BAB I Pendahuluan
A. Latar Belakang
Permasalahan lingkungan menjadi suatu wacana yang kian mendapat perhatian masyarakat global. Polusi, gas rumah kaca, maupun perubahan iklim menjadi topik yang sering kali muncul dan menjadi perbincangan. Perkembangan industrialisasi, globalisasi dan bahkan sistem kapitalisme dipandang sebagai salah satu penyebab terjadinya permasalahan lingkungan tersebut. Cina merupakan salah satu negara yang dinilai mempunyai permasalahan lingkungan terparah, terlepas adanya perkembangan ekonomi yang signifikan. Terkait dengan hal ini, Cina sejak tahun 2003 telah mulai melakukan beberapa langkah untuk mengatasi permasalahan lingkungan yang terjadi. Shenzhen sebagai salah satu kota paling penting bagi Cina menjadi basis awal dimulainya reformasi lingkungan tersebut. Special Economic Zones (SEZ) dibentuk oleh Deng Xioping setelah terjadinya reformasi ekonomi di China pada tahun 1979. Special Economic Zone mengacu pada suatu area dimana para pelaku bisnis mendapat kemudahan yang lebih dibanding di area lain dalam hubungannnya dengan tingkat pajak dan juga jangkauan operasi sebagai usaha untuk memancing investasi asing dan juga meraih teknologi yang dibutuhkan untuk proses modernisasi.1 Shenzhen yang terletak di provinsi Guangdong, Cina bagian selatan, merupakan SEZ pertama di Cina yang didirikan pada tahun 1980 yang mencakup empat distrik yaitu Futian, Luohu, Nanshan dan Yantian. Dari sebuah desa nelayan kecil yang berbatasan dengan Hong Kong, Shenzhen bertransformasi menjadi sebuah kota metropolitan dalam kurun waktu yang 1
Asian Development Bank, “Special Economic Zones and Competitiveness: A Case Study of Shenzhen, China”, 2007, PRM (Pakistan Resident Mission) Policy Note, Islamabad.
1
singkat. Dalam hal perlindungan lingkungan, Shenzhen dianggap sebagai kota pioneer. Setelah lebih dari 30 tahun dari awal pembentukan SEZ telah banyak perkembangan yang terjadi terhadap China maupun terhadap Shenzhen itu sendiri. Namun terlepas dari dampak ekonomi memiliki beberapa dampak lain yang menyentuh beberapa aspek seperti sosial dan lingkungan. Dalam perkembangannya, perubahan Shenzhen menjadi Special Economic Zone selain memberikan dampak positif namun juga memberikan beberapa dampak negatif. Walikota Shenzhen pada tahun 2005 mengungkapkan empat permasalahan yang dihadapi Shenzhen, yaitu keterbatasan lahan, kurangnya energi dan air, tekanan demografi, dan pencemaran lingkungan.2 Shenzhen yang dalam 25 tahun terakhir telah menunjukkan perkembangan ekonomi mengagumkan hingga 28 persen, mengalami permasalahan pengerusakan lingkungan yang parah, Peningkatan emisi gas karbon, pencemaran sungai, tingkat kriminalitas yang tinggi, dan juga terdapatnya eksploitasi terhadap buruh.3 Skripsi ini ingin melihat bagaimana upaya Shenzhen dalam menghadapi permasalahan lingkungan yang terjadi dan menciptakan reformasi di bidang lingkungan. Politik Cina yang cenderung terdesentralisasi memberi kesempatan bagi para pemerintah daerah untuk membuat kebijakan sendiri yang sesuai dengan kondisi daerah mereka. Sejak tahun 2005, Shenzhen mengetatkan pembatasan izin dan penggunaan lahan usaha, menaikkan upah pekerja, dan meningkatkan standar perlindungan lingkungan dengan melarang industri-industri yang menghasilkan polusi seperti industri kertas contohnya. Shenzhen berusaha untuk tetap meningkatkan perekonomiannya dan secara bersamaan membentuk kebijakan 2
Hu. M, ‘The acceleration of Shenzhen’s industrial upgrading’, 2007, People’s Daily, 3 Desember, p. 6. Faithe McCreery, “But at What Cost? Shenzhen, China and the Social Implications of Urban “Success””, 14 Januari 2012, Anthrojournal (online), http://anthrojournal.com/issue/october‐ 2011/article/but‐at‐what‐cost‐shenzhen‐china‐and‐the‐social‐implications‐of‐urban‐success1, diakses 20 Maret 2013. 3
2
kebijakan serta inovasi yang memperhatikan kondisi lingkungan dan ekologi. Relasi antar aktor politik dapat terlihat dari bagaimana proses reformasi lingkungan itu sendiri berjalan. Peran pemerintah yang kuat menjadi kunci utama bagi terciptanya kondisi-kondisi yang memungkinkan pelaku bisnis dan juga masyarakat sipil untuk ikut terlibat dalam proses reformasi lingkungan melalui berbagai inovasi kebijakan dan juga teknologi. Kondisi yang terjadi di Cina dan Shenzhen khususnya, terkait dengan reformasi lingkungan, jika dilihat dari ranah studi Hubungan Internasional merupakan kondisi yang terjadi akibat adanya proses globalisasi. Kebijakan pasar bebas yang termasuk di dalamnya perdagangan internasional dan juga melibatkan investasi asing yang kemudian menjadikan Shenzhen begitu rentan terhadap permasalahanpermasalahan lingkungan. Namun faktor globalisasi ini pula yang menjadi salah satu faktor pendorong terjadinya reformasi lingkungan. Persaingan antar negara dalam menarik investasi asing sebanyak-banyaknya memaksa Shenzhen untuk mampu menciptakan iklim investasi yang baik yang salah satunya diwujudkan dengan menciptakan kondisi lingkungan yang menarik bagi para calon investor dan juga dengan sumber daya seperti tanah maupun air yang mencukupi. Tentu hal ini juga mampu diwujudkan dengan adanya campur tangan tidak hanya dari masyarakat Shenzhen namun juga dari komunitas internasional.
B. Rumusan Masalah
Penulis berusaha mengangkat rumusan
masalah
“Bagaimana peran
pemerintah dan relasinya dengan pelaku bisnis dan masyarakat umum dalam reformasi lingkungan di Shenzhen ?”
3
C. Landasan Konseptual
Skripsi ini akan menggunakan teori modernisasi ekologi sebagai landasan konseptual untuk melihat reformasi lingkungan yang terjadi di Shenzhen, Cina. Teori modernisasi ekologi merupakan sebuah teori yang berakar pada hubungan antara ekonomi dan juga ekologi. Teori yang mulai berkembang pada akhir tahun 1970 ini setidaknya mempunyai dua konsep dasar, yaitu mengenai 1) hubungan antara pasar dan negara serta 2) transformasi teknologi, yang keduanya dalam kaitannya dengan reformasi lingkungan.4 Teori modernisasi ekologi menjelaskan hubungan antara pasar dan negara dalam kaitannya dengan lingkungan harus berjalan secara sinergis. Pada awal tahun 1980 terdapat kekecewaan yang meluas terhadap tidak mampunya negara untuk menyelesaikan masalah lingkungan, terutama di wilayah Eropa. Melihat ketidakberhasilan negara untuk melakukan reformasi lingkungan, para peneliti melalui teori modernisasi ekologi melakukan pemikiran ulang, bahwa perlunya pasar (termasuk produser, konsumer, dan para pelaku bisnis lainnya) bersama-sama dengan negara memainkan peranan yang baru untuk berkontribusi lebih terhadap perlindungan lingkungan. Aktor dari modernisasi ekologi ini sendiri tidak terbatas negara, namun juga para pelaku bisnis, individu, masyarakat sipil, NGO, maupun institusi internasional. Hal ini dapat terjadi karena adanya perubahan dalam kebijakan negara yang lebih tidak dominan dan memberikan kesempatan lebih untuk partisapasi pihak lain. Pasar dan pelaku bisnis memainkan peranan yang cukup penting. Para pemikir modernisasi ekologi melihat adanya kecenderungan race to the top, yaitu kecenderungan industri ataupun pelaku bisnis untuk berlomba menjadi yang terbaik, yang dalam hal ini terkait perlindungan lingkungan. Hal ini secara langsung akan meningkatkan motivasi 4
Arthur P.J. Mol dan Martin Jänicke, “The Origins And Theoretical Foundations Of Ecological Modernization Theory”, dalam Gert (ed.): The ecological modernisation reader: environmental reform in theory and practice. Routledge, New York. hal. 4.
4
dan kompetisi dari para pelaku bisnis lainnya. Negara ikut berperan dalam menciptakan regulasi-regulasi yang mendukung hal tersebut. Grassroots movement maupun NGO secara bersama memberikan tekanan terhadap pasar untuk bergerak ke arah reformasi lingkungan. Lebih lanjut lagi dalam mendefinisikan peran pasar dan negara para peneliti tidak berpindah dari konsep masyarakat modern yang berkaitan dengan konsep welfare state dan juga market-oriented economy.5 Dalam menyelidiki hubungan baru antara pasar dan negara dalam reformasi lingkungan, teori modernisasi ekologi – berlawanan dengan teori lingkungan lainnya- tidak menentang struktur kapitalis. Hal ini terlepas walaupun sistem kapitalis dipandang secara umum sebagai sumber dari krisis lingkungan dan juga sebagai sistem yang secara jelas membatasi peran dan ikut campur dari negara dalam hal ekonomi. Agenda dari teori modernisasi ekologi tetap berada dalam ranah dan sejalan dengan konsep modernisasi yang diterima secara umum, yaitu welfare state dan market economy, dan tidak melenceng membentuk agenda alternatif. Bukan kapitalisme dipandang sebagai aktor penting dalam menjaga lingkungan, dan bukan pula kapitalisme dipandang mempunyai peranan dalam penurunan lingkungan, namun terlebih kapitalisme dipandang selalu berubah dan menjadi salah satu pemicu timbulnya perhatian atas lingkungan.6 Para pemikir teori modernisasi ekologi lebih berfokus mengarahkan dan mengubah kapitalisme pasar bebas untuk menjadi lebih kurang merusak dan lebih berkontribusi positif terhadap lingkungan. Dua inovasi hubungan antara pasar dan negara telah dikembangkan oleh teori ini, yang dikemudian mulai dikenal dan digunakan secara luas di dalam literatur dan
5
ibid, p.5. Mol, A.P.J. dan Spaargaren, G (2000) ‘Ecological Modernization Theory in debate: a review’, Environmental Politics vol. 9, no. 1, hal. 17–49 6
5
juga kebijakan mengenai ekonomi dan lingkungan.7 Pertama adalah bahwa pasar dan para pelaku di dalamnya harus didefinisikan bukan sebagai sesuatu yang mengganggu lingkungan, sebagaimana yang sering kali terjadi pada awal tahun 1980. Para aktoraktor ekonomi termasuk produsen, perusahaan asuransi, retailer, serikat, maupun konsumen) juga bisa berperan dalam melakukan reformasi lingkungan. Pandangan ini merupakan pandangan yang berbeda dari para pemikir dan pemerhati lingkungan pada tahun 1970 dan 1980-an, namun mendapat dukungan dari pemikirian mengenai pembangunan berkelanjutan. Kedua, meskipun negara masih merupakan aktor paling berperan dalam menjaga kelestarian lingkungan, hal ini perlu untuk dibentuk ulang, berganti dari yang sebelumnya bersifat birokratik, hierarkis, reaktif, terpusat, menjadi lebih flexible, dan desentralisasi yang menciptakan jaringan yang baik antar aktor menuju pembangunan berkelanjutan. Modernisasi politik menjadi salah satu kunci penting dalam terbentuknya landasan modernisasi ekologi terkait dalam inovasi kebijakan dalam ranah lingkungan. Integrasi atas aspek-aspek lingkungan ke dalam sektor kebijakan seperti energi, transportasi dan juga pertanian serta meningkatkan partisipasi publik, termasuk gerakan grassroots merupakan beberapa bentuk modernisasi politik yang mendukung modernisasi ekologi.8 Selain hubungan antara pasar dan negara, teknologi memainkan peranan yang penting dalam teori modernisasi ekologi dan sebagai jalan menuju sustainability.9 Hal ini menimbulkan banyak kritik di kalangan peneliti. Pemikiran umum yang berkembang pada awalnya bahwa perkembangan teknologi akan semakin memperburuk kondisi lingkungan. Namun modernisasi ekologi menekankan perlu adanya inovasi teknologi dalam reformasi lingkungan. Ada dua hal dalam teori modernisasi ekologi, pertama bahwa adanya perubahan fokus dari teknologi yang 7
Huber, J. ‘Ecological modernisation: beyond scarcity and bureaucracy’. dalam A.P.J. Mol, G. Spaargaren dan B. Klapwijk (eds), Technologie en Milieubeheer. Tussen Sanering en Ecologische Modernisering, Den Haag: SDU, hal. 167–183. 8 Mol, A.P.J. dan Buttel, F.H. “The environmental state under pressure”, 2002, Amsterdam: Elsevier science,p. 35. 9 Arthur P.J. Mol dan Martin Jänicke, ibid., hal. 8‐9.
6
bersifat menanggulangi polusi yang telah terjadi dari hasil produksi menuju teknologi yang lebih bersifat mencegah polusi dan juga teknologi yang lebih bersih. Kedua, adanya pengembangan dan pengimplementasian teknologi yang bersifat sederhana menuju pengembangan teknologi yang lebih besar dan rumit. Contohnya adalah pembaharuan teknologi dalam bidang penyaringan udara yang dikombinasikan dengan sistem transportasi yang baru ataupun sistem integrasi air, dibarengi dengan konsep managemen baru dan lain sebagainya.10 Teori modernisasi Ekologi berbeda dengan pandangan umum yang menilai bahwa perkembangan ekonomi akan berbanding terbalik dengan perlindungan lingkungan. Selain itu pula ada beberapa teori lain yang bertentangan dengan modernisasi ekologi. Beberapa diantaranya yaitu teori risk society dan natural capitalism. Teori risk society mempunyai pandangan yang pesimis terhadap fenomena industrialisasi yang terjadi. Teori ini memandang perkembangan ilmu pengetahuan modern dan teknologi yang semakin berkembang tidak akan mampu membawa perubahan ekologi ke arah yang lebih baik. Namun sebaliknya keadaan masyarakat yang seperti ini malah akan semakin membawa kondisi ekologi ke arah yang semakin rentan akan resiko kerusakan.11 Teori lainnya yaitu natural capitalism. Teori ini memandang ekonomi global sebagai sistem yang sangat bergantung pada sumber daya alam dan ekosistem sebagai modal utama mereka dan ekonomi global gagal melihat nilai sebenarnya yang terkandung dalam sumber daya tersebut. Teori ini mengkritik kapitalisme industri yang dianggap kurang memperhatikan kondisi ekologi dan ekosistem dan hanya mementingkan sumber daya alam yang terbatas tersebut sebagai sumber pemasukan mereka.12
10
Arthur P.J. Mol dan Martin Jänicke, ibid., hal. 12. Renato J. Orsato dan Stewart R. Clegg, “Radical Reformism: Towards Critical Ecological Modernization”, 2005, Sustainable Development no. 13, hal. 254–255. 12 Hawken, Paul, Amory Lovins, dan L. Hunter Lovins, “Natural Capitalism: Creating the Next Industrial Revolution”, 1999, Little, Brown, and Co., hal. 5. 11
7
Arthur Mol dan Sonnenfeld mengemukakan lima indikasi dari modernisasi ekologi di dalam tatanan sosial13, yaitu : 1. Perubahan peran dari ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu pengetahuan dan teknologi terus mengalami perkembangan dalam kaitannya dengan penanganan masalah polusi. Hal ini terlepas dari adanya ketidakpastian dan adanya kemungkinan perkembangan teknologi semakin bertentangan dengan perlindungan lingkungan. 2. Peningkatan peran dinamika pasar dan agen ekonomi. Sebagai agen utama ekonomi, peran mereka semakin mengarah pada kesadaran bahwa mereka juga ikut menjadi salah satu basis utama terjadinya reformasi lingkungan. 3. Transformasi peran negara. Negara semakin terdesentralisasi dan juga flexibel dalam kebijakan lingkungan. Hal ini memberikan ruang yang lebih bagi partisipasi agen sosial dan masyarakat dalam pembentukan kebijakan, regulasi, managemen, maupun administrasi yang berhubungan dengan lingkungan. 4. Perubahan dalam posisi, peran, serta ideologi dari pergerakan sosial. Pergerakan sosial menjadi salah satu instrumen yang semakin berperan di dalam reformasi lingkungan, setelah sebelumnya pada awal tahun 1980 dibatasi. 5. Perubahan praktek dan munculnya ideologi baru. Praktek maupun pemikiran yang bertolak belakang dengan perkembangan lingkungan maupun ekonomi menjadi suatu hal yang tidak dapat diterima. Modernisasi Ekologi menjadi inti yang tidak dapat diganggu gugat dari praktek ekonomi dan sosial yang ada. Namun tidak sedikit kritik yang muncul terhadap teori modernisasi ekologi. Benton dan Pepper misalnya, mengkritik bahwa teori modernisasi ekologi tidak secara jelas mengkonseptualisasikan siapa saja aktornya dan tindakan apa yang harus 13
Arthur P.J. Mol dan David A. Sonnenfeld, "Ecological Modernization Around the World: An Introduction", 2000, Environmental Politics 9, hal. 3‐16.
8
mereka ambil. Selain itu pula modernisasi ekologi dinilai gagal untuk mengerti apa yang sebenarnya dibutuhkan untuk mewujudkan tujuan mereka meningkatkan kualitas lingkungan.14 Hal ini dikarenakan –menurut beberapa penentang teori inibahwa modernisasi ekologi ingin melakukan modernisasi terhadap aspek dan struktur yang menciptakan krisis lingkungan itu sendiri. Buttel, salah satu pendukung modernisasi ekologi mengatakan “solusi atas masalah yang diciptakan oleh modernisasi, industrialisasi, dan sains hanya bisa dapat diselesaikan melalui lebih banyak modernisasi, industrialisasi, dan sains”.15 Rasionalitas ini yang dikritik bahwa seharusnya modernisasi ekologi mencari solusi lain di luar kapitalisme maupun industrialisasi.16 Muncul pula kritik yang mengemukakan modernisasi ekologi sebagai teori yang “mematerialkan” lingkungan. Hal ini muncul karena modernisasi ekologi dianggap tetap melihat keuntungan sebagai yang utama.17 Perlindungan atas lingkungan –melalui inovasi teknologi maupun regulasi- dilakukan agar sumberdaya yang ada untuk proses industri tetap tersedia. Perkembangan teknologi juga digunakan untuk menekan biaya produksi dan menciptakan efisiensi yang secara otomatis meningkatkan keuntungan, walaupun memang secara langsung tetap ikut berkontribusi terhadap lingkungan. Secara singkat teori modernisasi ekologi melibatkan aktor-aktor yang lebih luas dalam hal perlindungan ekologi. Pemerintah pusat, lokal, masyarakat umum, pelaku bisnis, NGO, serta badan internasional mempunyai peran yang sama dalam ikut berkontribusi meningkatkan lingkungan. Namun perlu diingat bahwa hal ini masih dalam framework ekonomi, yang dapat diartikan peningkatan kualitas lingkungan haruslah tetap bersamaan dan tidak bertentangan dengan kemajuan ekonomi. Kemajuan teknologi diharapkan dapat mewujudkan hal tersebut. Penting untuk adanya inovasi-inovasi baru dari sekedar menangani polusi menjadi mencegah 14
Ingmar Lippert, “Agents of Ecological Modernisation”, 2010, Der Andere Verlag, hal. 5. Buttel, F, “Ecological modernization as social theory”, 2000, Geoforum no. 31, hal. 57–65. 16 Ingmar Lippert, ibid., hal. 65. 17 Ingmar Lippert, ibid., hal. 9. 15
9
polusi, karena hal tersebut menurut teori modernisasi ekologi bersifat positif terhadap kedua aspek, yaitu ekonomi dan juga lingkungan. Perkembangan teknologi diharapkan akan mengurangi emisi dan meningkatkan efisiensi penggunaan sumberdaya. Sebagai instrumen politik, pemerintah dapat menekan –walaupun tidak dengan keras- industri-industri yang dianggap tidak memenuhi standar perlindungan lingkungan, dengan menggunakan pajak contohnya. Selain pula dapat digunakan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat untuk memililih produk yang lebih ramah lingkungan. Melalui teori ini penulis berusaha melihat kondisi dan proses reformasi lingkungan yang terjadi di Shenzhen. Secara umum Teori Modernisasi Ekologi mempunyai inti bahwa perkembangan ekonomi dapat berbanding lurus dengan perlindungan lingkungan. Relasi politik dan kepentingan antar aktor, perkembangan inovasi dan teknologi, serta peranan masyarakat sipil menjadi hal-hal yang perlu dikaji untuk melihat sejauh mana Teori Modernisasi Ekologi telah ditetapkan di Shenzhen. Sebagai sebuah Special Economic Zone yang mempunyai fokus pembangunan ekonomi, penulis ingin melihat adakah perbedaan karakteristikkarakteristik Teori Modernisasi Ekologi dari perkembangannya pada abad ke 17 di Eropa dengan praktek dan penerapan yang terjadi di Shenzhen.
D. Argumen Utama
Peran pemerintah dalam reformasi lingkungan di Shenzhen semakin meningkat dikarenakan berubahnya bentuk pemerintahan yang awalnya terpusat menjadi lebih terdesentralisasi dan flexibel. Hal ini mempermudah pemerintah Shenzhen dalam membuat dan menetapkan kebijakan-kebijakan yang berfokus pada perlindungan lingkungan yang lebih sesuai dengan kondisi yang terjadi. Selain itu pula pemerintah semakin berperan dalam meningkatkan inovasi dalam hal teknologi
10
dan ilmu pengetahuan yang mengarah pada produksi yang lebih bersih melalui berbagai kerjasama dengan negara-negara asing. Dari sudut pandang Teori Modernisasi Ekologi terdapat beberapa karakteristik relasi yang cukup berbeda, walaupun secara keseluruhan tetap sejalan dari teori awal yang berlaku. Perbedaan karakteristik tersebut dilihat dari relasi pemerintah dengan aktor reformasi lingkungan lainnya. Relasi antara pemerintah dan masyarakat sipil sudah menunjukkan dinamika yang baik, namun masyarakat seringkali tidak diikutsertakan langsung dalam proses pembuatan kebijakan, serta masih adanya pembatasan informasi. Karakteristik relasi lainnya adalah masih kurangnya kesadaran pelaku bisnis dalam perlindungan lingkungan. Meskipun para pelaku bisnis telah ikut berperan dalam reformasi lingkungan namun hal itu dikarenakan tekanan dan paksaan yang datang dari pemerintah dan bukan dari kemunculan norma dan etika dari para pelaku bisnis itu sendiri.
E. Metode Penelitian
Metode penelitian yang akan digunakan dalam tulisan ini adalah metode penelitian kualitatif. Data tersebut kemudian akan penulis komparasikan dengan datadata
lain
yang
menunjang
dan
berhubungan
dengan
pembentukan
serta
perkembangan reformasi lingkungan di Shenzhen. Penulis menggunakan metode studi literatur yang bersumber pada buku, jurnal, dan informasi dari internet untuk menemukan informasi-informasi yang mendukung argumen utama penulis.
11
F. Sistematika Penulisan
Bab I. Pendahuluan Bab ini akan berisi mengenai uraian tentang latar belakang masalah yang mendasari pentingnya diadakan penelitian, perumusan masalah penelitian, landasan konseptual yang digunakan untuk menganalisis penelitian, metode penelitian yang digunakan, serta argumentasi utama yang diajukan dan juga sistematika penulisan.
Bab II. Transformasi dan Peran Pemerintah Shenzhen dalam Reformasi Lingkungan Bab ini akan secara singkat menjelaskan mengenai kondisi lingkungan shenzhen selama beberapa tahun terakhir, selain juga akan sedikit menjelaskan mengenai perkembangan status administratif kota Shenzhen dan juga regulasi-regulasi serta institusi lapis ganda yang ada di Shenzhen. Bab ini juga akan berfokus mengenai usaha dan peranan pemerintah Shenzhen dalam menciptakan regulasi serta memberikan insentif sebagai salah satu cara untuk mencapai reformasi lingkungan. Langkah-langkah yang pemerintah ambil serta bagaimana kemudian teknologi mengalami perkembangan akan ikut dibahas dalam bab ini.
Bab III. Relasi antara Pemerintah dengan Pelaku Bisnis dan Masyarakat Umum Bab ini akan membahas mengenai usaha-usaha yang dilakukan oleh masyarakat sipil dan pelaku bisnis dalam proses reformasi lingkungan. Selain itu pula bab ini akan membahas mengenai keterlibatan aktor-aktor multinasional serta peningkatan kesadaran dan perilaku dari masyarakat terhadap pentingnya perlindungan lingkungan. Halangan dan tantangan yang ada dalam proses reformasi lingkungan juga akan dibahas secara singkat dalam bab ini.
12
Bab IV. Penutup Bab ini akan menjadi bab penutup dalam skripsi ini yang berisi hasil kesimpulan dari data-data yang ada di bab-bab sebelumnya. Dalam bab ini juga penulis menambahkan beberapa pemikiran penulis mengenai perkembangan reformasi lingkungan di Shenzhen dan juga harapan mengenai manfaat dari penulisan skripsi ini.
Daftar Pustaka
13