BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pada era globalisasi ini, masyarakat mengalami perubahan pola makan ke arah pola konsumsi makanan yang tidak sehat, yang merupakan faktor risiko penyakit tidak menular. Setiap tahunnya, penyakit tidak menular menyebabkan 38 juta kematian dan hampir 3/4 nya terjadi di negara berpenghasilan menengah dan rendah (WHO 2015). Pola penyakit tidak menular juga cenderung mengalami peningkatan di Indonesia, khususnya penyakit diabetes mellitus, hipertensi dan stroke (Riskesdas, 2013). Penyakit tidak menular yang biasa dikenal sebagai penyakit kronis merupakan penyakit yang mempunyai durasi yang panjang dan perkembangan yang umumnya lambat. Penyakit tidak menular sering dikaitkan dengan kelompok usia yang lebih tua, tetapi sekarang ini justru terjadi kecenderungan diderita oleh orang yang berusia di bawah 40 tahun. Semua kalangan usia, terutama anak-anak dan remaja, rentan terhadap faktor-faktor risiko yang berkontribusi terhadap penyakit tidak menular seperti misalnya pola makan yang tidak sehat (WHO 2015). Pola konsumsi makanan yang tidak sehat antara lain konsumsi makanan junk food yang tinggi kandungan lemak, garam dan karbohidrat yang tinggi, namun rendah serat. Salah satu makanan yang tidak sehat dan sangat digemari oleh masyarakat terdapat pada golongan makanan olahan. Hal ini dikarenakan pada proses pengolahan makanan biasanya melibatkan penggunaan bahan makan tambahan lainnya, seperti misalnya natrium yang dapat membuat makanan tersebut menjadi kurang sehat untuk dikonsumsi (CDC 2012). Makanan olahan yang paling sering dikonsumsi oleh masyarakat saat ini adalah mie instan. Secara budaya, mie instan tidak hanya menjadi makanan pokok lagi, namun juga menjadi lauk pauk (Arianto 2011). Mie instan sering dikritik sebagai makanan yang tidak sehat atau digolongkan sebagai junk food. Hal ini dikarenakan dalam sekali penyajian mie instan biasanya mengandung lemak dan natrium yang tinggi, namun rendah serat, vitamin dan mineral (Park et al., 2011).
1
2
Mie instan terbuat dari tepung terigu dan kaya akan karbohidrat serta terdiri dari lemak total, lemak jenuh dan natrium yang bervariasi tergantung dengan metode produksi. Kandungan garam, penguat rasa seperti monosodium glutamat dan saus merupakan sumber utama dari natrium pada mie instan. Kandungan natrium dalam mie instan berkisar antara 1017-2820 mg (CFS 2011), sedangkan Permenkes No.30 Tahun 2013 tentang pencantuman informasi kandungan gula, garam, dan lemak serta pesan kesehatan untuk pangan olahan dan pangan siap saji, menentukan batas aman konsumsi natrium di Indonesia tidak lebih dari 2000 mg per hari. Oleh sebab itulah, pola konsumsi mie instan perlu mendapat perhatian yang cukup serius, karena dengan mengonsumsi sebungkus mie instan yang mempunyai kandungan natrium yang tinggi, hal itu berarti sudah melebihi asupan natrium yang dibutuhkan oleh tubuh dalam sehari. Asupan natrium yang tinggi berhubungan dengan berbagai masalah kesehatan seperti obesitas (Choong et al., 2012) serta dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah tinggi dan berisiko terhadap stroke dan penyakit jantung (WHO 2006). Selain itu, mie instan juga mengandung lemak total. Jumlah kandungan lemak total pada mie instan bervariasi yaitu sekitar 0-23 gr (CFS 2011). Menurut Permenkes No. 30 Tahun 2013, batas aman konsumsi lemak di Indonesia adalah 67 gr per orang per hari. Jumlah tertinggi kandungan lemak total pada mie instan adalah 1/3 dari batas asupan lemak total yang dibutuhkan tubuh. Oleh sebab itu, pola konsumsi mie instan mempunyai pengaruh positif terhadap obesitas abdominal dan hiperkolesterolemia (Eun et al. 2011). Menurut Shin et al. (2014), mengonsumsi mie instan lebih dari 2 bungkus dalam seminggu berhubungan dengan peningkatan sindrom metabolik yang tinggi pada wanita. Pola konsumsi mie instan dapat berkontribusi terhadap pola makan. Konsumsi mie instan yang tinggi cenderung diiringi juga dengan konsumsi makanan fast food lainnya yang tinggi. Konsumen yang mengonsumsi mie instan cenderung lebih sedikit mengonsumsi buah dan sayuran (Chung et al., 2010). Mie instan telah menjadi makanan yang diakui secara internasional. Konsumsi mie instan terus meningkat di seluruh dunia, terutama di negara-negara Asia
3
(Gulia et al., 2014). Hal ini dapat dilihat dari penjualan mie instan tertinggi berada di negara Cina pada tahun 2013 yang mencapai 46,22 miliar bungkus (WINA 2014). Indonesia merupakan negara tertinggi kedua setelah negara Cina dalam mengonsumsi mie instan, jumlah penjualan mie instan pada tahun 2013 mencapai 14,9 miliar bungkus (WINA 2014). Data Susenas (2013) menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi mie instan selama seminggu mengalami peningkatan dari bulan September 2012 yakni 0,016/porsi menjadi 0,025/porsi pada bulan Maret 2013. Menurut Riskesdas (2013), makanan jadi olahan dari tepung, termasuk mie instan, dicurigai mengandung bahan atau lapisan lilin dan bahan pengawet yang dapat menyebabkan risiko kesehatan. Rata-rata penduduk Indonesia berperilaku mengonsumsi mie instan. Sebanyak 1 dari 10 penduduk mengonsumsi mie instan ≥ 1 kali per hari. Sumatera Selatan merupakan provinsi tertinggi kedua yang penduduknya mengonsumsi mie instan lebih dari 1 kali per hari, di atas rata-rata nasional, yaitu sebesar 10,1%. Proporsi penduduk yang berusia lebih dari 10 tahun yang mengonsumsi mie instan sebanyak 18,2% di Provinsi Sumatera Selatan (Riskesdas, 2013). Menurut Park et al.(2011), konsumsi mie instan tertinggi pada usia 20-49 tahun dan berada pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi dari sekolah menengah atas. Pola konsumsi mie instan cenderung lebih disukai oleh orang dengan tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan yang tinggi (Eun et al. 2011). Transisi dari sekolah ke perguruan tinggi mempunyai banyak implikasi kesehatan. Dalam masa transisi ini, tingkat independensi dari remaja meningkat, sehingga menyebabkan mahasiswa lebih sering memilih makanan sendiri. Mahasiswa mengalami tantangan dalam hal pilihan makanan yang sehat (Dyson & Renk 2006). Peningkatan aktivitas fisik, kehidupan sosial dan kesibukan cenderung mengakibatkan mahasiswa mengonsumsi makanan yang tidak sehat (El Ansari et al., 2012). Tantangan yang kini dihadapi mahasiswa adalah konsumsi makanan olahan secara berlebihan seperti mie instan. Menurut Surjadi (2013), mahasiswa
4
mengalami perubahan pola makan menjadi pola makan yang tidak sehat. Mahasiswa cenderung lebih sering mengonsumsi makanan olahan. Kebiasaan mengonsumsi mie instan terutama bagi mahasiswa, sudah menjadi salah satu pola makan dalam kehidupan sehari-hari dan mie instan biasa dikonsumsi pada berbagai waktu makan seperti waktu makan utama ataupun di luar waktu makan utama (Sarkimet al., 2010). Hal ini perlu dijadikan perhatian karena konsumsi mie instan dapat menuntun mahasiswa mengonsumsi lemak, energi dan natrium yang tinggi (Park et al. 2011). Salah satu masalah yang terjadi pada remaja adalah gangguan tumbuh kembang yang diakibatkan pola konsumsi makan yang berubah menjadi pola makan yang tidak sehat seperti konsumsi makanan olahan yang tinggi. Kegemaran terhadap makanan olahan tersebut mengakibatkan perubahan patologis terlalu dini pada mahasiswa (Arisman 2004). Strategi promosi perilaku makan yang sehat perlu dikembangkan. Sebelum upaya promosi perilaku makan sehat direncanakan, perlu dilakukan analisis kebutuhan yang bertujuan untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan agar sesuai dengan kebutuhan masyarakat sasaran (Bartholomew et al., 2006). Sebagai upaya untuk mengkaji kebutuhan, penelitian kualitatif diperlukan untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi perilaku makan, khususnya perilaku konsumsi mie instan pada mahasiswa. Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi perilaku konsumsi mie instan, dapat digunakan kerangka social cognitive theory dan teori ekologi. Social cognitive theory berfokus pada interaksi antara faktor individu, perilaku dan lingkungan untuk menjelaskan perilaku kesehatan misalnya perilaku makan (Bandura cit Glanzet al., 2008). Individu berinteraksi dengan berbagai lingkungan, baik lingkungan sosial maupun lingkungan fisik seperti sekolah, rumah dan restoran cepat saji. Interaksi tersebut juga dipengaruhi oleh lingkungan atau sektor makro yang meliputi antara lain pemerintah dan industri makanan (Swinburn et al., 2004). Teori ekologi bertujuan memahami interaksi antara individu (intrapersonal) dan lingkungan. Menurut Brofenbrenner (1994), perilaku mempengaruhi dan
5
dipengaruhi oleh beberapa tingkatan lingkungan. Penelitian ini menggunakan model yang dikembangkan oleh Story et al. (2002) berdasarkan social cognitive theory dan teori ekologi, untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi perilaku makan yang meliputi 4 faktor. Faktor yang mempengaruhi perilaku makan tersebut meliputi empat faktor antara lain faktor individual (intrapersonal), lingkungan sosial, lingkungan fisik dan lingkungan makro. Keempat faktor ini perlu untuk diketahui lebih lanjut agar strategi intervensi nutrisi yang efektif dapat dikembangkan untuk mengubah perilaku makan yang tidak sehat pada remaja (Story et al., 2002). Faktor individual (intrapersonal) merupakan karakteristik individu yang mempunyai pengaruh terhadap perilaku makan. Misalnya, remaja mengonsumsi mie instan dikarenakan menyukai rasa yang enak atau harganya yang murah. Hal ini merupakan faktor intrapersonal yang melekat pada individu (Story et al., 2002). Lingkungan sosial (interpersonal) merupakan lingkungan antar individu yaitu pola hubungan sosial. Lingkungan sosial mempunyai pengaruh yang cukup tinggi terhadap perilaku makan yang meliputi pengaruh keluarga dan teman sebaya (Story et al., 2002). Pengaruh keluarga dalam konteks lingkungan sosial mempunyai pengaruh yang penting terhadap persepsi remaja mengenai hubungan antara makanan dan kesehatan. Begitu juga dengan interaksi antara remaja dengan teman sebaya. Remaja biasanya selalu berbagi makanan yang sama (Christiansen et al., 2013). Lingkungan fisik
merupakan lingkungan yang terdapat di sekitar tempat
hidup individu yang meliputi ketersediaan makanan dan akses. Misalnya, ketika mahasiswa memiliki akses yang mudah ke fasilitas makan yang tidak sehat, maka hal tersebut dapat mempengaruhi pilihan makan mahasiswa (Deliens et al., 2014). Lingkungan makro yang merupakan lingkungan dalam skala yang luas meliputi kebijakan dan dukungan dari media dan iklan. Faktor yang berpengaruh secara tidak langsung terhadap perilaku makan, namun memiliki efek yang substansial terhadap remaja, keluarganya, teman sebaya dan komunitasnya di tempat mereka tinggal. Tingginya paparan iklan, terutama iklan mie instan, di
6
televisi dapat mengakibatkan perubahan perilaku makan menjadi tidak sehat (Story et al. 2002). Menurut Deliens et al. (2014), hanya sedikit penelitian kualitatif yang meneliti determinan perilaku makan di lingkungan mahasiswa. Oleh sebab itu, penelitian ini bertujuan untuk menggali faktor yang mempengaruhi perilaku konsumsi mie instan pada mahasiswa dengan menggunakan model Story et al. (2002) yang meliputi 4 faktor, yakni : faktor individu, faktor lingkungan sosial, faktor lingkungan fisik dan faktor lingkungan makro. Penelitian ini dapat menjadi dasar untuk melakukan intervensi kesehatan.
B. Rumusan Masalah Transisi dari sekolah ke perguruan tinggi menyebabkan banyak implikasi kesehatan. Meningkatnya aktivitas, kehidupan sosial dan kesibukan menyebabkan mahasiswa cenderung memilih makanan yang tidak sehat, salah satunya adalah mie instan. Hal ini dikarenakan konsumsi mie instan dapat memicu peningkatan konsumsi natrium, lemak dan karbohidrat yang tinggi, apabila dikosumsi secara berlebihan. Untuk itu, permasalahan dalam penelitian ini adalah : Faktor apa saja yang mempengaruhi perilaku konsumsi mie instan pada mahasiswa ?
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum Mengetahui gambaran mengenai faktor yang mempengaruhi perilaku konsumsi mie instan pada mahasiswa. 2. Tujuan khusus a. Untuk menggali faktor individu yang mempengaruhi perilaku konsumsi mie instan pada mahasiswa. b. Untuk menggali faktor lingkungan sosial yang mempengaruhi perilaku konsumsi mie instan pada mahasiswa. c. Untuk menggali faktor lingkungan fisik yang mempengaruhi perilaku konsumsi mie instan pada mahasiswa.
7
d. Untuk menggali faktor lingkungan makro yang mempengaruhi perilaku konsumsi mie instan pada mahasiswa.
D. Manfaat Penelitian 1. Bagi peneliti Menambah pengetahuan tentang faktor yang dapat mempengaruhi perilaku konsumsi mie instan pada mahasiswa serta sebagai perbandingan untuk penelitian lain dan agar dapat dikembangkan lagi untuk penelitian selanjutnya. 2. Bagi instansi Hasil dari penelitian mengenai faktor yang mempengaruhi perilaku konsumsi mie instan pada mahasiswa ini dapat menjadi dasar dalam perencanaan intervensi promosi kesehatan di perguruan tinggi. 3. Bagi masyarakat Sebagai saran bagi masyarakat agar lebih memperhatikan nilai gizi serta meminimalkan mengonsumsi mie instan.
E. Keaslian Penelitian Penelitian yang hampir serupa dan berhubungan dengan perilaku konsumsi, faktor yang mempengaruhi konsumsi antara lain adalah : 1. Penelitian Deliens et al. (2014) yang berjudul Determinants of eating behaviour in university students : A qualitative study using focus group discussions.
Hasil
penelitian
menunjukkan
bahwa
mahasiswa
lebih
terpengaruh oleh faktor individual, jejaring sosial, lingkungan fisik dan lingkungan makro. Persamaan dengan penelitian yang dilakukan adalah disain penelitian (kualitatif), metode pengumpulan data (diskusi kelompok terarah), subjek penelitian dan kerangka teori. Penelitian tersebut juga meneliti faktor yang mempengaruhi perilaku makan, namun pada penelitian tersebut secara umum, sedangkan penelitian yang dilakukan meneliti perilaku makan secara spesifik, yaitu perilaku konsumsi mie instan. Adapun perbedaan lainnya adalah lokasi penelitian, metode pengumpulan data (wawancara mendalam dan diskusi kelompok terarah).
8
2. Penelitian Park et al. (2011) yang berjudul A comparison of food and nutrient intake between instant noodle consumers and non-instant noodle consumers in Korean adults. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsumsi mie instan dapat memicu peningkatan karbohidrat, lemak dan natrium tapi juga dapat meningkatkan asupan thiamine dan riboflavin. Persamaan dengan penelitian yang dilakukan adalah meneliti pola konsumsi mie instan. Adapun perbedaan dengan penelitian yang dilakukan adalah lokasi penelitian, tujuan penelitian (mengetahui asupan nutrisi antara konsumen mie instan dengan konsumen non-mie instan), jenis penelitian (kuantitatif). 3. Penelitian Christiansen et al. (2013) yang berjudul Environmental factors that impact the eating behaviors of low-income African American adolescent in Baltimore City. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi kebiasaan makan pada remaja Afrika Amerika yang berpendapatan rendah. Hasil penelitian tersebut adalah faktor lingkungan yang mempengaruhi perilaku makan dibagi menjadi 4 konteks, meliputi : konteks lingkungan, konteks sekolah, konteks keluarga dan konteks sebaya. Persamaan dengan penelitian yang dilakukan adalah disain penelitian dan sama-sama meneliti faktor yang mempengaruhi perilaku makan tidak sehat. Namun, penelitian tersebut hanya meneliti tentang faktor lingkungan saja serta perbedaan lainnya adalah kerangka teori yang digunakan kerangka teori ekologi, lokasi penelitian dan subjek penelitian pada penelitian tersebut merupakan remaja di daerah yang berpenghasilan rendah. 4. Penelitian Taylor et al. (2005) yang berjudul Determinants of healthy eating in children and youth. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui determinan individu dan determinan lainnya yang mempengaruhi perilaku makan yang sehat pada anak-anak dan remaja. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor kolektif, faktor keluarga dan ketersediaan makanan dalam lingkungan fisik, meliputi rumah, sekolah dan restoran cepat saji, mempunyai pengaruh yang cukup signifikan terhadap perilaku makan sehat pada anakanak dan remaja. Media, khususnya televisi juga memiliki pengaruh potensial yang besar dan dapat menaungi pengaruh keluarga. Persamaan dengan
9
penelitian yang dilakukan adalah sama-sama
meneliti faktor yang
mempengaruhi perilaku makan. Namun, penelitian yang dilakukan berfokus pada perilaku makan yang tidak sehat, yaitu konsumsi mie instan. Adapun perbedaan dengan penelitian yang dilakukan adalah jenis penelitian tersebut review artikel. Perbedaan dengan penelitian sebelumnya adalah penelitian yang dilakukan ini mengkaji faktor yang mempengaruhi perilaku konsumsi mie instan, sedangkan penelitian sebelumnya mengkaji faktor yang mempengaruhi perilaku makan. Perbedaan lainnya adalah melakukan penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan fenomenologi dan metode pengumpulan data serta tempat penelitian ini diadakan.