi faktafakta dapat dibuat konsep atau abstraksi teoretisnya sehingga dapat menyusun kategori teoretis pula. Komparasi juga dapat menghasilkan generalisasi. Fungsi generalisasi adalah untuk membantu memperluas terapan teorinya, memperluas daya prediksinya. Data komparatif dan analisis eksplisit (yakni: tidak menguji hiipotesisnya secara langsung)
18 dapat mengarah ditemukannya keragaman, dan selanjutnya, bukan tidak mungkin menghasilkan modifikasi teori.19 Definisi tersebut membuka kemungkinan mengkomparasikan secara lintas disipliner—mengingat tujuan penelitian ini tidak sekedar menjelaskan bagaimana konsepsi Michel Foucault tentang seks. Penelitian ini akan mengkomparasikan secara eksplisit teori Michel Foucault—secara keseluruhan—dengan disiplin teori lain. Analisis pembanding intern (antara teori Michel Foucault dengan teori-teori lainnya, selain seks) menggunakan pemikiran para komentator Michel Foucault—dari kalangan modernis maupun posmodernis. Sedangkan analisis yang bersifat eksternal, melibatkan disiplin ilmu lain selain filsafat, dalam hal ini adalah ajaran Islam tentang seks. Metode ini diterapkan dalam Bab IV (Seks menurut Michel Foucault
dan
Relevansinya
dengan
Etika
Islam)
ketika
membandingkan dua variabel penelitian “etika Islam” dan “pemikiran seks Michel Foucault”. b. Reinterpretasi Historis dan Interpretasi Sosiologis Metode ini berarti menafsirkan ulang sejarah dan menafsirkan sosiologi dari mana sebuah teori atau konsepsi berasal, tepatnya, membuat interpretasi atas interpretasi.20 Masyarakat sudah terlanjur memiliki suara umum yang bersifat minor tentang seks, penafsiran itulah yang akan ditafsirkan ulang. Jika teori Michel Foucault dianggap kurang memadai, hal tersebut akan disempurnakan dan dilengkapi dengan ajaran Islam. Metode ini digunakan dalam Bab III (Pemikiran Seks Michel Foucault) ketika menafsirkan gagasan Michel Foucault serta Bab IV (Seks menurut Michel Foucault dan Relevansinya dengan Etika Islam) ketika menemukan relevansinya dengan etika Islam. 19 20
ibid., hlm. 88 ibid., hlm. 89
19 c. Postrukturalisme Metode ini bersifat mempertanyakan kebenaran suatu teori.21 Menurut [pendekatan] aliran postrukturalisme, kebenaran maupun penafsiran yang berisfat tunggal itu tidak ada, karena yang terbaik adalah kebenaran bersama yang terus dibongkar dan ditafsirkan ulang. Kebenaran yang bersifat either-or kurang memadai karena kebenaran lebih tepat ditafsirkan sebagai both-and, yaitu, kebenaran yang bersama dan saling melengkapi. Peneliti berupaya agar ada kesatuan integratif antara ajaran wahyu dengan ajaran ilmu, sehingga dalam konteks yang lebih khusus, ilmu-ilmu ushuluddin dapat menjadi feedingschool (penyemai) untuk ilmu-ilmu humaniora: apakah dapat menambah pengetahuan dan kesadaran tentang universalitas Islam ataukah sebaliknya. Idealnya, secara vertikal mengacu kepada aqidah [Islam] dan selanjutnya, memperluas paradigma kita terhadap kemanusiaan serta untuk merekonstruksi wacana yang Islami. Sifatnya, bukanlah mengklaim Islam sebagai yang terbaik atau menghujat konsepsi lain yang tidak Islami, melainkan demi menyingkap universalitas Kebenaran
yang
“meliputi
segala
sesuatu”,
dalam
upaya
merekonstruksi sebuah konsepsi yang semakin baik. Metode ini digunakan dalam Bab IV ((Seks menurut Michel Foucault dan Relevansinya dengan Etika Islam) ketika menemukan relevansi pemikiran seks Michel Foucault dengan etika Islam. G. Sistematika Penulisan Penelitian ini dituliskan dalam lima bab, dengan sistematika sebagai berikut: Bab I (Pendahuluan) memaparkan latar belakag masalah, definisi operasional, permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian, kajian pustaka, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.
21
ibid., hlm. 90
20 Bab II (Tinjauan tentang Seks dan Etika Islam) terdiri dari tiga subbab: pengertian seks dan etika Islam, seks menurut pandangan Islam (pembahasan seks sebagai alat identifikasi personal yang menyelamatkan serta suatu pembahasan mengenai seks dan rekonstruksi sosial), dan hubungan antara seks dengan etika Islam. Bab III Bab III (Pemikiran Seks Michel Foucault) membahas: riwayat hidup dan karya Michel Foucault, karya-karya dan pemikiran Michel Foucault ketika ia diposisikan di antara modernisme dan posmodernisme serta bagaimana teorinya mengenai kekuasaan, wacana, dan pengetahuan. Pada bagian akhir dari bab ini disampaikan pemikiran Michel Foucault tentang seks. Bab IV (Seks menurut Michel Foucault dan Relevansinya dengan Etika Islam) terdiri dari dua bagian, yaitu kritik, dekonstruksi, dan interpretasi atas pemikiran Michel Foucault tentang seks (dengan menyampaikan kelebihan dan kekurangannya), serta bagaimana relevansi pandangan Michel Foucault tentang seks dan etika Islam. Bab V (Penutup) terdiri dari kesimpulan, saran-saran, dan penutup. Demikian penelitian ini kami sampaikan, semoga dapat memberikan manfaat bagi kita semua. Amin.