BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masyarakat Indonesia sudah sejak zaman dahulu mengenal dan menggunakan tumbuhan sebagai obat tradisional untuk menghadapi masalah kesehatan yang dihadapinya, jauh sebelum pelayanan kesehatan dengan obat-obat modern menyentuh masyarakat. Pengetahuan tentang tumbuhan sebagai obat tradisional ini merupakan warisan budaya bangsa berdasarkan pengalaman, yang secara turun-temurun telah diwariskan oleh generasi terdahulu kepada generasi berikutnya, termasuk generasi saat ini. Popularitas dan perkembangan obat tradisional semakin meningkat seiring dengan slogan “kembali ke alam” yang kian menggema, sehingga banyak yang tertarik untuk meneliti khazanah tumbuhan negeri ini. Salah satu tumbuhan yang digunakan oleh masyarakat Indonesia sebagai obat tradisional adalah tumbuhan ubi jalar. Bagian tumbuhan ubi jalar yang seringkali digunakan oleh masyarakat Indonesia untuk mengobati penyakit adalah daunnya. Secara empiris, daun ubi jalar banyak digunakan untuk membantu mengurangi penyakit bisul, borok, koreng, panas, dan luka bakar. Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa daun ubi jalar memiliki aktivitas antioksidan (Huang et al., 2004). Senyawa dalam daun ubi jalar yang berperan dalam aktivitas antioksidan salah satunya adalah flavonoid (Pochapski et al., 2011). Hue et al. (2012) menyatakan bahwa daun ubi jalar dari enam varietas yang berbeda mengandung senyawa flavonoid dan fenolik serta berpotensi sebagai sumber
1
2
antioksidan alami berdasarkan metode penangkapan radikal 2,2-Difenil-1Pikrilhidrazil (DPPH). Penelitian mengenai aktivitas antioksidan daun ubi jalar dengan metode penangkapan radikal DPPH banyak dilakukan hanya sampai pada tahap ekstrak metanol atau etanol saja, sedangkan ekstrak kasar daun ubi jalar seringkali mengandung zat-zat ballast, seperti klorofil, protein, dan senyawa pengotor lainnya. Oleh karena itu, metode fraksinasi diperlukan untuk menghilangkan kandungan senyawa yang tidak diinginkan dan atau untuk mendapatkan kandungan zat aktif yang lebih besar. Fraksinasi dilakukan dengan menyari kembali ekstrak kental yang dimaksudkan dengan penyari yang memiliki derajat polaritas yang berbeda. Fraksinasi menggunakan heksan bertujuan untuk menghilangkan senyawa klorofil dan pengotor lainnya, sedangkan fraksinasi menggunakan etil asetat dan air bertujuan untuk mendapatkan senyawa flavonoid yang lebih besar. Selanjutnya, perlu dilakukan penetapan aktivitas antiradikal dan kadar flavonoid total ekstrak etanol, fraksi etil asetat, dan fraksi air daun ubi jalar. Dengan demikian, akan dapat diketahui pengaruh fraksinasi terhadap aktivitas antiradikal dan kadar flavonoid daun ubi jalar serta dapat diketahui pelarut yang paling optimal untuk menyari senyawa flavonoid yang terkandung dalam ekstrak daun ubi jalar.
B. Rumusan Masalah 1.
Bagaimana potensi ekstrak etanol, fraksi etil asetat, dan fraksi air sebagai antiradikal berdasarkan metode penangkapan radikal DPPH?
3
2.
Manakah di antara fraksi etil asetat dan fraksi air yang memiliki aktivitas antiradikal lebih besar?
3.
Apakah terdapat hubungan antara kadar flavonoid total daun ubi jalar dengan aktivitas antiradikalnya?
C. Tujuan Penelitian 1.
Mengetahui potensi ekstrak etanol, fraksi etil asetat, dan fraksi air sebagai antiradikal berdasarkan metode penangkapan radikal DPPH.
2.
Mengetahui fraksi teraktif daun ubi jalar berdasarkan nilai IC50 terkecil.
3.
Mengetahui hubungan antara kadar flavonoid total daun ubi jalar dengan aktivitas antiradikalnya.
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah mengenai potensi ekstrak etanol, fraksi etil asetat, dan fraksi air daun ubi jalar sebagai antiradikal serta pelarut yang paling optimal untuk menyari senyawa flavonoid yang terkandung dalam ekstrak daun ubi jalar. Selanjutnya, hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk diaplikasikan dalam bidang industri obat tradisional dengan daun ubi jalar sebagai bahan utamanya. Selain itu, hasil penelitian ini dapat bermanfaat sebagai dasar ilmiah bagi peneliti selanjutnya dalam usaha untuk mengkaji aktivitas biologis dan kandungan senyawa metabolit sekunder lain yang dimiliki oleh daun ubi jalar.
4
E. Tinjauan Pustaka 1. Ubi jalar (Ipomoea batatas) a. Klasifikasi tumbuhan Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae Kelas
: Dicotyledonae
Bangsa
: Solanales
Suku
: Convolvulaceae
Marga
: Ipomoea
Jenis
: Ipomoea batatas L. (Hutapea, 1991)
b. Nama daerah Eba (Enggano), Gadong (Aceh), Batata (Manado), Batatas (Ambon), Gowi (Nias), Gadong enjolor (Batak), Huwi boled (Sunda), Ketela rambat (Jawa), Ketelo (Minangkabau), Setilo (Lampung), Katabang (Sumbawa), Uwi (Bima), Tela (Madura), Ketela (Jakarta), Ubi Jawa (Sumatra Utara), Katilo (Dayak), Kasela (Bali) (Heyne, 1987). c. Morfologi Habitus berupa herba menjalar, beberapa musim, panjang ± 5 m. Batang bulat, langsing, bercabang banyak, hijau pucat, ungu, lunak, bergetah putih, beruas dan tiap buku biasanya tumbuh akar, membentuk umbi. Daun tunggal, membundar telur-bundar, pangkal menjantung atau rompang, tepi rata atau berlekuk 3-7 sampai berbagi 3-7, gundul atau berambut, panjang 2,5-15 cm, lebar 3-11 cm, hijau, panjang tangkai 2-10 cm. Perbungaan simosa, di ketiak daun, 1-9 bunga, panjang
5
gagang 3-18 cm, daun pelindung kecil, mudah gugur, helaian kelopak bunga lonjong, bermukro pendek, panjang 0,5-1,5 cm, mahkota bunga bentuk terompet, gundul, panjang 3-5 cm, tabung ungu, bagian atasnya ungu muda atau putih, benang sari di dalam, bakal buah berambut atau gundul. Buah termasuk buah kotak, jarang terbentuk, bulat telur, beruang dua sampai empat, bila masih muda hijau setelah tua hitam. Biji kecil, diameter ± 1 mm, putih kotor. Akar tunggang putih, umbi beragam dalam bentuk dan warna dagingnya (Dirjen POM, 2011).
Gambar 1.
Bagian tanaman ubi jalar: daun ubi jalar (A), umbi ubi jalar (B), bunga ubi jalar (C)
d. Penyebaran dan budidaya Para ahli botani dan pertanian memperkirakan daerah asal tumbuhan ubi jalar adalah Selandia Baru, Polinesia, dan Amerika bagian tengah. Nikolai Ivanovich Vavilov, seorang ahli botani Soviet, memastikan daerah sentrum primer asal tumbuhan ubi jalar adalah Amerika Tengah. Ubi jalar mulai menyebar ke seluruh dunia, terutama negara-negara beriklim tropis pada abad ke-16. Orangorang Spanyol menyebarkan ubi jalar ke kawasan Asia, terutama Filipina, Jepang, dan Indonesia. Cina merupakan penghasil ubi jalar terbesar mencapai 90 persen (rata-rata 114,7 juta ton) dari yang dihasilkan dunia (FAO, 2004).
6
Ubi jalar dapat tumbuh dengan baik pada daerah dengan ketinggian 0 – 3000 m dpl. Pada temperatur 24℃ tumbuh dengan baik, tetapi pertumbuhan terhambat pada temperatur di bawah 0℃. Curah hujan yang optimum untuk pertumbuhannya antara 750 mm hingga 1.000 mm per tahun (Huaman, 1991). e. Kandungan kimia Sun et al. (2014) menyatakan bahwa kandungan total polifenol dari 40 kultivar daun ubi jalar sebesar 3-12% berat kering, nilai ini lebih besar dua hingga tiga kali dari total polifenol yang terdapat pada bayam dan kale (Brassica oleracea) (Karna et al., 2011; Xu et al., 2010). Luo et al. (2005) menyatakan bahwa daun ubi jalar mengandung senyawa flavonoid, yakni tilirosida, kaempferol, ramnositrin, astragalin, dan ramnetin. Selain itu, daun ubi jalar mengandung senyawa polifenol seperti antosianin dan asam fenolat (Islam et al., 2002; Islam, 2006; Zhao et al., 2007).
Gambar 2.
Senyawa flavonoid dalam daun ubi jalar: tilirosida (A), ramnetin (B), ramnositrin (C), astragalin (D), dan kaempferol (E) (Luo et al., 2005)
7
Tilirosida (kaempferol 3-O-β-D-glukopiranosida-6-p-kumaril ester) adalah senyawa glikosida flavonoid yang terkandung dalam beberapa tumbuhan obat dan makanan, seperti linden (Tilia argentea) dan stroberi (Matsuda et al., 2002; Tsukamoto et al., 2004). Tilirosida memiliki aktivitas antiinflamasi, antioksidan, antikanker, menghambat sitokrom P450 dan hepatoprotektif (Matsuda et al., 2002; Tsukamoto et al., 2004; Sala et al., 2003; Tomczyk et al., 2008; Rao et al., 2007). Ninomiya et al. (2007) menyatakan bahwa pemberian tilirosida secara signifikan menghambat pertambahan berat badan dan akumulasi lemak visceral setelah puasa pada tikus non-obesitas. Kaempferol merupakan senyawa flavonol alami yang banyak terdapat di brokoli, apel, stroberi, dan kacang-kacangan. Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa kaempferol memiliki aktivitas kardioprotektif, antidiabetes, antiestrogenik, analgesik, dan antialergi (Calderon-Montano et al., 2011; Hämäläinen et al., 2007). Kaempferol dapat meningkatkan kemampuan antioksidan dari sel-sel normal melalui regulasi ekspresi gen heme oxygenase (HO)-1 dan mitogen, yang diaktifkan melalui jalur protein kinase (Hong et al., 2009). Ramnositrin dapat meningkatkan kapasitas pertahanan antioksidan seluler, setidaknya sebagian, melalui regulasi Heme Oksigenase-1 dan transduksi sinyal mitogen activated protein kinase (MAPK) (Hong et al., 2009). Li et al. (2014) menyatakan bahwa astragalin memiliki aktivitas antiinflamasi melalui inaktivasi toll-like receptor-4 (TLR4)—yang dimediasi oleh nuclear factor (NF)-kB—dan mitogen yang diaktifkan melalui transduksi sinyal MAPK. Ramnetin telah banyak
8
diteliti memiliki aktivitas antikanker, antioksidan, dan antiinflamasi (Kim, 2013; Jiang et al., 2008; Jnawali et al., 2014). f. Khasiat dan kegunaan Daun ubi jalar secara tradisional digunakan untuk membantu mengurangi penyakit bisul, borok, koreng, panas, dan luka bakar (Mardisiswojo & Rajakmangunsudarso, 1987). Islam (2007) menyatakan bahwa daun ubi jalar memiliki aktivitas antioksidan, antimutagen, antidiabetes, dan antimikroba. Senyawa polifenol dalam daun ubi jalar memiliki kapasitas antioksidan yang kuat, yakni menangkal radikal bebas, mengkhelat logam, dan menghambat peroksidasi lipid (Kurata et al., 2007). Senyawa polifenol dan antosianin yang terdapat pada daun ubi jalar berfungsi sebagai antioksidan, antimutagenik, antikarsinogenik, antihipertensi, antiinflamasi, anti-HIV, dan proteksi terhadap sinar UV (Islam et al., 2003; Hue et al., 2012; Tsushida et al., 1994; Yoshimoto et al., 2003; Hou, 2003; Shimozono, 1996; Suda et al., 1998; Peluso, 1995; Mahmood et al., 1993; Yoshimoto, 2001).
2. Ekstraksi dan Fraksinasi Ekstraksi atau penyarian adalah proses penarikan zat yang dapat larut dari bahan yang tidak dapat larut menggunakan pelarut cair. Simplisia yang diekstrak mengandung senyawa aktif yang dapat larut dan senyawa yang tidak larut seperti serat, karbohidrat, protein, dan lain-lain. Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan ke dalam golongan minyak atsiri, alkaloid, flavonoid, dan lain-lain. Struktur kimia yang berbeda-beda akan mempengaruhi
9
kelarutan serta stabilitas senyawa-senyawa tersebut terhadap pemanasan, udara, cahaya, logam berat, dan derajat keasaman. Dengan diketahuinya senyawa aktif yang dikandung suatu simplisia akan mempermudah pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat (Depkes RI, 2000). Faktor penting yang dapat mempengaruhi proses ekstraksi, yaitu simplisia, pelarut, dan metode ekstraksi. Masing-masing faktor tersebut diuraikan sebagai berikut. a. Simplisia Simplisia adalah bahan alamiah yang digunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun dan kecuali dinyatakan lain, berupa bahan yang telah dikeringkan. Simplisia dapat dibagi menjadi simplisia nabati, simplisia hewani, dan simplisia pelikan atau mineral (Dirjen POM, 1989). Tahapan pembuatan simplisia dimulai dengan pengumpulan bahan baku. Tahap selanjutnya adalah sortasi basah, pencucian, perajangan, dan pengeringan. Tahapan terakhir adalah pengepakan dan penyimpanan (Dirjen POM, 1985). b. Pelarut Pelarut atau cairan penyari yang akan digunakan untuk ekstraksi adalah pelarut yang optimal untuk menyari senyawa berkhasiat yang diinginkan, sehingga senyawa tersebut dapat dipisahkan dari simplisia dan senyawa lain yang tidak diinginkan (Depkes RI, 2000). Selain itu, pelarut harus mempertimbangkan banyak faktor, diantaranya yaitu murah dan mudah diperoleh, stabil secara fisika dan kimia, bereaksi netral atau inert, tidak mudah menguap dan tidak mudah terbakar, selektif, yang berarti hanya menarik zat berkhasiat yang diinginkan, diperbolehkan oleh
10
peraturan atau mendapat izin Departemen Kesehatan. Penggunaan pelarut pada perusahaan obat tradisional adalah akuades (air), etanol, atau etanol-air. Pelarut akuades digunakan karena murah dan mudah diperoleh, stabil, tidak mudah menguap dan tidak mudah terbakar, tidak beracun, dan alami. Namun demikian, beberapa kekurangan akuades sebagai cairan penyari yaitu tidak selektif, sari dapat ditumbuhi kapang atau kuman, sehingga cepat rusak, dan penguapannya diperlukan waktu yang lama (Depkes RI, 1986). Pelarut etanol digunakan sebagai cairan penyari dengan pertimbangan dapat melarutkan berbagai senyawa, merupakan pelarut universal, mampu mencegah timbulnya kapang dan khamir (etanol dengan konsentrasi lebih besar dari 20%), tidak beracun, netral, etanol dapat bercampur dengan air pada segala perbandingan, dan untuk menguapkan pelarut dibutuhkan waktu yang relatif lebih cepat. Namun demikian, harga pelarut etanol lebih mahal dibandingkan akuades (Depkes RI, 1986). c. Metode ekstraksi Metode ekstraksi dengan pelarut terdiri atas dua jenis, yaitu ekstraksi dengan pelarut panas dan ekstraksi dengan pelarut dingin. Salah satu metode ekstraksi dingin adalah maserasi. Maserasi merupakan salah satu metode penyarian yang sederhana. Maserasi dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dengan cairan penyari di dalam suatu toples pada suhu ruang. Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif. Zat aktif akan terlarut dan karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan di luar sel, maka larutan yang terpekat didesak ke luar.
11
Peristiwa tersebut berulang, sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel (Depkes RI, 1986). Oleh karena itu, diperlukan adanya pengadukan untuk mengacaukan keseimbangan konsentrasi, sehingga proses penyarian dapat berjalan kembali (Handa et al., 2008). Maserasi digunakan untuk menyari simpisia yang mengandung zat aktif yang mudah larut dalam cairan penyari, tidak mengandung zat yang mudah mengembang dalam cairan penyari, tidak mengandung benzoin, stirak, dan lain-lain (Depkes RI, 1986). Remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut yang sama setelah dilakukan penyaringan maserat (Depkes RI, 2000). Keuntungan ekstraksi secara maserasi adalah cara pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana serta mudah dilakukan, sedangkan kerugiannya adalah penyariannya kurang sempurna. Hasil penyarian atau maserat perlu dibiarkan selama waktu tertentu agar zat-zat yang tidak diperlukan mengendap (Depkes RI, 1986). Alat maserasi sangat sederhana, hanya terdiri atas bejana berisi bahan dan cairan penyari dan penutupnya. Pengadukan dapat dilakukan secara manual dengan beberapa kali pengadukan tiap waktu yang ditentukan, tetapi ada juga alat maserasi yang sudah dilengkapi dengan pengaduk mekanik. Metode ekstraksi dengan pelarut dingin yang lain adalah perkolasi, yaitu metode ekstraksi yang dilakukan dengan mengalirkan cairan penyari melalui serbuk simplisia yang telah dibasahi. Faktor yang berperan pada metode ini adalah gaya berat, kekentalan, daya larut, tegangan permukaan, difusi, osmosa, adesi, daya kapiler dan daya geseran (friksi). Keuntungan perkolasi dibandingkan maserasi adalah adanya derajat perbedaan konsentrasi yang tinggi karena aliran cairan
12
penyari mengalir ke konsentrasi lebih rendah dan ruangan di antara butir-butir serbuk simplisia membentuk saluran, sehingga cairan penyari dapat mengalir, kecilnya saluran tersebut menyebabkan kecepatan pelarut cukup untuk mengurangi lapisan batas, dan meningkatkan perbedaan konsentrasi (Depkes RI, 1986). Banyaknya senyawa kimia dalam ekstrak tumbuhan yang berupa zat aktif dan zat ballast (senyawa yang tidak diinginkan), maka perlu dilakukan fraksinasi. Fraksinasi bertujuan untuk menghilangkan zat ballast semaksimal mungkin tanpa berpengaruh pada kandungan zat aktif, sehingga mendapatkan kandungan zat aktif lebih besar (Depkes RI, 2000). Fraksinasi dilakukan dengan cara menyari kembali suatu ekstrak kental. Penyari pertama dan seterusnya memiliki derajat polaritas yang berbeda. Fraksinasi dapat dilakukan dengan metode ekstraksi cair-cair. Ekstraksi cair-cair menggunakan corong pisah merupakan pemisahan komponen kimia di antara 2 fase pelarut yang tidak saling bercampur di mana sebagian komponen larut pada fase pertama dan sebagian larut pada fase kedua, lalu kedua fase yang mengandung zat terdispersi dikocok. Selanjutnya, didiamkan sampai terjadi pemisahan sempurna dan terbentuk dua lapisan fase cair. Komponen kimia akan terpisah ke dalam kedua fase tersebut sesuai dengan tingkat kepolarannya dengan perbandingan konsentrasi yang tetap. Berikut ini pelarut yang dapat digunakan untuk fraksinasi sesuai dengan kandungan senyawa yang diinginkan.
13
Tabel I. Pelarut dan golongan senyawa yang terlarut
Pelarut heksan, petroleum eter, benzen, toluen Kloroform, diklorometan Dietil eter Etil asetat, aseton Etanol dan alkohol lain
Air panas
Golongan senyawa yang terlarut Terpenoid (minyak atsiri), triterpen, steroid, kumarin, polimetoksi falvon, lipid, resin, klorofil, xantofil Semua yang disebut di atas, antrakuinon, alkaloid bebas, kurkuminoid, fenol Semua yang disebut di atas, flavonoid aglikon, asam fenolat Semua yang disebut di atas, flavonoid monoglikosida, quasinoid, glikosida lain Semua yang disebut di atas, flavonoid diglikosida, tanin Semua yang disebut di atas mulai dari yang larut dalam dietil eter, garam alkaloid, flavonoid poliglikosida, mono- dan disakarida, asam amino, protein, dan mineral. Polisakarida dan protein akan menggumpal (Pramono, 2015)
3. Susut Pengeringan Susut pengeringan merupakan persentase pengukuran sisa zat setelah pengeringan pada suhu 105℃ selama 30 menit atau sampai bobot tetap. Apabila sampel tidak mengandung minyak atsiri dan atau sisa pelarut organik, maka susut pengeringan identik dengan kadar air karena berada di lingkungan udara terbuka. Adapun tujuan dari susut pengeringan adalah memberikan batasan maksimal besarnya senyawa yang hilang pada proses pengeringan (Depkes RI, 2000). Nilai susut pengeringan dihitung dengan rumus berikut. Susut pengeringan (%) =
(W0 − Wt ) x 100% W0
𝑊0 adalah bobot sampel sebelum pengeringan, sedangkan 𝑊𝑡 adalah bobot tetap sampel setelah pengeringan.
14
4. Radikal bebas dan oksidan Radikal bebas adalah suatu atom atau molekul yang memiliki elektron tidak berpasangan pada orbital paling luar. Contoh radikal bebas adalah hydroxyl (HO), singlet oksigen (1O2), alkoxyl (RO), Peroxyl (ROO), dan semiquinone (Q-) (Caballero, 2006; Fang et al., 2002). Radikal bebas bersifat sangat reaktif karena kehilangan satu elektron atau lebih yang bermuatan listrik. Untuk mengembalikan keseimbangannya, radikal bebas berusaha mendapatkan elektron dari molekul lain atau melepas elektron tunggal tersebut (Dalimartha & Soedibyo, 1999). Radikal bebas dapat mengubah suatu molekul menjadi suatu radikal, sehingga apabila bereaksi dengan molekul lain akan membentuk radikal yang baru dan menimbulkan reaksi rantai (chain reaction). Reaksi berantai ini apabila terjadi di dalam tubuh akan menimbulkan kerusakan-kerusakan yang serius. Terhadap protein, radikal bebas dapat menyebabkan fragmentasi dan cross linking, sehingga mempercepat terjadinya proteolisis. Terhadap gugus tiol yang biasanya terdapat dalam enzim, radikal bebas akan menyebabkan perubahan terhadap aktivitas enzim itu sendiri. Terhadap lipid, radikal bebas dapat menyebabkan reaksi peroksidasi yang akan mencetuskan otokatalitik yang akan menjalar sampai ke tempat lain. Radikal bebas juga dapat mempengaruhi nukleotida yakni menyebabkan terjadinya perubahan struktur DNA atau RNA yang diduga berkontribusi terhadap perkembangan beberapa jenis kanker (Gitawati, 1995; Corwin & Elizabeth, 2009). Mekanisme reaksi pembentukan radikal bebas terdiri atas tiga tahap, yaitu inisiasi, propagasi, dan terminasi. Tahap inisiasi merupakan tahap awal pembentukan radikal bebas. Tahap kedua adalah propagasi, yaitu perubahan suatu
15
molekul radikal bebas menjadi radikal bentuk lain (pembentukan radikal bebas baru). Tahap yang terakhir adalah terminasi. Terminasi adalah tahap terjadinya penggabungan dua molekul radikal bebas dan membentuk produk yang stabil. Mekanisme reaksi ketiga tahapan tersebut dapat ditulis sebagai berikut. Inisiasi: R-R → R + R Propagasi: R + O2
→ ROO
ROO + RH → ROOH + R Terminasi: ROO + ROO →
ROOR + O2
ROO + R
→
ROOR
R + R
→
RR (Winarsi, 2007)
Oksidan adalah senyawa penerima elektron (electron acceptor), yaitu senyawa-senyawa yang dapat menarik elektron (Syahbana & Bahalwan, 2002). Radikal bebas digolongkan dalam senyawa oksidan karena sifatnya yang sama dengan senyawa oksidan yakni memiliki kecenderungan untuk menarik elektron. Setiap radikal bebas adalah oksidan, tetapi tidak setiap oksidan adalah radikal bebas. Radikal bebas lebih berbahaya dibandingkan oksidan yang bukan radikal. Hal ini disebabkan radikal bebas memiliki reaktifitas yang tinggi dan cenderung membentuk radikal baru, yang pada gilirannya apabila menjumpai molekul lain akan membentuk radikal baru lagi, sehingga terjadilah rantai reaksi (chain
16
reaction). Namun demikian, apabila dua senyawa radikal bertemu, elektronelektron yang tidak berpasangan dari kedua senyawa tersebut akan bergabung dan membentuk ikatan kovalen yang stabil (Winarsi, 2007). Reaksi oksidasi terjadi setiap saat, bahkan saat bernapas. Reaksi ini mencetuskan radikal bebas yang sangat reaktif, sehingga dapat merusak struktur dan fungsi sel. Ketika radikal bebas terakumulasi dan tidak dapat dihancurkan dalam tubuh, maka akan terjadi stres oksidatif dalam tubuh manusia. Proses inilah yang menjadi penyebab utama terjadinya penyakit degeneratif seperti kanker, penyakit autoimun, penuaan, katarak, rheumatoid artritis, penyakit kardiovaskular, dan neurodegeneratif (Pham-Huy et al., 2008). Namun demikian, reaktivitas radikal bebas ini dapat dihambat oleh senyawa antioksidan yang dapat melengkapi kekebalan tubuh (Winarsi, 2007). 5. Antioksidan Antioksidan merupakan bahan atau senyawa yang menghambat atau mencegah keruntuhan, kerusakan, atau kehancuran akibat oksidasi (Youngson, 2005). Senyawa ini menginaktivasi reaksi oksidasi dengan mencegah terbentuknya radikal. Akibatnya, kerusakan sel dapat dihambat (Winarsi, 2007). Senyawa ini dapat memperlambat reaksi oksidasi walaupun dengan konsentrasi lebih rendah dibandingkan dengan substrat yang dioksidasi (Halliwel & Gutteridge, 1999). Tubuh manusia memiliki beberapa mekanisme untuk melawan proses stres oksidatif dengan memproduksi antioksidan yang dapat diproduksi dalam tubuh (internal) maupun diperoleh dari sumber makanan (eksternal) (Pham-Huy et al., 2008). Antioksidan eksternal dapat diperoleh baik secara alami maupun sintesis.
17
Antioksidan sintesis seperti Butil Hidroksi Anisol (BHA) dan Butil Hidroksi Toluen
(BHT)
sebenarnya
mempunyai
efektifitas
yang
tinggi,
tetapi
penggunaannya menyebabkan toksisitas bagi tubuh manusia. Oleh karena itu, perlu dicari sumber antioksidan alami yang lebih aman daripada antioksidan sintesis untuk dikembangkan misalnya antioksidan yang berasal dari tumbuhan yang kaya akan flavonoid, karotenoid, dan tokoferol (Tavasalkar et al., 2012). Keefektifan antioksidan alami tergantung pada keterlibatan hidrogen fenolik dalam reaksi radikal, stabilitas antiradikal alami bentuk radikal selama reaksi radikal, dan adanya substituen pada struktur kimianya. Antioksidan alami diharapkan terlibat dalam penangkapan radikal dan meredam mekanisme oksigen singlet. Mekanisme penangkapan radikal dapat terjadi melalui interaksi antara spesies radikal seperti radikal antioksidan dan radikal peroksil. Secara alami, terdapat sumber antioksidan dalam sistem biologi, yaitu sebagai berikut. a. Enzim (superoksida dismutase, glutation peroksidase, dan katalase) b. Molekul besar (albumin, seruloplasma, ferritin, dan protein lain) c. Molekul kecil (asam askorbat, tokoferol, asam urat, glutation, karotenoid, dan polifenol) d. Hormon (estrogen, angiotensin, melatonin, dan lainnya) (Prior et al., 2005). Menurut Winarsi (2007) mekanisme antioksidan dalam menginaktivasi radikal bebas dapat dibagi menjadi tiga kelompok yakni sebagai berikut. a. Antioksidan primer merupakan antioksidan yang dapat menghalangi pembentukan radikal bebas baru. Contoh dari antioksidan golongan ini
18
adalah superoksida dismutase (SOD) dan katalase. SOD akan mengkatalisis dismutase radikal anion superoksida (O2-) menjadi oksigen (O2) dan hidrogen peroksida (H2O2), sedangkan katalase akan mengubah hidrogen peroksida menjadi oksigen dan air. b. Antioksidan sekunder atau penangkap radikal (radical scavenger), merupakan antioksidan yang dapat menekan terjadinya reaksi rantai, baik pada awal pembentukan rantai maupun pada fase propagasi. Beberapa senyawa antioksidan golongan ini adalah vitamin E, flavonoid, β-karoten, dan kurkuminoid. c. Antioksidan tersier merupakan antioksidan yang memperbaiki kerusakankerusakan yang telah terjadi. Termasuk dalam golongan ini adalah enzim yang memperbaiki DNA dan metionin sulfoksida reduktase. 6. Metode uji antioksidan Beberapa metode pengujian yang dapat digunakan untuk menentukan aktivitas antioksidan yakni sebagai berikut. a. Metode FRAP (Ferric Reducing Antioxidants Power) Prinsip metode ini adalah adanya reduksi ion ferri menjadi ion ferro oleh senyawa antioksidan. Metode ini dikenalkan oleh Benzie & Strain (1996) menggunakan 2,4,6-trypyridyl-s-triazine yang akan membuat ion ferro menjadi senyawa kompleks berwarna biru. Reagen lain yang juga dapat memberikan warna spesifik pada ion ferro adalah 1,10-fenantrolin (Terry et al., 2011). Ion ferro akan bereaksi dengan 1,10-fenantrolin membentuk kompleks berwarna jingga-merah [(C12H8N2)3.Fe]2+ yang intensitas warnanya tidak
19
bergantung pada keasaman dalam jangka pH 2-9 dan stabil dalam waktu yang lama (Medham et al., 1994). Senyawa kompleks ini dapat dibaca absorbansinya pada λ 510 nm (Terry et al., 2011). b. Metode linoleat-tiosianat Asam linoleat adalah asam lemak tidak jenuh yang memiliki dua ikatan rangkap yang mudah mengalami oksidasi membentuk peroksida yang selanjutnya mengoksidasi ion fero menjadi ion feri. Selanjutnya, ion feri bereaksi dengan amonium tiosianat membentuk kompleks feritiosianat [Fe(CNS)3] yang berwarna merah muda. Kemudian intensitas warna ini diukur absrobansinya pada λ 490 nm. Semakin tinggi intensitas warnanya menujukkan semakin banyak peroksida yang terbentuk (Pokorny et al., 2001). c. Metode β-carotene bleaching Prinsip metode ini adalah adanya pemucatan warna β-karoten oleh radikal yang berasal dari peristiwa oksidasi spontan asam lemak pada suhu 50℃. Metode ini sudah banyak digunakan secara luas, tetapi memiliki keterbatasan antara lain sensitif terhadap oksigen dan suhu udara (Prieto et al., 2012). d. Metode penentuan bilangan peroksida Penetapan aktivitas antioksidan melalui penentuan bilangan peroksida dilakukan dengan cara mengukur sampel minyak yang ditambahkan sampel sebanyak 0,1% dan dengan blangko tanpa sampel. Dalam penentuan bilangan peroksida ini, sebagian sampel hidrofilik akan sulit diteliti karena sampel hidrofilik akan sulit terhomogenisasi. Namun demikian, tetap bisa diteliti dengan cara melarutkannya dalam sejumlah kecil etanol, sekitar 5% dari masa minyak. Lalu,
20
larutan ini dicampurkan dalam fase minyak dengan pengadukan yang kuat (Helrich, 1990). Bilangan peroksida (meq/kg minyak) dihitung menggunakan rumus berikut. PV = 0,01x N X 1000/m Dimana N adalah volum sodium tiosulfat yang digunakan pada titrasi sampel dalam mL dan m adalah massa sampel minyak dalam gram. Sedangkan, efisiensi antioksidan (EA) dihitung menggunakan rumus berikut. EA = IPA /IPB IPA,B adalah periode induksi (waktu dalam hari yang dibutuhkan untuk mencapai bilangan peroksida pada 20 meq/kg minyak) pada pengujian sampel maupun blanko (Helrich, 1990). e. Metode garam 2,2-azinobis (3-etilbenzotiazolin-6-diamonium) (ABTS) Garam diamonium ABTS dengan prinsip pengujian dekolorisasi radikal kation merupakan metode spektrofotometri yang banyak digunakan untuk pengujian aktivitas radikal pada berbagai zat. Percobaan untuk skrining analisis dilakukan menggunakan uji dekolorisasi ABTS yang ditingkatkan. ABTS dihasilkan dengan mengoksidasi larutan kation ABTS+ dengan kalium persulfat. Penurunan absorbansi diukur pada panjang gelombang 734 nm. Uji ABTS dapat digunakan untuk senyawa hidrofilik dan lipofilik (Re et al., 1999). Radikal ABTS stabil pada pH 3,0-6,5, sebaliknya pada pH 6,5-8,0 radikal ABTS menjadi kurang stabil (Cano et al., 1998).
21
f. Metode Kapasitas Serapan Radikal Oksigen (ORAC) ORAC merupakan metode analisis yang baru dengan mengukur secara kuantitatif kapasitas antioksidan total dan mengukur jumlah antioksidan yang bertindak secara cepat maupun lambat dalam sampel uji, sehingga dapat digunakan untuk menguji aktivitas antioksidan pada makanan, produk farmasi, produk pertanian, dan senyawa kimia lainnya. Uji ORAC dilakukan dengan menggunakan trolox (analog vitamin E) sebagai standar untuk menentukan trolox ekuivalen (TE). Nilai ORAC kemudian dihitung dari TE dan dinyatakan sebagai satuan atau nilai ORAC. Semakin tinggi nilai ORAC, semakin besar aktivitas antioksidannya. Uji ini berdasarkan pembentukan radikal bebas menggunakan AAPH (2,2-azobis-2amido propan dihidroklorida) dan pengukuran dari fluoresensi dengan adanya penghambat radikal. Pada uji ini β-phycoerythrin (β-PE) digunakan sebagai target radikal bebas, AAPH sebagai penghasil radikal peroksil, trolox sebagai kontrol standar. Setelah penambahan AAPH ke larutan uji, fluoresensi direkam dan aktivitas antioksidan dinyatakan sebagai trolox ekuivalen (TE) (Bank, 2002). Metode ORAC relevan dengan kondisi in vivo karena menggunakan sumber radikal bebas yang relevan secara biologis, yakni radikal peroksil, yang merupakan radikal bebas paling umum dalam sistem biologi manusia. Namun, radikal bebas lainnya mungkin juga relevan. Metode ORAC memungkinkan menggunakan sumber radikal bebas yang berbeda (Prior, 2015). g. Penangkapan radikal DPPH Reagen radikal DPPH ditemukan pertama kali oleh Goldschmidt dan Renn pada tahun 1922. Radikal DPPH pada awalnya digunakan sebagai reagen
22
kolorimetri. Selain itu, reagen radikal DPPH juga berfungsi untuk investigasi reaksi inhibisi polimerisasi, uji antioksidan (amina, fenol, dan vitamin), dan inhibisi reaksi homolitik (Mun’im dan Azizahwati, 2008). Metode penangkapan radikal DPPH pertama kali diperkenalkan oleh Brandwilliams untuk menguji kemampuan antioksidan yang terkandung dalam makanan (Prior et al., 2005). DPPH merupakan radikal nitrogen organik yang berwarna ungu tua dan memberikan serapan maksimum pada pada panjang gelombang 517 nm. Warna ungu tua dari radikal DPPH akan berubah menjadi berwarna kuning lemah apabila terjadi donasi proton oleh senyawa antioksidan kepada radikal DPPH. Elektron tidak berpasangan dari radikal DPPH akan berpasangan dengan atom hidrogen yang disumbangkan oleh senyawa antioksidan, sehingga menyebabkan radikal DPPH menjadi senyawa non-radikal (Prakash, 2001). Dengan demikian, aktivitas penangkapan radikal dapat dihitung dari peluruhan radikal DPPH secara spektrofotometri pada λ 517 nm (Winarsi, 2007).
Gambar 3.
Transfer radikal hidrogen dari antioksidan ke radikal DPPH (Windono et al., 2004)
Aktivitas antioksidan merupakan kemampuan suatu senyawa atau ekstrak untuk menghambat reaksi oksidasi. Parameter yang digunakan untuk menunjukkan aktivitas antioksidan adalah Inhibitory Concentration (IC50), yaitu konsentrasi
23
suatu zat antioksidan yang dapat menyebabkan 50% radikal DPPH kehilangan sifat radikalnya. Dengan demikian, semakin rendah nilai IC50 suatu senyawa, maka semakin baik aktivitas antioksidannya (Molyneux, 2004). Metode penangkapan radikal DPPH dapat digunakan untuk sampel padatan dan larutan. Selain itu, metode ini sederhana karena hanya membutuhkan spektrofotometer UV-Vis. Namun demikian, karena radikal DPPH sensitif terhadap cahaya, maka metode ini harus dilakukan di ruangan yang gelap atau terhindar cahaya (Windono et al., 2004). Adapun kelemahan lain dari metode ini yakni tidak dapat digunakan untuk sampel yang berupa senyawa karotenoid karena akan terjadi spektrum yang tumpang tindih antara karotenoid dan radikal DPPH. Penggunaan spektroskopi electron paramagnetic resonance (EPR) lebih disukai untuk menguji radikal DPPH karena mengukur konsentrasi radikal DPPH secara langsung (Wettasinghe & Shahidi, 2000). Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi metode dan interpretasi data eksperimental, yakni pelarut dan pH (Litwinienko & Ingold, 2003), reagen dan konsentrasi sampel, dan waktu reaksi (Molyneux, 2004). Sebagai contoh, DPPH radikal hanya dapat dilarutkan dalam pelarut organik, terutama metanol dan etanol. 7. Flavonoid a. Deskripsi Flavonoid Kerangka karbon flavonoid bisa dianggap terbuat dari dua unit yang berbeda, yaitu unit I, terdiri fragmen C6-C3 yang mengandung cincin B atau biasa disebut cincin sinamoil, dan unit II yang mengandung cincin A atau biasa disebut cincin benzoil, sehingga dalam inti dasarnya, flavonoid tersusun dari konfigurasi
24
C6-C3-C6. Tiga atom karbon yang menghubungkan kedua cincin tersebut dapat membentuk cincin ketiga yang disebut cincin C (Geismann, 1962; Markham, 1988).
Gambar 4. Struktur flavonoid (Harborne et al., 1975)
b. Penggolongan Flavonoid Semua varian flavonoid saling berkaitan karena alur biosintesis yang sama, yang memasukkan prazat dari jalur sikimat dan jalur asetat-malonat. Flavonoid pertama dihasilkan setelah kedua jalur tersebut bertemu. Flavonoid yang dianggap pertama kali terbentuk pada biosintesis adalah kalkon dan semua bentuk lain diturunkan dari kalkon melalui berbagai jalur. Modifikasi flavonoid lebih lanjut mungkin terjadi pada berbagai tahap seperti hidroksilasi, metilasi, isoprenilasi, metilenisasi, dimerisasi, pembentukan bisulfat, dan glikosilasi (Markham, 1988). 1) Flavonoid O-glikosida Flavonoid biasanya terdapat sebagai flavonoid-O-glikosida. Pada senyawa tersebut satu gugus hidroksil flavonoid (atau lebih) terikat pada satu gula atau lebih dengan ikatan hemiasetal yang tidak stabil terhadap asam. Pengaruh glikosilasi menyebabkan flavonoid menjadi kurang reaktif dan lebih mudah larut dalam air,
25
sifat inilah yang menyebabkan flavonoid disimpan dalam vakuola sel (Markham, 1988). 2) Flavonoid C-glikosida Gula juga dapat terikat pada atom karbon flavonoid, yakni terikat langsung pada inti benzen dengan suatu ikatan karbon-karbon yang stabil terhadap asam. Gula tersebut seringkali ditemukan terikat pada atom C nomor 6 dan 8 dalam inti flavonoid. Jenis gula yang terlibat ternyata jauh lebih sedikit daripada gula jenis Oglikosida, jenis aglikon flavonoid yang terlibat pun sangat terbatas. Perbedaan antara flavonoid-O-glikosida dan flavonoid-C-glikosida adalah mobilitas dalam air pada kromatogram dan terjadinya isomerisasi apabila dipanaskan dalam asam, sehingga terjadi dua bercak dalam kebanyakan sistem pelarut (Markham, 1988). 3) Flavonoid Sulfat Golongan flavonoid lain yang mudah larut dalam air adalah flavonoid sulfat. Senyawa ini mengandung satu ion sulfat atau lebih yang terikat pada hidroksi fenol atau gula. Secara teknis, flavonoid sulfat lebih tepat disebut bisulfat karena terdapat sebagai garam, yaitu flavon-O-SO3K (Markham, 1988). 4) Biflavonoid Biflavonoid adalah flavonoid dimer yang melibatkan flavon dan flavonon yang secara biosintesis mempunyai pola oksigenisasi yang sederhana 5,7,4’ (atau 5,7,3’,4’) dan ikatan antara flavonoid tersebut kadang-kadang berupa ikatan eter atau karbon-karbon. Sebagian besar sifat fisika dan kimia biflavonoid menyerupai monoflavonoid pembentuknya (misalnya spektrum UV-Vis, uji warna, dan sebagainya), sehingga kadang-kadang sukar dikenali. Namun demikian,
26
kromatografi dengan silika gel dapat membedakan monomer dan dimer dengan jelas. Selain itu, perbedaan monomer dan dimer flavonoid dapat dipastikan melalui peleburan basa atau spektroskopi massa (Markham, 1988).
Gambar 5. Kerangka tipe flavonoid (Mabry et al., 1970)
Flavonoid yang terdapat di alam sangat bervariasi macam dan sifatnya. Ada dua bentuk flavonoid, yaitu yang terdapat dalam bentuk bebas disebut aglikon dan
27
dalam bentuk berikatan dengan gula disebut glikon. Sebagian besar flavonoid terdapat dalam bentuk glikosida, baik mono-, di-, maupun triglikosida. Penggolongan flavonoid berdasarkan atas penambahan rantai oksigen heterosiklik dan perbedaan distribusi dari gugus hidrofilnya. Flavonoid yang sering ditemukan dalam tumbuhan adalah flavon dan flavonol (Harborne, 1984). c. Distribusi Flavonoid Distribusi flavonoid dapat ditemukan di berbagai organisme di alam, dari bakteri sampai tumbuhan tingkat tinggi. Kombinasi dari 15 atom karbon tersebut ada di hampir seluruh tumbuhan berbunga dan paku-pakuan. Flavonoid berada di semua bagian dari tumbuhan tingkat tinggi, yakni akar, batang, daun, bunga, serbuk sari, buah, biji, kayu, dan kulit kayu. Kandungan flavonoid pada jaringan-jaringan tertentu lebih banyak daripada jaringan lainnya. Antosianin misalnya, merupakan zat warna yang terdapat pada buah dan bunga, jarang terdapat pada batang, daun, dan kulit kayu. Sementara flavon, flavonol, dan turunannya terdapat dalam mahkota bunga sebagai kopigmen. Kalkon dan auron tidak terdistribusi secara luas di alam (Geissman, 1962; Harborne et al., 1975). Senyawa flavonoid tidak ditemukan pada mikroorganisme meskipun mampu menghasilkan unit fenilpropan seperti fenilalanin dan tirosin karena kurangnya apparatus untuk perpanjangan unit C6-C3 dengan penambahan unit dua karbon. Flavonoid pada lumut belum benar-benar diteliti. Lumut dilaporkan mengandung antosianin, tetapi senyawa flavonoid yang terkarakterisasi dengan baik belum diisolasi. Fungi dan lumut kerak juga belum ditemukan menghasilkan flavonoid. Tumbuhan paku mengandung beberapa flavonoid dari tipe yang
28
ditemukan di tumbuhan bunga. Senyawa flavonoid dengan karbon termetilasi adalah yang umum terdapat pada tumbuhan paku (Geissman, 1962). d. Sifat fisika flavonoid Kelarutan senyawa flavonoid secara individual sangat bermacam-macam, sehingga sulit untuk mendeskripsikannya secara umum. Bentuk aglikon flavonoid lebih larut dalam pelarut semipolar seperti eter, etil asetat, dan aseton. Aglikon yang termetilasi larut dalam pelarut non polar seperti heksan dan petroleum eter. Bentuk glikosida flavonoid (O-glikosida dan C-glikosida) lebih larut dalam pelarut polar. Glikosida flavonoid terletak pada tempat lebih rendah pada pengembangan dengan fase gerak BAW (n-butanol-asam asetat glasial-air) dibandingkan aglikon flavonoid, sedangkan pada pengembangan polar misal air atau asam asetat, bercak glikosida flavonoid akan lebih tinggi dibandingkan aglikon flavonoid (Mabry et al., 1970). e. Sifat kimia flavonoid Gugus hidroksil menyebabkan senyawa flavonoid bersifat asam. Reaksi dengan basa akan menghasilkan senyawa fenolat membentuk garam fenolat, sehingga pada penambahan uap amonia atau Na+ warna berubah menjadi kuning. Perubahan ini menyebabkan pergeseran batokromik, yakni pergeseran puncak absorpsi ke arah panjang gelombang yang lebih besar. Spektrum senyawa yang mempunyai gugus orto dihidroksi apabila ditambahkan aluminium klorida (AlCl3) atau asam borat akan membentuk kompleks khelat. Gugus hidroksil dan gugus karbonil akan membentuk kompleks dengan ion Al3+ menghasilkan warna kuning, dengan ion Fe3+ akan berwarna
29
cokelat, sedangkan dengan sitroborat akan berwarna kuning. Kompleks yang terbentuk dari Al3+ dengan gugus orto dihidroksi bersifat reversible dengan penambahan asam klorida, sedangkan kompleks Al3+ dengan gugus orto hidroksi karbonil bersifat irreversible. Gugus metoksi atau metil tidak membentuk kompleks dengan AlCl3, sehingga tidak terjadi pergeseran batokromik (Harborne et al., 1975). f. Ekstraksi flavonoid Larutan penyari yang digunakan dalam ekstraksi flavonoid ditentukan berdasarkan struktur masing-masing tipe flavonoid. Kelarutan flavonoid berbedabeda terhadap masing-masing pelarut sesuai dengan golongan dan substitusi yang terjadi. Aglikon flavonoid adalah polifenol dan karena itu mempunyai sifat kimia senyawa fenol, yaitu bersifat agak asam, sehingga dapat larut dalam basa. Namun demikian, harus diingat, apabila dibiarkan dalam basa dan terdapat banyak oksigen, maka akan banyak senyawa yang terurai. Flavonoid yang mempunyai sejumlah gugus hidroksil tak tersubstitusi atau terikat pada gula merupakan senyawa polar, sehingga berdasarkan like dissolves like, flavonoid cukup larut dalam pelarut polar seperti
etanol,
metanol,
butanol,
aseton,
dimetilsulfoksida
(DMSO),
dimetilformadida (DMF), dan air. Adanya gula yang terikat pada flavonoid cenderung menyebabkan flavonoid lebih mudah larut dalam air. Sebaliknya, aglikon yang kurang polar seperti isoflavon, flavanon, flavon, dan flavonol yang termetoksilasi cenderung mudah larut dalam pelarut seperti eter dan kloroform (Markham, 1988). Setelah menimbang bahan tumbuhan yang telah dikeringkan dan digiling, ekstraksi paling baik dilakukan dalam dua tahap, pertama kali dengan metanol:air
30
(9:1) dan kedua dengan metanol:air (1:1). Pada setiap tahap, campuran dibiarkan 612 jam. Lalu dilakukan pemisahan dengan penyarian dan kertas saring yang disarankan adalah Whatman no. 54 atau 541. Penguapan dilakukan terhadap kedua filtrat sampai volumnya menjadi sepertiganya atau sampai hampir semua metanol menguap. Lalu ekstrak air yang diperoleh bisa dibebaskan dari senyawa yang kepolarannya rendah, seperti lemak, terpen, klorofil, dan xantofil dengan ekstraksi dalam corong pisah dengan heksan atau kloroform. Lapisan air yang mengandung bagian terbesar flavonoid lalu diuapkan sampai kering pada tekanan rendah dengan menggunakan rotary evaporator. Cara tersebut cocok untuk ekstraksi kebanyakan flavonoid, tetapi tidak untuk antosianin atau flavonoid yang kepolarannya rendah (Markham, 1988). g. Deteksi flavonoid Penggolongan flavonoid didasarkan pada perbedaan reaksi warna dan kelarutannya. Setelah dielusi, bercak flavonoid bisa dideteksi dengan beberapa metode berbeda. Antosianin, auron, dan kalkon dapat dibedakan dengan mudah di bawah sinar tampak. Sinar UV memperlihatkan kebanyakan flavonoid lainnya, kecuali flavanon, isoflavon, katekin, dan leucoanthocyanin dan membedakan beberapa pigmen yang hanya muncul warna kuning di sinar tampak. Beberapa polifenol pigmen hanya muncul warna kuning di sinar tampak. Beberapa polifenol berfluoresensi lebih atau kurang jelas di sinar UV. Beberapa pereaksi semprot yang dapat digunakan untuk mendeteksi semua tipe flavonoid antara lain uap amonia (kecuali antosianin), AlCl3, dan FeCl3. Asam toluen sulfonate dapat mendeteksi leukoantosianin, katekin, dan dihidroflavonol. Flavonoid merupakan senyawa
31
fenol, sehingga dapat membentuk kompleks berwarna dengan FeCl3. Namun demikian, reaksi warna yang dihasilkan tidak spesifik, sehingga tidak dapat digunakan untuk membedakan masing-masing golongan flavonoid (Geissman, 1962). Metode analisis kualitatif senyawa flavonoid dapat dilakukan dengan kromatografi lapis tipis. Adapun, pereaksi semprot yang dapat digunakan untuk memperjelas bercak senyawa flavonoid yakni pereaksi semprot AlCl3 dan sitroborat karena mampu membentuk kompleks berwarna kuning dengan senyawa flavonoid (Mabry et al., 1970). Untuk analisis kuantitatif flavonoid dapat menggunakan metode spektrofotometri UV-Vis menggunakan pereaksi AlCl3. Flavonoid dapat membentuk senyawa kompleks stabil dengan AlCl3 pada gugus orto hidroksi karbonil dan pada gugus orto dihidroksi, tetapi senyawa kompleks yang terbentuk pada posisi orto dihidroksi sensitif terhadap suasana asam. h. Flavonoid sebagai antioksidan Senyawa flavonoid merupakan antioksidan sekunder yang bekerja dengan cara menangkap radikal bebas seperti anion superoksida, radikal hidroksil, dan radikal peroksil. Senyawa glikosida flavonoid kurang efektif sebagai antioksidan dibandingkan aglikon flavonoid (Pokorny et al., 2001). Berikut ini beberapa karakteristik yang dapat meningkatkan aktivitas antioksidan senyawa flavonoid. 1) Adanya gugus orto katekol (3’,4’-dihidroksi) pada cincin B 2) Konjugasi 2,3 ikatan rangkap dengan gugus 4-okso pada cincin C 3) Adanya gugus 3-hidroksi pada cincin C dan 5-hidroksi pada cincin A
32
4) Semakin banyak substitusi gugus hidroksi pada flavonoid (Pokorny et al., 2001). 8. Kuersetin-3-rutinosida (Rutin) Kuersetin-3-rutinosida (rutin) adalah senyawa glikosida flavonoid yang dapat disintesis dari tumbuhan tingkat tinggi, bentuk aglikonnya yakni kuersetin. Pada posisi C-3 (pada cincin C) kuersetin terikat oleh molekul disakarida, rutinosa (C12H22O10), yang terdiri dari satu molekul ramnosa dan satu molekul glukosa (Aherne & O'Brien, 2002). Rutin merupakan metabolit sekunder yang banyak terdapat pada tumbuhan. Rutin mampu menyerap UV-B, sehingga berfungsi untuk melindungi benih tumbuhan dari efek berbahaya akibat radiasi UV-B (Fabjan et al., 2003). Rutin memiliki bobot molekul 610,5 dengan rumus formula C27H30O16.
Gambar 6. Struktur kimia rutin (Jimenez-Aliaga et al., 2011)
Rutin telah dilaporkan banyak memiliki aktivitas biokimia dan farmakologi, seperti aktivitas antioksidan (Boyle et al., 2000), menjaga sistem imun, dan aktivitas antiinflamasi (Sternberg et al., 2008). Selain itu, rutin dapat meringankan penyakit Alzheimer dengan mengurangi kerusakan sel akibat radikal oksigen (ROS) (Weinreb et al., 2004).
33
Rutin dapat diklasifikasikan sebagai penangkap radikal bebas. Aktivitas penangkap radikal bebas rutin mungkin disebabkan gugus katekol bebas yang memungkinkan molekul flavonoid teroksidasi menjadi bentuk orto kuinon yang memiliki sifat pengkhelat logam (Omololu et al., 2011). Rutin memiliki aktivitas penangkap radikal DPPH yang baik dengan nilai IC50 sebesar 3,53 μg/mL. Nilai ini sedikit lebih tinggi dari asam askorbat dengan IC50 sebesar 3.57 μg/ml (Sintayehu et al., 2012). Aktivitas antioksidan dari senyawa fenolik seperti flavonoid tergantung pada kedudukan gugus fungsi di sekitar struktur nuclear. Jumlah dan konfigurasi gugus hidroksil yang mendonorkan proton merupakan hal utama yang mempengaruhi kapasitas antioksidan suatu senyawa flavonoid (Cao et al., 1997; Pannala et al., 2001). 9. Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan salah satu metode pemisahan fisikokimia dari senyawa campuran. Senyawa campuran yang ada akan dipisahkan dengan cara ditotolkan dalam bentuk totolan (bercak) atau pita pada lapisan penjerap (fase diam) yang telah diletakkan di atas pelat gelas, logam, atau lapisan yang cocok. Larutan pengembang (fase gerak) dalam bejana dibiarkan hingga jenuh dan fase diam yang telah ditotolkan dimasukkan hingga jarak elusi yang diinginkan (Stahl, 1985). Fase diam yang digunakan dalam KLT merupakan penjerap berukuran kecil dengan diameter partikel 10-30 μm. Semakin kecil ukuran rata-rata partikel fase diam dan semakin sempit kisaran ukuran fase diam, maka semakin baik kinerja KLT dalam hal efisiensi dan resolusinya. Fase diam yang umum digunakan adalah
34
silika gel, aluminium oksida, selulosa, dan poliamida. Namun, silika gel dan selulosa yang paling sering digunakan. Mekanisme sorpsi yang utama terjadi pada KLT adalah partisi dan adsorpsi (Gandjar & Rohman, 2007). Fase gerak KLT dapat dipilih dari pustaka, tetapi lebih sering dengan mencoba-coba (trial and error) karena waktu yang diperlukan hanya sebentar. Beberapa petunjuk dalam memilih dan mengoptimalkan fase gerak yakni sebagai berikut. a. Fase gerak harus mempunyai kemurnian yang sangat tinggi karena KLT merupakan teknik yang sensitif. b. Daya elusi fase gerak harus diatur sedemikian rupa, sehingga harga Rf terletak diantara 0,2-0,8 untuk memaksimalkan pemisahan. c. Pemisahan dengan menggunakan fase diam polar seperti silika gel, polaritas fase gerak akan menentukan kecepatan migrasi solut yang berarti juga menentukan nilai Rf. d. Solut-solut ionik dan solut-solut polar lebih baik digunakan campuran pelarut sebagai fase geraknya, seperti campuran air dan metanol dengan perbandingan tertentu. Penambahan sedikit asam etanoat atau amonia masing-masing akan meningkatkan solut-solut yang bersifat basa dan asam. (Gandjar & Rohman, 2007) Jarak pengembangan senyawa pada kromatogram biasanya dinyatakan dalam nilai Rf (Retardation factor/Retention factor). Nilai Rf didefinisikan sebagai berikut.
35
Harga 𝑅𝑓 =
Jarak yang digerakkan oleh senyawa dari titik asal Jarak yang digerakkan oleh pelarut dari titik asal (Stahl, 1985)
Nilai Rf berupa bilangan dua desimal yang berkisar 0,00 hingga 1,00. Jarak pengembangan senyawa juga dapat dinyatakan dalam nilai hRf (hundred Retardation factor) yang merupakan 100 kali nilai Rf sebagai pembulatan bilangan dua desimal pada harga Rf. Harga hRf dinyatakan dalam bentuk bilangan bulat bukan bilangan desimal yang berkisar 1 hingga 99 (Roth & Blaschke, 1998). Gerakan bercak senyawa dalam KLT berkaitan dengan harga Rf bercak tersebut, yang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain sebagai berikut. a. Struktur kimia senyawa yang dipisahkan b. Sifat fase diam dan derajat aktivitasnya. Perbedaan fase diam yang digunakan akan menghasilkan nilai Rf yang berbeda walaupun menggunakan fase gerak yang sama c. Tebal dan kerataan lapisan fase diam. Lapisan fase diam yang tidak rata dapat menyebabkan aliran fase gerak yang tidak merata pula d. Kemurnian fase gerak merupakan faktor yang sangat penting karena dapat mempengaruhi pergerakan bercak dan apabila fase gerak yang digunakan merupakan
campuran
harus
benar-benar
diperhatikan
pembuatan
campurannya e. Bejana harus berada dalam keadaan yang terjenuhi oleh fase gerak agar pengembangan yang dilakukan berjalan merata f. Metode pengembangan yang dilakukan harus diperhatikan
36
g. Jumlah cuplikan dalam totolan yang terlalu banyak dapat menyebabkan tendensi penyebaran bercak dengan kemungkinan terbentuknya ekor (tailing) dan efek ketidakseimbangan lainnya yang mengakibatkan kesalahan dalam pembacaan nilai Rf h. Pengembangan sebaiknya dilakukan pada suhu yang tetap untuk mencegah terjadinya perubahan-perubahan komposisi fase gerak i. Kesetimbangan bejana harus diperhatikan karena kesetimbangan dapat menyebabkan pengembangan yang melengkung (Sastrohamidjojo, 2005) Deteksi bercak hasil elusi cukup mudah dan sederhana saat komponenkomponen yang dianalisis secara alami mempunyai warna, fluoresensi, atau mengabsorpsi sinar ultraviolet (UV). Namun demikian, untuk senyawa yang tidak berwarna atau mengabsorpsi sinar UV, maka visualisasi harus menggunakan pereaksi penampak bercak (Sherma, 1996). Uji kualitatif untuk senyawa flavonoid dapat menggunakan pereaksi semprot ammonia dan atau sitroborat. Kedua pereaksi tersebut akan lebih memudahkan dalam deteksi bercak hasil elusi. Warna bercak yang timbul setelah diberi uap ammonia disebabkan oleh pembentukan garam dan struktur kuinoid pada cincin B (Robinson, 1995). Deteksi dengan uap ammonia bersifat reversibel dan warna bercak yang timbul cenderung cepat hilang. Oleh karena itu, deteksi dapat dilakukan dengan pereaksi semprot sitroborat. Dengan pereaksi ini, gugus orto dihidroksi pada flavonoid akan membentuk senyawa kompleks dengan borat dan menimbulkan pergeseran khas pada panjang gelombang tinggi (batokromik). Pergeseran
37
batokromik ini menyebabkan timbulnya warna kuning atau coklat kekuningan (Harborne, 1987).
Gambar 7. Reaksi flavonoid dengan asam borat (Mabry et al., 1970)
Flavonoid diduga dapat membentuk ikatan pada kedudukan selain orto dihidroksi dengan sitroborat. Meskipun demikian, sampai saat ini mekanisme reaksi yang terjadi belum diketahui secara pasti. 10. Spektrofotometri Ultraviolet Visibel (UV-Vis) Spektrofotometri UV-Vis merupakan salah satu teknik analisis spektroskopi yang memakai sumber radiasi elektromagnetik ultraviolet dekat (190-380 nm) dan sinar tampak (380-780 nm) dengan menggunakan instrument spektrofotometer. Spektrofotometer UV-Vis dapat menganalisis sampel berupa larutan, gas, atau uap. Untuk sampel larutan, pada pelarut yang dipakai perlu diperhatikan beberapa hal berikut ini antara lain. a. Pelarut tidak mengandung sistem ikatan rangkap terkonjugasi pada struktur molekulnya dan tidak berwarna b. Tidak terjadi interaksi dengan molekul senyawa yang dianalisis c. Kemurniannya harus tinggi atau untuk derajat analisis (Suharman & Mulja, 1995)
38
Analisis alat spektrofotometer didasarkan pada pengukuran serapan sinar monokromatis suatu jalur larutan dengan monokromator sistem prisma atau kisi difraksi dan detektor fotosel. Komponen-komponen pokok dari spektrofotometer meliputi berikut ini. a. Sumber tenaga radiasi yang stabil, biasanya digunakan lampu wolfram b. Monokromator untuk memperoleh sumber sinar yang monokromatis c. Sel absorpsi, pada pengukuran di daerah visibel menggunakan kuvet kaca atau kuvet kaca cortex, tetapi pada pengukuran di daerah UVmenggunakan sel kuarsa karena gelas tidak tembus cahaya pada daerah UV d. Detektor radiasi yang dihubungkan dengan sistem meter atau pencatat berfungsi untuk memberikan respon terharap cahaya pada berbagai panjang gelombang (Khopkar, 1990) Secara eksperimental, sangat mudah untuk mengukur banyaknya radiasi yang diserap oleh suatu molekul sebagai fungsi frekuensi radiasi. Suatu grafik yang menghubungkan antara banyaknya sinar yang diserap dengan frekuensi (atau panjang gelombang) sinar merupakan spektrum absorpsi. Transisi yang diperbolehkan untuk suatu molekul dengan struktur kimia yang berbeda adalah tidak sama, sehingga spektrum absorbsinya juga berbeda. Dengan demikian, spektrum dapat digunakan sebagai bahan informasi untuk analisis kualitatif. Banyaknya sinar yang diabsorbsi pada panjang gelombang tertentu sebanding dengan banyaknya molekul yang menyerap radiasi, sehingga spektrum absorpsi juga dapat digunakan untuk analisis kuantitatif (Gandjar & Rohman, 2007).
39
Sinar UV dan sinar tampak memberikan energi yang cukup untuk terjadinya transisi elektronik, sehingga spektrum UV dan spektrum tampak dikatakan sebagai spektrum elektronik. Keadaan energi yang paling rendah disebut dengan keadaan dasar (ground state). Transisi elektronik akan meningkatkan energi molekuler dari keadaan dasar ke satu atau lebih tingkat energi tereksitasi (Gandjar & Rohman, 2007). Jika suatu molekul sederhana dikenakan radiasi elektromagnetik, maka molekul tersebut akan menyerap radiasi elektromagnetik yang energinya sesuai. Interaksi antara molekul dengan radiasi elektromagnetik ini akan meningkatkan energi potensial elektron pada keadaan tereksitasi. Apabila pada molekul sederhana tadi hanya terjadi transisi elektronik pada satu macam gugus yang terdapat pada molekul, maka hanya akan terjadi satu absorpsi yang merupakan garis spektrum.
Gambar 8.
Garis spektrum dengan model sederhana (Suharman & Mulja, 1995 dalam Gandjar & Rohman, 2007)
Transisi-transisi elektronik yang terjadi di antara tingkat-tingkat energi di dalam suatu molekul ada 4, yaitu transisi sigma—sigma star (𝜎 → 𝜎 ∗); transisi n— sigma star (𝑛 → 𝜎 ∗); transisi n—phi star (𝑛 → 𝜋 ∗); dan transisi phi—phi star (𝜋 → 𝜋 ∗).
40
Gambar 9. Diagram tingkat energi elektron (Gandjar & Rohman, 2007)
Pada aspek kuantitatif, pengukuran serapan dapat dihitung dengan hukum Lambert-Beer, yakni 𝐴 = 𝑎𝑏𝑐. Kuantitas spektroskopi yang diukur biasanya adalah transmitan (T), dimana 𝑇 = 𝐼⁄𝐼 , dan absorbansi (A), dimana 𝐴 = 0
log 1⁄ 𝑇.
Absorptivitas (𝑎) merupakan suatu konstanta yang tidak tergantung pada konsentrasi, tebal kuvet, dan intensitas radiasi yang mengenai larutan sampel. Absorptivitas tergantung pada suhu, pelarut, struktur molekul, dan panjang gelombang radiasi. Satuan 𝑎 ditentukan oleh satuan-satuan 𝑏 dan 𝑐. Jika satuan 𝑐 dalam molar (M), maka absorptivitas disebut dengan absorptivitas molar dan disimbolkan dengan 𝜀 dengan satuan M-1cm-1 atau liter.mol-1cm-1. Jika 𝑐 dinyatakan 1% dengan %b/v (g/100mL), maka absorptivitas dapat dituliskan dengan 𝐸1𝑐𝑚 dan juga 1% seringkali ditulis dengan 𝐴1% 1𝑐𝑚 . Hubungan 𝜀 dengan nilai 𝐸1𝑐𝑚 adalah 𝜀 = 1% 𝐸1𝑐𝑚 𝑥
𝐵𝑀 10
(Gandjar & Rohman, 2007).
41
Dalam hukum Lambert-Beer ada beberapa pembatasan antara lain yakni sebagai berikut. a. Sinar yang datang dianggap monokromatis b. Penyerapan terjadi dalam suatu volum yang mempunyai penampang luas yang sama c. Senyawa yang menyerap dalam larutan tersebut tidak tergantung terhadap yang lain dalam larutan tersebut d. Tidak terjadi peristiwa fluoresensi atau fosforesensi e. Indeks bias tidak tergantung pada konsentrasi larutan (Gandjar & Rohman, 2007) Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam analisis dengan spektrofotometri UV-Vis terutama untuk senyawa yang semula tidak berwarna yang akan dianalisis dengan spektrofotometer visibel, yakni sebagai berikut. a. Pembentukan molekul yang dapat menyerap sinar UV-Vis b. Waktu operasional untuk mengetahui pengukuran yang stabil c. Pemilihan panjang gelombang yaitu yang memiliki absorbansi maksimal d. Pembuatan kurva baku e. Pembacaan absorbansi sampel atau cuplikan (Gandjar & Rohman, 2007) Panjang gelombang yang digunakan dalam analisis kuantitatif adalah panjang gelombang yang mempunyai absorbansi maksimal. Untuk pemilihan panjang gelombang maksimal, dilakukan dengan membuat kurva hubungan antara absorbansi dengan panjang gelombang dari suatu larutan baku pada konsentrasi tertentu, kurva tersebut disebut sebagai kurva baku (Gandjar & Rohman, 2007).
42
Sistem optik dalam spektrofotometer dapat digolongkan menjadi 2, yaitu single beam dan double beam (Suharman dan Mulja, 1995). a. Sistem optik radiasi berkas tunggal (single beam). Prinsipnya, sebuah monokromator memilih panjang gelombang tertentu dari sumber radiasi untuk diarahkan ke kuvet. Intensitas radiasi yang diteruskan dideteksi dengan detektor. b. Sistem optik radiasi berkas ganda (double beam). Prinsipnya, berkas radiasi yang telah dipilih oleh monokromator dipisahkan menjadi dua berkas. Satu berkas diarahkan ke kuvet sampel, sedangkan berkas lainnya diarahkan ke kuvet referensi. Intensitas kedua berkas yang diteruskan ini kemudian dibandingkan. Spektrofotometer UV-Vis dapat digunakan untuk analisis senyawa flavonoid. Hal ini didasarkan kedua pita flavonoid yang berada pada daerah UVVis. Pita I senyawa flavonoid yakni pada cincin B berada pada daerah 300 – 500 nm, sedangkan pita II senyawa flavonoid yakni pada cincin A berada pada daerah 240 – 285 nm. Pereaksi geser dapat digunakan untuk mempermudah analisis senyawa flavonoid karena pereaksi geser dapat mengakibatkan pita-pita flavonoid bergeser menuju panjang gelombang yang lebih besar. Adapun contoh pereaksi geser yakni natrium metoksida dan AlCl3 (Pinheiro & Justino, 2012).
43
F. Landasan Teori Antioksidan didefinisikan sebagai senyawa yang mampu menunda reaksi oksidasi. Penghambatan oksidasi oleh antioksidan dapat terjadi mulai dari molekul sederhana hingga biosistem yang kompleks. Senyawa antioksidan memegang peranan penting dalam pertahanan tubuh terhadap penyakit karena dapat mencegah pengaruh buruk yang disebabkan oleh radikal bebas. Daun ubi jalar secara empiris banyak digunakan untuk membantu mengurangi penyakit bisul, borok, koreng, panas, dan luka bakar. Penelitian terdahulu menyatakan bahwa senyawa yang bertanggung jawab terhadap efek antioksidan daun ubi jalar adalah senyawa flavonoid, yakni tilirosida, astragalin, ramnositrin, ramnetin, dan kaempferol. Untuk mendapatkan senyawa flavonoid yang lebih besar dari daun ubi jalar, maka perlu dilakukan fraksinasi. Selain itu, fraksinasi juga dapat berfungsi untuk menghilangkan kandungan senyawa yang tidak diinginkan dari daun ubi jalar seperti klorofil dan asam lemak. Dengan demikian, akan diperoleh efek antioksidan daun ubi jalar yang semakin optimal. Pemilihan pelarut menjadi titik kritis dalam metode fraksinasi. Pelarut yang digunakan harus menyesuaikan kelarutan senyawa target. Heksan merupakan pelarut nonpolar, sehingga dapat melarutkan klorofil, asam lemak, dan zat ballast yang bersifat nonpolar lainnya. Dengan demikian, senyawa yang tidak diinginkan dapat dihilangkan. Etil asetat merupakan pelarut semipolar, sehingga dapat melarutkan senyawa aglikon polihidroksi flavonoid yang terdapat dalam daun ubi jalar. Sementara itu, air merupakan pelarut polar, sehingga dapat melarutkan senyawa glikosida flavonoid yang terdapat dalam daun ubi jalar.
44
Flavonoid merupakan senyawa metabolit sekunder fenolik yang memiliki aktivitas antioksidan dan merupakan pengkhelat yang poten. Oleh karena itu, aktivitas antioksidan seringkali dikaitkan dengan kandungan flavonoid totalnya. Flavonoid tergolong sebagai antioksidan sekunder yang bekerja dengan cara menangkap radikal bebas. Senyawa glikosida flavonoid kurang efektif sebagai antioksidan dibandingkan aglikon flavonoid. Semakin banyak gugus hidroksil bebas yang terikat cincin B pada aglikon flavonoid, maka semakin tinggi aktivitas senyawa tersebut sebagai antioksidan. Dengan demikian, fraksinasi dengan pelarut etil asetat dan air akan memberikan nilai IC50 yang berbeda karena kadar flavonoid total yang tersari dalam tiap fraksi juga berbeda. Fraksi etil asetat seharusnya memberikan nilai IC50 yang lebih rendah daripada fraksi air.
G. Hipotesis 1. Ekstrak etanol, fraksi etil asetat, dan fraksi air memiliki aktivitas antiradikal berdasarkan metode penangkapan radikal DPPH. 2. Fraksi etil asetat daun ubi jalar memiliki aktivitas antiradikal lebih besar daripada fraksi air daun ubi jalar karena etil asetat dapat menyari senyawa aglikon flavonoid yang memiliki aktivitas antiradikal lebih baik dibandingkan senyawa glikosida flavonoid, yang tersari oleh pelarut air. 3. Kadar flavonoid total ekstrak etanol, fraksi etil asetat, dan fraksi air daun ubi jalar memiliki korelasi terhadap aktivitas antiradikal berdasarkan metode penangkapan radikal DPPH.